“Mau sampe kapan sih lo bikin masalah, Bang?”
Kupingku sudah sangat kebal mendengarnya terus menggerutu. Seharian ini dia sibuk memberikanku ceramah dadakan. Aku melakukan kesalahan entah untuk kali keberapa. Raditya. Raditya. Raditya. Sepertinya agensiku salah memilihnya sebagai manager. Ia lebih cocok untuk menjadi pemuka agama.
Mungkin Raditya sudah begitu lelah menghadapiku dengan segala masalah yang kutimbulkan. Setiap terjadi masalah, maka ia yang akan maju pertama kali untuk pasang badan. Seperti kemarin. Raditya langsung menghadapi para penggemar yang merasa kecewa setelah kubanting gelas ke lantai. Usulan menggelar jumpa penggemar pun adalah idenya. Bukan ideku.
“Masalah apa, sih?’ sahutku malas.
“Please janji sama gue. Jangan bikin gue mati muda. Gue capek kalo selalu disuruh nyelesein masalah lo.”
“Lo digaji gede kan emang untuk itu, Dit. Lupa? Kalo nggak mau ya berhenti kerja aja.”
“Sembarangan mulut lo. Mau makan apa gue sama keluarga gue?”
“Nah, itu pinter. Lo tenang aja. Gue ikutin usulan lo. Sekarang, lo atur aja semuanya. Kayaknya kemaren gue salah ngomong. Gue bilang siapa yang mau boleh ikut. Kalo begitu caranya, pasti bakalan banyak banget yang dateng. Lo undang aja secara langsung mereka yang kemaren dateng. Lo juga boleh nambah beberapa orang lagi di luar mereka. Paham, kan?”
“Paham, Bang.”
“Yaudah, gue mau pergi dulu.”
“Mau ke mana?” sahutnya cepat. “Jangan aneh-aneh. Masalah yang ini belum sepenuhnya selesai. Lo nggak boleh ke mana-mana dulu.”
“Duh, sorry. Yang bawah udah nggak bisa nahan.” Kulempar pandangan ke tubuh bagian bawahku.
“Dasar orng gila!”
“Gue mau jemput Sofia.”
“Pake pengamannya! Awas aja kalo nanti sampe ada yang ngadu bunting anak lo.”
“Bawel banget lo kayak ibu-ibu pengajian dagang kudungan.”
OoO
Aku tiba di restoran tempat Sofia bekerja. Baru beberapa hari ini aku mengenalnya. Dan selama beberapa hari itu pula aku rutin menjemputnya pulang kerja.
Aku memang gila dan ... b******k. Kudekati Sofia agar ia bisa memuaskanku di ranjang. Hari ini bukan kali pertamaku tidur dengannya. Yang membuatku terkejut adalah ... Sofia sudah sangat begitu lihai di atas ranjang. Aku bukanlah yang pertama baginya.
“Ke kosan kamu?” tanyaku pada Sofia. Ia mengangguk. “Kenapa nggak ke apartemenku aja kayak sebelumnya?”
“Nggak apa-apa, Chef. Kosanku lebih deket dari sini. Chef udah nggak tahan banget juga, kan?” ucapnya menggoda.
Ya Tuhan, aku sudah tak bisa lagi menahan gejolak ini.
Aku menatap lurus ke arah sebuah bangunan bertingkat tiga yang ada di hadapanku. Aku memang selalu mengantarnya pulang ke sini setelah permainan kami usai dimainkan. Sofia bilang kalau tempat kos ini bebas, dalam artian siapapun boleh berkunjung dan bermalam.
Sofia segera memimpin jalan. Kamarnya ada di lantai dua. Sofia segera menyalakan pendingin ruangan sesampainya di kamar. Aroma kopi dari pengharum ruangan yang tergantung di pendngin ruangan puns eketika langsung menyebar. Segar.
“Aku mandi dulu ya, Chef. Biar segar. Chef mau mandi juga?”
“Aku udah mandi. Kamu aja yang mandi. Aku tunggu di tempat tidur, ya.”
Aku sudah siap dan berbaring di atas tempat tidur. Sembari menunggu Sofia, aku pun mengecek ponselku. Ada satu pesan yang dikirim Raditya.
[Radit : Gue udah atur soal meet and greet. Lo tinggal ACC. Kita bikin kayak acara makan siang bareng aja. Biar nggak terlalu kaku.]
[Yasa : Lo atur aja. Gue oke.]
Kuletakkan ponsel di atas nakas sesaat kudengar handle pintu kamar mandi yang berputar. Sofia sudah terlihat sangat segar dengan rambut yang basah. Sungguh dia hanya membuang-buang sampo.
