bc

Noda Masa Lalu

book_age16+
27.6K
FOLLOW
183.6K
READ
age gap
pregnant
sensitive
independent
single mother
drama
tragedy
straight
others
waitress
like
intro-logo
Blurb

Jenita tak pernah mengerti mengapa sang papa yang begitu dihormati dan ia sayangi, tega berkhianat pada sang mama.

Lalu ketenangan di rumahnya perlahan memudar. Berganti tangis pilu dari sang mama. Dan pertikaian kedua orang tuanya.

Waktu berjalan cepat. Saat Jenita tengah jatuh cinta pada seorang pemuda yang selalu menemaninya saat duka mendera, ternyata sang pemuda lebih memilih gadis lain.

Gadis yang ternyata adalah anak dari wanita lain sang papa.

Batinnya kian menjerit pilu saat sang papa justru membela gadis tersebut dibanding dirinya.

Pergi adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hatinya. Juga ...

Belasan tahun berlalu. Jenita terpaksa kembali ke tanah air. Menemui sang papa yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Mengesampingkan rasa sakit hati dan amarahnya, Jenita berusaha kuat untuk bertemu kembali dengan orang-orang dari masa lalunya.

Dan perlahan semua sebab duka dari kelamnya hidup Jenita tersingkap.

chap-preview
Free preview
Bab 1.
Jenita paham, sejak ia meninggalkan negara tempat dirinya dilahirkan dua belas tahun silam, hari ini pasti akan tiba.  Hari di mana ia terpaksa kembali ke tempat di mana luka-luka hatinya ia peroleh. Burung besi yang membawanya terbang dari Sydney, mendarat dengan sempurna di Soekarno Hatta. Langkah kakinya terayun berat, seperti ada ribuan batu yang menggelayut di sepasang kaki jenjangnya. Menarik napas sebanyak mungkin yang ia mampu, lalu mengembuskannya perlahan, Jenita mencoba mengontrol emosinya. Sedih bercampur marah, juga kecewa masih saja membayanginya kala teringat wajah-wajah mereka yang telah menggoreskan sembilu bernanah bertahun silam. Dua belas tahun sudah. Luka tersebut tersimpan rapat, di dasar hatinya. Dan entah sampai kapan luka tersebut akan bersemayam di sana. Menggerogoti akal sehat dan hatinya, hingga membuat air mata Jenita terkuras. Ya, karena merekalah, Jenita harus merasakan perihnya hidup tak berkesudahan. Sopir yang menjemput Jenita sudah menunggu dengan sebuah papan nama bertuliskan nama wanita itu. Tanpa menunggu waktu, Jenita segera mengikuti sang sopir menuju mobil yang akan membawanya ke suatu tempat. Sepanjang perjalanan, Jenita lebih banyak diam. Tatapannya kosong, terlempar jauh pada pemandangan di luar mobil yang sama sekali tak menarik perhatiannya. Isi kepalanya terlalu penuh memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi beberapa jam kemudian. Atau bahkan menit. "Mbak Jenita." Suatu sore, satu-satunya orang yang ia percaya selain Paman dan Bibinya di Sydney sana, dan juga adalah orang kepercayaan sang papa menghubungi dirinya. Tetapi suara lelaki itu terdengar cemas, tidak seperti biasanya. Membuat Jenita yang kala itu tengah mengaduk kopi hitam, seketika menghentikan gerakan tangannya.  "Ya, Bang Tian?"  "Mbak Jen tahu kan, selama ini saya tidak pernah membeberkan apa pun yang berkaitan dengan masa lalu Mbak Jenita?” Jenita sebetulnya tidak mengerti arah bicara lelaki berusia awal empat puluh itu. Setelah berpikir beberapa lama, akhirnya ia menjawab, "ya, Bang. Ada apa sebenarnya? Jangan membuat saya cemas." "Bapak koma ... apa Mbak Jenita bisa pulang segera?" Lelaki itu terdiam sejenak. "Tolong ... demi Bapak, Mbak Jen. Saya takut Mbak akan menyesal jika Bapak dipanggil lebih dulu oleh Tuhan, sebelum Mbak sempat bertemu beliau." "Saya tidak bisa." Jenita dengan tegas menolak. Sang Papa adalah salah seorang dari penyebab lukanya belasan tahun silam. Mendengar pria tua itu sekarat sejujurnya memberikan euforia tersendiri untuk hatinya. Meski tidak memungkiri, di sudut hatinya yang lain terasa tercubit mengasihani pria tua itu.  "Tolong, Mbak Jen. Anggap saja saya sedang meminta balas budi atas semua yang sudah saya lakukan pada Mbak dan Ibu Anita."  Telak. Butuh waktu beberapa hari bagi Jenita untuk membuat keputusan. Memilih pulang, yang itu artinya, besar kemungkinan akan bertemu dengan orang-orang di masa lalunya. Atau mengabaikan permintaan Tian tersebut, yang sama saja artinya ia tidak memedulikan sang papa yang terbaring sakit.  Hingga suatu sore, ia kembali dihubungi oleh Tian, lelaki itu mengabarkan sang papa mengalami penurunan fungsi jantung beberapa kali. Ya, meski masih menggenggam beribu rasa kecewa pada sang papa, akhirnya Jenita memutuskan untuk pulang. Karena jauh di sudut hatinya sana, ia masih menyayangi pria yang berusia awal enam puluh itu. "Bu, sudah sampai." Suara berat sopir berhasil menyentak Jenita dari lamunan. "Oh, sudah ya, Pak?" "Sudah, Bu." "Kalau begitu, terima kasih, Pak." "Sama-sama." Jenita terdiam sejenak di depan lobi, sebelum benar-benar masuk ke dalam area Rumah Sakit, untuk kembali mengatur segala emosinya. Rumah Sakit yang ia pijak saat ini memiliki kenangan yang juga buruk baginya. Tetapi Jenita mencoba untuk menepis ingatan itu. Ia tidak ingin menjadi gila di saat ia harus menyelesaikan tujuannya kembali ke Indonesia. Yakni, menemui sang papa untuk kali terakhir. Setelah merasa cukup tenang, Jenita melanjutkan langkah yang kali ini tidak seberat sebelumnya. Ia menyugesti diri, jika semua akan baik-baik saja. . . Usai meminta informasi singkat mengenai ruangan tempat papanya dirawat, Jenita melangkah pasti menuju ruangan tersebut.  Sekelebat bayangan masa lalu kala mengantar sang mama ke Rumah Sakit itu sedikit membuatnya hampir tumbang. Tetapi sekuat tenaga, Jenita mencoba menghalau. Ia harus kuat. Ia tidak boleh lemah di hadapan orang-orang dari masa lalunya. Lift yang membawanya ke lantai tiga berdenting dan detik berikutnya terbuka. Hanya Jenita seorang diri yang berada di sana, sehingga ia lebih leluasa meninggalkan kotak besi itu. Sekali lagi, wanita yang sore ini mengenakan gaun sederhana di bawah lutut, mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan. Sangat pelan bahkan, seolah tidak ingin mengakhiri kegiatan tersebut. Sepasang kaki berbalut flat shoes itu akhirnya kembali melangkah. Tiba di depan Nurse Station, Jenita kembali memastikan keberadaan sang papa. Setelah mendapat jawaban dari salah satu suster yang bertugas di sana, wanita itu melanjutkan langkah kembali. Hatinya kian bertalu kencang kala langkah kakinya semakin mendekat pada ruangan di mana sang papa terbaring di sana. Terlebih, saat sepasang maniknya mendapati sosok yang enggan ia temui, berada di salah satu bangku penunggu. Duduk dengan wajah tertunduk, seolah lantai yang lelaki itu pijak lebih menarik dari apa pun. Sebastian, lelaki yang memintanya datang ke rumah sakit tersebut, berada di samping lelaki yang sangat enggan ia temui. Hampir.  Hampir saja, Jenita memutar balik langkahnya, saat suara berat Sebastian yang akrab dipanggil Tian menyerukan namanya."Mbak Jenita." Sebastian melangkah pelan ke arah Jenita sembari tersenyum tipis, seperti biasa. Jenita berusaha untuk menampilkan senyum, demi kesopanan. Tapi entahlah, yang ia rasakan justru sebuah tarikan kaku di bibirnya.  "Bang Tian." "Akhirnya sampai juga ke mari." Tian mengulurkan tangannya, "bagaimana perjalanannya?" Menyakitkan, harus kembali kemari, Bang. Batin Jenita. "Lan-lancar, Bang." Jenita menyambut jemari Tian. "Mari, saya antar ke dalam." Tian dengan sopan dan ramah mempersilakan Jenita. Sekali lagi, Jenita berusaha mengontrol emosinya. Kehadiran lelaki yang enggan ia temui itu, entah mengapa berhasil memantik bara amarah di d**a wanita itu. Amarah yang sudah coba ia padamkan selama belasan tahun. Seharusnya sudah musnah. Tetapi melihatnya duduk di depan kamar perawatan sang papa, membuatnya berkobar kembali. Laki-laki tidak tahu diri! "Jenita." Suara itu.  Suara itu dulu menjadi suara terindah yang ingin Jenita dengar setiap akan memasuki alam mimpi atau saat pertama kali ia membuka mata di pagi hari. Kini mendengar laki-laki itu menyebut namanya dengan nada biasa, seolah di antara mereka tidak pernah terjadi sesuatu, membuatnya bak tertusuk ribuan anak panah tak kasat mata. Memejamkan mata sejenak, ia hanya menghentikan langkah tanpa mau memandang lelaki itu. Terpaksa berhenti tepatnya, karena lelaki itu berdiri tepat di depan Jenita. "Jen, kamu datang?" Pertanyaan basa-basi. Jenita berdecih dalam hati. Jika tidak ingat saat ini mereka berada di rumah sakit yang membutuhkan suasana kondusif, sudah pasti satu tamparan akan ia hadiahkan pada lelaki bernama Elang Bimantara itu beserta rentetan makian tentunya. "Jangan halangi jalan saya!" Datar dan dingin Jenita berbicara. "Kita tidak memiliki kepentingan apa pun. Dan saya juga tidak ingin berbicara denganmu!” "Mas Elang, tolong biarkan Mbak Jenita bertemu Bapak lebih dulu." Sebastian segera bertindak sebagai penengah sebelum suasana kian memanas. Ia paham akan kemarahan yang dirasakan Jenita. Puteri dari atasannya, yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Elang tidak punya pilihan. Lelaki itu perlahan menggeser tubuhnya, memberi jalan pada wanita yang ... entah, seharusnya disebut apa hubungannya dulu dengan Jenita. Tetapi satu yang pasti, karena keegoisan dan keserakahannya sebagai lelaki, membuat dirinya layak mendapat perlakuan sedingin tadi dari Jenita. . . Seharusnya, jika hubungannya dengan sang papa baik-baik saja, Jenita akan menangis melihat sosok yang tergeletak tak berdaya di atas brankar. Seharusnya.  Karena ruangan tersebut sangat kental akan atmosfer kesedihan. Lampu temaram dan warna cat yang di d******i warna abu kian menebar aura sedih pada siapa pun yang memasuki ruangan tersebut. Namun yang terjadi pada Jenita justru hanya memandang datar lelaki paruh baya, yang di tubuhnya terpasangi berbagai peralatan medis. "Bisa tinggalkan kami berdua, Bang?" Jenita memandang penuh harap pada Tian. "Baik." Sebastian segera berbalik. Amat sangat mengerti jika Jenita butuh waktu bersama papanya hanya berdua, untuk meluapkan emosi yang terpendam selama belasan tahun.  