bc

The Truth Prince

book_age18+
190
FOLLOW
1.2K
READ
royalty/noble
icy
male lead
soldier
supernatural
special ability
weak to strong
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Liam Hander adalah pria biasa yang hanya ingin mendedikasikan diri untuk mensejahterakan kedua adiknya. Pada suatu malam yang sial dia sampai ke centralium HA (Hidden Army) dan menerima suntikan cairan HA. Hidupnya yang biasa pun berakhir, namun akankah dia menerima takdirnya tersebut?

Cover picture: pinterest

Font: Canva

chap-preview
Free preview
Prolog
"Liam, aku pulang!" Seruan keras di seberang mengalihkan matanya dari layar komputer. Annie Jhonson berada di daun pintu. Masih menunggu izinnya. Ia mengangkat tangan kanannya ke udara, menggerakkan ke kanan dan kiri. "Yo, hati-hati." Bibir Annie tertarik ke atas. "Kau juga. Ini sudah tengah malam. Aku yakin ada banyak hantu yang berkeliaran." Sudut bibir Liam memecah tawa kecil. Hantu? Lelucon macam apa itu? Annie mengeratkan tas di lengannya. “Baiklah, aku pulang. Bye-bye, Liam." Langkah ringan ditarik Annie pergi. Liam yang melihatnya tersenyum kecil. Bagaimana bisa Annie tetap ceria setelah 15 jam bekerja? Bukankah itu sungguh aneh? Ah tentu saja tidak. Dia adalah Annie Jhonson. Perempuan tangguh EA. Liam kembali pada layar komputer. Suhu udara terasa lebih dingin di kulitnya. Selain larut barangkali karena ruangan telah sangat longgar untuk udara berlalu lalang. Ia hampir selesai, tapi mulai merasa tidak tahan akan dingin yang melingkupi. Baiklah, besok saja. Dia menyimpan data, mematikan komputer dan kemudian mengemasi barang. Ia sedikit menyesal karena tidak sekalian pulang bersama Annie padahal selang waktunya berdekatan. Sudahlah. Ia tidak ada kesempatan lagi untuk mengeluh. Ia menarik zipper jaket kulitnya, menjadikan tubuhnya tercetak jelas. Kemudian ia meraih tas ke lengannya dan berjalan keluar. Satpam penjaga bergegas mengunci pintu setelahnya. Langit sudah tampak terlalu pekat. Bintang tidak terlihat bahkan sebiji pun. Kegelapan yang sangat kental sekali. Ia tiba-tiba merasa sesuatu yang tidak nyaman di sudut hatinya. Dia membenci perasaan itu karena semakin menjadi ketika ia melalui gang gelap yang kotor. Ini bukan pertama kali baginya. Dia telah melalui gang tersebut sejak 6 tahun lalu mulai bekerja sama di EA. Gajinya tidak lah banyak. Hanya 450 dolar per bulan. Lalu uang itu akan dijadikannya jaminan kesejahteraan untuk kedua adiknya. Avana Hander adalah adik pertamanya yang selalu bekerja keras di sekolah. Nilai-nilai bagus dan ragam prestasi selalu dihadiahkannya kepada Liam. Itu bukan hanya kebanggaan, tapi juga tuntutan bagi Liam bahwa sang adik ingin selalu bertahan di sekolah. Sekolah internasional yang dimasuki Ava tidaklah murah. Apalagi di sana menerapkan sistem asrama. Dalam per bulan Liam minimal harus mengirimkan 150 dolar untuk administrasi sekolah. Lalu dia tidak mungkin membiarkan adiknya tidak seperti remaja kebanyakan yang bersenang-senang atau sekedar membeli beberapa pakaian, maka ia menambahkan 100 dolar lagi untuk sang adik. Genesis Hander, adik keduanya yang sangat pengertian. Dia selalu ingin mengalah agar sang kakak tidak perlu mengeluarkan begitu banyak uang. Mimpinya juga sebenarnya teramat tinggi, dia ingin menjadi dokter. Namun dia menguburnya lantaran takut Liam tidak mampu. Karena terlalu perhatian pada Liam, Gene bahkan tidak akan menagih uang sekolah. Ia diam-diam mengambil part time di salah satu coffee shop. Liam merasa bangga dan terharu akan sang adik yang tampak peduli padanya, tapi di saat bersamaan ia merasa gagal karena tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Helaan kasar keluar dari bibirnya. Disusul oleh sesal karena masih belum berhasil menyejahterakan Gene. Apa