bc

Di waktu yang Salah

book_age18+
2.1K
FOLLOW
18.5K
READ
love-triangle
body exchange
second chance
independent
confident
twisted
bxg
loser
disappearance
sassy
like
intro-logo
Blurb

Aksa percaya wasiat itu harus ditunaikan apapun resikonya. Isi surat wasiat yang Aksa terima dari orang yang dia tabrak hingga meninggal itu adalah Aksa harus menikahi Alika. Namun, saat hendak menikah dia baru tahu surat wasiat yang dia terima adalah palsu.

Sedangkan surat wasiat yang asli berhasil membawa sesosok arwah perempuan mendekat padanya untuk meminta tolong.

Freya Shalomitha datang pada Aksa sebagai sesosok arwah, sementara tubuhnya terbaring koma di rumah sakit karena overdosis. Aksa memiliki waktu satu minggu untuk membantunya mengungkap siapa yang hendak membunuhnya. Bisakah Aksa memecahkan kasus Freya? Sementara sebelumnya dia tidak mengenal wanita itu, hingga semua orang tidak percaya pada Aksa.

Kehadiran Annisa di saat-saat terakhir membuat Aksa harus memilih antara hati atau sebuah janji.

chap-preview
Free preview
Satu
Suara rem berdecit, hingga memekik di telinga. Dengan segera Aksa keluar, karena Seorang pria paruh baya tengah tersungkur ke badan mobilnya. Dia terperanjat, matanya terbelalak. “Sial! Bisa-bisanya gue nabrak orang.” Aksa melihat sekitarnya yang tampak sepi. Dia segera membopong orang itu masuk ke dalam mobilnya.  Aksa menarik napas kemudian meniupkan udara dari mulutnya. Menggeleng pelan sembari melihat orang yang hampir seusia ayahnya. Namun, ada kejanggalan dari luka-luka pria itu. Dia seperti habis dipukuli.  Dia tak peduli. Yang jelas dia harus segera sampai ke rumah sakit. Harusnya sebagai pimpinan redaksi, pagi ini Aksa memimpin rapat. Sesampainya di rumah sakit, dia meminta petugas rumah sakit untuk segera mengangkat orang itu ke atas brankar. Dia begitu panik, berkali-kali pipinya menggembung bersamaan dengan mulutnya yang dibulatkan dan  meniupkan udara. Matanya sedikit membulat. Seorang perawat mengarahkannya untuk mengurus administrasi terlebih dahulu. Sebenarnya masalah apa yang akan dihadapinya setelah ini?   Setelah semua administrasi selesai, dia duduk menunggu di ruang tunggu. Jantungnya tak tenang, dia benar-benar resah, takut jika Polisi tiba-tiba datang dan membawanya. Namun, Setelah hampir setengah jam. Dokter keluar dari ruang Unit Gawat Darurat.  Aksa segera bangkit. “Gimana Dok?”  “Syukurlah Anda segera membawanya ke mari. Dia kehilangan banyak cairan,” terang pria muda berseragam putih itu.  Aksa mengernyit. Kenapa bisa? Bukankah dia menabraknya pelan? Jika parah pun mungkin korban akan banyak kehilangan darah. Jika kekurangan cairan, itu artinya sebelum kecelakan dia sempat mengalami hal lain.  Dokter itu mencoba menyadarkan Aksa dari lamunannya. “Apa anda ingin bertemu dengan pasien?” “Iya, Dok.” Aksa mengangguk, dia langsung mendorong pintu kaca itu. Berjalan pada seorang pria yang terkulai lemah di atas ranjang. Dia mengangguk ramah. “Bapak baik-baik saja? Saya minta maaf, Pak.” Pria itu menggeleng. “Tidak. Seharusnya saya berterima kasih,” ucapnya lemah. Kepalanya terkulai tak berdaya.  Aksa semakin bingung.  “Nama kamu siapa?” tanyanya pelan.  “Aksa, Pak.” “Nak Aksa, bisa tolong hubungi anak saya?” lirihnya.  “Tentu pak.” Aksa mengangguk dan merogoh ponsel. “Silahkan bapak masukkan nomornya.” Tangan lemah itu meraih ponsel dari tangan Aksa.  Aksa tidak begitu memperhatikan apa yang dikatakan Ardi pada anaknya. Yang ada dipikirannya saat ini dia harus ke kantor, karena ada hal penting yang harus diurusnya.  Setelah beberapa saat, Ardi memberikan ponsel itu pada Aksa. “Terima kasih, Nak.” Aksa hanya menjawabnya dengan senyuman tipis dan anggukkan kecil. Sesaat kemudian dia berkata, “Mohon maaf, Pak. Saya harus pergi, kebetulan pagi ini saya ada rapat penting.”  Pria itu mengangguk. “Tidak apa-apa. Pergilah Nak, sebentar lagi anak saya ke sini.” Aksa mengangguk. Dia berjanji akan kembali setelah urusannya selesai. Dia bukan orang yang terbiasa lari dari tanggung jawab. Setelah berpamitan, Aksa melenggang pergi meninggalkan orang itu terkulai lemah di atas ranjang rumah sakit dengan cairan infus yang masuk melalui pembuluh darah venanya. ***   Senja menutup langit.  Setelah turun dari mobil Aksa berlari di lorong rumah sakit dan langsung menuju ke tempat pria itu dirawat. Sesuai janjinya sore ini dia kembali.  Namun, seperti gelegar petir menyambar. Itulah yang Aksa rasakan begitu dia mendengar kabar bahwa pria itu meninggal.  Aksa mematung di depan jenazah yang tertutup kain putih. Seorang gadis menangis menutup wajahnya di pojok ruangan.  Dia tak percaya kejadian tersebut berlalu begitu cepat. Perlahan kakinya mundur dan menjauh dari kumpulan para petugas medis. Seorang perawat memberikan sepucuk surat pada Aksa. “Ada titipan dari almarhum, Pak.”  Aksa meraih kertas tersebut dan memasukkannya ke saku jas. Dia mendekat pada anak gadis yang duduk dengan lutut ditekuk. Kepalanya tertunduk. Dia juga menyembunyikan wajah di antara kedua lututnya.  “Saya minta maaf, karena telah menabrak ayah kamu.” Gadis itu menggelengkan kepala. Tapi, masih dengan posisi yang sama.  Aksa mengeluarkan amplop kuning yang cukup tebal, lalu meletakkannya di dekat kaki gadis itu. “Ini uang untuk membayar pemakaman ayah kamu dan segala sesuatunya. Biaya rumah sakit sudah saya lunasi. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya.” Dia juga meletakan kartu namanya.  Anak gadis itu masih terdiam. Namun, air mata terus terjatuh ke dasar lantai. Aksa duduk cukup lama di sebelahnya, niatnya untuk menenangkan. Namun gadis berambut coklat itu masih menyembunyikan wajahnya. Bahkan, dia tak menanggapi keberadaan Aksa.  “Kalau begitu saya pulang. Jika ada waktu, besok saya kembali.” Aksa beranjak dari duduknya. Dia melenggang pergi. Aksa tidak terlalu suka saat seseorang mendiamkannya, apalagi pura-pura tak melihatnya. Dia orang yang paling malas menunggu dalam hening. Bibirnya akan terasa gatal jika dia diam terlalu lama. Hatinya pun akan terasa mangkel jika hanya duduk-duduk saja.  Aksa masuk ke dalam mobil dan menancap gas. Kejadian tadi siang terus membayanginya. Dia ingat betul bagaimana pria itu tersungkur ke badan mobilnya. Dia tak pernah menyangka ternyata pertemuan mereka sesingkat itu.  Sesampainya di rumah, Aksa langsung ke kamar. Setelah mandi dan berganti baju, dia langsung merebahkan tubuh di ranjangnya. Menyangga kepala dengan kedua tangannya. Menatap langit-langit kamar, dia teringat gadis yang sedang berduka itu.  Kasihan memang, coba jika Aksa lebih bersabar dan mau  menemaninya. Tapi dia terlalu lelah, jika hanya duduk di temani detik jam yang terus berlalu.  