Meski atasannya itu tidak bisa merespons apa pun yang akan disampaikan Jenita, tetapi Sebastian berharap, keberadaan Jenita di samping atasannya mampu membuat sang atasan terbangun dari koma yang sudah memasuki bulan kedua. . . Menit berlalu. Jenita masih bergeming di kursi, tepat di sisi kiri Saiful Hirawan—sang papa. Pupilnya masih memandang datar pada wajah pucat yang sama sekali tidak menunjukkan gerakan sedikit pun. Hanya suara detik jam yang mengisi ruangan lebar tersebut, juga suara dari alat pendeteksi jantung yang menyapa telinga Jenita. "Papa tidak ingin bangun?" kata Jenita akhirnya. Wajahnya tetap datar. "Jenita sudah di sini, Pa. Anak Papa yang payah ini sudah datang." Wanita itu menghela napas sejenak. Sesak tiba-tiba menyerang hatinya, meski sejak tadi berusaha ia redam.  Ingatannya akan sikap Saiful padanya yang terkadang kasar, membuat Jenita merasa seperti anak angkat di rumahnya sendiri kembali hadir. . . "Masuk!" Saiful Hirawan begitu murka mendapati sang putri yang saat itu masih duduk di bangku kelas satu menengah atas, pulang jam sepuluh malam tanpa merasa bersalah. Tangan besarnya menyeret lengan kecil sang putri yang hanya menatap datar wajah orang tuanya. "Pa sudah, Pa." Anita—Ibu Jenita mencoba menenangkan suaminya yang terlihat begitu emosi. "Dengarkan dulu penjelasan Jenita." Rengekan Anita sama sekali tidak digubris Saiful. "Dasar anak payah! Mau jadi apa kamu nanti jam segini baru pulang? Begini ini, kalau kamu selalu dimanjakan mama kamu." Saiful menuding Anita, marah. "Maaf, Pa," ucap Jenita. Ia tidak menangis. Berusaha tegar. Tetapi Jenita sungguh-sungguh saat mengucapkan itu. "Maaf. Maaf. Berapa kali Papa mengingatkan kamu, kalau anak gadis tidak pantas pulang selarut ini." Kali ini Saiful Hirawan menudingkan jemari telunjuknya pada wajah Jenita. Sementara gadis itu hanya menatap lekat pada sang papa yang murka. "Kamu bisa contoh Diana. Dia penurut, tidak pernah sekalipun dia membuat Papa naik darah. Dasar payah!" Jenita memang sengaja pulang larut. Gadis itu tidak bermain di tempat hiburan, mal, atau warnet, melainkan pergi ke sebuah perpustakaan kota. Berkutat dengan buku-buku tebal, sekadar melihat-lihat atau kadang turut membantu petugas di sana membereskan buku-buku kembali ke tempat semula setelah dibaca oleh pengunjung yang malas mengembalikan. Suasana rumah yang tidak sehangat dulu, yang membuatnya memilih tempat lain untuk menghabiskan waktunya sepulang sekolah. Ya, Papa Saiful akan selalu menganggapnya payah jika dibandingkan dengan Diana—anak dari wanita lain papanya—yang selalu papanya banggakan. . . "Papa harus bangun. Papa harus menghukum Jenita lagi. Ada satu kesalahan Jenita yang belum Papa ketahui." Jenita tersenyum getir. "Papa pasti akan sangat marah kalau Jenita beritahu. Makanya Jenita memilih pergi dari Papa waktu itu." Tentu saja tidak ada respons dari lawan bicara Jenita. Karena Saiful masih setia dengan tidur panjangnya. "Jenita pulang saja ya, Pa." Beranjak dari duduknya, Jenita memandang sejenak pada wajah pucat Saiful. Tangannya lantas terulur mengusap lembut bahu ringkih itu. Satu bulir air bening seketika menerobos dari sepasang matanya tanpa bisa ia cegah lagi, kala merasakan bahu sang papa sudah tak setegap dulu.   Bersambung    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

LARA CINTAKU

read
1.5M
bc

PATAH

read
514.7K
bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.4K
bc

Long Road

read
118.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook