Layar ponsel 6 inchi tersebut menyala terang dengan wallpaper bergambar sekuntum bunga mungil berwarna putih dan hijau yang beraturan seperti sebuah payung.
Awalnya Jelita berpikir itu adalah bunga wortel karena bentuknya yang sangat mirip. Akan tetapi ketika ia mencoba melihatnya lebih dekat, foto bunga cantik itu bukanlah sesuatu yang diduga sebelumnya. Bentuk bulatannya jauh lebih kecil daripada bunga wortel yang bulatannya jauh lebih besar dari yang ini.
Jelita mengernyit bingung, kemudian ia melihat sebuah tulisan putih kecil tersemat di sela-sela bunga dan daun pada wallpaper tersebut. Gadis itu mencoba memperbesarnya dengan menyentuh layar dan tulisan itupun menjadi nampak jelas terlihat dalam sebuah font latin yang bertulis “Deadly Hemlock”
Jelita mengernyit bingung dengan nama yang begitu asing baginya. ‘Deadly Hemlock? Nama apa ini?’ gumamnya dalam hati.
Segera ia menepis rasa penasaran yang tak beralasan tentang nama dan wujud benda tersebut serta mengapa pilihan gambar layar harus seperti itu. Mungkin saja hanya sebuah kebetulan, mengingat jika ponsel tersebut diberikan padanya begitu saja.
Membuang semua rasa penasaran dan keingintahuannya, gadis tersebut kembali fokus memikirkan maksud Jhonas memberikan dirinya sebuah ponsel. Mungkin ia hanya memerlukan sebuah alat komunikasi yang dapat menghubungkan mereka berdua karena masih merasa enggan untuk bertemu secara langsung. Bisa di mengerti jika Jhonas melakukan tindakan itu. Bukankah luka berat tiga orang kepercayaannya sudah cukup menjadi bukti keganasan Jelita?
Dicobanya kembali menekan tombol tombol ‘home’ pada layar, namun tidak ada menu yang sama seperti ponsel-ponsel biasanya. Kini, yang terlihat malah hanya satu Icon yang berbentuk amplop berwarna putih tanpa keterangan apapun di sana.
Sambil menahan kekesalan hati, Jelita mendengus dan mengalihkan pandangan ke arah pintu. Kali ini ia menjadi semakin merasa marah, karena ... walau yakin benar kalau Jhonas merencanakan sesuatu untuk tetap menahannya disini, dalam hati telah muncul juga secercah harapan untuk bebas, karena iapun telah menyusun beberapa siasat untuk mengakali laki-laki tersebut.
Akan tetapi, ketika melihat layar ponsel itu dan mendapati isinya hanya icon bergambar amplop yang entah apa namanya, harapan yang sempat terbesit itu menguap begitu saja.
Ting!
Denting dari ponsel itu membuat Jelita terkejut dan seketika membuyarkan lamunannya. Ia melihat ke arah benda tersebut dan melihat ada sebuah notifikasi masuk pada icon berbentuk amplop tersebut.
Sempat rasa ragu mampir dalam benaknya, namun rasa penasarannya yang begitu besar membuat Jelita menyingkirkan semua kegamangan dan memantapkan diri untuk menekan icon amplop itu.
Tampilannya mirip seperti aplikasi chatting pada umumnya, hanya saja theme yang dipakai serupa benar dengan gambar bunga yang dijadikan wallpaper pada ponsel itu. Fokus Jelita tak lagi pada tampilan aplikasi tersebut namun tertuju pada sebaris kalimat yang muncul.
Hello, b***h!
Jelita mendengkus kesal ketika membaca tulisan itu.
‘Apaan-apan, sih?!’ gerutu si gadis sambil menatap sengit ponsel yang ada di genggamannya.
Tak lama kemudian, sebuh pesan baru masuk. Kali ini bukan pesan text melainkan sebuah pesan suara, ditandai dengan icon speaker dan tombol play untuk mulai memutar.
Jelita menelan ludah dan jantungnya tiba-tiba saja berdegup lebih cepat. Ia tidak tahu, pesan apa yang di kirimkan dengan durasi hampir 1 menit, dan membuatnya merasa was-was.
Gadis itu menepis lagi pikiran-pikiran buruk yang muncul begitu saja dari dalam kepalanya. Ia harus tenang agar bisa memecahkan segala kejanggalan tentang ponsel ini.