Dengan bathrobe, Sofia berjalan menghampiriku ke atas ranjang. Sofia mulai memainkan jari-jemarinya di atas permukaan kulitku. Membangkitkan sesuatu yang sedari tadi sudah tak tahan meminta untuk dipuaskan.
“Sebentar.” Tangannya merogoh ke dalam laci nakas. “Pake ini dulu.”
“Kamu yang pakein ya,” godaku yang membuatnya memerah.
OoO
Kami berdua tergelepar kelelahan detelah permainan panjang beberapa ronde malam ini. Rasanya memang sama dengan beberapa wanita yang kerap kali menemaniku di atas ranjang. Yang membuatnya beda adalah ... Sofia bukan seorang yang terkenal, berbeda dengan mereka. Kebanyakan dari mereka adalah sesama entertainer yang bekerja di dunia hiburan.
“Sof, kamu tau kan kalo aku cuma butuh kamu untuk muasin aku?” ucapku. Sofia mengangguk. “Kita melakukannya nggak ada unsur paksaan, kan?”
“Iya, Chef. Udah berapa kali Chef Yasa ngomongin masalah ini ke aku. Chef tenang aja. Aku nggak akan muncul tiba-tiba dan nuntut pertanggungjawaban Chef Yasa, kok. Tenang aja ya, Chef. Toh, apa yang kita lakuin ini simbiosis mutualisme, kan? Aku butuh, Chef juga butuh.”
“Makasih ya, Sof.” Aku menata tajam wanita yang beberapa saat lalu berada di bawah tindihanku. Sofia kembali mengangguk sebelum akhirnya ia merangsek masuk ke dekapanku.
“Chef nggak mau nikah emangnya?” tanya Sofia tiba-tiba.
“Ada angin apa kamu kok tiba-tiba nanya hal kayak begini?” sahutku.
“Ya nggak ada apa-apa, sih. Chef udah pantes nikah, lho.”
“Nggak ada yang mau nikah sama aku, Sof. Kamu juga paling nggak mau nikah sama aku, kan?”
“Iya juga, sih. Aku udah punya pacar, meskipun kami LDR-an. Tapi, masak iya nggak ada yang mau sama Chef? Aneh banget.”
“Mana ada perempuan yang mau sama laki-laki b******k kayak aku, Sof? Kerjaannya cuma tidur sama cewek-cewek. Seburuk-buruknya cewek juga pasti mau laki-laki baik untuk jadi suaminya, kan?”
“Chef orang baik, lho. Sering kasih aku uang jajan,” ujar Sofia.
“Itu beda urusannya, Sof,” kekehku. “Dulu aku pernah hampir nikah.”
“Terus?” sahut Sofia cepat.
“Ya batal. Kalo jadi nikah, aku nggak bakal main sama kamu, kan? Ada istriku ngapain juga aku main sama orang lain. Aku gagal nikah, padahal lamaranku udah diterima. Dia pergi nggak tau ke mana. Mungkin aku sama dia emang nggak jodoh.”
Kenangan masa lalu itu kembali datang. Aku pernah memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang sangat kucintai di masa lalu. Tapi, ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Setelah bertahun-tahun lewat, aku pun tak pernah mendengar berita tentangnya.
“Sabar, Chef.”
“Sof, sekali lagi, yuk! Nanti aku tambahin uang jajan kamu.”
OoO
Akhir pekan ini aku pulang ke rumah kedua orang tuaku. Kedatanganku disambut dengan sangat meriah. Bukan sebuah pesta yang digelar, melainkan sederet masakan buatan Mama yang sudah berjejer rapih di atas meja makan.
Aku memang terhitung jarang pulang ke rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktuku di apartemen. Aku hanya akan pulang saat ada perayaan khusus, seperti ulang tahunku, ulang tahun kedua orang tuaku dan ulang tahun pernikahan keduanya.
Rumah masih terlihat sama. Sangat bersih dan rapih. Mama memang sangat apik dalam menata semua barang yang ada di rumah. Semua barang yang ada di rumah ini tak luput dari sentuhan kedua tangan Mama.
Aku menatap ke arah di mana foto keluarga kami dengan ukuran yang sangat besar terpajang di ruang kelaurga. Hanya ada kami bertiga. Aku, Papa dan Mama. Aku adalah anak semata wayang. Itu kenapa tuntutan untuk segera menikah pun selalu mampir padaku.
“Cepet lah kamu nikah. Biar kita bisa foto keluarga sama istri kamu, Yas.” Aku tersentak kaget saat Papa menepuk pundak kananku. Saat aku datang, aku memang tidak melihat keberadaan Papa. Mama bilang, Papa sedang di kamar mandi. “Kamu nggak kasihan sama Papa dan Mama. Kami udah tua lho, Yas. Teman-teman kami udah punya banyak cucu.”
“Nanti ya, Pa. Aku masih banyak kontrak kerja.”
“Setiap disuruh nikah pasti jawabannya nanti terus,” sahut Mama yag tiba-tiba datang dan bergabung dengan kami di ruang keluarga. “Kontrak kerja jangan selalu dijadikan alasan, Yas. Kamu normal kan, Yas?”
“Maksud Mama gimana?”
“Kamu ... di apartemen kan tinggal sama Radit.”
“Ma, jangan gila, deh. Aku masih doyan perempuan, lho. Sembarangan banget nih Mama.” Aku segera berjalan kembali menuju ke ruang makan.
“Bagus, deh. Mama kan jadi mikir yang nggak-nggak karena kamu nggak nikah-nikah. Kadang, Mama malah suka ngarepin hal jelek soal kamu.”
“Hal jelek?” tanyaku heran. “Hal jelek apaan, Ma?”
“Kadang Mama suka ngarep bakal ada perempuan yang minta pertanggungjawaban kamu karena hamil anak kamu, Yas.”
“Ya ampun. Ini Mama kebanyakan nonton sinetron apa gimana, sih?” ucapku kesal. “Aku selalu pake pengaman, Ma.”
“Jangan terlalu sering, Yas,” sambar Papa. “Papa paham betul duniamu itu nggak lepas dari hal kayak begitu. Mungkin hal kayak begitu wajar di duniamu. Selama kerja di dunia hiburan, berita-berita tentang kamu banyak banget, Yas. Awalnya, Papa emang kaget banget. Tapi, Papa sadar kalo dunia kamu malah akan terkesan aneh kalo nggak ada kayak begitu. Pesan Papa cuma satu. Jangan ngobat. Paham?”
“Makan dulu. Ngobrolnya dilanjut nanti,” ucap Mama menyudahi perbincangan kali ini. “Ini semua makanan kesukaan kamu. Mama langsung masak waktu kamu telepon bilang mau pulang. Kamu harus makan ini semua ya, Yas.”
Selesai makan malam, aku dan kedua orang tuaku lanjut berbincang di ruang keluarga. Bertiga menghabisi malam seperti ini memang sudah sangat langka. Kuputuskan untuk bermalam karena aku tak memiliki jadwal esok harinya.
Perbincangan kami tak akan pernah lepas dari pernikahan, pernikahan dan pernikahan. Sepertinya memang sudah menajdi takdirku untuk selalu mendengarkan soal pernikahan.
“Tante Vena udah kasih kabar ke kamu kalo Jordi mau nikah?” tanya Mama. Aku menggeleng karena Tante Vena memang belum meghubungiku. “Lho, Mama kira Tante Vena udah kabarin kamu.”
“Belum, Ma. Jordi mau nikah? Sama siapa? Sama pacarnya yang waktu itu?”
“Iya. Rosa udah terlanjur hamil. Perutnya juga udah besar, jadi keluarga mereka memutuskan untuk segera menggelar pernikahan. Kelamaan kalo nunggu Rosa melahirkan. Lagi pula supaya anak mereka punya kejelasan status.”
“Oh, begitu,” gumamku. “Mama bisa anggap anaknya Jordi cucu juga, kan?”
“Ya bisa, sih. Tapi kan beda, Yas. Papa sama Mama maunya anak kamu.”
“Ma, cari istri itu nggak kaya beli kacang,” sahutku.
“Ya kamu cari, dong. Kamu sibuk kerja sampe lupa cari istri. Kamu nggak mau tua sendirian, kan?”
Dering ponselku menyelamatkanku. Ada nama Raditya yang muncul di layarnya. Tanpa basa-basi, aku segera menjawab panggilan telepon.
“Kenapa, Dit? Oh, gitu. Minggu depan? Lo atur aja, ya. Gue lagi di rumah Mama. Jangan lupa cek kompor sebelum tidur. Lo pernah hampir bikin kita mati kepanggang. Iya. Yaudah lo hati-hati di apartemen.”
“Kenapa, Yas?” tanya Papa.
“Radit kasih info kalo minggu depan aku ada meet and greet. Untuk nebus kesalahan waktu itu, Pa.”
“Wah, ide bagus,” sahut Mama.
“Ide bagus gimana, Ma?”
“Kamu bisa sekalian cari calon istri di sana. Siapa tau istrimu itu salah satu dari penggemarmu yang dateng ke meet and greet.”