Athaya’s POV
Harus kusadari. Perdebatan dengan Natasha tentang masa depan hubungan kami memang tak pernah menemukan titik akhir. Aku seakan dihadapkan dengan kenyataan tanpa adanya kepastian. Rasa cintaku padanya teramat dalam yang membuatku menerima semua keadaan ini. Semua orang mengatakan kalau aku bodoh. Aku memang bodoh. Bertahun-tahun yang lalu terjebak di sebuah hubungan dengan seseorang bisanya hanya memanfaatkanku, dan berakhir dikhianati. Kembali memantapkan diri dengan seseorang yang awalnya akan menjadi pelabuhan terakhir. Tapi, butuh usaha yang sangat keras untuk mewujudkan itu semua.
Hubungan yang kujalin dengan Natasha memang tak pernah mendapatkan persetujuan dari keluargaku. Mereka menentang dengan sangat keras hubungan kami sejak pertama kali tahu. Tak hanya karena sifat Natasha yang suka menghamburkan uang, latar belakang Natasha sebagai seorang public figure juga menjadi salah satu alasan kenapa keluargaku tak pernah setuju dengan hubungan kami. Natasha kerap kali muncul di televisi dengan pakaian serba minim dan kurang bahan. Aku sudah sering mengingatkan tentang cara berpakaiannya. Tapi, sesering aku mengingatkan, sesering itu pula dia berkilah dan mengatakan bahwa semuanya tuntutan pekerjaan. Jika sudah begitu, aku hanya bisa menghela napas dan menerima meski masih merasa sangat kesal.
Menjadi anak pertama dan laki-laki satu-satunya di keluarga membuatku memikul beban yang lumayan berat. Di usiaku yang sudah menginjak 32 tahun ini, beragam desakan dari keduanya sudah sangat sering kuterima. Bahkan, Ayah dan Bunda tak bosan untuk mengatur segala macam perjodohan untukku.
Ayah menyerahkan semua urusan bisnis padaku. Aku sempat menolak pada awalnya karena lebih ingin mandiri. Cukup berat menjadi anak dari seorang Sakti Ganendra. Ayah dikenal sebagai seorang pebisnis yang sukses, ditandai dengan begitu banyak cabang supermarket dan minimarket yang tersebar di berbagai kota. Awalnya, aku seperti berada di bawah bayang-bayang kesuksesan Ayah. Tapi, perlahan kubuktikan pada semuanya aku bisa mempertahankan bisnis yang sudah susah payah dibangun Ayah selama bertahun-tahun.
Aku berharap dengan semua kesuksesan yang berhasil kuraih akan melunakkan hati kedua orangtuaku. Tapi, semua tak sebagus yang kuharapkan. Mereka masih saja berusaha membuatku untuk menerima rencana mereka untuk menjodohkanku dengan wanita pilihan mereka, entah dari rekan bisnis yang mana. Keinginan keduanya sungguh tidak muluk-muluk, sebenarnya. Keduanya hanya menginginkan seorang wanita baik yang bisa berdiri di sampingku, mendukung semua yang kulakukan. Sungguh aku berharap semua itu bisa kudapatkan dari Natasha. Ekspektasiku terlalu berlebihan.
Meskipun aku sudah dewasa, itu tak membuatku bebas melakukan apapun. Mau sematang apapun aku, kedua orangtuaku tetap menganggapku sebagai putra kecil mereka. Ini dibuktikan dari penolakan keduanya saat kusampaikan niatanku untuk keluar dari rumah dan tinggal di apartemen. Baik Ayah maupun Bunda marah dan mendiamkanku selama berhari-hari.
“Nggak ada ya, Mas. Nggak ada. Selama Mas belum nikah, Mas harus tetep tinggal di rumah ini. Kalo perlu, Mas bakal Bunda ketekkin kemana-mana. Nanti, setelah nikah pun kalo perlu tinggal di sini sama istrinya Mas.”
Paham, kan? Begitulah Bunda. Memikirkan itu saja membuatku cukup pening. Membayangkan bagaimana respon Natasha nantinya. Bagaimanapun juga, aku berharap dialah yang akan jadi pendampingku kelak. Meskipun akan sangat susah diwujudkan.
Aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah setelah seharian berkeliling meninjau beberapa cabang supermarket yang tersebar di penjuru Jakarta. Merasa tak sanggup jika harus kembali ke kantor. Toh, sudah tidak ada lagi pekerjaan yang harus dikerjakan. Hasil dari peninjauan seharian ini cukup membuatku tenang karena tak ada masalah yang begitu berarti. Tapi, satu hal yang membuatku kecewa adalah tingkah keluarga Natasha yang berbelanja di salah satu cabang supermarket.
“Mereka menolak bayar, Pak. Belanjanya banyak sekali. Nggak tanggung-tanggung. Kemarin, mereka beli kulkas dan AC sekaligus. Itu kenapa saya selalu minta persetujuan Bapak. Sikap mereka juga kurang baik, Pak. Banyak karyawan yang merasa direndahkan sama mereka,” ucap Pak Eddy selaku penanggung jawab di cabang yang kudatangi.
“Saya minta maaf ya, Pak. Saya mewakili mereka untuk minta maaf ke Bapak dan yang lainnya. Tolong sampaikan permohonan maaf saya untuk pegawai yang lainnya ya, Pak.”
Pulang ke rumah setelah seharian bekerja memang hal yang paling kusuka. Rumah menjadi tempat paling nyaman. Selelah apapun aku, akan terasa segar setelah melihat wajah kedua orangtuaku yang menunggu di rumah.
“Kok udah pulang, Mas? Biasanya malem,” ucap Bunda saat melihatku yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Aku segera berjalan menghampirinya. Meraih telapak tangannya dan segera mengecupnya. “Assalamualaikum, Bun.”
“Waalaikumsalam. Kok tumben jam segini udah pulang?”
“Kerjaan udah selesai. Tadi cuma ninjau beberapa cabang aja. Besok juga masih lanjut ninjau.”
“Nggak ada masalah apa-apa kan, Mas?” sahut Ayah yang seketika ikut bergabung dengan kami. Aku pun segera mengecup punggung tangannya. “Semua baik-baik aja, kan?”
Aku mengangguk dan terlihat tenang. Ini tak akan lucu jika sampai permasalahan di salah satu cabang yang disebabkan oleh keluarga Natasha sampai diketahui keduanya. “Baik, kok. Semua fine. Ayah nggak usah khawatir. Ayah udah minum obatnya?”
Salah satu alasanku menerima permintaan Ayah untuk melanjutkan bisnisnya adalah kesehatan Ayah yang semakin lama semakin menurun. Aktor usia membuatnya mudah lelah dan sering kali drop. Saat itu, ketakutan kami semakin menjadi setelah berkali-kali mengetahui Ayah yang tiba-tiba pingsan.
“Perasaan dokternya bukan kamu deh, Mas. Kok bawelnya lebih-lebih dari Dokter Anwar,” sahut Ayah. Aku memberengut.
“Nggak mau sampe Ayah kayak waktu itu lagi. Aku mau Ayah sehat selalu,” ucapku.
“Makanya, mumpung Ayah masih sehat kamu cepetan nikah dong, Mas. Heran banget. Setiap dijodohin nggak pernah mau. Kamu cari yang kayak gimana sih, Mas?” timpal Ayah. Aku hanya bisa menghela napas. “Kamu nggak berhubungan sama Natasha lagi kan, Mas?”
Aku menggeleng, terpaksa berbohong. “Nggak kok, Yah. Aku sama dia udah selesai. Sesuai dengan keinginan Ayah dan Bunda.
“Masak iya nggak ada perempuan tertarik sama kamu, Mas,” ucap Bunda. Aku terkekeh. “Perasaan Bunda kamu itu ganteng banget. Tapi, kenapa susah banget ya ada perempuan yang nyantol.”
“Bukannya susah, Bunda. Belum aja. Nanti, kalo udah waktunya juga akan dateng sendiri. Jodoh itu nggak perlu dicari. Udah disiapin,” sahutku. Bunda menepak pundakku pelan. “Bunda sama Ayah tenang aja.”
“Bunda sama Ayah nggak akan bisa tenang sebelum kamu nikah, Mas. temen-temen kamu udah nikah dan punya anak. Apa kamu nggak mau kayak mereka?” ucap Bunda.
“Kalo aku bilang nggak mau, aku bohong. Ya jelas mau banget, Bunda. Bunda suka lucu deh kalo nanya.”
“Kayaknya Ayah harus tegas sama kamu, Mas.”
“Maksud Ayah?”
“Nanti kamu bakal paham.”
OooO
Setelah selesai membersihkan diri, aku turun ke lantai bawah dan berjalan menuju ke ruang makan. Mengintip apa saja yang ada di dalam tudung saji karena makan malam masih cukup lama. Berbagai macam makanan sudah terhidang di sana. Bunda lah yang selalu memegang peranan untuk memasak meskipun kami mempekerjakan beberapa asisten rumah tangga. Untuk masalah memasak, Bunda memang tidak pernah menyerahkannya pada asisten rumah tangga, kecuali memang sangat membutuhkan bantuan.
Setelah mengintip isi di dalam tudung saji, aku dibuat terkejut karena melihat asap yang lumayan mengepul disertai bau gosong dari arah dapur. Bisa kutebak. Ini pasti ulah adik perempuanku satu-satunya.
Dengan cepat, aku segera berlari menuju ke dapur. Dapur sudah dipenuh dengan asap. Di tengah dapur, kulihat adikku sedang berusaha mengilangkan asap yang keluar dari dalam oven.
“Mas, ini gimana dong. Kueku gosong.” Seruni terlihat sangat panik di depan oven.
“Ovennya udah kamu matiin belu?” tanyaku tak kalah panik. Seruni mengangguk. “Yaudah. Coba kamu buka ovennya. Keluarin kuenya. Run, cooker hoodnya dinyalain, dong. Kalo kamu nggak nyalain gimana asepnya mau ilang.”
Seruni mengikuti instruksi yang kuberikan. Dia menyalakan tombol cooker hood dan segera dibukanya pintu oven dan mengeluarkan seloyan kue yang menguarkan bau gosong yang teramat. Aku tak kuat menahan tawa melihat ekspresinya saat melihat kue yang baru saja dikeluarkannya dari dalam oven. Perlahan, asap mulai tersedot cooker hood.
“Jahat banget malah diketawain,” protesnya.
“Kamu udah terlalu sering bikin kekacauan, Run. Makanya Mas nggak bisa nahan ketawa. Masih untung kamu nggak ngebakar seisi dapur.”
“Aku udah ikutin semua resep dan petunjuk pembuatannya, Mas.”
“Mungkin ada yang salah.”
“Aku nggak tau lagi, deh. Aku bete banget deh pokoknya.”
“Nanti dicoba lagi. Kenapa kamu nggak kursus aja, Run?’ ucapku.
“Sempet kepikiran. Tapi, aku bingung mau kursus dimana. Aku masih cari-cari toko kue yang buka kursus, Mas.”
“Kamu cari aja toko kue deket-deket sini yang sekiranya cocok sama kamu.”
“Iya. Nanti aku coba cari-cari deh. Di sekitar sini ada 2 toko kue, kan. Aku belum coba tanya ke mereka. Sejauh ini, aku beli dan coba kue-kue yang mereka jual.”
Kami berempat susah duduk di posisi masing-masing untuk makan malam bersama. Seperti biasa, setelah menyendokkan nasi untuk Ayah, Bunda akan menyendokkan nasi untukku dan juga Seruni.
“Bun, aku dikit aja. Lagi diet,” ucap Seruni. Aku terkekeh. Seruni langsung mencubit pahaku. “Malah diketawain. Adeknya mau diet malah ketawa. Puas banget, Mas.”
“Kamu ada-ada aja. Makan tuh makan aja, Run. Kamu nggak usah diet. Yang penting, olahraga. Percaya deh sama Mas.”
“Justru karena aku kaum rebahan dan nggak mungkin akan olahraga, makanya aku lebih milih ngurangin porsi makan.”
“Kamu malah mau kursus bikin kue. Gimana ceritanya?”
“Itu beda urusannya, Mas. Gampang lah itu.”
“Udah...udah. Makan dulu,” ucap Bunda.
Kami berempat makan dengan tenang. Masakan Bunda memang tak pernah gagal. Suap demi suap berhasil memenuhi lambungku.
“Mas, waktu itu ada temenku yang liat Mas sama—“ tanpa harus menunggu Seruni melanjutkan ucapannya, aku segera menginjak telapak kakinya yang membuatnya meringis pelan sambil berbisik. “Sakit, Mas.”
“Nggak usah diungkit,” bisikku. Seruni mengangguk.
Ayah berdeham cukup keras yang kemudia membuatku dan Seruni sedikit terkejut. Untuk menghindari suasana yang menegangkan, aku dan Seruni segera melanjutkan makan malam kami.
“kamu ketemu siapa, Mas?” tanya Ayah berusaha menelisik. Aku dan Seruni langsung saling melirik. “Temen kamu liat Mas Thaya ketemu sama siapa, Run?”
“Oh, itu. Temen Runi nggak sengaja liat Mas Thaya di restoran lagi makan siang sama laki-laki seusia dia, Yah.”
“Bener begitu, Mas?” selidik Ayah. Aku terpaksa mengangguk. “Siapa, Mas?”
“Temen waktu SMA, Yah. Nggak sengaja ketemu di restoran waktu makan siang. Kebetulan dia lagi nunggu istrinya belanja.”
“Oh. Temen SMA kamu aja udah nikah. Kamu kapan?’ sahut Bunda.
“Bunda mulai, deh.”
“Bunda bener tuh, Mas. Cepetan deh nikah. Biar aku cepet punya keponakan juga,” sahut Seruni.
“Runi aja udah nggak sabar mau punya keponakan. Apalagi Bunda sama Ayah, Mas. Kami mau gendong cucu secepatnya.” Mendengan ucapan Bunda, segera kupelototi Seruni yang duduk di sebelahku. Dan seperti biasanya, setiap kali situasi seperti ini terjadi dia hanya akan tertawa dan memasang tampang tidak bersalahnya.
Selesai makan malam, aku mengikuti Seruni masuk ke dalam kamarnya. Setiap kali kami akan berdiskusi, kamarnya dan kamarkulah yang akan digunakan sebagai tempat tersembunyi.
“Run, jangan kayak begitu lagi, dong.”
“Kayak begitu gimana, Mas?”
“Kamu tadi sengaja kan kayak begitu di depan Ayah sama Bunda?” tanyaku. Seruni mengangguk dan terkekeh. “Kamu jahat banget, Run.”
“Lebih jahat mana sama Mas Thaya?”
“Aku? Kok aku jahat?”
“Mas Thaya udah bohongin Ayah sama Bunda. Mas Thaya bilang kalo Mas sama Natasha udah putus. Tapi ternyata... .”
“Iya. Aku tau aku salah. Aku terpaksa, Run.”
“Nggak ada namanya terpaksa, Mas. Mas aja yang suka ngeribetin diri sendiri. Udah jelas-jelas Ayah sama Bunda nggak pernah setuju Mas sama dia. Masih aja usaha. Padahal Mas sendiri tau kalo usaha Mas bakalan sia-sia.”
Aku menghela napas dengan sangat bberatnya. Ucapan Seruni memang ada benarnya. Kejadian 4 tahun yang lalu adalah bukti bahwa memang Ayah dan Bunda sangat peduli dengan hidupku. Pengirim pesan dengan nomor yang samas ekali tidak kuketahui ternyata adalah orang suruhan Ayah yang diminta mengikutiku selama berhubungan dengan Marissa kala itu.
“Kita belum berusaha semaksimal mungkin, Run. Jadi, belum tentu itu sia-sia. Masih ada harapan.”
“Maksa banget sih, Mas. Apa sih yang buat Mas bertahan sama dia? Aku aja eneg banget liat gaya dia. Sampe kapan kontrak dia jadi BA kita, Mas?”
“Kita selalu memperpanjang kontrak dia. Sebagai salah satu langkah aku juga untuk bantu dia stabil dengan karir dia,” ucapku. Seruni hanya bisa menanggapinya dengan gelengan kepala tanda tak habis pikir.
“Mas, percaya deh sama aku. Cepet atau lambat Ayah sama Bunda bakalan tau hubungan kalian. Apalagi, dia itu public figure. Akan lebih gampang hubungan kalian diketahui orang meskipun sempet ada kabar kalo kalian putus. Saranku, mendingan Mas bener-bener selesein hubungan ini sebelum Ayah tau kebenarannya. Mas itu beruntung. Semenjak Mas bilang hubungan kalian berakhir, Ayah percaya gitu aja tanpa nyari tau. Aku nggak bisa bayangin kalo sampe suatu hari nanti Ayah tau perihal hubungan Mas sama Natasha. jangan sampe hal buruk terjadi sama Ayah, Mas,” tutur Seruni.
“Biar nanti aku yang cari jalan kelaurnya, ya. Semoga nanti baik-baik aja.”
Aku keluar dari kamar Seruni dan masuk ke kamarku. Di dalam kamar, kurenungi apa yang tadi kami diskusikan bersama. Seruni benar. Tapi, aku tak akan pernah siap untuk berpisah dengan Natasha. aku sudah merasa sangat nyaman meskipun dengan sifatnya yang seperti itu.
Segera kuraih ponselku yang tergeletak di atas kasur. Kuputuskan untuk meminta Natasha menemuiku di tempat biasa kami bertemu besok. Aku harus berbicara serius dengannya. Harus.
Aku sudah meunggunya selama 1 jam di tempat biasa kami bertemu. Natasha tak kunjung muncul. Berkali-kali kucoba menghubungi ponselnya. Dan dia selalu menjawab sedang mengemudi lewat pesan w******p yang dikirimnya.
Tak lama setelahnya, Natasha tiba. Dengan tanpa rasa bersalahnya dia segera mengecup kedua pipiku dan duduk di nagku yang ada di hadapanku. Penampilannya memang selalu mengikuti mode yang sedang berkembang saat ini. dari ujung rambut sampai ujung kaki, semua barang-barang bermerk yang dibelinya dengan harga yang mahal. Setiap kali kutanya jawabannya akan selalu sama. Untuk menunjang pekerjaannya, katanya.
“Kamu nunggu lama, ya?” ucapnya dengan suara khas manjanya. Aku mengangguk. “Maaf, ya. Aku tadi ke salon dulu. Mau ada pemotretan besok sore.”
“Pemotretan besok sore dan kamu ke salon hari gini?” ucapku kesal. Natasha mengangguk. “Aku kan udah bilang sama kamu kalo aku ngajak kamu ketemu akrena ada hal penting yang mau aku bicarakan sama kamu. Kok kamu kayak nggak peduli sama aku, sih?”
“Jangan mulai lagi, Tha. Aku kan udah pernah bilang sama kamu. Karirku lagi bersinar. Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Apa sih yang kamu cari dari semua ini, Nat? Kepopuleran?”
“Iya. Apa lagi kalo bukan kepopuleran. Tjuanku belum tercapai, Tha.”
“Apa yang bakal kamu lakuin kalo tujuan kamu udah tercapai?”
“Mempertahankannya. Aku nggak akan dengan mudahnya ngelepas apa yang udah aku dapet.”
“Egois. Kamu egois, Nat. Selama ini, aku rela nunggu sampe kamu bilang kamu mau nikah sama aku. Bertahun-tahun aku sabar. Karena apa? Aku cinta banget sama kamu.”
“Kalo kamu emang bener-bener cinta sama aku, dukung aku! Jangan terus-terusan minta aku untuk nikah sama kamu. Kamu sendiri paham, kan. Aku masih muda. Jalanku masih panjang. Karirku lagi bagus-bagusnya. Aku nggak mau ngerusak semuanya dengan menikah.”
“Jadi, menurut kamu menikah sama aku akan ngerusak karir kamu?” tanyaku. Tanpa kuduga, Natasha mengangguk. “Begitu... .”
“Tha, kenapa sih nggak kita jalanin aja hubungan ini tanpa harus menikah?”
“Bisa-bisanya kamu kasih saran kayak begitu, Nat.”
“Hubungan yang kita jalani ini jauh lebih nyaman dari sebuah pernikahan, Tha. Aku nggak mau hidup terkekang.”
“Siapa yang ngekang kamu, Nat?”
Natasha mengendikkan bahunya. “Mungkin orangtua kamu. Aku nggak bisa jamin mereka nggak akan ngekang aku, kan.”
“Nat, harusnya kamu cari cara biar mereka ngerestuin hubungan kita.”
“Karena aku belum mau ke jenjang itu, makanya aku belum nyari cara.”
“Aku bingung sama jalan pikiran kamu. Aku pikir kamu cuma terlalu ambisius. Tapi, kamu lebih parah dari sekedar ambisius.”
Natasha memang orang yang sangat berambisi. Apapun yang diinginkannya, sebisa mungkin harus didapatkan, bagaimanapun caranya. Di awal karirnya sebagai seorang model dulu, bahkan dia rela untuk tidur hanya 3 jam setiap harinya demi berlatih sampai larut malam. Dia juga rela kelaparan demi mendpatkan bentuk tubuh idamannya.
“Tolong kamu pikirkan lagi, Nat. Aku bener-bener berharap kamu bisa memikirkan pilihan kamu. Sampe detik ini, aku sangat memperjuangkan kamu. Aku nggak tau sampe kapan aku bisa terus begini. Suatu hari nanti, aku harus menyerah dengans emua ini dan menerima keputusan orangtuaku.”
“Tha, jangan begitu.”
“Kenapa kamu ngomong begitu? Dari tadi aja kamu nggak ada usaha untuk cari solusi tentang hubungan kita. Kenapa setelah aku bilang begitu kamu baru kasih respon kayak begini?”
Natasha mengenggam kedua tanganku. “Kasih waktu aku ya, Tha. Kasih aku waktu.”
“Sampe kapan aku harus kasih kamu waktu, Nat? Sampe kapan? Nggak cukup waktu yang selama ini aku kasih ke kamu?”
“Kasih aku waktu lagi, ya.”
OoO
Ayah, Bunda dan Seruni sudah ada di ruang tengah rumah kami saat aku baru pulang dari kantor. Ketiganya tengah tertawa geli sambil menonton tayangan yang disiarkan di televisi. Kuputuskan naik ke atas untuk membersihkan diri baru setelahnya ikut bergabung dengan mereka di bawah.
Jam makan malam sudah lewat. Aku juga sudah makan malam di luar sebelum pulang. Aku ikut bergabung dengan ketiganya dan menonton tayangan televisi.
“Malem banget pulangnya, Mas,” tanya Seruni.
“Sengaja. Ngelarin kerjaan sekalian biar besok bisa tidur tenng,” jwabku.
“Ayah sama Bunda udah ngobrol tadi,” ucap Ayah. Aku mengerutkan kening karena bingung.
“Ngobrolin apa, Yah?” tanyaku.
“Ayah sama Bunda mau ngenalin kamu sama anak temennya Bunda.”
“Kok tiba-tiba banget? Nggak ada omongan dulu ke aku.”
“Makanya sekarang kami kasih tau kamu. Sekali ini, ya. Tolong bantu Ayah sama Bunda,” pinta Ayah.
“Kalo aku nggak mau gimana, Yah?” Aku meringis ketika tiba-tiba Seruni menginjak kakiku. “Sakit, Run!”
“Ayah nggak tau lagi harus gimana. Ayah terpaksa tegas sama kamu. Ayah putuskan untuk mencoret kamu dari datar ahli waris keluarga ini.”
“Lho, kok begitu? kontribusiku di keluarga ini juga besar lho, Yah.”
“Maka dari itu Ayah minta kontribusi terakhir kamu. Terima perjodohan ini.”
Bukan karena aku gila harta. Tapi, aku juga butuh uang untuk hidup. Dicoret dari datar ahli waris keluarga bisa jadi awal tamatnya hidupku. Ayah bisa saja memasukkan namaku ke datar hitam yang selanjutnya akan disebar ke seluruh kolega bisnisnya. Kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin aku akan berakhir menjadi seorang gembel.
Kutarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. “Baik. Kapan aku harus ketemu dan kenalan sama dia?”
“Kamu tunggu kabar selanjutnya dari Ayah ya, Mas. Secepatnya.”
Aku harus mencari solusi untuk semua ini.