Cuaca hari ini dari pagi sedikit mendung, dan ketika aku baru saja masuk ke café untuk makan siang dan mencoba egg benedict yang terkenal itu, hujan pun turun lumayan deras. Untungnya aku membawa payung lipat di dalam tasku karena pagi tadi sudah dikatakan akan turun hujan oleh pembawa berita cuaca di televisi. Dan untungnya, karena setiap pagi kami selalu menyalakan televisi untuk menemani aktivitas pagi, berita pun jadi andalan. Ini adalah satu kebiasaan ku sejak dari awal bekerja sebagai Broker dulu. Rendi pun ku suruh untuk membawa payung lipat karena aku takut hujan juga akan turun malam nanti ketika ia ingin pulang dari kantor.
Aku memilih duduk di dekat perapian elektrik yang berada dekat dengan counter kasir dan etalase kaca setelah memesan egg benedict dan flat white agar tidak terlalu dingin di musim gugur seperti ini. Sebenarnya aku ingin memesan sup sayuran yang ada di menu café vegetarian ini. Tadinya ku pikir menu telur di sini tidak ada, namun ternyata aku salah membedakan vegetarian dan vegan. Bagi vegetarian, mereka masih mengonsumsi telur dan telur. Berbeda bagi orang-orang vegan yang benar-benar mengonsumsi sayuran dan buah-buahan dan tidak memakan olahan dari hewan seperti telur dan s**u. Aku cukup senang bisa menemukan menu egg benedict yang aman karena tidak menggunakan pork bacon, tapi daging buatan ini dibuat dari jamur dan entah bahan apa lagi.
Ada beberapa orang yang yang juga memenuhi café. Sebagian mungkin sama sepertiku yang ingin menikmati makan siang, namun sisanya mungkin memilih untuk berteduh dari hujan sebentar ditemani kopi hangat atau camilan. Aku duduk sendiri di meja untuk dua orang. Disebelahku ada seorang wanita yang terlihat sangat cantik dengan hidung simetris yang tinggi, wajahnya yang putih mulus tanpa acnes. Pipinya dipoles blush on sedikit dan membuat wajahnya sedikit cerah merona. Ia terlihat sedang menunggu seseorang karena sedari tadi sibuk memandang ke pintu masuk yang beberapa kali terbuka didatangi orang-orang. Dan ketika pesananku datang, orang yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia masuk dengan mantel yang sedikit basah karena hujan di luar sana. Sepertinya mereka adalah pasangan kekasih, atau mungkin bahkan sudah menikah jika dilihat dari gestur ketika mereka mengobrol dan PDA.
Sang pria meminta maaf, aku bisa melihat yang wanita merasa tidak terlalu peduli kalau pasangannya itu telat. Aku jadi teringat obrolanku dan Rendi tentang masalah bucin seperti ini. Sang wanita berpenampilan seperti Mila, dan aku bisa membayangkan, oh, inilah bentukannya kalau Mila bisa tergila-gila dengan pria.
“Maaf aku telat karena ada urusan kantor mendadak.” Kata sang pria pada sang wanita dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
Namun sang wanita tersenyum manis dan menggeleng pelan.
“Tak masalah.” Katanya dengan suara yang lembut dan berbeda sekali dengan penampilannya yang arogan.
Aku memotong telur setengah matang yang kuningnya meleleh mengenai daging dan roti yang ada dibawahnya. Melihat makanan yang menggugah selera, aku pun menyuap potongan besar ke mulut dan mengunyahnya pelan-pelan. Dan sembari menikmati makan siang, aku mencoba menguping pembicaraan orang yang ada di sebelahku ini. Karena aku belum memiliki satu pin teman di sini, percakapan sekecil dan sesimpel ini dari orang lain saja sudah bisa membuatku senang. Menguping memang satu hal yang kurang baik, tapi dari pada aku hanya diam termenung tidak jelas, lebih baik aku mendengarkan percakapan orang asing saja.
“Mum menanyakan apakah kau akan datang untuk ulang tahun Grandma?” tanya si wanita pada prianya.
“Ulang tahun? Aku rasa aku tidak bisa, pekerjaanku sedang sibuk-sibuknya. Kau tahu kan kalau aku baru saja naik pangkat dan kami baru saja membuka toko kelima belas di Adelaide? Mana mungkin aku bisa bersantai dan pergi mengunjungi Grandma? Yang benar saja.” Katanya dengan nada ketus.
Aku mengerlingkan mata karena tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu dari pria yang baru saja datang. Kalau aku adalah si wanita, mungkin aku akan mempertanyakan jawaban dan nada bicaranya itu yang membuatku kesal.
Aku menunggu jawaban dari si wanita yang tidak terlihat kecewa atau pun sedih atas jawaban pasangannya itu. Penasaran membuatku semakin fokus untuk menguping.
“Tak masalah, ku rasa Grandma juga tidak akan sedih kalau kau tidak datang.” Jawab si wanita dengan senyumnya yang manis.
“Oke, untunglah. Bisakah kau mengatakannya pada Ibu dan Ayahmu? Mereka pasti akan kembali mengeritikku dan mengatakan kalau aku bukanlah orang yang cocok untuk menikah denganmu. Keluargamu itu benar-benar memandang aku seperti tikus got miskin yang tak layak menikahi putrinya.” Kata si pria.
“Baiklah, tapi kelurgaku tak pernah menganggapmu seperti itu. Mereka hanya belum terlalu kenal denganmu karena setiap ku ajak kau untuk mengunjungi rumah, kau selalu sibuk dengan urusan pekerjaanmu itu.”
“Oh, jadi sekarang aku yang salah karena sibuk bekerja untuk membuktikan pada keluargamu itu kalau aku layak dan mapan?”
“Bukan itu maksudku, kau jangan tersinggung, Ben.” Ku liat si wanita yang merajuk agar sip ria tidak ketus dan cemberut.
“Terserah kau saja, yang penting jangan sampai mereka mengeritikku.”
“Oke. Oh, aku sudah memilih gaun untuk pernikahan kita nanti, kau benar-benar tidak mau melihtku dengan gaun itu?” tanya si wanita lagi.
“Biar aku lihat di altar saja.” Balasnya.
“Kau ingin kejutan? Oke.” Si wanita pun tersenyum manis kembali ke si pria yang acuh tak acuh dan kini sibuk melihat buku menu.
Rasanya aku sudah cukup mendengarkan obrolan yang membuatku sakit kepala dan mempertanyakan kewarasanku. Aku menggelengkan kepala karena merasa frustasi dengan percakapan dua orang di sebelahku ini. Niat awalku yang ingin sedikit memberi hiburan untuk kebosananku dengar menguping pembicaraan orang-oarang yang tak pernah ku kenal atau bahkan tidak akan ku kenal, kini malah membuat pusing bukannya mengobati kebosananku ini.
Mungkin karena niat awalku sudah jelek, semuanya berjalan tidak sesuai dengan harapanku. Masa bodoh lah.
“Aku ke toilet sebentar.” Si wanita pun pamit dan meninggalkan meja mereka.
Makanan di piringku tinggal sedikit. Aku ingin buru-buru menghabiskan semua yang ku pesan ini dan pergi menerjang hujan. Lebih baik aku ada di rumah menonton entah apa atau membuat kue mungkin, daripada tak sengaja mendengar percakapan yang tidak jelas tidak masuk akal ini.
Sepeninggalnya sang wanita, di pria sibuk dengan ponselnya. Aku pun sibuk mencari di mana ponselku berada untuk memesan Uber. Makananku sudah habis, begitu pula dengan kopiku. Yang ada di meja hanyalah air putih yang hanya ku minum sedikit karena aku sudah kekenyangan.
“Hai, Babe. Kau sedang apa?” aku menoleh ketika kalimat itu meluncur sempurna dari pria yang tadi yang baru saja mengobrol dengan pasangannya. “Aku rindu padamu.” Nada bicaranya jauh lebih lembut dari saat ia mengobrol dengan pasangannya itu.
Aku mengeryitkan dahi keheranan. Aku yang tadinya ingin segera pergi dari sini, mengurungkan niat karena ingin mendengar lebih jauh apa yang pria itu katakan pada lawan bicaranya di telepon.
“Zoe sedang berada di toilet. Ia sangat cerewet tentang ulang tahun neneknya, gaun pengantinnya, dan banyak lagi. Aku benar-benar muak dengannya. Ku mohon kau bersabar. Saat aku sudah menikah nanti, dan aku sudah mendapatkan sebagian saham perusahaan milik Ayahnya, aku akan segera menceraikannya dan aku bisa menikahimu.”
Damn. Darahku sudah mendidih mendengar si b******k ini mengatakan sederet kalimat panjang yang tak kan ingin didengar wanita mana pun. Aku pun berdiri, dan mengambil tas milikku. Uber yang ku pesan sudah datang. Namun sebelum pergi, aku mengambil gelas berisi air putih yang tinggal setengah itu dan melemparkan semua isinya secara perlahan di kepala sang pria yang masih asik menelepon pasangan selingkuhnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Bentak di pria padaku yang membuat smeua orang menoleh pada kami dan kebingungan sendiri.
Si wanita yang baru saja dari toilet menatapku dan pasangannya itu panik. Ia berjalan cepat kea rah kami dan memegang bahu pasangannya khawatir.
Aku menunjuk tepat ke muka si pria dengan wajah garang, “ternyata jenis pris b******k sepertimu masih betah menjadi lintah bagi wanita-wanita yang benar-benar mencintai pasangannya. Menikahi dia demi hartanya? Ya tuhan! Yang benar saja! Hidupmu sudah seperti semua peran antagonis di soap opera!” teriakku dengan menujuk-nunjuk wajah si pria dengan puas.
“Tahu apa kau!” Bentakanya sama sekali tidak membuatku takut malah semakin semangat untuk mempermalukannya di tempat umum. Ia mengelap badannya yang basah karena air dengan tisu.
“Tahu kalau kau baru saja menelepon selingkuhanmu dan meninggalkan pasanganmu yang sedang hamil ini menderita!” Balasku sedikit berlebihan dengan menyisipkan kebohongan kecil yang membuat semua orang yang memperhatikan kami bergunjing dan sebagian berdiri untuk datang melerai.
“Apa?!” tanya si wanita kebingungan yang memandangku dan pasangannya bergantian.
Aku pun meraih tangan si wanita dan kembali menunjuk pria itu untuk yang terakhir kalinya sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat ini dan membat semua orang jadi ikut campur.
“Jangan pernah sekali-kali kau menghubungi dia, kau b******n tengik! Pergi saja ke selingkuhanmu itu!” teriakku pada pria yang kini menahan diri untuk membalasku.
Aku menarik paksa wanita yang kebingungan itu setelah mengambil semua barangnya di atas meja dan berjalan keluar. Aku buru-buru menyuruh wanita itu masuk ke dalam mobil Uber pesananku meski wajahnya yang kebingungan membuatku merasa iba.
Kenapa aku harus bertemu dengan jenis pria b******k seperti itu, sih? Tidak di Indonesia, di Sydney pun aku bertemu dengan jenis sampah seperti Dion si mantan Mila. Oh, Tuhan! Kepalaku pusing luar biasa!
“Kita mau kemana?” tanya si wanita yang bernama Zoe ini kebingungan karena harus ku ‘culik’ mendadak tanpa tau apa yang sedang terjadi dengan pasangannya itu. Aku melihat cincin yang melingkar di jari manisnya. Ya ampun, Zoe bahkan sudah bertunangan!
“Apartemenku.” Jawabku singkat sambil memijit kening.
-Continue-