Mami, Mawar Rindu ....

1427
Dua pekan setelah acara liburan kemarin dan obrolan dari hati ke hati antara suami istri. Fitri perlahan mulai menyadari bahwa sikapnya tidak baik belakangan ini sehingga melupakan kedua anak dan suaminya. Dari situ, ia mulai berubah menjadi lebih baik lagi, sudah kembali lagi ceria dan tak lagi banyak melamun seperti sebelumnya. Ucapan suaminya berhasil membuat dirinya berpikir semalaman suntuk dan menyadari kesalahannya selama ini. Ya walaupun memang perubahannya belum seratus persen sesuai dengan keinginan suaminya, tetapi setidaknya keadaan Fitri semakin hari semakin baik. Rasa takut dan khawatir memang masih tertanam di dalam hatinya, namun ia berusaha untuk mengontrol kedua rasa tersebut agar tidak terlalu menggebu dan mengakibatkan keadaan yang buruk untuk kedepannya. Mawar masih terus mengejar Tata untuk membantunya tetapi bocah kecil itu tak berani untuk membantu tanpa ada restu dari Ibunnya. Tata takut menyakiti hati Ibunnya lagi jadi memilih untuk menghindar setiap kali Mawar memintanya bantuan. Sama seperti sekarang ini, di sekolahan bocah tak kasat mata itu terus mengikuti kemanapun Tata pergi dan selalu merengek juga memohon. "Nona Putri, tolong aku. Aku mohon," mohonnya untuk yang kesekian kalinya. Tata meliriknya sekilas, tatapan mata mereka bertemu dan saling mengunci. Ada sebuah kerinduan yang sangat besar dari sorot mata Mawar, mungkin bocah tak kasat mata itu memang benar-benar merindukan Maminya, tapi untuk saat ini Tata belum bisa melakukan apa-apa. Tata hanya menghembuskan nafas panjang dan menggeleng pelan. Lalu pergi meninggalkan Mawar yang masih terpaku melihat perubahan sikap Tata yang tidak seperti biasanya. Mawar kembali mengejar dan duduk di samping Tata menunggu jemputan Ayahnya. Hari ini rencananya Ayah akan menjemputnya karena mereka berdua mempunyai rencana untuk membeli mainan yang diinginkan Tata. "Tata," panggil bocah tak kasat mata itu. "Nona Putri Aletta, apakah aku punya salah? Jika iya, aku minta maaf. Tolong, jangan bersikap seperti ini. Aku butuh bantuan Nona Putri, aku hanya ingin peluk, Mami," lanjutnya dengan suara bergetar. Tata masih menatap lurus ke depan. "Aku kangen banget sama Mami, mau dipeluk seperti Melati yang selalu dipeluk Mami." Suara Mawar semakin parau, sepertinya beberapa detik kedepan bocah tersebut pasti menangis. "Maaf," tutur Tata. "Aku belum bisa bantu." "Kenapa?" "Karena aku gak mau bikin Ibun sakit dan nangis." "Kenapa Ibun sakit dan nangis? Ibun 'kan bolehin kamu bantu aku, Nona Putri." "Ibun lagi sakit," lirihnya. "Sakit apa?" "Hatinya." "Kenapa?" "Ah sudahlah, aku juga bingung kasih tahunya sama kamu." "Tolong, aku mohon, bantu aku." "Kasih aku waktu, kasih waktu biar Ibun sehat dulu." "Baik. Aku akan menunggu waktu itu tiba." Dari pintu gerbang terlihat seorang wanita paruh baya keluar dari mobil mewah dan ada bocah perempuan yang berlari menghampirinya. Mereka berpelukan dan sang Ibu mencium kening anaknya penuh hangat. "Mami, aku rindu," lirih Mawar. Tata melirik Mawar di sebelahnya, menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Tata beringsut turun dari kursi yang sedang di dudukinya lalu berlari kecil menghampiri Ibu dan anak itu. "Melati!" teriaknya memanggil anak tersebut. "Iya Tata, kenapa? Kamu gak dijemput? Mau bareng?" "Gak kok, hehe. Ini Mami kamu?" "Iya, kenapa?" "Gak pa-pa, Tante cantik," puji Tata membuat wanita paruh baya itu tersenyum hangat. "Siapa namamu, Nak?" "Tata, Tante." "Nama yang cantik. Tata ini kawan Melati ya?" "Tata tuh anak yang sangat pintar, Mami," puji Melati. "Oh iya? Wah kamu harus bisa pintar kayak Tata, Nak." "Tata juga suka ajarin aku belajar, Mi." "Betul begitu, Tata?" "Iya, Tante. Kata Ibun, kita harus saling tolong menolong." "Benar itu, Sayang. Semoga kalian menjadi teman baik ya, Nak." "Teman Mawar juga, Tante." "Ma-maksudmu?" ucapnya terbata. Tata memberi isyarat agar wanita paruh baya tersebut mendekat lalu mensejajarkan tinggi mereka. "Mawar, ada disini, Tante," bisiknya pelan namun mampu membuat tubuhnya menegang. Matanya mulai memperhatikan sekelilingnya, mencoba mencari sosok yang dibisiki oleh Tata. "Nak, kita duduk dulu yuk," ajaknya. "Mela, Sayang, Mami boleh minta tolong, Nak?" "Boleh, Mi." "Di mobil ada brownis, Nak. Tolong ambilkan ya, buat Tata, sebagai tanda persahabatan kalian." "Oke, Mami." Melati berlari kecil meninggalkan Mami dan temannya. Sedangkan Maminya dan Tata mencari tempat duduk yang rindang dan tenang. "Perkenalkan dulu, nama Tante Rosa, Nak." "Iya, Tante. Aku tahu, dari Mawar." "Maksudmu gimana, ya, Nak?" "Mawar ada disini, Tante. Di sebelah kanan Tante." "Mawar? Disini? Kamu serius, Nak?" "Iya, Tante." "Ya Allah, Mawar. Mami rindu, Sayang." 'Tata, bilang Mami, aku juga rindu.' "Tante, kata Mawar, aku juga rindu, Mami." "Ya Allah. Maafkan, Mami, Nak. Maafkan, Mami." "Jangan nangis, Mi. Mawar gak mau liat Mami nangis lagi," ucap Tata meniru perkataan Mawar. "Mami salah, Nak. Mami tak bisa menolongmu, tolong maafkan, Mami, Sayang." "Mawar udah maafin, Mami. Mawar sayang sekali sama Mami." Lagi-lagi Tata meniru ucapan Mawar. "Mami ingin bertemu, Nak." "Tata belum mau bantu Mawar, Mi." "Maaf ya, Tante," ucap Tata lirih. "Kenapa, Nak? Kenapa gak mau bantu?" "Bukan, Tante. Tapi, Tata takut Ibun nangis lagi, kasihan lihat Ibun nangis kalau Tata selalu bantu mereka yang gak kelihatan." "Kalau Tata bantu juga, Tante gak bisa lihat Mawar cuman bisa ngerasain aja." "Kapan itu, Nak?" "Nanti, kalau Ibun sudah bolehin Tata bantu. Tata dan Abang takut kalau Ibun nangis teriak-teriak gitu. Kasihan," lirihnya. "Boleh Tante ketemu sama Ibun?" "Boleh, Tan." "Dimana alamat rumah, Nak?" "Perumahan Saphire, Blok D5 No. 21, Tan." "Baik. Nanti Tante akan main ke rumahmu, ya." "Iya, Tante. Aku duluan ya, itu Ayah sudah jemput," ucapnya saat melihat mobil Ayahnya sudah masuk pelataran sekolah bersamaan dengan datangnya Melati yang membawa satu kotak brownies. Tata, Melati dan Maminya melangkah menuju parkiran. Tata pamit dan berlari menuju mobil Ayahnya tak lupa melambaikan tangan pada Melati dan Maminya. "Siapa, Dik?" "Mami dan adiknya, Mawar." Fauzi langsung menoleh ke anaknya dan memicingkan matanya lalu berkata, "Adik gak bertindak macam-macam, 'kan?" "Gak, Ayah." "Yakin?" "Iya, Ayah." "Tapi, kenapa tatapan maminya Mawar beda?" "Hm … anu … Ayah." "Adik ada ngomong soal Mawar?" "Maaf." "Ya Allah … kita 'kan sudah janji gak bantu Mawar dulu sampai Ibun bolehin, Dik." "Adik cuman bilang kalau Mawar kangen dan sayang Maminya, Yah. Udah gitu aja." "Terus apa kata Maminya?" "Minta ketemu Mawar, adik bilang gak bisa. Yang bisa lihat Mawar 'kan cuman kita." "Terus?" "Mau main ke rumah." "Hah? Kok bisa?" "Maminya minta ngobrol sama Mawar. Adik bilang gak bisa, Ibun gak bolehin. Adik gak mau Ibun sakit dan nangis lagi, gitu." "Terus Maminya minta alamat rumah, mau ketemu Ibun. Berteman gitu, kayak Adik sama Melati dan Mawar." "Ya ampun, Dik. Semoga saja Ibun gak marah dan mau ketemu sama maminya Mawar." "Lain kali, jangan bertindak sesuka hati bisa gak, Dik? Ayah khawatir kalau Ibun belum stabil." "Maaf, Ayah." "Ya sudahlah, Nak. Sudah terlanjur juga, kita beli mainan terus pulang, ya. Ayah masih banyak kerjaan, Sayang." "Iya, Ayah. Ini ada kue dari Maminya Mawar." "Ya nanti bawa turun saat sudah sampai di rumah." "Siap pak bos." *** "Assalamualaikum, Ibun. Adik pulang!" teriaknya masuk ke dalam rumah mencari Ibun. "Waalaikumsalam anak gadis Ibun. Wah borong mainan nih kayaknya." "Hehe, kata Ayah boleh asalkan Adik senang, Ibun." "Iya, deh, Nona Putri hehe. Mainan ini lebih baik daripada sama mereka yang gak kelihatan, 'kan," kekehnya. "Ih, Ibun, gak boleh, gitu! Kata Ibun, mereka juga sama kayak kita 'kan? Bedanya lahir duluan, baru kita." "Iya deh, anak pintar." "Eh, Adik bawa apa lagi itu?" "Kue, Ibun." "Wah dari Ayah buat Ibun ya, Nak?" "Bukan." "Lah, terus?" "Dari Maminya Mawar dan Melati." "Hah?" "Iya, Ibun, tanda persahabatan katanya." "Adik gak macem-macem, 'kan?" "Gak, Ibun. Sumpah." "Kok bisa tiba-tiba ada segala tanda persahabatan?" "Soalnya, Adik selalu bantu Melati kalau di sekolahan." "Oh begitu." "Iya, Ibun. Nanti Maminya Melati mau main kesini." "Hah? Mau ngapain?" "Ketemu Ibun, persahabatan juga katanya." "Adik kasih alamat rumah kita?" "Iya, Ibun," balasnya polos. "Hm … lain kali, jangan asal kasih alamat rumah ya, Nak. Khawatir ada orang jahat yang dengar dan nanti ada yang jahat sama keluarga kita." "Iya, maaf, Ibun. Adik janji gak akan kasih alamat rumah lagi ke siapa-siapa." "Nah, itu baru anak pintar." "Ibun, katanya Mawar kangen sama Maminya." "Hm …." "Tadi, Adik udah sampaikan ke Maminya kalau Mawar kangen." "Ya Allah … pantas saja tanya alamat rumah. Adik pasti berulah deh, nih!" "Gak, Ibun. Cuman bilang Mawar kangen dan sayang sama maminya, udah itu aja gak banyak-banyak." "Hm … ya sudah. Mandi sana, sudah ashar. Terus shalat ashar ya!" perintahnya. Tata berlalu pergi menuju ke kamarnya, Fitri menatap punggung mungil itu dengan tatapan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Hatinya bergemuruh, tapi harus tetap tenang, anaknya itu memang masih polos dan sikap anak-anaknya masih ada walaupun terkadang di keadaan yang berbeda akan berubah menjadi dewasa. 'Semoga tidak ada sesuatu yang menegangkan saat Maminya Mawar berkunjung kesini. Aku hanya ingin tenang dan damai tanpa adanya keributan. Apalagi keributan dengan sesuatu yang tak nyata. Sungguh, sangat melelahkan." ***
신규 회원 꿀혜택 드림
스캔하여 APP 다운로드하기
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    작가
  • chap_list목록
  • like선호작