yang bisa dia lakukan? Dia hanyalah seorang pria 24 tahun tanpa ijazah SMA. Pekerjaan begini saja sudah merupakan berkat baginya mengingat di luar sana banyak orang dengan pangkat sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan. Tuhan mungkin akan marah jika dia mengeluh lebih jauh. Karena hidupnya sebenarnya sudah cukup baik dari beberapa orang lainnya. Liam akhirnya menekan sabar dan mengucap syukur dalam hati. Di kejauhan remang cahaya menyambut. Nafasnya terasa sedikit lega karena tidak lama lagi hidungnya akan terbebas oleh bau busuk gang yang ia lalui. Stasiun kereta api di jam segini tentulah telah sepi. Tapi ia merasa ganjil karena sebuah kereta berada pada relnya dan tampak ramai dikerumuni orang-orang. Seluruhnya mengenakan warna hitam. Atasan didominasi oleh jaket kulit dan bawahan celana hitam ketat. Pikirannya dalam sekejap mengarah pada agen-agen rahasia. Biasanya mereka mengenakan warna hitam sebagai warna utama. Dan lagi tubuh-tubuh pria ramai itu tegap dan kekar. Jelas bukan warga biasa. Di dalam Justine tampak kalang kabut karena anggotanya masih kurang satu lagi. Jika dia tidak salah itu adalah seorang anggota baru yang direkrut oleh Eric. Ia berlari terburu-buru melampaui kelompok lain, kedua tangannya menahan pintu dan lehernya kemudian menoleh ke kanan. Pria tinggi dan tegap. Tampak sesuai seperti yang Eric katakan. "Apa yang kau lakukan di sana, bodoh? Cepat!" Bola mata Liam melebar. Pria berambut cokelat di pintu kereta itu menusuk kesal matanya. Itu berarti kalimat yang dilontarkan juga untuknya. Liam mengerutkan dahi. Apa dia pernah mengenal orang itu sebelumnya? Justine memiliki kendali emosi yang buruk. Jadi dia tidak bisa bertahan melihat pria itu hanya diam di sana. Ia melompat turun. Pria yang tidak dikenal dan situasi ganjil. Secara naluri Liam menarik mundur kakinya. Tangan besar Justine meraih tangannya. Dalam sekejap Liam merasa otot lengannya melemah, sakit seperti tertimpa ribuan ton besi. "Aku tahu kau cukup terguncang, tapi jangan membuatku emosi. Sana masuk!" Justine mendorong Liam ke depan. Saat kaki Liam tidak segera beranjak dia mendorongnya lagi. Kekuatan besar membuat Liam terjatuh menghantam lantai. Ia sungguh tidak tahan lagi akan pria lemah di depannya. Jadi dia menarik kerahnya dan melemparkan masuk ke dalam kereta api. Enam pasang mata mengarah padanya. Dua di antaranya adalah wanita, tapi tatapan yang diberikan sama mengerikannya dengan pasang mata pria lainnya. "Apa kau saudara Eric?" tanya salah seorang dari mereka. Kakinya ingin limbung ke belakang. Eric siapa? Dan apa-apaan ini? Matanya melampaui bahu orang-orang di hadapannya. Seluruh lorong kereta penuh dengan orang berpakaian hitam. Pria adalah yang mendominasi. Matanya tanpa sengaja jatuh pada beberapa orang. Mereka memiliki senjata api di tangan. Dia langsung mengerti. Semua yang ada di kereta ini bukanlah orang-orang lurus. Pintu ditutup keras. Suaranya mengejutkan Liam. Ia hendak menggapainya, tapi Justine telah berdiri di sana dan memberikannya sorot marah. "Jangan berpikir untuk kabur. Ini sudah risiko dari perjanjian yang kau buat." Perjanjian apa? Ingin Liam berteriak demikian, tapi sesuatu yang besar mengganjal tenggorokannya. Memaksa dia untuk tetap diam di tempat. Jessi tertawa miring melihat wajah baru di depannya. Tubuh kekar dan wajah tampan, tapi rautnya tampak tidak sinkron. Memalukan benar. "Untuk apa kau membawa tas? Ini bukan piknik," ledeknya membangkitkan tawa dari rekan-rekannya. Justine tidak suka keributan. Karena itu dia membentak cepat. "Diam!" Semua wajah yang tertawa sirna. Menambah pemahaman pada Liam bahwa si rambut coklat memiliki kedudukan lebih tinggi. Kereta terasa bergerak. Dia tidak tahu tujuannya akan ke mana dan apa yang akan terjadi. Meski demikian Liam berdiri dengan tenang. Ia telah tahu bahwa keberadaannya di kereta adalah kesalahan, untuk menjamin keamanan diri maka tidak ada cara lagi selain dia berpura-pura. Liam hampir mengantuk saat kereta tiba-tiba berhenti. Di luar adalah kegelapan. Hanya sedikit remang cahaya yang tampak. Itu pun tidak mampu membuat dia melihat seluruh keadaan, tapi kalau dia tidak salah mereka berada di rel bawah tanah. Justine menggeser pintu kereta. "Cepat!" serunya kemudian. Desakan ingin keluar menghantam telinga Liam. Ia menggeser mundur, memberikan orang-orang jalan lebih dulu untuk keluar. "Hey, bodoh. Cepat! Kau bisa ketinggalan rekanmu." Niat kabur Liam sirna mendengar itu. Semakin pupus karena Justine mendorongnya paksa. Orang-orang bergerak masuk ke lorong kegelapan. Rel di bawa kaki Liam terasa begitu dingin. Aroma karatnya pula menusuk tajam ke hidung. Tidak ada yang bisa ia lihat sampai Justine mengangkat senter. Lalu salah satu wajah tidak dikenal menarik penutup lubang tanah. Satu persatu rekannya tadi meloncat masuk. "Yo biar kubantu." Jessi mendorong Liam. Kakinya tidak sempat bertahan dan membuat ia terjatuh, merosot menyentuh lubang dingin dengan bau karat kental. Lorong tampak panjang. Tabrakan dari Jessi di belakang mendorong tubuhnya merosot lebih jauh. Akhirnya ia melihat secercah cahaya terang, pertanda bahwa itu akhir dari perjalanannya. Brukk Ia terjatuh, cepat-cepat bangkit mengingat ada banyak orang menyusul di belakangnya. Ruangan kosong. Langit-langit tinggi dan didominasi oleh warna abu yang kotor. Saat gesekan batu terdengar aroma obat-obatan kuat menyeruak hingga membuat perutnya mulas. "Cepat-cepat!" Beberapa pria berpakaian putih datang dari lubang di dinding tersebut. Masing-masing dari mereka mendorong satu kereta penuh suntikan. Orang-orang bergerak cepat, mengambil suntikan, lalu menusukkan langsung ke kulit mereka tanpa berpikir panjang. "Apa lagi yang kau tunggu?" sentak Jessi tidak bisa menahan kesal akan Liam yang tampak bodoh. Ini pertama kali baginya melihat pria sejenis Liam di dalam grup. Tangan Liam bergerak pelan mengambil salah satu suntikan. Ia memandangi isinya. Mungkinkah narkoba? Justine menggertakkan gigi akan kebodohan anggota barunya. Dia pikir ini waktunya meneliti? Tentu saja tidak. Ini waktunya harus bergerak cepat. Ia meraih kasar suntikan dan memegang leher Liam. Berat berton melemahkan lehernya. Maka saat jarum suntik menusuk kulit dia hanya bisa berdoa semoga itu bukanlah narkoba atau semacam virus berbahaya. "Ayo kembali." Justine menarik tangannya dari leher Liam. Berat yang terangkat memberikan Liam kelegaan. Tapi ia merasa pegal luar biasa di tengkuknya. Sekarang dia jadi ingin tahu. Apakah pria berambut coklat itu benar-benar manusia? Berdasarkan perkiraannya paling-paling hanya memiliki berat badan 80 dengan tinggi 190 cm. Namun mengapa dia merasa tertimpa ribuan ton besi? Sungguh aneh. Grup Justine adalah yang pertama kembali ke dalam kereta. Setelah seluruhnya lengkap kereta pun kembali berjalan. Keributan tidak ada sama sekali. Hampir setiap orang tampak lemah. Ketakutan menyergap hati Liam. Mungkinkah cairan yang tadi disuntikan benar-benar racun? Tapi dia tidak merasakan apa-apa di tubuhnya. Masih sama saja seperti saat pertama kali masuk. Ah dia tidak peduli. Yang penting saat ini penyamarannya berhasil dan dia akan segera kembali. Ia menyandarkan kepala ke kursi. Kasihan, Gene pasti tidak bisa tidur. *** Gene merengut melihat jam di dinding. Telah menunjukkan pukul setengah tiga pagi, tapi sang kakak belum kunjung pulang. Ia beranjak dari kursi, menyibak gorden untuk melihat keadaan di luar. Embun menempel di kaca, menunjukkan bahwa suasana di luar teramat dingin. Jalan setapak