Aku mengaduk kuah Soto Betawi yang sudah bercampur dengan sambal dan kecap, serta sedikit perasan jeruk nipis yang membuat cita rasanya semakin terasa sempurna di mulut. Meski pun semua komposisi dan kondimen yang sudah aku masukkan terasa enak di mulut, namun makanan kesukaanku itu tidak pernah terasa semenyedihkan ini karena sialnya aku yang kembali mengalami kejadian memalukan yang membuat bulu kuduk merinding. Kenapa tidak? Siapa orang normal yang bertemu orang yang tahu aibmu dan kau akan entah berapa lama terjebak dengannya di hari kerja dari jam sembilan sampai jam lima sore? Literally, setiap hari kerja bahkan di jam lembur sekali pun!
Memikirkannya lagi membuat bahuku melorot.
“Kenapa lo kayak orang kemasukan setan begitu? Lesu banget!” Tjania menaruh tas Kate Spade-nya di atas meja, dan melepas lanyard dengan brand yang sama dengan tasnya itu untuk ia masukkan ke dalam tasnya.
“Omongan lo buat gue sedikit jadi bertenaga, thanks.” Ujarku melirik Tjania malas.
Tak ambil pusing, Tjania langsung memesan menu yang sama denganku karena memang inilah satu-satunya menu di tempat makan pinggir jalan yang selalu ramai oleh pekerja kantoran yang baru pulang ini. Lokasi boleh pinggir jalan, tapi kalau diadu kualitas rasanya tidak jauh berbeda dengan makan di hotel bintang lima. Dan sebagai nilai tambah, soto di sini tidak menggunakan santan melainkan s**u. Jelas, kami makan di tempat makan kesukaan Pak Rudi si direktur utama perusahaan Batu Bara yang kapan hari aku temui. Aku juga tahu akan tempat ini dari beliau meski sebelumnya ku cari di mesin pencari Google dan aku menemukan rating dari tempat ini sungguh tinggi dan banyak dikunjungi serta selalu ramai di jam makan siang dan sepulang kantor.
“Kenapa sih? Kantor lo bau? Orang-orangnya nyebelin semua? Job desk nggak sesuai? Bonus ternyata kecil dan ada gosip kalau gaji nggak tepat waktu? Apa sih yang lebih menyedihkan dengan gaji yang nggak turun-turun dan bonus yang nggak sesuai dengan ekspektasi?”
Aku tertawa miris, “bukan karena duit. Lebih buruk dari itu, Caniyaaa...” kataku yang putus asa dengan kenyataan yang sudah terjadi.
“Apaan yang lebih buruk dari duit sih? Kita belum punya pacar, please. Hubungan romantis jelas nggak mungkin, dong, ya.” Tjania tertawa dan suaranya membuatku merasa sebal.
“Sebel banget gue dengar lo ketawa. Bahagia banget emang ya kalau ngetawain orang itu kayak semua beban hidup terangkat karena lihat orang lain menderita.”
“Iyalah, siapa yang nggak suka ada orang yang tidak lebih bahagia dari diri sendiri apa lagi bisa dijadiin bahan lawakan begini, kan? Life feels so perfect kalau ada yang lebih menderita dari gue.”
“Iya, berasa makan Teppanyaki di Ebeya lo ya, berasa makan Wagyu.” Perkataanku mengundang tawa lebih heboh dari sebelumnya. Dan itu berhenti ketika Soto Betawi pesanannya sampai.
“Iya, jadi jelasin dong ke gue kenapa lo nelangsa banget kayak begitu?” Tjania mulai menikmati sotonya sambil menanyakan pertanyaan yang tadi sempat disela oleh omongan ngawur kami.
“Si Ara mana sih? Gue males kalau harus cerita dua kali, nggak ada siaran ulang soalnya gue bete banget.” Ujarku.
Tjania menaruh tomat di mangkuknya ke mangkukku. Wanita bermulut pedas satu ini memang tidak suka sayur. Semua sayur kecuali kentang yang menurutnya dihitung sebagai karbohidrat, pasti akan ia singkirkan dari palete makannya.
“Irit suara dan effort banget sih sampai nggak mau diulang ceritanya. Ara masih di jalan dianterin sama Chris. Tuh kalo punya pacar kayak Ara, enak ada yang antar jemput begitu.” Kata Tjania setengah iri setengah menasihatiku yang sebenarnya tidak perlu karena ia seperti sedang berkaca saja pada diriku.
“Iyalah, effort gue di kantor aja dibayar dua digit. Masa gue mau dengan suka rela melakukan sesuatu melebihi effort gue yang dibayar. Nggak usah gila, Nya.”
“Udah gila, sharing ke teman sendiri dibilang harus bayar.”
“Makanya gue bilang kan nunggu si Ara dulu.”
Di antara perdebatan kami yang tidak jelas ini, makanan yang kami nikmati kian berkurang sampai Tjania memesan semangkuk soto lagi tapi kali ini tanpa nasi karena ia sudah lumayan kenyang namun masih ingin makan sembari menunggu Ara di cuaca malam yang lumayan mendung ini.
Tak lama, Ara yang di antar oleh Chris sampai ke tempat kami. Chris langsung memesan makanan untuk dirinya dan Ara, si pacar.
“Lama, deh.” Kata Tjania pada Ara yang langsung menguncir rambutnya seperti biasa ketika hendak makan.
“Ya ampun, maaf. Macet banget kan jam pulang kantor dan tadi tuh gue ambil pesanan Bunda dulu, nih gue bagi buat kalian. Pudding buah enak banget ini temannya Chris yang buat, pakai buah premium.”
Ara mengeluarkan kotak plastik dari dalam plastik transparan besar yang ia tenteng sedari tadi. Di dalamnya ada beberapa kotak kecil pudding yang di atas dan bagan dalamnya terdapat beragam buah-buahan segar. Selain itu, ia juga mengeluarkan wadah vla dan juga beberapa sendok kayu.
“Ya ampun, Ara. Berapa tahun sih lo kenal si mulut cabe ini? Bercanda dia.” Kataku.
Chris yang langsung duduk di sebelah Ara meletakkan dompet dan ponselnya ke atas meja.
“Beb, save your belonging. Nanti kamu kena copet lagi.” Kata Ara yang langsung mengamankan barang-barang pacarnya itu.
“Lo makan di kaki lima, Chris. Bukan di AMUZ. Kangen dicopet ya?” Kata Tjania pada Chris.
“Oke, sori.” Chris pun mengantongi ponsel dan dompetnya dan langsung menikmati makan malam begitu pesanan mereka di antar.
Dua sejoli yang sudah pacaran dari SMA ini memang selalu terlihat serasi dan ke mana-mana selalu berdua. Siapa pun yang melihat hubungan mereka pasti akan iri setengah mati. Yang pria tampan, mapan, cerdas, sedangkan yang wanita cantik, stylish, dan royal. Kalau di cerita Disney mungkin mereka terlihat seperti pemeran utama, si putri dan pangeran negeri dongeng, sementara aku dan Tjania hanyalah pemeran figuran yang sesekali muncul dan air time-nya hanya beberapa menit saja.
Ara membukakan kotak pudding dan menyodorkannya padaku dan Tjania. Setelah itu, ia memberikan wadah sambal dan acar pada Chris yang sangat menyukai makanan pedas. Pria setengah bule ini menyukai makanan pedas lebih dari tiga perempuan yang juga menyukai pedas meski pun tidak se-hardcore Chris.
“Terus? Kan Ara udah datang nih, ya. Udah bisa dong lo cerita kenapa muka lo lemah, letih, lesu, letoy begitu?” Tanya Tjania yang sudah selesai dengan sotonya, dan kini sedang mencuci mulut dengan pudding yang dibawa oleh Ara.
“Oh, ada apa ini? Kan lo baru masuk kantor baru, emang ada hal apa yang buat lo jadi nggak bersemangat? Bos lo nyebelin? Gaji nggak oke? Teman kantornya nyebelin juga?” Tanya Ara yang pertanyaannya tidak jauh berbeda dengan Tjania.
“Sebenarnya ini agak nyebelin sih, dan Ara nyerempet-nyerempet bener jawabannya.” Kataku menunjuk Ara dengan sendok kayu untuk menikmati pudding.
“Apaan yang gue tebak sama yang Ara tebak tapi beda?” tanya Tjania.
“Bos gue.” Kataku sebal karena harus menyebut dan menceritakan hal yang tidak menyenangkan itu pada Ara dan Tjania.
“Kenapa bos lo?” tanya Tjania yang sudah merasakan ada hal yang bisa ia ledek dari ceritaku dan bisa ia tertawakan.
“Seberapa besar lo percaya kalau apa yang ada di film, sinetron, FTV yah you name it bisa kejadian di dunia nyata?” Tanyaku balik ke dua temanku yang kini sedang menatapku penasaran.
“Kalau film gue masih bisa berpikir kalau ada lah ya yang bisa dimasuk nalar, tapi kalau sinetron sama FTV yang udah aneh-aneh gitu nggak deh kayaknya.” Jawab Ara.
“Tapi itu kejadian sama gue, aneh banget deh sumpah.” Kataku sedikit frustasi.
“Apaan? Lo dari tadi ngomongnya muter-muter doang gue jadi bosen. Buruan deh keburu si Chris nambah satu mangkok lagi.” Ujar Tjania yang kedua alisnya sudah bertaut sebal.
“Aduh, gue tuh inget ini jadi meles sendiri, bete sendiri soalnya nyebelin kejadiannya tuh. Udah pertama kali gue masuk kantor telat, tumben banget gue nggak bangun pas alarm bunyi padahal itu alarm ada beberapa kali gue setel tapi entah kenapa gue malah nggak bangun. Sampai di kantor gue harus antre di meja resepsionis karena gue belum punya ID card jadi harus nukerin dulu sama KTP. Dan pas antre gue ketemu cowok yang nggak bisa naik lift bareng gue karena lift udah penuh. Dan sialnya, itu cowok malah keinjek sama stileto gue, lo tau kan stileto gue yang gue beli bareng Ara di Plaza Indonesia tahun kemarin?” Tanyaku pada dua orang yang sangat fokus itu.
“Yang nude? Lo beli sama Ara yang nude itu kan?” tanya Tjania menegaskan tebakannya.
“Iya yang itu! Itu kan lumayan ya haknya agak lancip. Jadi kalau keinjek sama hak yang kayak gitu pasti sakit kan. dan lo tau siapa yang sepatunya gue injek itu?” Tanyaku bergantian menatap setiap wajah di meja kami.
“Bos lo!” Tebak Tjania yang langsung tertawa.
“Iya.” Kataku.
“Oh my God.” Ara menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
“Itu doang? Lo galau cuma karena lo injek sepatu bos lo dengan stilleto lancip lo itu sampai nggak mau kasih tau gue dari awal dan harus nungguin si Ara dateng baru lo cerita? Astaga!” Tjania berhenti dari tawanya dan kembali ke akal sehatnya untuk mencelaku sambil menggelengkan kepala.
“Ada lagi bukan cuma itu doang! Kalau cuma itu doang juga gue nggak akan merasa kalau itu penting banget sampai buat gue galau dan bete. Kalau keinjek sekali juga gue rasa dia nggak akan mempermasalahkan itu sampai berlarut-larut, tapi beda sama yang ini. Yang ini lebih buat gue malu lebih dari apa pun!” Aku diam sejenak untuk menarik napas kasar, dan menghembuskannya cepat, “bos gue itu salah satu cowok yang ada di mobil yang salah gue naikin. Yang gue kira transportasi online.” Kataku.
Kali ini semuanya terkejut dan tak lama tertawa. Ya, menertawakan seseorang yang sedang merasa malu setengah mati dan mendapati bahwa aku harus bertemu setiap saat dengan bos baruku yang setiap bertemu denganku selalu terlihat tersenyum mengejek.
Akhirnya aku tahu kenapa bos baruku yang bernama Tama itu selalu tersenyum mengejek ketika melihatku kami berpapasan. Semua itu karena ia senang melihatku jadi tidak enak dan merasa malu. Karena benar kata Tjania, kalau pada hakikatnya manusia itu senang ketika spesifik orang yang mereka kenal atau pun tidak merasa sial dan tersiksa.
“Wow, congratulation! Kerjaan baru, ternyata ada pressure baru!” Tjania kembali tertawa karena melihat wajahku yang kuyu, “yuk kita ke A/A, on me!” Kata Tjania bersemangat.
“Puas lo ya ngetawain gue! Sialan!” Umpatku.
“Iya dong, siapa yang meninggikan duit di atas teman sekarang dapat karmanya.” Balas Tjania.
“Oke! Game on!” Kataku yang sudah kepalang.
Chris yang sedari tadi hanya menjadi pendengar dan penonton hanya bisa pasrah menjadi supir dadakan nantinya.