“Aku memang tidak terburu-buru. Kau kan tahu aku bagaimana...”
Danu mengangguk paham sambil sedikit membungkukkan badan.
“Dan ... ah satu lagi ... setelah semua selesai, bawa dia keruanganku.”
“Baik, Tuan.”
Jhonas berlutut di depan Jelita yang sedari tadi terus menunduk karena banyak sekali rasa-rasa yang menghampirinya. Marah, sedih, takut, bingung berkumpul menjadi satu. Meskipun begitu, Ia masih mampu menahan kegentarannya. Apapun yang terjadi, Ia adalah seorang gadis yang penuh harga diri. Baginya, matipun tak menjadi masalah daripada harus menerima sebuah penghinaan.
Pria paruh baya itu kembali mengangkat dagu Jelita, tak kalah kasar dengan sebelumnya.
“Budiman memang menepati janjinya, meskipun aku harus merelakan 10 Milyar ku tidak kembali saat ini juga.” Jhonas mengatakan itu tepat di wajah Jelita sembari mendengkus lalu tersenyum mengejek.
Jelita bisa melihat dengan jelas pria itu dalam jarak sedekat ini. Kerut di sudut mata dan rambut kepala yang mulai memutih cukup baginya menyimpulkan kalau pria paruh baya itu sudah berumur lebih dari setengah abad.
Namun, yang membuatnya heran adalah aura dan kharisma Jhonas yang luar biasa kuat dan membuat pria itu terlihat 20 tahun lebih muda. Bahkan, deretan gigi putih nan rapi jelas sekali bisa Jelita lihat saat Jhonas menyeringai padanya.
Dengan geram, gadis itu kembali mengambil sikap untuk meludahi wajah yang baginya sangat menjijikkan itu. Namun, sekarang sang lelaki lebih sigap. Dengan cepat, telapak tangannya memegang dagu Jelita sedemikian rupa sehingga sang gadis tak mampu melakukan niatnya kembali.
“Sampai bertemu lagi denganku, Jelita Revanala,” kata Jhonas sambil melepas dagu Jelita dengan kasar.
Ia bangkit dari berlututnya dan pergi meninggalkan ruangan itu dengan diikuti dua orang pria berjas hitam dan berbadan besar. Setelah Jhonas sudah tidak berada di ruangan, Danu memerintahkan untuk membawa Jelita ke ruangan tempat Jelita di sekap tadi.
“Bawa dia,” titah Danu dan seperti yang sudah-sudah. Dengan sigap dua orang berbadan tegap yang sedari tadi berada di belakang Jelita, meraih lengannya dengan kasar lalu mencengkeramnya dengan kuat seperti tadi.
Ia kembali tertatih-tatih mengikuti langkah kaki orang-orang ini. Jelita limbung. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Dan lagi, pria paruh baya yang di panggil Tuan Jhonas itu tahu nama ayah dan juga dirinya. Sebenarnya mereka siapa?
Jelita kembali di lempar masuk ke dalam ruangan yang tadi berada di lantai dua.
“Jangan pernah berusaha untuk melakukan tindakan bodoh atau keluargamu akan tidak baik-baik saja!” ancam laki-laki yang bernama Danu itu kepada Jelita.
Ia pun keluar dari ruangan itu yang diikuti dua pria besar berjas hitam sambil menutup pintu dengan keras.
Blam!
Jelita sama sekali tidak bergerak. Ia masih bersimpuh di lantai dengan perasaan berkecamuk tak karuan. Kembali ia beringsut dan bersandar di ujung tempat tidur sambil menekuk lututnya. Matanya mulai panas dan air mata mulai mengalir meluncur bebas melewati pipinya. Ia menangis sejadi-jadinya karena berbagai macam perasaan telah ia alami hari ini. Tidak, bahkan sejak semalam saat ia pulang bekerja.
Bayangan sang Ibu juga adik kembali muncul di dalam kepalanya. Jelita merindukan mereka, juga Adam kekasihnya yang pasti sangat khawatir karena ia tiba-tiba menghilang. Ia sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi. Mengapa harus di bawa kemari dan ... apa yang akan Jhonas itu lakukan padanya? Gadis itu kembali meraung menangisi keadaan yang benar-benar membuatnya shock.
Kemudian, tangisnya tertahan sejenak ketika seseorang kembali membuka slot pintu ruangan ini. Spontan, gadis itu merangkak untuk bersembunyi samping nakas yang memiliki rongga kosong dan cukup untuk menyelipkan tubuh. Ia takut kalau-kalau dua orang suruhan Danu kembali datang dan menyeretnya lagi dengan paksa.
“Permisi?”
Jelita mengerut kening bingung ketika suara wanita yang menggema di ruangan ini. Orang itu melangkah perlahan. Terdengar dari ketukan sepatunya yang mencium lantai dengan suara pelan.
“Permisi?”
Orang itu kembali menyapa dengan suara yang terdengar ramah.
Jelita masih ragu apakah ia harus keluar menemuinya atau tidak karena ia tidak tahu, orang yang masuk ke sini bisa ia percaya atau tidak.
“Saya Linda, Asisten yang diperintahkan Tuan Jhonas untuk melayani Anda, Nona Jelita.”
Suaranya nampak tenang dan hangat yang membuat Jelita perlahan keluar dari tempatnya bersembunyi. Melihat Jelita keluar, Linda langsung berlari kearahnya dan membantunya untuk bangkit.
Sorot mata wanita yang berusia 40 tahun itu berubah menjadi tatapan iba. Ia memandang gadis mengenaskan itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Perlahan tangan wanita itu menyentuh lembut puncak kepalanya. Entah bagaimana, Jelita hanya diam saja karena ia sendiri merasakan sesuatu yang aneh menjalar tubuhnya.
Wanita itu membuatnya teringat dengan sang Ibu yang gemar sekali membelai kepalanya. Entah apa yang membuat wanita itu tersadar, tiba-tiba ia menarik tangannya dari puncak kepala Jelita dengan cepat lalu mundur selangkah dari tempatnya berdiri.
“Saya Linda, Asisten yang di perintahkan Tuan Jhonas untuk melayani Anda, Nona Jelita.”
Wanita itu membungkuk memberi hormat kepada Jelita. Gadis itu menatap tak percaya ke arah Linda yang memperlakukannya dengan begitu lembut, beda sekali dengan Danu dan anak buahnya serta ... Tuan Jhonas.
Hal ini membuat Jelita semakin tidak mengerti, sebenarnya ia sedang berada di mana?
Jelita diam tak menanggapi kata-kata Linda karena ia bingung harus bersikap bagaimana. Wanita itu tetap berdiri sambil menunduk dengan kedua tangan berada di depan.
“Aku bahkan enggak tau sekarang ada di mana.”
Kalimat itulah yang akhirnya keluar dari bibir Jelita dan memecahkan keheningan diantara mereka berdua.
“Tiba-tiba aja aku udah di sini, aku diikat, di perlakukan kasar. Mereka datang tepat saat aku pulang bekerja, udah larut malam. Mereka membawaku dengan paksa ... bahkan ... aku belum sempat bertemu dengan Ibu dan adikku. Sebenarnya ...”
Jelita tak mampu lagi berkata-kata, tangisnya kembali pecah memenuhi ruangan ini. Gadis itu kembali lunglai dan bersimpuh di lantai, menangis sesenggukan.
Linda diam tak bergerak dari posisinya berdiri, nampak sedih melihat Jelita menangis di depannya. Kemudian wanita paruh baya itu berlutut dan memeluk sang gadis sambil mengusap lembut pundaknya agar sedikit mendapat kekuatan.
10 menit berlalu, tangis Jelita telah berhenti dan ia nampak tenang sekarang. Ia melepas pelukan Linda lalu menatap wanita itu.
“Terima kasih,” ucap Jelita dengan suaranya yang parau.
Linda membalas dengan anggukan sambil mengusap lembut puncak kepala Jelita.
“Saya paham bagaimana rasanya. Sebelas tahun menjalani tugas ini, sudah banyak gadis yang menangis di pelukan saya. Tapi maaf ... saya tidak bisa membantu apa-apa.”
Senyum getir terlukis dari bibir Linda. Wanita itu menunduk lalu mengambil napas dan kembali menatap Jelita. Kini ia berusaha menatap gadis itu dengan tegar.
“Nona, Tuan Jhonas tidak senang menunggu lama. Mari saya bantu Anda membersihkan diri lalu bergegas menemuinya,” begitu kata Linda sambil bangkit dari duduknya namun tertahan karena Jelita menahan tangannya.
“Bibi, maksud Bibi sudah banyak gadis itu apa? Memangnya ini apa? dan Bibi ini siapa?”
Pertanyaan Jelita meluncur bertubi-tubi dari bibirnya karena kini, ia sudah tidak sanggup lagi membendung kebingungan yang ia alami.
“Pasti akan saya jelaskan asalkan Nona mau bekerjasama untuk menyelesaikan pekerjaan melayani Anda dengan baik,” begitu kata Linda menengadahkan ke arah Jelita.
Karena Jelita juga membutuhkan jawaban atas semua ini, ia mengangguk setuju dan di balas senyum hangat dari Linda.
“Saya sudah membawa perlengkapan untuk Anda mandi,” kata Linda lembut lalu wanita itu keluar dan tak berselang lama kembali dengan satu kotak peralatan mandi lengkap dengan handuk.
“Pakailah, Nona. Selama Anda mandi, saya akan siapkan baju ganti. Silakan.”
Dengan gerakan luwes, Linda mempersilakan Jelita menuju kamar mandi yang ada di ruangan ini.
Sang gadis hanya mengangguk saja, lalu masuk ke dalam. Pikirannya sama sekali tidak tenang. Ia menyalakan shower dan memilih air hangat untuk membasuh tubuhnya yang terasa remuk.
Ia melirik lengan kanan dan kirinya yang memiliki luka lebam karena cengkeraman kuat dua orang suruhan Danu itu. Pergelangan tangannya juga perih karena lecet bekas tali yang mengikat.
Jelita diam mematung beberapa saat membiarkan air shower membasahi mulai dari kepala hingga sekujur tubuh. Air matanya telah mengering, yang tersisa kini adalah perasaan rindu dengan orang-orang yang ia cintai.
Tiba-tiba saja, perkataan Tuan Jhonas kembali terngiang kembali di kepalanya.
“Budiman memang menepati janjinya, meskipun aku harus merelakan 10 Milyar ku tidak kembali saat ini juga.”
‘Mengapa Tuan Jhonas kenal dengan Ayahku? Dan memangnya apa yang sudah Ayah lakukan dengan 10 M itu’
Kembali pikiran Jelita dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali belum ia dapatkan jawabannya.
Air shower terus mengguyur tubuhnya sampai hawa dingin ia rasakan. Jelita memutuskan untuk mengakhiri mandinya lalu mengenakan bathrobe yang Linda berikan.
‘Tunggu, 10 Milyar? Janji? Dan Aku ... apa mungkin...’
Buru-buru Jelita keluar dari kamar mandi dan ia mendapati Linda sedang menyiapkan baju untuknya.
Linda menoleh ke arah Jelita yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia tersenyum tipis.
“Ini baju yang bisa Nona Jelita pakai, nanti saya ...”
Belum selesai Linda berbicara, Jelita menyela lebih dahulu.
“Bibi ... apa aku disini karena dijadikan jaminan?”
***