Tiba-tiba sekelebat bayangan saat Perawat memberikan sepucuk surat dari pria itu terlintas begitu saja. Aksa bangkit dan merogoh kantong jas, setelah mendapatkan surat itu, dia kembali merebahkan tubuhnya.  Tangannya membuka lipatan kertas putih dengan logo rumah sakit. matanya bergerak membaca deretan kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat.  [Nak Aksa, terima kasih sudah menolong saya.  Nak, saya punya anak perempuan. Setelah kepergian saya, dia hidup sebatang kara. Tolong kamu lindungi dia dan nikahi dia. Agar saya bisa pergi dengan tenang.] Aksa terhenyak. Jantungnya mencelus. “Nikah?” Aksa berdiri. “Ini gila! Gue tahu gue memang jomblo, tapi untuk nikah dengan orang yang tidak pernah gue kenal? Hm ….” Aksa berdecak. “Omong kosong.”  Dia kembali menatap kertas itu. Datanglah ke rumah, jemput anak saya dan nikahi dia. Ini alamatnya.   Aksa memicingkan mata, mencoba mengenali alamat rumah pria itu. Apa dia harus mempercayai surat itu begitu saja?  Aksa terlihat bingung, dia mondar mandir, sembari berpikir keras tentang isi surat yang menurutnya benar-benar tak masuk akal.  *** Aksa tidak dapat berpikir, saat setumpuk pekerjaan menantinya di meja kerja. Pikirannya terpaku pada satu kejadian dan isi surat itu. Dia bingung, apa dia harus menjalaninya atau lari saja, siapa tahu anak pria itu tidak tahu dengan wasiat ayahnya.  “Tapi, lu harus siap, jika nanti bapaknya gentayangin elu.” Oji lewat begitu saja meninggalkan kalimat yang tidak bergunanya.  “Cih, gue nggak percaya hantu,” gumamnya.  “Bukan hantu, tapi pikiran dan rasa bersalah lu,” ucap Oji tepat di depan wajah Aksa. Bau asap rokok dari mulutnya menyeruak, merangsek masuk merusak paru-paru Aksa.  Aksa mengibaskan tangan ke kanan dan ke kiri. Sahabatnya ini memang kurang ajar, peringatan sudah jelas, tapi masih saja merokok di kantor.  Aksa menatap tawa riang seorang gadis di dalam foto yang terselip di dompetnya. Tawa itu selalu mengingatkannya pada masa lalu. Sampai saat ini Aksa masih menanti jawaban dari gadis itu, hanya saja entah berapa lama Aksa bisa menunggu dalam ketidakpastian.  “Cieee …,” goda Oji yang melihat Aksa sedang menatap dalam, sebuah foto yang sudah lusuh itu. “Itu foto setia banget ada di dompet lu dari SMA? Siapa si? Annisa?” Aksa tersenyum tipis.  *** Semburat jingga menemani derap langkah Aksa. Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Sebenarnya dia tidak dapat membayangkan apapun yang akan terjadi setelah surat wasiat itu sampai pada pemilik rumah joglo di depannya.  Dia meniupkan udara dari mulutnya yang sengaja di bulatkan. Menurut mantan pacarnya, saat panik wajah Aksa berubah lucu. Pipinya akan menggembung, lalu dia akan membuang udara yang mengisi pipinya dengan cara meniupkannya dengan perlahan dan bibir Aksa akan membentuk huruf O.  Dia berdiri di depan rumah kayu khas Betawi yang cukup bahkan sangat sederhana, tapi nyaman, teduh dan asri. Berkali-kali dia meyakinkan diri, benarkah ini rumahnya? Perlahan punggung jarinya mengetuk pintu. Kemudian dia berbalik untuk menyembunyikan kegugupannya. Sesaat kemudian terdengar derit pintu yang terbuka. “Siapa?” Suara lembut menyapa. Aksa berbalik, kemudian mengangguk. Tapi bibirnya terlalu kaku untuk tersenyum. “Saya Aksa.” Gadis yang baru saja menginjak usia 20 tahun itu, mengernyit. Rambut yang dicepol ke atas dengan anak rambut yang dibiarkan terjatuh membuatnya terlihat sangat imut. Terlihat sekali dari wajahnya yang begitu muda, sangat jauh dengan Aksa yang sudah menginjak kepala tiga. Apa dia tidak salah rumah? Mata sendu itu menatapnya. Bibir tipisnya mencoba bergerak, meski pelan tapi pita suaranya berhasil menghasilkan suara yang cukup enak untuk didengar. “Om siapa?” Aksa membuang muka. “Hah?Anjir! gue dipanggil om?” Dia mengernyit tidak suka.  “Apa bapak saya punya utang?” tanyanya lagi sembari keluar dan menutup pintu. “Silahkan duduk!” imbuhnya sembari menunjuk kursi kayu yang tersedia di dekatnya. Sepatu mengkilat Aksa sedikit menyilaukan mata gadis muda itu. Dia menelan air liurnya, kemudian duduk di sebelah meja. Dia menunggu apa yang hendak disampaikan tamu itu padanya.  “Kemarin bapak kamu memberikan surat wasiat ini pada saya.” Dia meletakkan selembar kertas yang masih dilipat itu di atas meja.  Gadis yang belum diketahui namanya itu, membuka lipatan kertas pertama, tapi kemudian berhenti saat Aksa berkata, “Saya Aksa.”  Dia mengangguk. Lalu membuka lipatan kedua. Matanya mulai fokus pada kalimat yang tersusun rapi di atas kertas. Dia kembali menelan air liurnya. “Ini apa?”  Aksa malah mengangkat bahunya. Sejujurnya dia juga tidak mengerti.  Gadis itu menurunkan bahu. Lalu meletakkan kertas itu kembali. “Saya tidak mengenal Anda. Dan saya tidak harus mempercayai surat ini,” ucapnya seraya bangkit. “Tunggu!” Aksa ikut bangkit. “Saya juga tidak mengenal kamu dan saya tidak mengenal bapak kamu.”  Ucapan Aksa berhasil membuat gadis itu semakin mengernyit. “Jadi, apa maksudnya? Apa itu palsu?” Aksa menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu, kemarin pagi saya yang membawa bapak kamu ke rumah sakit, dan saat saya kembali bapak kamu sudah meninggal. Lalu suster memberikan itu.” Dia masih mengernyit. Tapi kemudian dia mengingat sebuah ramalan yang dia dapat beberapa hari yang lalu. Ramalan yang menyebutkan bahwa dia tidak boleh menolak orang pilihan setelah badai besar menerpa hidupnya. “Jadi?” Aksa terlihat bingung. Belum pernah dia menghadapi masalah seaneh ini. Dia kembali mendaratkan bokongnya di kursi kayu. “Itu terserah kamu saja.” “Maksudnya?” Gadis itu pun mengikuti Aksa duduk kembali. “Saya Alika.” Aksa menoleh. Dia menatap gadis itu dan dia yakin sekali gadis itu terlalu muda dibanding dengan adiknya. “Kita tunaikan saja wasiat itu,” ucap Aksa tegas, meski hatinya masih bimbang. Gadis itu mengangguk saja. Dan tidak berpikir dua kali dengan keputusannya.  “Besok saya akan ke sini lagi,” tandas Aksa. Kemudian dia melenggang pergi tanpa menunggu Alika berbicara lagi.  *** Alika gelisah, dia menengok ke kanan dan ke kiri mencari seseorang. Seorang pria datang menghampirinya dari belakang, lalu menutup mata Alika dengan kedua tangannya.  “Jangan bercanda deh.” Alika mencoba melepaskan tangan itu. “Om, bukannya kita baru kenal?” Pria itu melepaskan kedua tangannya, lalu naik ke bangku dan duduk di sebelah Alika lalu menoleh. “Om?”  Alika tersenyum kering. “Bercanda kali, Dan, serius amat.” Alika bergelayut manja di lengan Danu.  Danu mendengkus.  “Dan,” ucap Alika mengejutkan. Dia menegakan tubuhnya.  “Mmmm.” “Maaf, aku harus putusin kamu.” Seperti disambar petir. Bukankah baru saja Alika memeluk lengannya? “Alasannya?” “Papakku ngasih wasiat, bahwa aku harus menikah.” “Hah?!” pekikkan itu keluar dari mulut Danu, seraya bangkit. “Kamu bercanda.” Alika mendengkus dan ikut bangkit. “Aku serius.” Dia merogoh saku dan memberikan surat itu pada Danu.  “Kamu kok kayak mainin aku, kamu nggak cinta sama aku?” tanya Danu sambil membuka lipatan kertas itu. “Ini pasti akal-akalan dia.” “Aku nggak tahu, tapi kayaknya dia serius deh.” Danu menghela napas. “Jadi?” “Jadi, ya kita putus. Aku mau nikah sama dia.”  Danu menggelengkan kepala. Dia heran pada Alika, berani-beraninya gadis itu memutuskannya tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Otak kamu di mana sih?” “Di sini.” Alika menunjuk kepalanya.  Danu geram dengan keculunan Alika. “Bloon”  “Ih Danu kok gitu sih?” Alika mengentakkan kaki.  “Harusnya kamu jangan terima dia dulu, buktikan dulu kebenaran surat ini.” Danu meraih tangan Alika dan meletakkan kertas itu di telapak tangannya. “Jangan-jangan papa kamu punya hutang sama dia.”  “Selamat siang.” Tiba-tiba Aksa sudah berdiri di depan mereka.  “Siang.” Danu menoleh. “Anda siapa?” Aksa menyodorkan tangan. “Saya Aksa.” Danu menatapnya dari atas ke bawah. Dia tak lantas meraih jabatan tangan Aksa.  Namun, tanpa tahu malu, Alika merangkul lengan Aksa. “Dia calon suamiku, Dan.” Dengan kasar Danu menarik dan menjauhkan Alika dari Aksa seraya berkata, “Kamu apaan sih? Nggak punya harga diri banget.” Alika meringis.  “Maaf ya, Om. Om serius mau sama anak ingusan kayak Alika?” cibir Danu. “Jangan-jangan om ini rentenir ya?” tuduhnya. Lubang hidung Alika mengembang. Dia menyeka hidung dengan lengan bajunya. “Nggak ingusan,” dengkusnya.  “Kamu benar, kenapa saya mau saja sama gadis ingusan seperti dia. Tapi surat wasiat itu?” Aksa menunjuk surat itu di tangan Alika dengan dagunya. Andai Danu tahu, Alika sendiri tidak ingin menerima Aksa begitu saja, tapi ramalan itu mengatakan, bahwa dirinya tidak boleh menolak pria berjas rapi itu. “Ganteng,” gumam Alika. Danu menggelengkan kepala? “Apa anda percaya?”  “Saya tidak ingin percaya. Tapi, malam itu saya melihat ayahnya meninggal dan Suster memberikan surat wasiat itu.” Aksa mengempas b****g di kursi, diikuti Alika.  Danu kembali menggelengkan kepala. Baru kali ini dia menemukan orang aneh seperti Aksa. Sudah cukup keanehan Alika baginya. Dia akan membuktikan surat itu adalah palsu.  Danu melenggang pergi meninggalkan mereka berdua. Alika bangkit dari duduknya. “Maaf tadi saya berani peluk-peluk, Om.”  Aksa mendelik. “Bisa nggak sih, nggak usah panggil om?” dengkusnya.  “Emang saya harus panggil apa? Bapak?” Aksa menarik napas. “Abang,” jawabnya singkat. Alika melenggut. “Jadi, untuk apa om- mmm, Bang Aksa minta untuk bertemu di sini?” “Itu tadi pacar kamu?” Alika mengangguk. “Udah jadi mantan 10 menit yang lalu.” Aksa tersenyum sinis. Apa dia benar-benar tidak salah orang? Apa dia benar-benar harus menikahi gadis seperti Alika? “Kekanak-kanakan.” “Hm?” Alika mendelik. Aksa segera bangkit. “Kenapa kamu mutusin dia?” Alika mengangkat kedua bahunya. Lalu dia duduk kembali di dekat Aksa. Sejenak Aksa memikirkan perkataan Danu. Sepertinya dia memang harus membuktikan keaslian surat itu.  “Om--” Alika menggelengkan kepala. “Maksudku Bang, Abang yakin dengan surat wasiat itu dari papa saya?” Aksa terdiam menatap gadis itu. Sebenarnya dia tidak yakin, dari semenjak dia menerima surat itu hatinya terus diselimuti keraguan.  ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.4K
bc

RAHIM KONTRAK

read
418.2K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook