Perjalanan menuju rumah kakak yang berada di Bintaro dari kantor memakan waktu satu jam karena macet. Di tengah perjalanan aku mampir dulu untuk membelikan penganan berupa martabak untuk di rumah kakak.
“Emje, lo kapan ke sini? Mama nanyain mulu gimana itu kabar adekmu jarang telepon Mama. Gimana kantor barunya? Udah ada pacar yang mau bisa di bawa ke Bogor nggak? Gila gue pusing banget jawabnya lo susah banget dihubungin, mana jarang nelepon ke rumah dan bikin Mama jadinya senewen.” Itulah kata-kata yang langusung dilontarkan oleh Kakak semata wayangku yang sudah menikah dan memiliki dua anak. Yang tertua laki-laki dan sudah bersekolah kelas empat SD dan yang satu perempuan, bulan depan mau masuk PAUD.
Aku duduk sembari menunggu dengan tangan yang memegang sepuntung rokok yang tidak ku sulut. Dan tangan yang satu memegang botol air mineral dingin yang baru saja aku beli dari warung pinggir jalan.
“Mbak, ini sudah.” Ucapan penjual martabak yang mungkin sudah seumuran orang tuaku sendiri membuatku berdiri dan mengambil pesananku itu, “yang bawah keju cokelat, yang tengah ketan, kelapa, wijen, yang atas martabak telur.” Jelas si penjual.
“Makasih, Pak.” Aku membayar semua pesanan dan kembali masuk ke mobil setelah membuang rokok yang sudah patah dua ke tempat sampah.
***
“Lembur, ya?” Tanya suami kakakku saat aku datang dengan memencet bel rumah dan kebetulan Bang Andre yang membukakan pintu.
“Nggak lembur, tadi cuma habis nongrong sebentar sama temen kantor. Kak Laeticia, mana Bang?” aku memberikan tentengan martabakku pada Bang Andre.
“Lele di kamar si kecil.” Ujar Bang Andre.
Aku pun segera menuju wastafel yang berada di dekat meja makan untuk mencuci tangan dan masuk ke kamar si kecil Bella yang berada di lantai dua. Kamar yang berukuran lumayan besar dengan dua ranjang tingkat yang tidak terlalu tinggi yang dihuni Bella di ranjang bawah dan Yuta di ranjang atas. Ketika aku masuk, Kak Lele sedang membacakan buku untuk anak-anak.
“Oti Emje!” Teriak Yuta yang langsung turun dari ranjang dan menerjangku dengan memeluk kedua kakiku dengan kedua tangannya yang gemuk.
“Ih, Uta belum tidur.” Kataku menggoda Yuta yang masih memeluk kakiku.
“Kan nunggu Oti.Oti bawain Uta apa?” tanyanya yang kini sudah menarik perhatian adiknya Bella, yang juga ingin ikut turun dan menghampiriku.
“Otinya mau mandi dulu.” Kata kak Lele, “Je, mandi dulu. Nginep, kan?” Tanya Kak Lele yang lebih berupa suruhan dari pada pertanyaan.
“Iya, nginep.” Jawabku menuruti. “Oti mandi dulu, ya. Nanti kita main, Uta makan aja dulu sama Ayah di bawah.”
Yuta yang menurut, langsung melepaskan pelukannya dan turun ke lantai bawah untuk mengecek makanan apa yang aku bawa. Dan aku pun pergi ke kamar sebelah yang merupakan kamar tamu namun lebih sering di huni olehku dibandingkan tamu-tamu lain yang berkunjung ke rumah Kak Lele. Bahkan di dalam lemari, tertumpuk bajuku. Kamar ini lebih cocok di sebut kamar singgahku di bandingkan kamar tamu.
Aku pun segera mengambil baju ganti dan menuju kamar mandi yang berada di sebelah kamar anak-anak. Mandi air hangat setelah seharian bekerja memang lebih enak tapi setelah ini aku tahu bahwa aku akan mendapatkan banyak pertanyaan yang akan diajukan oleh Kakak dan kebanyakan, mungkin tidak akan aku sukai. Pertama soal jarangnya aku pulang ke rumah dan menelpon Mama, dan kedua soal pacar, pendamping hidup, pasangan, apa pun lah itu istilahnya. Apakah aku tidak mau memiliki pasangan? Aku mau! Tapi kenyataannya, banyak yang mundur hanya karena nominal slip gajiku lebih besar di bandingkan semua mantan atau pun pria yang sekadar singgah sementara kemudian pergi kambali karena mereka menyadari bahwa aku bukanlah rumah tinggal, hanya berupa rumah contoh yang seringnya dilihat, dibilang cantik, ideal, nyaman namun tidak pernah menjadi milik siapa pun.
Melankolis sekali, namun itulah nyatanya. Kesetaraan gender bullshit kalau persoalan gaji masih menjadi halangan. Wanita yang memiliki gaji dan jabatan bagus dibilang menjadi penghalang jodoh datang. Lucu, kan?
Aku langsung membilas rambut yang sudah penuh dengan busa dengan air dan menyelesaikan serangkaian ritual mandi malam yang tidak memakan waktu lama seperti mandi saat pagi hari.
Selesai mandi dan merapikan diri, aku pun turun ke lantai bawah dan bergabung bersama semuanya yang terlihat sedang menikmati martabak yang aku bawa. Ruang keluarga dnegan televisi besar yang menempel di dinding tengah memutar seri Peanuts yang dulu selalu aku tonton sampai aku beli komiknya. Sebenarnya bukan aku yang membeli, tapi Papa yang membelikan komik berbahasa inggris itu untukku dan kakak.
“Enak, Uta?” tanyaku mengelus kepala Yuta yang mulutnya sudah belepotan dengan cokelat.
“Enak, makasih Oti.” Jawabnya tanpa memandangku karena matanya masih fokus pada layar televisi.
“Sama-sama Uta, nanti habis makan sikat gigi ya.”
“Iya, Oti.”
Aku duduk di sebelah Kak Lele dan mengambil piring kecil untuk menikmati martabak telur. Bang Andre yang sudah lebih dulu makan martabak manis, kini mengganti menu dengan martabak telur yang ia makan dengan sedikit nasi dan lalapan.
“Gimana kantor baru, Je” Tanya Bang Andre.
Aku menoleh dan tersenyum, “ya begitu deh, Bang. Masih adaptasi sama keadaan kantor, sama kerjaan, sama bos juga. Untungnya teman-teman satu tim orangnya seru, meski ada juga sih yang ambisius banget sampai bawaannya tuh mau cepet-cepet aja kerjanya dan itu malah buat nggak efektif karena dia terlalu mementingkan waktu kerja bukannya hasil kerja itu sendiri. Mungkin karena masih muda jadi egonya masih tinggi dan rasa percaya dirinya tinggi banget sampai nggak mau kalah sama semuanya. Padahal kami itu tim, yah selebihnya gue masih pelajari gimana flow kerja di sana, sih, Bang.”
“Masih baru, masih semangat banget. Masih mau kerja overtime, masih nggak maslaah kena tifus soalnya masih kuat dan masih mikir kalau kerja secara keras sampai lembur terus itu wajar buat menaikan performa dan buat keberlangsungan perusahaan. Padahal ya itu nggak baik juga buat kesehatan dan mental.” Komentar Kak Lele.
“Ya, namanya juga masih muda. Masih belum ada yang komentar sampai marah-marah kalau kerja terus. Nggak ada juga yang ditunggu di rumah, masih sangat konsumtif dan suka nongkrong. Makanya gaji harus besar biar gaya hidup terpenuhi.” Kali ini Bang Andre yang berkomentar.
Aku menangguk paham, aku mengerti karena pernah ada di fase itu. Di mana kerja tidak kenal waktu, jam dua belas masih duduk di pantry kantor dengan kopi panas dan camilan hasil belanja dari Ranch Market dengan anak-anak lain. Kalau sekarang, aku lebih suka bekerja secara cerdas bukan bekerja keras. Untuk apa kerja keras sampai sakit-sakitan padahal kalau pekerjaan itu bisa dipelajari dengan seksama kita bisa menyelesaikannya dengan baik dalam waktu lebih singkat. Meski pun mempelajari pekerjaan dan flow-nya lebih lama, namun lebih efektif.
“Nanti ada fasenya mereka agak lay down dan nurunin ego.” Tambah Bang Andre yang masih asik menikmat martabak telur meski pun nasinya sudah habis.
“Kalo gue sih, selama kelakuan kayak gitu nggak mempengaruhi gue, ya gue bodo amat. Toh nggak ada pengaruhnya ke gue, impact dia kayak gitu nggak gue rasain. Pokoknya selama nggak nyenggo gue ya gue nggak akan nyenggol balik. Itu aja sih.” Kataku.
“Iya, lebih baik bersikap cuek begitu daripada nanti kalau ikut bilangin dibilang sok tau dan menggurui malah jadinya boomerang ke diri sendiri. Jadi mending bersikap bodo amat.” Kak Lele menangguk, setuju dengan opini dan pilihaku dalam bersikap. “Trus habis itu gimana the bachelors di sana? Kamu kan pengennya nyari sendiri dan anti soal dikenal-kenalin. Apa ada kandidat yang mungkin bisa kamu deketin di masa depan?”
Nah, munculah pertanyaan yang paling aku hindari dan membuatku amat sangat malas mendengarnya. Mendengar petanyaan Kak Lele, Band Andre yang tadinya ingin mengambil martabak di meja pun urung. Ia berjalan menuju Yuta yang sudah mengantuk dengan mulut yang belepotan cokelat. Bang Andre pun mengajak Yuta untuk pergi mencuci mulut dan sikat gigi, kemudian tidur. Setelah mematikan televisi dua orang pria di rumah ini pun pergi ke lantai dua meninggalkan aku dan Kak Lele yang akan berdebat panjang sampai tengah malam.
“Baru juga gue masuk kantor belum sebulan, Kak. Lo udah nanyain aja soal cowok. Kalau ada yang eligible dengan prospek yang baik dan bisa menjamin gue di masa depan, kenapa juga gue harus cuek? Zaman sekarang nikah itu semakin banyak pehitungannya, kalau ada yang oke di depan mata ya samber aja.” Kataku sambil memotong martabak di piring.
“Baguslah. Cari pasangan bukan cuma karena bucin aja, tapi juga harus realistis. Cinta doang nggak bisa buat beli emas, nggak bisa buat biaya hidup. Kecuali kalau cintanya itu punya pekerjaan yang layak dan bisa nafkahin lahir batin baru deh, lo samber juga nggak masalah.” Kata Kak Lele.
“Tenang aja Kak, gue masih tiga puluh tahun. Bullshit lah sama yang bilang semakin tua nggak bisa punya anak. Zaman sekarang mau punya anak gampang, kalau nggak bisa punya anak sendiri ya gue tinggal adopsi aja. Banyak anak-anak terlantar di luar sana yang butuh kasih sayang sama perlindungan. Jadi baik dan punya anak itu bisa dari berbagai cara.” Kataku enteng.
Kak Lele menataku sambil meyipitkan matanya, kedua alisnya bertaut tanda frustasi atas apa yang aku sampaikan.
“Nah, ini nih yang buat Mama suka cemas mikirin lo. Pemikiran lo yang sangat open minded ini buat orang tua yang masih konservatif jadi deg-degan nggak keruan. Kalo lo bilang kayak gini ke gue sih nggak masalah. Tapi janganlah lo omongin ini ke Mama atau Papa. Dan lo jangan terlalu ngegas sama tante-tante di grup chat keluarga, udah tau kalau orang yang sangat tua itu dibilangin sama anak kecil, yang umurnya lebih jauh nggak akan didengerin. Jadi percuma lo kasih kasus studi apaan tau yang panjang banget buat menyangkal omongan orang-orang tua, nggak akan di baca itu chat lo.” Kak Lele memandangku dengan pandangan yang suit untuk ku jelaskan.
“Abis gue kesal. Kalau udah mentok nggak ada obrolan, gue yang jadi omongan kalau nggak si Sita yang nikah udah tiga tahun tapi belum hamil juga. Emang dipikir gue sama Sita itu nggak punya perasaan? Suka seenaknya aja ngomong, apa yang gue kirim ke grup itu bentuk defense gue dan gue juga mau bela Sita kalau dia lagi diomongin nggak enak sama orang-orang di sana. Coba lo pikir deh, Kak. Kalau dia stres karena omongan orang gimana dia bisa sehat dan bisa hamil? Sehat itu kan nggak cuma buat badan tapi juga buat pikiran. Kalau bukan gue yang bela diri dan belain Sita, siapa yang mau bela coba? Orang tua Sita juga nggak belain, Mama juga sama. Jadi lo pham kan, Kak kenapa gue males pulang dan nelepon ke rumah?”
“Gue sih paham, tapi Mama nggak paham. Tapi lo jangan gitu lah, omongin baik-baik aja ke Mama. Memang mungkin gue yakin kalau Mama nggak akan langsung sepemahaman sama lo, tapi kalao diomongin berkali-kali dan nggak pakai urat ngomongnya, lama-lama juga Mama bakalan paham. Udah minggu depan atau kapan lo senggang, ke rumah aja pulang. Lo nggak kangen sama masakan Mama emangnya?”
Pengalihan topik pembicaraan ini membuat hatiku yang tadinya panas, jadi mereda. Leherku tak lagi kencang karena emosi, yang ada aku dibuat jadi tertawa oleh Kak Lele.
“Kangen karedok sama gepuk buatan Mama gue tuh.” Kataku.
“Iya makanya pulang! Gue nggak bisa masak karedok sama gepuk, cuma bisa makan sop.” Kata Kak Lele yang membuatku tertawa.
“Ya udah, lo makan malam dulu lah. Gue masak sop iga sama goreng tempe, ada sambel di kulkas. Gue mau ngecek anak-anak dulu.”
“Tengah malem loh ini, ya kali gue makan.” Kataku yang membulatkan mata arena tidak percaya denga apa yang disuruh oleh kakak semata wayangku itu.
“Nggak pa-pa, nanti juga lo habis makan bengong dulu lah, main hape dulu, baca buku dulu. Udah makan sana, awas ya lo nggak makan udah kurusan begitu.”
Kak Lele pun pergi setelah puas memberikan titahnya kepadaku. Satu sesi obrolan yang topiknya tidak menyenangkan selesai. Satu tahapan yang akan terulang ketika aku datang kembali ke rumah ini, namun obrolan nantinya akan berujung seperti ini. Siklus obrolan yang tidak akan ada hentinya sampai aku benar-benar mendapatkan pasang, other significant, soulmate, atau apa lah itu namanya.
Padahal, aku juga mau memiliki pasangan dan menikah kok. Tapi belum bertemu saja yang cocok, yang bisa memahamiku seperti aku bisa memahami orang tersebut. Ah, karena berdebat dan memikirkan banyak hal, aku jadi lapar. Atau mungkin ini hanyalah sugesti saja atas apa yang disuruh oleh Kak Lele. Aku pun pergi menuju dapur, dan mengecek masakan yang ada.