Jelita memantapkan hati untuk menekan tombol play. Sebelumnya ia memeriksa panel volume dan menambahkan satu tingkat dari sebelumnya. Dengan yakin, Jelita memutar pesan suara tersebut.
“Listen carefully if you want to be free!”
Suara itu tak lagi asing bagi Jelita. Ya, suara milik Jhonas si laki-laki b*****h yang menyekapnya disini; menjadi sebuah kalimat pembuka di pesan suara tersebut setelah pesan text yang membuat Jelita tersinggung.
Kembali ia memusatkan fokus perhatian pada suara laki-laki itu. Keyakinan tentang Jhonas yang akan menyampaikan sesuatu padanya menjadi semakin besar.
‘Memangnya dia akan menyampaikan apa sampai aku harus mendengarkan dia dengan seksama?’ Jelita kembali bermonolog dengan dirinya sendiri, lalu kemudian meneruskan menyimak pesan dari laki-laki itu.
“Kau memang gadis yang sangat berbeda dengan b***k-b***k jaminan lainnya. But ... you should know that you’re nothing more than a slave!
Kau beruntung ... ya ... beruntung. Mengapa? Karena ... aku akan memberikanmu sebuah kesempatan dan juga pilihan.
Bergabunglah denganku untuk mengganti hutang-hutang Budiman, itu kesempatan. Dan ... jika kau menolak melakukannya maka ... Ibu dan adik laki-lakimu ... ahahaha ... They’re in my hands, Nona Jelita.”
Napas Jelita tercekat, jantungnya seolah seketika berhenti berdetak bersamaan dengan berakhirnya pesan suara tersebut. Namun, belum sempat ia mengambil napas, sebuah pesan suara baru masuk dengan durasi yang hampir sama. Akan tetapi, tangan Jelita mulai gemetar, perasaan marah, sedih, takut, tak berdaya menyerangnya hampir bersamaan.
‘Benar-benar b*****h!’ umpat Jelita dalam hati. Ingin rasanya ia berteriak, lalu mencekik Jhonas hidup-hidup sampai pria itu kehabisan napas. Tekanan yang diberikan Jhonas untuknya, ternyata tidak cukup hanya sampai pada mengurungnya hingga entah berapa lama nanti. Dan kini ... laki-laki itu malah mengancam dengan menyeret untuk melibatkan Ibu dan adiknya dalam masalah ini.
Jelita kembali mengatur napasnya yang mulai tersengal-sengal. Beberapa tarikan panjang yang diikuti dengan hembusan perlahan melalui mulut telah sedikit meredakan gemuruh d dadanya. Setelah merasa sedikit lebih tenang, ia kembali menekan tombol play dalam pesan suara tersebut.
“Bagaimana? Tawaran yang menarik bukan? Selama ini ... belum ada satu orang budakpun yang mendapatkan kesempatan dan pilihan dari seorang Jhonas Miller. Dan ... sudah menjadi ketetapan dalam bisnisku bahwa ... tak ada satu orangpun yang bisa menolak apapun yang sudah aku inginkan dan perintahkan!
Karena ... suasana hatiku sedang sangat baik, aku berikan waktu untuk berpikir. Oh ... perlukah itu, Nona Jelita? Hahaha ...
Saat Linda datang membawakan makanan ke-dua, pada saat itulah kau dan aku akan bertemu. Tentu saja dengan jawaban “YA” darimu, Nona Jelita. Bukan begitu? Hahaha ... atau kau lebih senang jika Diana dan Altara mati, hmm?”
Pesan suara itu berakhir dengan menyisakan sebuah lubang dalam rongga d**a Jelita. Sudah cukup baginya mendengar sebuah ultimatum dari sang b*****h bernama Jhonas. Ia meletakan ponsel itu begitu saja di tempat tidur sementara dirinya bangkit, lalu berjalan perlahan menuju pintu kamar.
Tertatih-tatih, tanpa ada daya dan energi ia berjalan dengan limbung.
‘Inikah takdir yang Tuhan gariskan untuknya?’ Jelita memegang dadanya yang penuh sesak dan serasa akan meledak setiap saat. Ia sama sekali tak menyangka jika ulah sang Ayah akan benar-benar membuatnya serasa mau mati.
Jelita terduduk, lalu bersandar dipintu sambil memeluk lutut. Tubuhnya mulai gemetar, sedetik kemudian bayangan Diana sang Ibu dan Altara sang adik melintas di dalam pikirannya.
Kenangan-kenangan manis berputar bagai film yang semakin menyesakan d**a Jelita. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan bila dua orang yang amat dicintainya harus mati mengenaskan ditangan b*****h Jhonas.
Jika terjadi hal yang demikian, maka orang pertama yang akan ia salahkan adalah sang Ayah! Orang itu adalah pembunuh bagi keluarganya sendiri jika sampai itu benar-benar menjadi nyata.
Tak hanya menyesakkan d**a saja, tapi semua gambaran tentang kenangan itu membuat kepala Jelita menjadi terasa berdenyut-denyut seperti saat Ia dalam keadaan terjepit sebelum menerima penghinaan dari Danu.
Telinganya kini juga kembali berdenging hebat. Tangispun pecah seketika karena Ia merasa sangat sedih, kalut, marah, benci, dan ingin sekali terbebas dari tempat terkutuk ini.
Gadis itu diliputi sebuah aura negatif yang semakin lama menjadi besar, pekat dan menghitam. Dengungan yang ia dengar semakin melengking tinggi di telinga, semakin bertambah memekakkan dan akhirnya seperti tak dapat terjangkau dalam kemampuan gendang telinganya.
Tak kuat menahan semua tekanan serta siksaan rasa itu, akhirnya Jelita menjerit histeris dengan segenap sisa tenaganya, kemudian ia kembali menangis sesunggukan, lalu melemah dan menjadi sebuah isakan yang semakinlama semakin menghilang...
Perlahan ia bangkit untuk berdiri. Dengan melakukan hal itu saja, setiap pergerakannya malah semakin membuat kepalanya berdenyut dengan hebat. Tusukan-tusukan dari ribuan jarum panas yang kasat mata seolah merejam dan memasuki setiap pori kepala.
Kembali bayangan Diana dan Altara berkelebat dalam penglihatan Jelita. Kali ini ... ia melihat sang Ibu dan adik tergelatak bersimbah darah dan penuh luka, lalu ... ia tampak pula dalam pandangan batinnya, sesosok laki-laki yang menjadikannya teramat benci pada keadaan kini. Seorang laki-laki j*****m yang menyebut dirinya dengan nama: Jhonas Miller; tersenyum menyeringai sambil membawa sebuah pistol yang masih mengepulkan asap.
Jelita kembali menjerit, kali sangat keras dan lebih mengerikan dibanding sebelumnya, hingga membuat pengawal yang berjaga diluar menjadi sangat terkejut dan panik. Serentak, semua menjadi lebih waspada untuk berjaga di depan pintu ruang tempat sumber kegaduhan itu berada.
Amarah sang gadis membuncah dalam keputusasaan dan dendam. Jelita merasakan kepalanya kembali berdenyut bagaikan sebuah palu godam tengah memukulnya berkali-kali tanpa jeda. Kemudin dengungan di telinga menjadi semakin tinggi dan menyisakan dengking nyaring tak tertangkap pendengaran manusia biasa. Lalu, sesuatu yang luar biasa kembali terjadi. Bagaikan orang yang yang berada dalam kondisi tak sadar dan kerasukan sesuatu, untuk kedua kalinya Jelita mengamuk.
“Arrrghhhhh!!” Jelita berteriak mengerang sambil mencengkeram kepalanya yang terasa sakit.
“b******k! b*****h! b******n kau Jhonas!!!” caci maki teruntuk Jhonas Miller keluar dari bibir manis Jelita yang tengah diliputi api amarah yang membuncah.
“Arrrrrghhhh!!!”
Braaaaaaakkkk!!
Terdengar keras sebuah benturan suara benda yang hancur mengenaskan menggema di ruangan ini.
Napas Jelita tersengal-sengal sementara tangannya masih berada di sebuah Lemari kayu yang berhasil ia hancurkan dengan sekali pukul. Kerusakan tersebut sangat parah, hingga membuat lubang besar pada pintu lemari tersebut. Bukan hanya itu saja, tangan kecilnya yang halus ternyata juga telah berhasil membuat retak kesemua bagiannya.
Darah keluar dari punggung tangan Jelita tanpa ia rasakan lagi. Perlahan, gadis itu menarik tangan yang masih berada dalam jepitan lobang dinding lemari hasil dari kemarahannya. Napas yang tersengal-sengal kini berubah kembali menjadi isak tangis dan seketika tubuh Jelita terhuyung jatuh ke lantai.
Semua gelap dan Jelita tak sadarkan diri.
***