bc

My Brother Friend

book_age16+
13.7K
FOLLOW
119.6K
READ
love-triangle
age gap
playboy
badboy
goodgirl
drama
comedy
bxg
affair
widow/widower
like
intro-logo
Blurb

Pernikahanku kandas karena orang ketiga. Dan akhirnya aku memilih pulang ke rumah orang tua. Tak di sangka justru di sana, aku bertemu dengannya. Lelaki seumuran adikku yang membuat hatiku jungkir balik dan duniaku kembali berwarna -- Gendis Wilujeng

Gue anti pacaran, tapi kalau gebetan gue banyak. Tapi sayang, justru hati gue jatuh pada pesona wanita dewasa yang biasa gue panggil Mbak Lujeng -- Kaivan Jayakrishna

chap-preview
Free preview
Part 1
Wilujeng "Mbaaaakkk ... dipanggil Ibu suruh bantuin masak." Suara Hendra adik satu-satunya yang kumiliki melengking di balik pintu kamar. Sudah sebulan aku kembali ke rumah orang tuaku setelah hakim mengetuk palu untuk perceraianku dengan Mas Bekti. Ya, aku Gendis Wilujeng yang sekarang berumur 28 tahun, harus mengakhiri jalinan rumah tanggaku dengan Mas Bekti, karena pria itu lebih memilih kembali bersama mantan pacarnya, setelah pernikahan kami yang sudah menginjak tahun ke lima. Tak perlu mengasihaniku, sungguh hidupku memang semenyedihkan ini. "Mbaaaakkkk!" Hendra kembali berteriak. Dengan malas akhirnya kubuka juga pintu kayu yang penuh gambar aktor Bollywood--Shahrukh Khan. "Bisa nggak sih, biasa aja manggilnya," sungutku disertai pelototan tajam. Hendra berdecak kesal. "Noh, bantuin Ibu di dapur. Tidur mulu kerjaannya!" "Kenapa bukan lo aja yang bantuin Ibu!" "Karena yang anak cewek itu elo, Mbak. Bukan gue! Udah sana ke dapur!" "Durhaka lu sama Kakak sendiri begitu." "Udah sana, nggak usah banyak omong. Jangan lupa iler tuh dielap," cela Hendra lalu bergegas lari ke kamarnya sebelum aku berhasil menjitak kepala berambrut ikal itu. "ADEK GILAAA!!" teriakku penuh emosi. "Gendis Wilujeeeengg." Nah, kalau ini suara Ibu Ratu di rumah ini. "Iya, Ibuuuu," sahutku dengan suara kubuat semerdu mungkin. Kakiku melangkah malas menuju dapur dan kudapati Ibu tengah sibuk mengaduk adonan kue. Aku memilih duduk di depan Ibu sambil menopang wajahku dengan kedua tangan. "Kamu, Ibu panggil kesini buat bantuin, bukan buat nonton." "Lujeng kan nggak bisa bikin kue, Bu. Kalau Ibu suruh Lujeng masak rendang, baru Lujeng semangat," protesku dengan wajah kutekuk sejelek mungkin. "Bisa itu karena terbiasa. Cinta ada juga karena terbiasa. Jadi ...." "Kata siapa cinta karena terbiasa?" sergahku. "Buktinya Mas Bekti justru ninggalin aku dan CLBK sama mantannya. Kalau memang dengan terbiasa hidup bersama bisa menumbuhkan cinta, nggak mungkin dia ninggalin aku, Bu," jelasku pada wanita yang kini tengah menatapku dengan kelopak mata melebar. Mungkin terkejut mendengar ucapanku. Ya ... pernikahanku dan Mas Bekti terjadi karena perjodohan yang dicetuskan oleh ke dua orang tua kami. Selama pernikahan kami, Mas Bekti adalah sosok suami bertanggung jawab. Nafkah lahir batinku dipenuhinya dengan baik. Pun meski bertahun-tahun kami belum juga diberikan keturunan, dia tak pernah mempermasalahkannya. Namun, cobaan justru hadir ketika mantan kekasih Mas Bekti bercerai dengan suaminya. Entah siapa yang memulai akhirnya mereka menjalin hubungan kembali dan terendus olehku beberapa bulan lalu sebelum perceraian kami. Ah, sungguh ... mengingat itu hatiku terasa ngilu. Ibu duduk dan menatapku sendu. Meraih tanganku dan diusapnya lembut, membuatku kembali tenang setelah amarah kembali hadir hanya dengan mengingat perselingkuhan Mas Bekti. "Maaf, Ibu nggak bermaksud membuat kamu mengingatnya lagi. Maaf karena keegoisan kami, para orang tua, harus membuatmu menderita," tutur Ibu penuh penyesalan, disertai kaca-kaca di kedua matanya. Ah, kenapa jadi melow gini sih! Aku nggak akan kuat melihat wanita yang paling kucintai di dunia ini, menangis. "Bu ...." "Jangan pelihara dendam di hatimu, lupakan, lepaskan semuanya. Semoga Allah mengganti dengan kebahagiaan lainnya." Lupakan gimana, Bu? Sakitnya itu lho, Bu, nggak tergambarkan. "Amin," gumamku lirih. "Ini pada mau masak apa curhat sih?" Suara Hendra menginterupsi kami dan seketika membuat kami menoleh padanya yang tengah berdiri dengan tubuh bersandar pada dinding dan tangan bersedekap. Ekspresi wajahnya itu yang tak kusukai. Tengil. "Apa sih, Dek. Ganggu aja lo," sungutku. Hendra mulai berjalan ke arah kami. Senyuman mengejek terpampang jelas di wajahnya campuran sok ganteng dan tengil. Dia duduk di sisi kananku, berhadapan dengan Ibu. "Cowok kayak Bekti, nggak usah diinget-inget lagi kali, Mbak. Nanti gue kenalin ke temen-temen gue deh. Siapa tahu ada yang mau sama cewek yang jam segini masih bau iler." Tuh kan mulutnya minta dicabein. BUGH ! Kupukul lengannya sekeras mungkin. Dan dia mengaduh kesakitan. "Kalian ini udah pada dewasa tapi kelakuan masih kaya anak kecil aja." Heran Ibu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mbak, makan apa sih? Badan kecil tapi mukulnya sakit banget," gerutu Hendra yang masih mengusap-usap bagian lengan yang kupukul tadi. "Lebay!" Percekcokan antara aku dan Hendra terhenti ketika terdengar oleh kami, seseorang mengucapkan salam. "Assalamualaikum." "Siapa sih, pagi-pagi gini mertamu," gerutuku pada tamu yang entah siapa itu datang di jam yang masih menunjuk pukul delapan pagi. Menurutku masih terlalu pagi buat berkunjung ke rumah orang. "Nggak boleh ngomong gitu, udah sana siapa yang mau bukain pintu," perintah Ibu, menyuruh salah satu diantara kami untuk membukakan pintu. "Lo aja, Mbak. Gue mau ke kamar mandi dulu." Aku berdecap kesal. Namun akhirnya beranjak juga begitu melihat Ibu justru sibuk menuang adonan ke dalam loyang. Suara salam terdengar kembali, kali ini dibarengi dengan ketukan di daun pintu. "Wa'alaikumsalam,” jawabku. Kubuka pintu perlahan, yang seketika menampilkan sosok laki-laki jangkung dengan wajah baby face ala oppa Korea. Untuk beberapa detik aku terpana dengan pesonanya. Namun kemudian tersadar saat dia menggerak-gerakkan tangannya di depan wajahku. "Mbak." Inget umur, Lujeng! "Eh—iya, maaf Mas mau cari siapa?" tanyaku dengan suara yang kubuat sebiasa mungkin. "Cari Hendra, Mbak. Ada?" "Oh, Hendra. Ada kok." Kubuka pintu lebih lebar. "Masuk dulu, Mas," kataku mempersilakan. Lelaki yang ku tak tahu namanya itu mengikutiku masuk ke dalam rumah. "Duduk dulu, gue panggilkan Hendranya." "Makasih, Mbak." Aku kembali memasuki dapur dan menemukan Ibu sedang menyuci peralatan baking-nya. "Bu, Hendra mana?" "Lagi jemur handuk di belakang. Siapa yang datang, Nduk?" "Laki-laki, nyari Hendra. Lujeng nggak nanya namanya." "Yaudah kamu tolong bikinkan minum, ya. Ibu mau mandi dulu." "Nggih, Ndoro," jawabku setengah bercanda. Dan langsung mendapatkan pelototan dari Ibu. Kukeluarkan dua cangkir beserta alasnya dari lemari penyimpanan. Karena tidak tahu dan tadi tidak menanyakan Si Tamu minuman apa yang dia mau, akhirnya kuputuskan membuatkannya teh hangat. "Ada tamu siapa, Mbak?" Hendra muncul dengan wajah penasarannya. "Nggak tahu. Nyariin kamu." Hendra hanya ber-oh-ria. "Ya udah, gue temuin dulu." "Bawa nih sekalian, gue mau mandi." "Ck. Udah ganteng gini masa suruh bawa-bawa baki sih, Mbak," protesnya. "Bodo. Temen lu inih," sahutku sambil berlalu menuju kamar mandi. . . Kaivan "Woy, Bro. Apa kabar lo?" Setelah beberapa menit gue menunggu, akhirnya orang yang gue cari keluar juga. Dia meletakkan nampan berisi dua teh hangat yang masih mengepulkan uapnya di atas meja. "Kalau gue sakit, nggak mungkin sekarang gue di sini," jawab gue sekenanya. "Paling bisa emang lu jawabnya." Kita tergelak bersama. "Ini lo yang bikin?" tanya gue sedikit penasaran disertai senyum jail gue. "Gila aja lo, gue bikin yang beginian. Bisa pudar ketampanan gue." Receh banget kan, Hendra ngeles—nya. "Terus siapa yang bikin?" "Mbak gue. Eh maksudnya Kakak perempuan gue." "Kakak?" tanya gue terkejut dan gue yakin dahi gue mengernyit namun tak akan mengurangi kadar ketampanan gue, pastinya. Hendra mengangguk, "Iya. Yang tadi bukain pintu itu Kakak gue." "Kok gue nggak pernah tau lo punya Kakak perempuan?" "Lo nggak nanya." Noh, sialan banget kan jawabnya. "Maksud gue, kok gue nggak pernah lihat doi di rumah ini.” "Dulu dia emang tinggal di Jakarta ikut suaminya." Gue hanya mengangguk, menyimak ceritanya. "Karena sekarang udah pisah sama tuh laki-laki berengsek, jadi dia pulang kemari," jelasnya dengan nada kesal yang begitu kentara. "Maksud lo cerai?" tanyaku memastikan. "Iyalah ogeb, kalau suami istri pisah, apalagi namanya kalau bukan cerai," jawabnya sedikit ngegas. "Selow dong, gue cuma mastiin." Akhirnya pembicaraan berganti topik dari soal pilpres, cewek yang berhasil gue ajak kencan lalu beralih ke yang lebih serius. Apalagi kalau bukan urusan duit. Sudah dua tahun ini kami memang bekerja sama membuka sebuah kafe yang kami beri nama Warung Gokil. Saat ini baru ada dua cabang, di Purwokerto dan Semarang. Namun, melihat antusias pelanggan yang cukup banyak, membuat kami optimis untuk membuka cabang-cabang selanjutnya. Saat kami masih menekuri layar laptop. Kakak Hendra turut gabung di ruang tamu dan duduk di seberang kami. "Tumben jam segini udah mandi," celetuk Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan langsung mendapat lemparan bantal dari Kakaknya. "Berisik lu!" Gue hanya tersenyum kikuk dan kaget melihat interaksi Kakak—Adik ini, yang konyol tapi justru membuat keduanya terlihat akrab. Berbeda dengan gue dan Kakak perempuan gue. Kami lebih banyak saling diam saat bertemu. "Untung nggak kena lappy gue, Kak. Baru ini lho." Hendra mengusap-ngusap punggung laptop pelan membuat gue menggelengkan kepala. "Amit-amit lu emang!" Sengitnya. Dia berdiri, "Udah ah, mending gue ke kamar dari pada di sini lihat orang pada sok sibuk." "Eh tunggu, kenalin dulu, Mbak." Hendra menahan langkah Kakaknya. Gue dan Kakak Hendra saling berpandangan sejenak. Lalu berbarengan mengulurkan tangan masing-masing. Kami saling menggenggam. "Gendis Wilujeng." "Kaivan Jayakrishna." Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

LARA CINTAKU

read
1.5M
bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

Broken

read
6.2K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.1K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

The Ensnared by Love

read
103.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook