bc

Sang Penjaga

book_age16+
48
FOLLOW
1K
READ
adventure
others
drama
no-couple
heavy
icy
poor to rich
slice of life
naive
like
intro-logo
Blurb

Kami keluarga, maka kami saling menjaga. Kami bertengkar. Kami berbaikan. Kami berbagi banyak hal, dari telur yang dipecah jadi empat: aku, kakakku, ayah, dan ibu, hingga sabun yang kami gunakan bergantian.

Namaku Sena. Aku memiliki seorang kakak down syndrom. Dan inilah kisah kami.

Desain Sampul oleh Canva

chap-preview
Free preview
Cinta Sama Besar
Sang penjaga, kata ibu, setiap kali aku bertanya apa arti namaku. Abisena adalah pelindung bagi kakaknya, imbuhnya. Saat itu usiaku tujuh. Di sekolah, guru pelajaran Bahasa Indonesia mendikte nama- nama murid baru, bertanya apa arti nama kami. Beberapa anak menjawab tidak tahu, lalu Pak sabar mengotak-atik laptopnya, mencari arti nama mereka di mesin pencarian, dan dengan suara berat yang menenangkan ia mengumumkannya kepada kami. Saat tiba giliranku, aku menjawab, sang penjaga. Namun guruku mengulang pertanyaan, memintaku menjawab dengan lantang, seakan ia baru saja salah mendengar ucapanku sebab kekuatan telinganya untuk menangkap suara semakin berkurang seiring bertambahnya usia. "Sang penjaga, Pak!" seruku kali kedua, dan aku yakin suaraku menembus dinding ruang kelas sebelah. Lelaki paruh baya yang biasa disapa Pak Sabar kendati nama sebenarnya Hanan sebab kelemahlembutannya yang tiada banding di sekolah menghadapi murid-murid nakal itu manggut-manggut. Ia menatap layar laptop. Jemarinya mengetik--barangkali namaku. Ia kemudian membolak-balik buku absen. "Siapa yang memberitahumu, Abisena?" Pak Sabar membenarkan letak kacamatanya yang melorot ke tengah hidung. Ia mengarahkan pandangannya padaku yang duduk menopang kedua tangan di atas meja. "Ibu," kataku. Ibu memberitahuku sebelum aku bisa mengingat dengan sempurna setiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Ia pula yang menamaiku begitu. "Baiklah," sahut Pak Sabar. "Namamu bagus sekali. Ibumu pasti menaruh harapan besar supaya kelak kau menjadi seorang pelindung keluarga yang hebat." Aku tersipu mendengar pujiannya. Pipiku menghangat. Ditambah dengan elu-eluan dari beberapa kawan, aku benar-benar terbang. Menjadi hebat seperti karakter kartun favorit, siapa yang tidak mau? Semua orang menyukaiku. Semua orang menghormatiku. Dan jika dewasa nanti ternyata aku memiliki kekuatan besar tersembunyi, maka makin hebatlah diriku, semua orang mendatangiku mencari pertolongan. Setelah usai mendikte nama kawan-kawan sekelasku, Pak Sabar bilang bahwa nama kami tidak dibikin asal sebut dan asal jadi oleh orang tua kami. Ada harapan di dalam setiap nama. Apa pun bahasanya. Kami diharuskan tahu arti nama kami supaya tahu harapan macam apa yang disisipkan ayah dan ibu dalam nama kami. "Nama sama halnya dengan puisi pendek. Dan jika salah satu dari kalian memiliki hanya satu kata nama, maka nama kalian adalah puisi yang pendek sekali." Tawa seisi kelas pecah. "Namun sependek apa pun puisi, maknanya bisa saja berlembar-lembar kertas." Jam pelajaran Bahasa Indonesia pagi itu dihabiskan untuk membahas nama-nama. "Baru saja berkenalan dua hari, mari kita mengakrabkan diri dulu," kata Pak Sabar. Sebelum meninggalkan kelas, ia meminta kami mempelajari bab pertama bertema anggota keluarga di rumah. Dan pada pertemuan selanjutnya ia akan mengupaskan materi itu untuk kami. Pak Sabar mohon diri dari kelas kami dengan sebuah pantun perpisahan. Buah nanas buah rambutan Segar menggoda bikin lapar perut Jika esok masih ada kesempatan Bolehlah kita bersua dan jangan cemberut Ibuku Nawang Wulan. Namanya adalah nama bidadari yang turun ke bumi bersama enam saudarinya. Mereka terpesona oleh kejernihan sebuah telaga lalu mampir untuk mandi. Salah seorang pemuda yang kebetulan melewati tepian telaga mendengar tawa merdu mereka dan mengintip dari celah berbatuan besar dan semak-semak. Pemuda itu lantas mencuri salah satu selendang yang tergeletak bertumpuk-tumpuk di atas batu. Ia jatuh hati pada aroma selendang di tangannya yang lekat oleh wewangian bunga kayangan. Ia menunggu sampai semua bidadari itu selesai mandi, melilitkan selendang masing-masing, kemudian terbang kembali ke langit. Hingga hanya tinggal satu bidadari yang tampak cemas dan ketakutan di tepian sungai, mencari-cari keberadaan selendang hijaunya. Pemuda itu kemudian muncul di hadapan Nawang Wulan sebagai sosok ksatria penolong dan kemudian mempersuntingnya lalu dari pernikahan mereka lahir seorang perempuan jelita bernama Nawangsih. Nama pemuda itu Jaka Tarub. Tapi itu bukan nama ayahku. Ayahku Angger dan ia bukan ksatria berdarah biru. Mereka tidak bertemu kali pertama di telaga. Kata ayah, mereka teman sekolah lalu dekat lalu menikah. Dan ia pasti akan marah jika tahu aku menyimpan pikiran semacam ini--bahwa namanya kurang cocok bersanding dengan nama ibuku. Aku tidak pernah bertanya apa makna namanya. Barangkali karena aku sudah mengakrabi kata itu sedari kanak-kanak. Di tempatku lahir dan bertumbuh, angger artinya asalkan atau bisa juga kalau-kalau. Sementara ayah pernah bilang, nama sebenarnya Ngger--panggilan sayang untuk anak lelaki di Jawa. Aku sempat heran mengapa nama ayahku seperti itu--rentan dipelesetkan aneh-aneh. Saat duduk di kelas dua sekolah dasar, kawan-kawanku sering mengolok-olok nama ayah ngger engger engger jengger ngger genjer. Aku pernah hampir meninju mulut salah satu kawan gara-gara olok-olok itu. Namun sangat disayangkan Pak Sabar berlari keluar kantor, meninggalkan makan siangnya demi melerai kami. Ibuku--ia benar-benar seperti jelmaan bidadari. Sampai usiaku enam belas tahun, aku belum pernah merasakan cubitan di paha atau jeweran di telinga atau tamparan di pipi. Saat marah ia menangis. Kata-katanya lirih. Justru menyedihkanku melihatnya seperti itu. Aku ingin ia mengeluarkan amarah dan keluh kesah seperti perempuan tetanggaku. Mereka mengomel sepanjang hari. Aku ingin mendengar omelan dari bibir ibu. Pernah sekali aku mengajak kakakku berendam di sungai setelah hujan deras. Air sungai berarus dan berwarna kecokelatan. Arusnya bergemuruh seperti erangan monster. Sepulang berendam ibu mengusap-usap rambut dan pakaian kami yang kuyup. Ia menangis memeluk kakakku yang menggigil dan beringus. Dan ia berhenti bicara padaku sepekan. Sangat menyiksa. Aku ingin memancing omelannya. Namun ia mengatupkan bibirnya. Aku menyerah. Barangkali memang begitu laku marah ibuku. Laku bidadari Nawang Wulan. Kadang kala, saat kecintaanku padanya sedang setinggi pucuk gunung raung sebab ia memasakkanku dendeng sapi dan kari, aku cemas ia tiba-tiba pergi dari hidupku, hidup kami, seperti yang dilakukan Dewi Nawang Wulan pada keluarga kecilnya. Aku pernah iseng bertanya apakah ayah menyembunyikan selendang hijaunya. Namun ibu menanggapiku dengan tawa. Katanya," Ya, selendang itu di dalam karung beras." Ibu lantas mengangkat telunjuk kanan ke atas bibir dan dari bibir itu keluar suara huuuust. Aku akan tertawa tapi tak ada tawa di wajah ibu. Ia tampak serius. "Ibu ada-ada saja," kataku. Ibu mengedikkan bahu. Cemasku berlipat-lipat. Saat itu usiaku sembilan dan aku adalah satu dari sekian banyak bocah yang gemar menonton dan membaca dongeng dan hanyut dalam pesona dunia yang unik: pohon-pohon yang bisa berbicara, kadal yang berubah menjadi kusir kereta, keong yang menjelma manusia, dan tentu saja selendang dari kayangan milik Dewi Nawang Wulan. Aku tidak bisa tidur malam itu. Bagaimana jika memang ibuku Nawang Wulan yang itu? Bagaimana jika suatu pagi aku terbangun dan tak kutemukan ia di rumah? Aku buru-buru menepis pikiran buruk yang diada-adakan oleh rasa takutku. Namun semakin kuusir semakin pikiran itu merongrong masuk. Bisa saja. Bisa saja ibuku Bidadari Nawang Wulan yang menyamar Nawang Wulan. Sehingga sebuah niatan untuk menemukan selendang hijaunya muncul di kepalaku seperti wangsit yang mendatangi para pertapa. Tengah malam, saat semua penghuni rumah lelap, aku meninggalkan nyaman dan hangat ranjangku menuju dapur. Saat telapak kakiku bersentuhan dengan lantai, dingin segera merambat menuju setiap inci tubuhku. Udara berembus dari pinggiran atap dapur yang telanjang tanpa plafon. Lampu-lampu ruangan sudah dimatikan. Bulan yang jauh meneruskan pencahayaannya yang minim ke dapurku. Sinarnya tak leluasa, terhalang oleh tiang penyangga. Aku menekan sakelar lampu. Cahaya bulan terusir seketika oleh nyala lampu. Mataku mencari-cari kotak penyimpanan beras yang selama ini hanya ibu yang memiliki akses penuh akan benda itu. Setelah menemukan benda itu aku pun menemukan kenyataan bahwa tak sebutir beras berada di dalamnya. Aku mengacau tata letak perabot dapur dan beras itu tidak ada di setiap tempat. Barangkali berasnya habis. Tiba-tiba aku berpikiran mengambil kunci toko di gantungan di samping kulkas. Kunci itu bersebelahan dengan lap tangan dan kemoceng dan kunci-kunci lainnya. Barangkali bukan beras di dapur tetapi di toko. Toko itu dibangun di depan rumahku, menjual berbagai macam kebutuhan rumah tangga dari gas hingga beras. Satu-satunya mata pencaharian orang tuaku. Ayah mendirikannya tiga bulan setelah menikahi ibu. Saat itu, di rahim ibu, kakakku tinggal. Usianya satu bulan dua pekan. Semula ayah seorang petani cabai, kemudian ia menjual ladang dan beralih profesi menjadi pedagang. Masa-masa yang sulit, kata ayah. Ia mengibaratkan dirinya dengan tumbuhan perintis yang pertama kali berkecambah setelah letusan gunung berapi. Namun Dewi Nawang Wulan di sisinya, membersamai jatuh bangunnya. Ia pun berhasil melewati semua itu sehingga toko kelontongnya menjadi besar seperti sekarang. Aku mengusap tengkukku yang merinding disapa udara dingin. Lolongan anjing di kejauhan malam menumpulkan keberanianku sedikit banyak. Aku menoleh ke segala arah, berharap kegiatanku malam itu tak diikuti maling dari jenis yang terburuk yang tak segan-segan membunuh. Rasanya seperti sedang bertualang di hutan yang diliputi sihir. Pintu terbuka disertai derik panjang yang merobek kesunyian malam. Jantungku berdegup terburu-buru sehingga dadaku bergetar. Aku langsung mengarahkan kaki ke tumpukan karung beras di pojok belakang toko. Aku membuka tali karung. Aroma beras yang berdebu dan khas menyergap hidungku. Aku bersin tiga kali berturut-turut. Pasti di sini. Pasti tak jauh dari sini. Pasti yang ini, batinku. Lalu datang sebuah suara yang memanggil namaku, melengking dan menyakitkan kuping. "Kamu sedang apa?" kata ayah. Ia berdiri di ambang pintu. Tak lama berselang, ia melangkah masuk sembari menarik sarung kotak-kotak merahnya ke atas bahu sehingga tubuhnya terbalut sempurna oleh kain itu. Aku ragu-ragu menjawab. Apa pun yang kukatakan nanti tidak akan menolongku dari amukannya. Ia tipikal orang yang tidak membutuhkan argumen orang lain. Apa lagi telah jelas aku bersalah saat itu. "Kamu sedang apa?" ayah bertanya lagi. "Lampu dapur hidup. Pintu rumah terbuka. Dan kau mengacak-acak beras di toko tengah malam begini. Kamu mau mengundang maling? Biar dipenggalnya kepalamu itu." Aku menggeleng. Jengkel sekali mendengar rentetan kalimat ayah. Aku berharap sikapnya itulah yang dimiliki ibu. Tidak ada kelembutan di dalam keceriwisan ayah. "Berdiri," katanya. Aku menurut. Aku membersihkan bulir beras yang menempel di betis dan telapak kaki. "Mendekat," katanya. Langkahku berat sekali berjalan ke arahnya. Kami berhadap-hadapan dan aku melihat tangannya terangkat bersiap-siap menjewer telingaku. "Abiya. Abiyaku," tiba-tiba kakakku menerobos masuk. Badannya yang gempal bergesekan dengan ayah. Ia lalu memelukku, menjauhkanku dari lelaki tua yang sedang marah. "Abiyaku. Abiyaku." Ia mengusap-usap pipiku, ingin memastikan aku dalam keadaan baik. Ia terus membunyikan namaku, yang hanya ia yang memanggilku begitu. "Abiyaku. Abiyaku. Pukul Abiyaku ayah tidak boleh. Abiya. Abiya." Ia kembali memelukku. Butuh puluhan kali penjelasan aku baik-baik saja pada kakakku agar ia kembali tenang. Aku menepuk-nepuk punggungnya sembari menggeleng pelan. Ayah menyerah memarahiku. Ia menyuruh kami masuk ke rumah. Akan sangat pelik bila ia berurusan dengan anak sulungnya yang sedang marah dan cemas. Ayah enggan mengambil risiko tergigit seperti kali terakhir ia mengomeli kakakku yang sedang membela ibu. Kedua orang tuaku pernah bertengkar sewajarnya keluarga pada umumnya. Entah itu perihal ayah yang menjentikkan abu rokok sembarangan atau ibu yang dianggapnya terlalu pilih kasih pada kakakku sehingga mengabaikan ia, sang suami. Kadang kala kami berseteru, tapi cinta kami sama besar, aku tahu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Anak Rahasia Suamiku

read
3.3K
bc

Perceraian Membawa Berkah

read
16.8K
bc

KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU

read
59.9K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
51.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook