Ada salah satu buku seri yang ku sukai yakni, A Series of Unfortunate Events yang di tulis oleh Daniel Hendler, yang nama penanya Lemony Snicket. Dan di antara semua seri buku yang ia rilis, buku yang paling ku suka ada The Slippery Slope, buku anak dengan dark humor yang tak kalah terkenal seperti Harry Potter. Ada satu kutipan yang membuatku tertawa saat aku membacanya, ‘Fate is like a strange, unpopular restaurant filled with odd little waiters who bring you things you never asked for and don’t always like.’ Takdir itu seperti restoran aneh yang tidak populer, yang dipenuhi para pramusaji kecil yang juga aneh yang memberikanmu menu yang tidak pernah kau minta dan tidak selalu kau sukai. Ya, tapi sekarang kalimat itu terasa sangat menohok. Dan bukankah memang seperti itu?
Aku dan Arya, kami berpikir jika pertemuan dan hubungan kami adalah sebuah takdir yang tidak bisa ditelaah secara logis. Dan kini, begitu pula dengan perpisahan yang malam tadi menjadi sebuah episode final dari cerita cintaku. Kini, mungkin aku akan menjadi pemeran pembantu dalam hidup Arya, begitu pula dengan Arya di kehidupanku nanti. Kami akan menjadi si odd little waiters bukan lagi sang pelanggan yang datang ke restoran tersebut. Hanya sosok kecil yang aneh, yang kadang keberadaannya hanya disadari ketika sedang dibutuhkan saja. For a second, or minutes.
Dan tadi malam, saat aku pulang, mataku sudah sembab. Mama masih ada di ruang televisi, asik menonton drama kesukaannya. Ia menatapku penuh selidik di balik kacamatanya yang tebal. Mama memanggilku untuk duduk di sebelahnya, aku yang sedikit lelah dan tidak sedang bersemangat segera menghempaskan badan ke sofa dan diam.
“Kenapa?” tanya Mama lembut.
“Apanya kenapa, Ma?” tanyaku pura-pura tak mengerti.
“Kak, jujur sama Mama. Kamu sama Arya sekarang gimana?”
“Gimana maksudnya?” aku mulai merasa tidak nyaman.
“Mama nggak pernah liat Arya mampir lagi. Jangankan mampir, nganterin atau jemput kamu buat jalan aja nggak pernah. Biasanya setiap weekend kan kamu keluar terus sama Arya.”
“Ma, aku capek mau istirahat.”
“Kak,” aku bangkit berdiri dan berjalan menuju kamarku sementara Mama memanggil.
Aku capek, sedih, kesal, semua perasaan yang kini bercampur aduk tidak keruan mengumpul dan membuatku hanya ingin sendirian saja. Ku taruh tasku di kasur dan aku berbaring sembari memejamkan mata. Tak lama, aku tertidur masih dalam pakaian kerja tanpa menghapus make up.
Besok, pasti wajahku akan jerawatan, aku yakin.
Shit.
***
Aku masih di kantor, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ruangan yang siang tadi sepi sekarang hanya dihuni beberapa orang. Mila, Chandra, dan Tio sudah pulang terlebih dahulu. Aku beralasan kalau akan menunggu macet reda dan ingin mengecek pekerjaan yang belum seepenuhnya selesai. Mereka ragu, namun akhirnya meninggalkanku yang memang sedang ingin sendiri dan pulang larut saja. Aku tidak ingin ditanyai lagi oleh Mama atau anggota keluarga lainnya. Dan mari ambil hikmah lainnya, aku jadi tidak perlu bermacet ria di tanggal ganjil dengan mobil berplat genap.
Layar komputer sudah hitam tanda telah di matikan. Aku duduk sembari menatap pantulan wajahku di layar, aku terlihat mengenaskan. rambutku sudah tak lagi rapi, dan make up yang tidak sekali pun ku touch up hari ini membuat wajahku kusam. Ditambah, satu jerawat nakal yang menghias ujung bibir terasa sedikit ngilu.
“Cha, lo nggak balik?” Reza, yang sedang mengenakan jaket datang ke kubikalku.
“Balik, nih mau siap-siap.” jawabku yang langsung menegakkan badan.
“Tumben lo lembur, bukan Jumat pula.”
Aku tersenyum, “Butuh duit buat skincare, dong.”