begitu sepi. Tidak ada lalu lalang manusia. Ia telah menelepon Kak Annie. Katanya Liam akan lembur. Namun ini berbeda dari lembur biasanya. Pukul 1 adalah batas terakhir Lima kembali, tapi kenapa hari ini sampai setengah tiga? Gene ingin menghubungi Ava. Tapi setelah berpikir bahwa sang kakak juga tengah tertidur, maka dia memutuskan menanggung sendiri rasa khawatirnya. Orang tuanya telah meninggal sejak dia berusia 11 tahun. Itu adalah keruntuhan hidupnya yang pertama. Ia berpikir segalanya akan berakhir. Dia akan sebatang kara mengurus diri tanpa pondasi. Saat itu Liam yang berusia 19 terpaksa naik menjadi tulang punggung keluarga. Dia dan Ava tidak bisa membuat banyak harapan mengingat sang kakak memiliki kehidupan sendiri dan telah tampak dewasa. Pastilah dia memiliki hal penting lain selain mereka untuk diurus. Kesalahan besar karena itu tidak benar sama sekali. Liam memenuhi tanggung jawab dengan sepenuhnya, mengembalikan kehidupan dia dan Ava ke situasi semula. Mereka masih memiliki sandaran untuk hidup. Saat ini mengingat Liam tidak kembali membuat Gene berpikir dia akan kehilangan sandaran. Umurnya masih 16. Memang telah cukup untuk mandiri, tapi keberadaan Liam adalah pondasi penting. Gene tidak tahan akan letupan-letupan ketakutan di hatinya. Jadi dia menutup kembali gorden dan mengambil jaket dari kamar. Ia akan menyusul Liam ke EA. Itu jalan satu-satunya untuk menyelesaikan rasa khawatir di hatinya. Angin dingin menyambut saat dia keluar. Ia tidak peduli, yang terpenting saat ini adalah menemukan Liam. Gene melalui jalan sepi. Remang-remang cahaya dan keheningan terasa mengerikan. Namun niat kukuhnya tidak bisa terlawan. Di stasiun, kereta telah berhenti. Semua orang buru-buru keluar. Liam juga menjadi salah satunya. Ia menabrak yang lain dan mendobrak keluar. Nafasnya langsung lega. Justine memanggil untuk pengarahan, tapi dia berlari cepat meninggalkan stasiun ke gang di sisi kiri. Kakinya berpacu semakin cepat memikirkan ketakutan Gene di rumah sendirian. Tanpa sadar ia hanya membutuhkan lima menit dari stasiun untuk sampai ke perumahan mereka. Samar-samar ia melihat seorang perempuan di bawah keremangan lampu mengarah padanya. Nafasnya memburu melihat kelengkapan sosok tersebut. Rambut hitam panjang sepinggang yang terurai seperti sutra, poni pendek dan bola mata coklat indah. Itu adalah Gene. "Gene!" serunya. Si pemilik nama terlonjak. Berubah bahagia melihat sosok Liam berlari padanya tanpa cacat. "Kakak." Ia menghambur ke pelukan Liam. Mencengkram kuat kukunya pada jaket kulit yang melapisi tubuh kakaknya tersebut. "Aku pikir kakak meninggalkan aku." Liam mencelos mendengarnya. Adiknya memiliki trauma kehilangan orang-orang di sekitarnya. Jadi dia tidak heran akan reaksinya. "Apa yang kamu katakan?" Liam mendorong pelan tubuh Gene dan meletakkan tangan di kedua bahunya. "Kakak tidak akan pernah meninggalkan kamu. Tadi kakak hanya tengah lembur. Ada banyak dokumen yang harus diurus." Gene mengusak sudut matanya yang telah berair. "Aku tahu," katanya serak. "Tapi aku tetap takut kakak tidak kembali." Bulir air matanya tidak tertahan, tumpah membasahi pipi putihnya begitu saja. Liam menarik cepat wajah Gene ke dalam dadanya. "Itu tidak akan pernah terjadi. Kakak tidak akan meninggalkan kalian berdua. Tidak akan!" Bukan hanya kalimat. Itu adalah janji Liam kepada dirinya sendiri. Dia tidak akan meninggalkan Gene maupun Ava.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Scandal Para Ipar

read
693.5K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
623.9K
bc

PLAYDATE

read
118.7K
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.9K
bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.2K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook