Mak Comblang Kena Batunya

Mak Comblang Kena Batunya

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
friends to lovers
drama
sweet
city
childhood crush
like
intro-logo
Blurb

Tara suka sekali dengan yang namanya uang. Berbagai bisnis ia geluti untuk mendapatkan yang namanya uang. Dan Mak comblang ternyata adalah bisnis paling menjanjikan.

Apalagi saat teman sekolahnya memakai jasanya dan membayarnya dengan nominal yang besar baginya.

Bagaimana mungkin Tara bisa menolaknya? Jaya dengan segala antek-antek yang harusnya dihindari manusiapun tidak membuat Tara gentar untuk menggapai misinya. Tapi tunggu, Jaya ternyata manusia juga? Dia kira cowok itu adalah manusia setengah medusa!

chap-preview
Free preview
Mak Comblang Perintis
"Dua ratus, empat ratus, empat juta seratus ... lumayan juga bulan ini." Tara tengkurap dengan menggoyang-goyangkan kedua kaki yang dilipat. Bibirnya komat-kamit, tangannya sibuk menulis memberi ceklis, sesekali kedua matanya menatap langit-langit sembari berpikir strategi apa lagi yang harus ia gunakan untuk menarik perhatian incaran kliennya. Sejauh ini dia selalu berhasil, walau bisa dikata dia baru merintis menggeluti bidang ini. Setidaknya, sudah lima pasangan berhasil ia deklarasikan. Tara berbalik telentang memainkan kedua tangannya ke atas. Ia tersenyum. Segala macam cara ia lakukan untuk mencari uang, tapi baru ini yang bisa dikatakan cukup menjanjikan. "Gue pinter banget si ... kenapa baru kepikiran, si? Kalau bisnis ini udah gue lakuin dari setahun yang lalu kan udah bisa saingan sama Elon Musk gue atau Mark Zuckerberg, mungkin ya?" Katakan saja Tara terlalu mengada-ngada. Tapi, biar saja, yang penting tidak merugikan ternak warga. Tara memang bukan yang miskin-miskin banget, sebenarnya tapi bukan yang kaya juga. Buktinya, orang tuanya bisa menyekolahkannya di sekolah Edelweiss yang notabene sekolah para anak-anak kaya tanpa beasiswa. Tunggu dulu, kalau dipikir-pikir memang aneh juga si ... ayahnya cuma b***k korporat biasa dan ibunya adalah seorang dosen di perguruan tinggi swasta tidak seperti orang tua temen-temennya yang pada punya bisnis, pengusaha, bahkan pabrik di mana-mana. Tepi, kenapa orang tuanya bisa? Kenapa dia tidak di sekolahkan ke sekolah negeri saja? Atau jangan-jangan dia sebenarnya anak orang kaya? Seperti di drama cina yang sering muncul di iklan-iklan. Gadis miskin ternyata adalah pewaris dari CEO terkenal. Ahahaha! Tara terkekeh membayangkan kengelanturannya. Gadis itu mengernyit saat ada pemberitahuan pada ponselnya. "Rita?" gumamnya lalu membuka pesan yang diterimanya. Rita Bulan ini full nggak jasa mak comblang, lo? Sorry, lagi full ni. Lima juta. Tara menggelengkan kepala walau dia tahu, si pemberi pesan tidak mungkin bisa melihatnya. To Rita Mau dicomblangin sama siapa? Nggak berubah ya, lo kalau masalah duit. Nggak ada yang gak butuh duit, kawan! Sama Jaya. Tara mendelik. Ini anak kenapa tiba-tiba? Lalu kembali jari-jarinya mengetik sesuatu. To Rita Jaya? Yang suka berantem itu? Yang nggak suka sama manusia itu? Anak IPA 2? Susah kalau itu. Nggak ada kandidat lain apa? Kalau digigit berabe, soalnya. Tujuh juta. Lo kan cantik, Ta. Nggak perlu pakai jasa gue juga lo pasti bisa dapetin cowok yang lebih dari Jaya. Cowok itu belum jinak, soalnya. Sepuluh juta. Deal! Tara gemeteran setelah membaca pesan dari Rita. Dasar anak orang kaya. Gampang banget ngeluarin uang hanya untuk bisa dapet cowok yang ia suka. Sepuluh juta kayak sepuluh ribu kali, ya? Suka aneh dia sama jalan pikir para anak-anak yang terlahir dengan banyak uang di sekitaran mereka. Karena itu sekarang hal yang pertama harus Tara pikirkan adalah cara mendapatkan nomor Jaya. Gadis itu merinding, bayangan betapa tengil dan reseknya Jaya saja rasanya sudah membuat dirinya merasa mual. Kenapa sih para wanita lebih suka pria-pria seperti Jaya yang sudah kentara sekali bendera merahnya, dari pada pria-pria baik yang ada? Yah, walau anak baik kadang tampangnya biasa-biasa saja. Hello? Di jaman ini tampang itu nomor sekian, yang penting hati dan berapa banyaknya isi dalam kantongnya dia! Tara sendiri kalau boleh memilih si mending sama yang normal-normal saja. Yang baik, kaya, dan ganteng juga. Ahahahha! Namun, Tara sendiri masih belum tertarik dengan masalah percintaan dirinya sendiri. Dia lebih tertarik dengan percintaan orang lain yang jelas-jelas menghasilkan pundi-pundi uang yang tidak akan pernah mengecewakan. Tuhan? Bantulah hambamu yang imut ini. Kali ini pasti tidak mudah, Jaya dan segala antek-anteknya seharusnya dihindari, tapi demi sepuluh juta dia tidak akan mundur. Dia sangat suka uang sekali. Oleh karena itu di pagi hari yang sangat pagi ini dengan merapalkan doa-doa, Tara menunggu seseorang yang mungkin akan berjasa banyak dalam misinya kali ini. Saat suara pintu gerbang terbuka buru-buru Tara merapikan diri sambil menampilkan senyum lima jari. Seseorang keluar dengan mengendarai motornya. Begitu, melihat ada penampakan manusia di depan, pria itupun menghentikan laju motor lalu membuka helm full face, dan seketika membuang napas dengan malas. "Waoooo Bian! Hari ini lo kok ganteng banget si sumpah!" Mata Tara berbinar sambil kedua tangannya ia gerakan menengadah untuk melengkapi drama pagi ini agar ucapannya terlihat meyakinkan. "Yang kayak gue gak ada sepuluh." Tara berbalik membelakangi Bian memutar bola matanya sembari menggerakkan mulutnya berlagak seolah akan muntah sebelum pada akhirnya menghadap pria itu kembali seraya tersenyum pura-pura lagi. "Tumben lo pagi-pagi uda nangkring di depan rumah gue? Ada pindang di balik sambal bawang ya lo pasti!" "Udang, Bi ... udang di balik bakwan! Aturannya si gitu." Tara mendekat. "Bi ... Bian...." "Jaga jarak jangan terlalu dekat nanti sayang!" "Puih!" Bian terkekeh. "Ada apa lagi? Pantes tadi hawa rumah gue jadi panas ternyata ada setan di depan rumah. Pasti mau aneh-aneh kan lo, Setan?" Tara tidak merasa tersinggung. Ini biasa ia dengar. Mulut Bian tetangganya itu memang sebelas dua belas dengan bon cabe level seratus juta, tidak masalah selama uang sepuluh juta akan ia terima. Mulut Bian tidak berpengaruh apa-apa baginya. Tara tersenyum berlagak malu-malu dengan satu tangan menutup mulut dan tangan lainnya melambai tersipu. "Tau aja lo! Bapak lo dukun, ya?" "Kok tahu?" "Karena kamu telah menjampi-jampi hatiku...." "Eyaaa!" Wajah Bian kembali jutek. "Ada perlu apa lo? Tumben pagi-pagi udah seragaman di depan rumah orang, biasanya berangkat lo kan bareng sama kepala sekolah." "Ih, Bian ih suka bener kalau ngomong. Gue mau—" "Nggak! Gue gak bisa!" Tara merengut. "Kan gue belum ngomong. Jangan sok tahu ih Bian, ih." "Gue gak mau tahu. Gue sibuk!" Pria itu hendak akan memasang helmnya namun buru-buru ditahan oleh Tara. Gadis itu mengedip-kedipkan mata berharap Bian luluh dengan pesonanya. Namun boro-boro luluh, pria itu malah mendorong kepalanya dan membaca ayat kursi seolah dia adalah setan yang harus dibasmi. "Ngapain lo? Kelilipan dosa?" "Bian, ih ... bantu gue ya? Gue punya bisnis. Nanti kalau berhasil gue sembilan puluh sembilan persen lo sisanya." "Bisnis aja sama diri lo sendiri! Gue mau sekolah mau nuntut ilmu biar jadi dokter biar bisa obatin otak lo yang sering konslet itu!" "Bareng, ya?" pinta Tara tiba-tiba. "Ogah!" "Ih bian ih! Bareng ... jomblo tuh gak boleh pelit-pelit." "Ngatain orang jomblo? Lo sendiri apa?" Tara menggoyangkan jari telunjuk dan menggelengkan kepala. Tanpa permisi ia naik ke boncengan belakang Bian. "Yuk, Mang tareeek!" Bian yang sudah kehilangan tenaga membuang napas dan melajukan motornya saja. Menghadapi tetangganya yang agak luar biasa ini memang perlu dipupuk kesabaran setinggi monas dikali dua. "Bi, minta nomornya Jaya, ya?" "Lo mau mati?" "Ih Bian ih mulutnya? Ndak boleh bilang kayak gitu...," katanya kemayu. Lagi-lagi untuk kesekian kali Bian menghela napas lelah letih lesu. "Mo ngapain minta nomor Jaya kalau gak mau mati?" Pria itu menyipitkan mata ke arah spion. "Jangan-jangan lo masih ngejalanin bisnis absurd itu, ya?" "Kok absurd si? Bisnis mak comblang gue tuh menjanjikan tahu!" "Kenapa sih lo sibuk banget cari uang? Lo nggak dikasih uang sama pak RT? Jadi babu gue aja nanti gue kasih seribu." Ngomong-ngomong selain b***k korporat ayah Tara adalah ketua RT. "Seribu buat apa Bian Tai Segara?" Nama Bian adalah Tali Segara dan Tara suka memelesetkannya. "Dikasi si gue uang, tapi lo sendiri kan tahu, gue suka sekali sama yang merah-merah dan biru-biru. Suka aja tahu dapet duit dari kerja keras kita sendiri." "Nggak ada bisnis lo yang normal deh perasaan, yang terakhir aja lo bikin jasa copot komedo di kelas." "Cabut komedo Bian...." Tara meluruskan. "Ya apalah itu. Jangan Jaya pokoknya. Cari target lain aja." "Nggak bisa, klien gue mintanya Jaya!" "Dibayar berapa sih lo kali ini?" "Sepuluh juta." "Edan! Cewek-cewek itu pada kenapa si?" "Gue juga gak tau pikiran mereka. Cewek-cewek emang suka aneh." Tara menggelengkan kepala sok bijaksana. "Yang penting gue dapet uangnya. Ayolah Bi, lo kan temennya." "Ya karena gue temennya ... gue bilang sama lo jangan deketin dia. Jangan jual temen gue." "Siapa yang mau jual dia?" "Lah lo dapet uang dari lo deketin dia buat bisa deket sama klien lo itu. Kan sama aja lo jual Jaya. Udah deh jangan, lagian lo kan tau sendiri kan Jaya kayak apa?" "Heran gue kenapa kalian bisa temenan? Lo kan culun kutu buku kenapa bisa temenan sama Jaya yang biang rusuh, suka berantem, sering buat masalah, dan terkenal di sekolah?" "Au!" Tara mengaduh saat kepalanya diseruduk kepala Bian yang mengenakan helm di depan. "Enak aja gue culun! Ganteng gini!" "Iya iya ganteng tapi culun!" Motor Bian berhenti, pria itu menoleh ke belakang menatap Tara dengan penuh aura permusuhan. Tara melambaikan tangan memaksakan kekehannya lalu memutar kepala Bian agar kembali menghadap depan. "Udah iya iya sana nyetir yang bener," ujarnya. Jangan sampai ia diturunkan di tengah jalan. Walau sebenarnya jarak dia sekarang dan sekolah hanya lima ratus meter lagi. Beberapa saat kemudian saat mereka sudah ada di depan gerbang sekolah. Tara dengan semangat yang kembali membara menepuk-tepuk punggung Bian histeris saat melihat targetnya ada di radiusnya. "Eh, turun di sini gue, Bi ... ada Jaya itu! Jaya Bi! Tumben itu manusia ada di sekolah. Turun, Bi!" "Ogah! Motor gue cuma bisa berhenti di parkiran, Tar." "Mana ada! Ayo dong Bi ... turunin gue ... gak mungkin gue lompat, kan?" "Lompat aja kalau — Tar!" Bian langsung menghentikan motornya melihat Tara benar-benar nekat lompat dari motornya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Shifted Fate

read
491.0K
bc

Chosen, just to be Rejected

read
118.6K
bc

Corazón oscuro: Estefano

read
548.1K
bc

Holiday Hockey Tale: The Icebreaker's Impasse

read
121.0K
bc

The Biker's True Love: Lords Of Chaos

read
262.9K
bc

The Pack's Doctor

read
575.2K
bc

MARDİN ÇİÇEĞİ [+21]

read
678.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook