Bab 1. Bertemu Mantan Kekasih
"Oughh ...." Keira melenguh hebat saat merasakan sentuhan tangan kekasihnya pada setiap inci tubuh bagian atasnya yang telah polos.
Pria itu menurunkan ciuman, menyesap lembut leher jenjang di bawah pengaruh alkohol. Terus turun, hingga akhirnya berhenti di area intim yang masih terbalut kain segitiga tipis.
Tangannya bergerak melepas kain itu, mengecup lembut di sana yang sontak membuat sang empunya kembali mendesah sambil mendongakkan kepala. Darahnya berdesir, tak bisa menghentikan gairah yang sudah berada di ubun-ubun.
Ia menegakkan tubuh, bersiap melakukan penyatuan. Namun, terhenti saat Keira menahan dadanya sambil menatap nanar.
"Gimana kalau aku hamil?"
"Aku akan tanggung jawab, Keira. Jangan takut, ya. Percaya sama aku," sahut Julian, menurunkan tangan mungil itu.
"Kamu yakin?"
"Aku nggak akan bohong."
Saat Julian akan melakukan penyatuan, Keira yang masih ragu tampak menahan gerakan pria itu.
"Tapi aku takut ...."
"Jangan takut! Sekalipun kamu nggak hamil, aku akan menikahimu."
Kali ini, ucapan Julian layaknya seperti sihir yang membuat Keira akhirnya diam tak lagi menahan diri. Gadis itu pun mulai terbuai dalam setiap permainan Julian yang baru saja selesai melakukan penyatuan.
Malam itu, di lantai bawah masih terdengar hingar-bingar musik merayakan ulang tahunnya yang ke-19 tahun, tetapi ia lebih menikmati malam ini bersama Julian dalam kenikmatan yang disuguhkan pria itu.
Setelah menyelesaikan adegan panas mereka, Julian mengecup kening Keira sebelum beranjak menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti saat netranya tertuju pada bercak merah di selimut putih, bibirnya tersenyum puas mengetahui dirinya adalah orang pertama yang menyentuh Keira.
"Kamu istirahat dulu, ya. Aku mau bersih-bersih."
Gadis itu tiba-tiba menahan pergelangan tangannya, matanya berkaca-kaca. "Kamu beneran tanggung jawab, kan?"
Julian mengangguk singkat. "Iya, Sayang. Seribu kali aku bilang iya, maka jawabannya tetap iya. Aku nggak akan ninggalin kamu. Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu."
Keira termenung sejenak, membiarkan Julian ke kamar mandi. Tangannya meraba perut bagian bawah yang terasa nyeri, sambil menahan pening efek dari alkohol.
Namun, ucapan itu hanya angin lalu. Nyatanya, setelah malam panas itu, keesokan paginya Julian tanpa kabar langsung berangkat ke bandara bersama orang tuanya.
Keira sempat mengejar, tetapi pesawat yang ditumpangi Julian sudah lepas landas beberapa menit lalu, meninggalkannya bersama kenangan pahit dan janji yang sengaja diingkari sampai bertahun-tahun lamanya.
***
Enam tahun sudah berlalu sejak kenangan pahit itu, Keira kini sudah bisa sedikit melupakan semua tentang Julian meski sesekali rasa sakit itu masih mengusiknya.
Saat ini, dirinya sudah bekerja sebagai seorang perawat di sebuah rumah sakit. Namun, di hari pertamanya bekerja, Keira sudah datang terlambat.
Ia melirik sejenak jam tangannya sambil mengutuk dirinya sendiri dalam hati, "Telat lima belas menit! Selamat, Keira, kamu sudah sukses bikin kesan pertama yang buruk!"
Tanpa membuang waktu, ia segera berlari memasuki gedung rumah sakit. Lantainya yang mengilap hampir membuatnya terpeleset, tetapi ia tetap memacu langkahnya. Saking tergesa-gesanya, ia beberapa kali menabrak orang-orang yang berjalan di lorong.
"Hei! Hati-hati!" seru seorang suster yang hampir kehilangan clipboard-nya.
"Maaf, maaf! Urgent!" balas Keira sambil terus berlari.
Setelah bertanya kepada beberapa orang yang ia temui, Keira akhirnya sampai di ruang administrasi. Dengan napas yang masih memburu, ia mendorong pintu kaca ruangan itu dan langsung mengedarkan pandangan. Ia mencari kepala perawat yang akan memberinya arahan tentang tugasnya hari ini.
"Ah, itu dia!" gumam Keira sambil berjalan tergesa-gesa.
Ia melihat sosok seorang wanita, tampak sibuk berbicara dengan seorang pria yang berdiri membelakanginya.
Pria itu berperawakan tinggi, tegap, dengan rambut hitam tertata rapi. Jas putih yang ia kenakan membungkus tubuhnya dengan sempurna, memberikan kesan tegas.
Bahkan dari jarak beberapa meter, Keira bisa mencium aroma parfum maskulin yang begitu khas, seolah tak asing dengan wangi kayu manis itu.
Keira mengerutkan kening. Suara bariton itu terdengar sangat familiar di gendang telinganya.
"Permisi, Dok," ujar Keira dengan nada panik sambil melangkah mendekat.
Pria itu menghentikan pembicaraannya dan perlahan berbalik. Saat itu juga, Keira merasa dunia berhenti berputar. Wajah pria itu amat sangat dikenalinya.
Mata tajam, rahang tegas, dan senyum tipis yang menghiasi bibirnya.
“Julian?” bisik Keira, hampir tak percaya.
Namun, Julian hanya menatapnya dengan dingin, tanpa sedikit pun ekspresi berlebih di wajahnya.
"Maaf, Anda siapa?" tanyanya sambil mengerutkan kening.
Keira tertegun, tubuhnya serasa membeku di tempat. Suara Julian bergema di kepalanya. Dengan napas yang berat, ia menunduk, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk memastikan sesuatu.
Matanya jatuh pada name tag yang tersemat di jas putih pria itu, Dr. Julian Grey Wilson. Nama itu menghantam ingatannya seperti badai yang tak tertahankan.
Mantan kekasihnya, cinta pertamanya, sekaligus pria yang pernah membuat hatinya melayang tinggi dan jatuh dalam waktu bersamaan. Wajah tampan itu yang pertama kali menciumnya, membawanya melayang ke nirwana hingga mahkotanya terlepas di bawah kungkungan tangan kekar tersebut.
Tangan Keira gemetar, jantungnya berpacu liar seakan ingin melompat keluar dari dadanya. Julian, yang telah menghilang selama enam tahun, kini berdiri di hadapannya. Dan bukan hanya itu, dia sudah menjadi dokter muda.
Waktu membuat hubungan mereka berubah menjadi kenangan samar, tanpa sadar Keira mengepalkan tangan mengingat kekejaman Julian yang meninggalkannya dan membiarkan mengandung sendirian.
Ia masih ingat saat mendapati dirinya hamil, semua keluarga menentang dan memintanya aborsi. Namun, ia menolak dan ingin mempertahankan janin itu, hingga berakhir dengan dirinya yang diusir dari rumah karena dinilai mencoreng nama baik keluarga.
Beruntung ia mendapatkan beasiswa, meski tetap harus kuliah sambil bekerja demi calon anaknya. Bahkan sampai melahirkan, ia masih mengharapkan kepulangan Julian meski semuanya sia-sia. Nomor telepon tidak aktif, email tak dibalas dan seluruh media sosialnya diblokir. Keira pasrah setelah melahirkan sendirian, memilih mengubur Julian bersama kenangan kelam di dalam hatinya.
"Dia tidak mengenalku? Matanya tidak berbinar lagi seperti enam tahun silam saat melihatku. Dia benar-benar lupa, tapi kenapa?! Kenapa dia tega ...," batin Keira, pilu.
"Kok malah bengong? Dari tadi saya bertanya sama kamu. Siapa namamu, angkatan berapa dan apa saja pengalamanmu sehingga pantas menjadi asisten saya. Kalau diam saja, mending pulang dan saya bisa cari asisten lain!" Bentakan Julian membuat Keira tersadar dari lamunannya, perasaannya perih bak dicabik-cabik.
Pria itu benar-benar melupakannya, setelah kejahatan besar yang merenggut masa depannya. Tega sekali! Pikir Keira.
Mata elang itu menyorot tajam, menusuk ke relung hati terdalam Keira. Nada bicaranya ketus, tak lagi manis seperti dulu. Julian berubah, seolah kenangan cinta mereka tak ada artinya saat ini.
Dendamnya kembali membara, hatinya bergemuruh ingin menampar wajah tampan yang sama sekali tak merasa berdosa itu. Namun, ia sadar dirinya hanyalah perawat baru yang membutuhkan pekerjaan demi menghidupi anaknya.
"Kenapa dia begini? Apa kepalanya pernah kejedot, atau mungkin enam tahun telah mempengaruhi banyak kehidupan Julian hingga namaku benar-benar hilang dari kepalanya? Atau mungkin ... dia sudah punya wanita lain yang menggantikanku?" batinnya, terus bertanya tanpa jawaban.