Kami tertawa, aku segera merapikan semua barang ke dalam tas tanpa ku rapikan terlebih dahulu. Aku sudah tidak memiliki tenaga untuk merapikannya. Reza berjalan di sebelahku setelah berpamitan terlebih dahulu ke satpam yang berjaga. Kami menaiki lift yang sama menuju lantai dasar. Setidaknya, aku tidak perlu ada di dalam lift sendirian dan menjadi saksi hidup lain tentang kengerian yang kantor ini sering lakukan pada karyawan yang memilih lembur. Aku sedang tidak ingin ketakutan sendirian, jadi kalau ada apa-apa setidaknya ada Reza yang bisa menjadi tumbal untuk dimintai tolong.
Lift sampai di lantai dasar dengan selamat tanpa ada kejadian-kejadian yang akan membuat heboh keesokan harinya. Aku sibuk mencari kunci mobil setelah berpisah dengan Reza, dan ketika sedang fokus mencari karena tadi ku masukkan semua barang secara sembarangan, seseorang memanggilku ketika aku belum menemukan kunci di dalam tas. Aku menengok ke sumber suara, Mila, Chandra dan Tio sedang duduk di lobi sambil memegang kopi.
“Ngapain lo pada masih di sini?” aku menghampiri kerumunan, Mila memberikan gelas kopi padaku.
“Jumat, nih. Cabut yok.” Chandra berdiri, merenggangkan badan, “badan gue udah pegel-pegel lama nggak ajojing.”
“Bahasa lo menunjukkan umur tua lo itu, Can.” Komentar Mila.
“We are old, deh, Mils. Itu fakta yang nggak perlu dipungkiri mengingat kita nggak ada yang botox jadi tuh muka lo semua udah kelihatan kerutan alaminya.” Balas Chandra.
"Duh, ngomong sama lo sekata aja langsung dibalas pakai puisi, sajak, pantun, emang, ya." Balas Mila yang sudah mencangklong tasnya.
"Pantomin juga sekalian, biar puas." Sungutnya yang membuat kami semua tertawa.
“Guys, Beer Garden aja, ya. Paling nggak kalo lo pada mabok gue gampang angkut pulangnya.” Usul Tio yang semenjak menikah memang sudah insyaf ke bar manapun.
Kami berjalan ke luar Gedung, dan berjalan ke lahan parkir, “angkut, dikira karung beras.” Aku tertawa menanggapi.
"Oke deh, daripada diamuk Bunda tersayang." Candra mencolek lengan Tio yang dibalas Tio dengan pandangan kesalnya.
“Pake mobil gue aja, kalo pada mabok nggak bisa balik naik kendaraan masing-masing paling nggak kendaraan lo semua pada aman di parkiran kantor, lah.” Kata Mila.
Kami naik Suv milik Mila. Chandra yang menyupir kali ini karena kami sudah pasti tahu jika Tio-lah yang akan menyupiri kami pulang. Itu sudah menjadi rutinitas jika kami sudah memesan alkohol. Dan kali ini tidak masalah bagiku jika aku wasted sampai tidur, aku tidak peduli. Yang aku inginkan hanyalah melupakan Arya dan Mama barang sejenak saja.
“Gue nginep di rumah lo, ya, Mils.” Kataku.
“Oke.” Mila menaikan kedua alisnya setuju.
Sebenarnya aku belum bilang jika aku bertemu lagi dengan Arya tempo hari pada teman-temanku ini. Namun ku rasa, mereka sudah tau karena aku sedang kusut belakangan ini sehingga mereka rela menungguku pulang dan membawaku untuk melepas lelah barang sejenak di Jumat malam.
Aku ingat saat pertama kali kami semua bertemu. Empat tahun yang lalu saat acara ulang tahun kantor. Aku dan Mila memang sudah berteman karena kami ada di satu divisi dan satu tim yang sama untuk projek Equinox. Saat itu Mila memperkenalkanku dengan Candra si mahluk Human Resource, manusia dengan tampang maha jutek dan persis menilai penampilan orang dari ujung rambut sampai ujung kaki. Awalnya ku pikir aku tidak akan bisa dekat dengan mahluk satu itu, namun takdir berkata lain. Sedangkan dengan Tio, oke, Tio adalah manusia yang paling di cari-cari jika server sedang bermasalah atau ketika komputer ngadat dan harus mengunduh segala macam perangkat lunaknya. Tio, anak IT yang selalu jadi most-wanted person selalu disukai semua orang Tio juga sang social butterfly yang bisa masuk ke circle mana pun dan akhirnya mengikuti segala PPL tak penting kami yang sebenarnya tidak menjadi kewajiban bagi Tio juga.
Dari pertemuan ringan tak sengaja, sampai akhirnya makan malam dilanjut untuk clubbing bersama. Dari sanalah pertemanan yang ku pikir akan lewat begitu saja seperti hubunganku dengan teman-teman lain semasa sekolah dan kuliah dulu yang berakhir karena sudah memasuki masa kadaluwarsa. Aku memang bukan jenis orang yang mudah dekat dan terbuka, bukan pula yang bisa berpura-pura manis untuk menjaga seseorang untuk tetap ada di sampingku. Aku muak dengan segala sugar-coating yang sudah terlalu banyak di lakukan di area pekerjaan. Sudah cukup semua itu ada di area pekerjaan saja, tak perlu sampai merambah ke area pribadi atau bahkan ke pertemanan segala.
Dan mungkin karena itu aku bisa dekat dengan mereka bertiga tanpa harus peduli jika aku harus membuat salah seorang temanku merasanya nyaman karena kepalsuan yang ku buat. Paling tidak, dengan mereka aku bisa mengatakan dan melakukan apa adanya. That’s how we mingling in one tier called friendship.
"Wah penuh juga." Tio berjalan mengekori waitres yang menunjukkan meja kosong untuk kami.
"Friday night, dude." Kata Mila sedikit kencang ditangah keramaian.
“Pesen apa?” tanya Tio ketika kami sudah sampai dan duduk di area outdoor. Malam turun dengan cantik, dengan angin malam kota Jakarta yang sepoy-sepoy meski sedikit berpolusi. Satu fakta love and hate relationship pada Jakarta.
“Open bottle kita?” tanya Mila dan memandang kami semua, menantang.
“Mentang-mentang ada sopir gratis ya lo pada.” Kata Tio sembari tersenyum bercanda.
“Macallan, it’s on me.” Sambung Mila.
“All hail Queen!” Chandra tertawa senang.
Aku menatap pada meja sebelah, ada sepasang pasangan yang sedang menikmati makan malam mereka ditemani obrolan ringan dan musik merdu yang mengalun. satu potret sempurna yang sepertinya sedang dinikmati banyak orang di sini. Wait, ini kenapa banyak sekali yang berpasangan seperti ini sih? Ini juga kenapa lagu yang tadinya upbeat jadi semi-melow begini?
"Lagunya aneh." kataku.
"Hah? Aneh gimana?" Tio menatapku bingung.
"Harusnya tempat ini buat hepi-hepi, bukan buat melow nggak jelas gini." jelasku.
"Wah, kenapa jadi ngomongin lagu? Nggak usah sensi karena sudah jomblo dan iri sama pasangan-pasangan disekitar kita, dong. Paling nggak mereka nggak pesen nasi goreng ikan asin kayak lo sih." Candra tertawa puas.
"Ha ha, lucu, Can. Try again."
"Udah deh, kenapa ujung-ujungnya pada berantem sih? Kan kita mau seneng-seneng di sini bukan pada sinis nggak jelas. Udah deh, pada minum." Waitres datang di waktu yang tepat. botol kami datang dan masing-masing gelas terisi kecuali gelas milik Tio.
Butiran oksigen yang berada dalam gelas perlahan naik dan menghilang. Dingin cairan yang masuk ke mulut meninggalkan pedas namun manis dengan aroma coklat dan karamel di after taste yang meluncur lembut ke kerongkongan. Aku tersenyum ketika satu teguk telah hilang di mulut. Aku mendapati beberapa mata yang memandang ke meja kami karena hirearki yang diberikan oleh sebotol minuman yang ada di meja. Bukan hanya di kantor saja jenjang hirearki terlihat, namun di Bar yang didominasi orang-orang kantoran untuk melepas penat pun, si hirearki ini dapat terlihat jelas.
Bagaimana aku yang tadinya merasa kecil karena status baruku, kini menjadi sedikit pongah pesanan yang nantinya akan dibayar Mila. The table has turned, aku tersenyum. Candra mengoper pesananku ketika apa yang kami pesan datang di kloter selanjutnya. Sedangkan tiga temanku yang lain menikmati pizza dan beberapa makanan ringan lainnya.
Malam turun dengan perasaanku yang sudah tak sinis lagi. Kami menikmati obrolan disela teguk demi teguk yang nantinya akan membuat kami tumbang dan meracau tak jelas. Friday night kali ini tidak seburuk yang ku pikir, mungkin karena ada tiga teman yang menemaniku. Aku mengirim pesan pada Mama untuk memberitahukan jika aku tidak akan pulang dan akan menginap di apartemen Mila. Setelah itu kami menikmati malam yang masih panjang.
Ternyata hidupku memang tidak terlalu buruk juga.
-Continue-