bc

Hana Deani

book_age12+
858
FOLLOW
3.6K
READ
inspirational
student
drama
tragedy
mystery
brilliant
female lead
campus
first love
Writing Academy
like
intro-logo
Blurb

Aku tak pernah meminta dilahirkan dari keluarga seperti ini, sungguh tak pernah.

Tetesan air mata yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya mengalir setiap saat selama aku di tempat ini, tempat dengan keminiman kasih sayang dan kesenangan.

Namun semuanya berubah, saat aku mengenal dia... Dia yang mampu merubah pandanganku terhadap dunia, dan dia yang bisa membuat aku belajar banyak tentang kesetiaan dan kepercayaan.

Hal yang paling berharga dalam hidup bukanlah uang, bukan seberapa puas kita terhadap semua yang kita miliki, tapi pelajaran, pelajaran berharga yang mampu membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Dan apa pelajaran yang paling berharga itu? Pengalaman. Aku bersyukur mengenal kalian, sungguh, tanpa kalian, aku bukanlah aku yang sekarang.

chap-preview
Free preview
Awal Saat Itu
Jika tidak suka dengan karya saya silahkan di-skip, jangan malah meninggalkan jejak (komentar) buruk, tolong hargai saya sebagai penulis, karena memikirkan cerita ini tidak semudah menutup mata saat kau sudah lelah. Terima kasih atas perhatiannya. Ps : Author Hari ini baru masuk pukul 10 malam di Cambridge, Amerika Serikat. 30 menit yang lalu aku baru sampai di bandara Internasional Logan. Dengan nafas lelah dan sekujur tubuhku yang terasa kaku. Setelah menarok barang bawaanku ke sembarang tempat, kini aku berdiri di balik jendela kamar, memandangi indahnya Sungai Charles. Beberapa kapal mini yang dicahayai oleh lampu jalan, lampu kendaraan, dan lampu kapal yang kelihatannya berdaya 200 watt, terapung dengan rapi di atas Sungai Charles yang ikut bersinar akibat cahaya bulan. Aku menyimpulkan senyumku, entah kenapa pemandangan Sungai Charles ini mengingatkanku pada masa laluku yang tidaklah seindah melihat pemandangan malam Sungai Charles. Aku mendorong kakiku selangkah lagi, meraba kaca jendela kamarku yang ada di lantai 8. Hembuskan nafasku membuat uap di kaca jendela, rambasan air hujan 10 menit yang lalu masih menyisakan beberapa gumpalan airnya di jendela kamar, hingga uap yang muncul akibat hembusan nafasku terlihat cukup jelas. Aku mengangkat tanganku, mulai mengayunkan jari telunjuk. Gambaran gadis kecil kini sudah tertera di kaca jendela, kedua sudut bibirku terangkat tanpa perintah. Tersenyum. Masih melekat diingatanku, tentang masa kecilku yang tidak bahagia dulu, masa-masa yang bertolak belakang dengan masa kecil orang lain. Malam ini, izinkan aku bernostalgia. Tentang kisah-kisahku, yang mungkin bisa dipelajari. *** 15 tahun lalu. Nama lengkapku Hana Deani. Hana, adalah panggilan yang melekat dariku sejak kecil. Saat ini usiaku masih 6 tahun, aku sedang bersembunyi di atas pohon jambu ini, beberapa temanku sudah diketahui persembunyian mereka oleh Dodi, dia tetanggaku. Kami bermain petak umpet dari siang tadi, sudah 10 kali mengulang permainan sampai sore ini. Setelah Dodi menemukanku dan mendiamkan tempat sambil menyebut namaku, atau aku duluan yang mendiamkan tempatku sendiri sebelum Dodi sempat menduluiku, maka permainan ini akan berakhir. Aku tidak ingin permainan berakhir secepat ini. Jika Dodi menemukanku, maka aku dan anak lainnya akan langsung pulang ke rumah, walau aku yang dulu mendiamkan tempat, tetap saja permainan akan berakhir saat itu juga, sebab langit sudah memerah dari tadi, malam akan datang, dan kebahagiaan ini harus berakhir hari ini. "Hana!" Aku terperanjat kaget, hampir saja genggamanku terlepas dari dahan pohon jambu ini. Setelah meneriaki namaku, Dodi tersenyum lebar, baru beberapa kedipan mata saja dia sudah berada di balik dinding rumah salah satu teman bermainku hari ini. Dodi telah berhasil mendiamkan tempat. Aku kalah. Brukk! Aku berhasil mendarat dengan baik. Kakiku telah menginjak tanah, aku melambaikan tangan pada teman-teman yang sudah melangkah pergi meninggalkan lapangan bermain, hanya aku dan Dodi yang kini tinggal. "Kita pulang juga yuk!" Dodi nampak lelah, bermain dari siang tadi jelas membuat kami kecapekan. Aku masih tidak ingin pulang ke rumah, aku masih ingin bermain, tapi bermain sendirian tidaklah menyenangkan, teman-teman sudah pulang, aku pun tak tega melihat Dodi lebih lelah dari ini. Sudahlah, aku mengalah. Aku menganggukkan kepalaku atas ajakan Dodi. Kami berjalan berdampingan sampai ke rumah, rumah kami hanya berjarak 15 langkah kaki anak-anak. "Besok kita main lagi ya!" Dodi berseru semangat, aku langsung mengiyakan dengan cepat dan penuh semangat. Tangan Dodi melambai-lambai padaku, beberapa detik kemudian dia sudah menghilang dari pandanganku, sudah masuk ke rumahnya. Aku melanjutkan langkah ke rumahku. Bibirku bergumam menghitung langkah kaki dari satu sampai sepuluh. Di langkah ke sebelas, perasaanku jadi tidak enak, tapi saat itu aku tidak mempedulikannya, hanya perasaan saja. "15!" Kini aku sudah berdiri di depan pintu rumah, pintu dari kayu yang sudah mulai lapuk dan berlubang. Aku menghela nafas. Sebelum mendorong pintu, aku mengetok pelan dulu. Krieet... Bunyi gesekan dari engsel pintu yang sudah berkarat, membuat gigiku terasa ngilu. Aku melihat ayah yang berdiri di depanku dengan wajah paling sangarnya sambil memegang ikat pinggang, rasa ngilu di gigiku tadi kini terlupakan. "Dari mana saja kamu!?" Pertanyaan ayah dengan nada membentak ini membuatku refleks mundur 2 langkah. Jarang-jarang aku melihat ayah marah, terlebih setiap marahnya ayah... pasti ada alasan besar di balik semuanya. Aku tidak menepati janjiku untuk bermain hanya 2 jam, aku tau itu. Tapi bagi anak seusiaku, bermain itu sangatlah menyenangkan, apalagi bersama teman-teman... membuat kita jadi lupa waktu. "Dari lapangan, tadi main sama teman-teman." Jujur, aku menjawab pertanyaan ayah dengan jujur dan polos. Aku tidak bisa memputar-putar kata di hadapan ayah, apalagi sampai mencari alasan. Lebih tepatnya, otakku kecilku dulu tak ada pikiran untuk berbohong, apalagi sampai membela diri. "Kamu tau apa kesalahanmu!?" Nada suara yang dalam, pekikan yang mendengungkan telinga, wajah penuh amarah yang masih belum redam, semuanya tertuju padaku saat ini. Aku menundukkan kepala, mengangguk pelan. "Maaf Yah, Hana salah. Hana lupa waktu." "Hana! Apa sekarang kamu sudah mulai membangkang!? Ayah tidak pernah mengajarimu untuk membantah kata-kata orangtua! Ayah tidak pernah mengajarimu untuk tidak menepati janji! Mulai detik ini, kamu tidak boleh pergi bermain lagi!" Tubuh tua itu berbalik, nada suaranya tadi terasa tersengal. "Tapi Yah, Hana sudah berjanji pada teman Hana untuk bermain besok." Tidak mungkin aku menyia-nyiakan jam siangku dengan tidak bermain bersama teman-teman lagi, terlebih aku sudah janji dengan Dodi. Ayahku kembali membalikkan tubuhnya, amarahnya yang tadi sempat padam kini kembali lagi, "Kamu tadi bilang apa!?" Nada suara ayah yang mencekam membuat diriku seketika ciut. "Hana masih ingin bermain besok, Hana sudah janji dengan teman-teman." Ikat pinggang yang dipegang ayah tadi, kini mulai melayang ke arahku, tubuhku rasanya perih mendapat cambukan kasar dari ayah. Ikat pinggang itu berayun seperti ular, menjadikan punggung dan pahaku sebagai tempat pendaratan kerasnya. Aku jadi tau alasan ayah membawa ikat pinggang di tangan tanpa mengenakannya, toh dia juga sedang memakai kain sarung, jadi tak mungkin ikat pinggang itu akan dililitkannya di kain sarung. Guna ikat pinggang itu untuk memberiku pelajaran. Aku merintih kesakitan, kenapa ayah harus mencambukku seperti ini? Dan dengan ikat pinggang!? Yang benar saja! Apa pergi bermain dengan teman-teman adalah larangan untukku? "Ayah... sakit Yah..." Ayah sama sekali tidak menghiraukan desah kesakitanku, sampai pada cambukan kesepuluh, ayah baru berhenti. "Kamu akan merasakannya kembali jika tidak mematuhi perkataan Ayah atau ibu!" Ayah mengancam, lalu berbalik pergi meninggalkanku yang tak sanggup untuk berdiri. Nafasku tersengal, rintihan kesakitan dan air mata akibat menahan perih kini saling melengkapi, mereka membalut diriku yang terkulai lemah di atas lantai beralaskan semen tersebut. oOo "Hana!" sahutan yang keras dari Dodi memekakkan telingaku. Isengnya keterlaluan, apa dia harus memanggil namaku dengan keras tepat di telingaku!? Aku tidak sebudek itu! Aku memarahi Dodi, "Kamu kenapa sih teriak-teriak di telingaku!? Aku gak b***k tau!" Moodku dari kemaren masih buruk, ditambah keisengan Dodi yang semakin memperburuk moodku. Teman-teman di kelas kini menatap heran pada kami. Raut wajah Dodi nampak takut saat melihatku marah, aku menghela nafas. "Maaf... jadi ada apa?" "Nanti jadi bermainkan?" Dodi bertanya dengan nada canggung. Aku tidak tau alasan kenapa hatiku sakit saat mendengar pertanyaan Dodi dulu, namun sekarang aku tau... hatiku sakit karena tidak bisa menepati janji dengan Dodi, hatiku sakit karena iri pada Dodi yang diberi kebebasan bermain oleh orangtuanya, dan hatiku sakit... karena tidak bisa lagi bermain bersama teman-teman. Dodi masih berdiri di depan mejaku, menanti jawaban dariku. Bel masuk yang telah berbunyi beberapa detik yang lalu dihiraukan oleh Dodi, biasanya saat mendengar bel masuk berbunyi, dia yang duluan kocar-kacir kembali ke bangkunya dan duduk dengan posisi sebaik mungkin, seperti anak teladan yang sangat menanti pelajaran. Aku berdehem pelan, "Nanti pulang bareng ya!" ajakku langsung membuat senyum di wajah Dodi mekar. Aku bisa menebak jawaban yang memuaskan untuk Dodi, tanpa perlu kembali ke topik bermain tadi. Wali kelas kami, buk Ema yang juga guru semua bidang studi kecuali pelajaran olahraga, kini telah masuk ke kelas dengan wajah bersahabatnya. Tanpa perintah dari guru, ketua kelas sudah berdiri dengan tegap, memimpin arahan untuk memberi hormat dan berdoa. Pelajaran dimulai setelah kami sama-sama mengucapkan "Aamiin." Kedua telapak tangan menyapu wajah, menutup semua pikiran yang tidak berkaitan dengan materi pelajaran hari ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

CEO Mesum itu Suamiku

read
5.1M
bc

SEXRETARY

read
2.1M
bc

Hubungan Terlarang

read
501.0K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.1K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
311.1K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook