bc

MY BABY TWINS' BELOVED DADDY

book_age18+
2.2K
선작수
10.2K
독자수
섹스
운명적인
임신
착한 여자
CEO
드라마
달콤
bxg
심각한
비밀
like
intro-logo
작품 소개

DISCLAIMER : awas baper, kesel dan sesenggukkan

“Bie, aku hamil. Ini anak kita.”

“Gimana bisa? Berkali-kali kita ngelakuin ini tanpa pengaman. Kamu nggak pernah hamil. Kenapa kamu bisa hamil?”

“Aku nggak tau, Bie.”

“Kamu tau kan kalo aku nggak pernah siap untuk semua ini, Sayang.”

“Tapi, Bie....”

“Kamu harus gugurin anak ini. Kita ... terlebih aku. Aku nggak akan pernah siap untuk ini semua. Kamu tau kan apa yang bikin aku nggak pernah siap?”

Hubungan tiga tahun Ashana Aimara dengan Rakyan Abimana membuahkan janin yang kini bersemayam di dalam rahim Ashana. Ashana bingung dengan semua yang terjadi. Rakyan yang mengetahui kehamilannya meminta Ashana untuk menggugurkan bayi mereka. Rakyan tetap teguh dengan pilihannya. Kenangan kelam di masa lalunya membuatnya tak pernah siap emnerima kehadiran anak di

hubungan mereka.

“Apa yang kita lakukan udah dosa, Bie. Melenyapkan anak ini cuma akan nambah dosa kita. Kita nikah ya, Bie. Aku nggak mau anak ini dicap sebagai anak haram. Cukup orangtuanya yang berbuat dosa. Anak ini nggak salah apa-apa, Bie.”

Apakah drama kehidupan Ashana dan Rakyan akan berakhir bahagia?

chap-preview
무료로 첫화보기
Cemburunya Rakyan
“Sayang, minggu depan anniversary kita yang ketiga. Kamu nggak lupa, kan?” Seorang laki-laki dengan kemeja biru tua yang bagian lengannya sengaja dilipat sampai siku berbicara dengan kekasihnya yang tengah terbuai dengan pemandangan di luar jendela mobil. Dari balik kemudi, laki-laki itu memastikan lampu merah di depan mereka masih butuh beberapa detik lagi untuk berubah menjadi hijau. Dipandangnya sang wanita dengan tatapan yang teramat lekat. “Yang, kamu kok bengong?” Lamunan Ashana buyar. Fokusnya yang awalnya tertuju pada jejeran mobil yang sama-sama menunggu lampu merah berubah hijau teralih pada Rakyan yang masih setia menatap ke arahnya. “Maaf, Bie. Aku lagi asik liatin mobil-mobil di luar. Tadi kamu ngomong apa ya, Bie?” Sadar bahwa Ashana tak memperhatikan ucapannya, Rakyan pun kembali mengulang apa yang dikatakannya beberapa saat yang lalu. “Minggu depan anniversary kta yang ketiga, Sayang. Kamu nggak lupa, kan?” Ashana menepuk kening dengan satu telapak tangannya. Dia hampir saja lupa dengan hari jadi mereka yang ketiga. Bagaimana mungkin justru Rakyan yang lebih mengingat ketimbang dirinya? “Ya ampun, Bie. Maaf banget, ya. Kayaknya karena akhir-akhir ini aku sibuk banget. Maafin aku, ya,” ucap Ashana dengan penuh penyesalan. Rakyan menggangguk dari balik kemudinya. “Kamu mau kado apa, Bie?” “Aku selalu suka apapun yang kamu kasih ke aku, Sayang. Nggak kerasa ya kita udah mau tiga tahun. Kalo aku nggak dateng ke acara reuni waktu itu, mungkin aku masih sendiri sampe hari ini. Terima kasih ya, Sayang. Terima kasih karena selama ini kamu sudah mau jadi teman untuk berbagi.” “Jangan bilang begitu, Bie. Memang semuanya harus begitu kan, Bie,” sahut Ashana. “Aku cinta banget sama kamu.” “Aku juga, Sayang. Kamu tau kan gimana cintanya aku ke kamu?” Ashana mengangguk. “Jangan buat aku cemburu, ya. Sekalipun itu sama Hanan. Hanan itu laki-laki.” “Bie, jangan konyol. Hanan itu temenku dari jaman bayi. Aku sama dia tuh udah kayak adek kakak. Hanan punya pacar juga, Bie. Kamu kenal kan sama pacarnya. Nggak mungkin lah.” Banyak orang bilang reuni itu salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk bisa bertemu dengan jodoh. Ashana yang saat itu memang sedang tidak menjalani hubungan dengan siapapun dipertemukan dengan teman satu angkatannya sewaktu SMA dulu. Dia Rakyan. Sewaktu SMA, jangankan mengobrol, saling menyapa pun tak pernah dilakukan. Lucunya, keduanya baru sadar kalau ternyata mereka berdua bersekolah di SMA yang sama. Sejak reuni itu, hubungan yang terjalin di antara Ashana dan Rakyan sudah berjalan selama tiga tahun lamanya. Selama tiga tahun hubungan mereka, Ashana sudah hafal betul bagaimana sifat Rakyan, kekasihnya. Di awal hubungan mereka, Rakyan memang menunjukkan sifat romatis, justru kelewat romantis. Hal itu membuat seorang Ashana terbuai. Rakyan kerap dibuat cemburu tiap kali melihat Ashana bersama laki-laki lain, meskipun itu adalah rekan kerjanya sekali pun. Cemburu juga seringkali membuat Rakyan gelap mata. Rakyan kerap menuding Ashana mencoba selingkuh darinya. Sebenarnya, rasa cemburu Rakyan yang teramat bisa saja membuat Ashana mengakhiri hubungan mereka, tapi memang dasar Ashana seorang b***k cinta sejati, ia justru memilih untuk tetap bertahan. Yang dikatakan Ashana memang benar. Ashana dan Hanan memang sudah sangat lama bersahabat. Tak hanya mereka berdua yang bersahabat, namun orang tua mereka juga bersahabat. Rumah keduanya pun juga berdekatan. Tak heran Rakyan seringkali dibuat cemburu setiap melihat kebersamaan Ashana dan Hanan. Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan rumah Ashana. Sudah menjadi hal yang sangat wajar untuk Rakyan mengantar Ashana pulang sampai rumah sepulang bekerja karena kebetulan jalur yang ditempuh memang searah. Kedua netra Rakyan menatap sosok Hanan yang berdiri di depan rumah Ashana dengan sebuah plastik hitam yang ditentengnya. “Tuh, kan. Orangnya muncul,” ucap Rakyan pada Ashana. Mereka berdua masih di dalam mobil. Rakyan menunjuk Hanan dengan dagunya. “Baru juga diomongin.” “Bie, jangan begitu. yuk, keluar!” bujuk Ashana. Keduanya pun keluar dari mobil. Ashana tersenyum melihat Hanan yang menyambut kedatangannya. “Bawa apaan, Nan?” “Nyokap nyuruh nganter ini. Gue mau masuk, eh liat mobilnya Kian. Gue titipin ke lo aja ya, Shan. Tolong kasih ke nyokap lo. Gue langsung balik, ya,” ucap Hanan. Hanan segera menyerahkan kantong plastik yang ditentengnya pada Ashana. “Cepet banget,” sahut Ashana. “Nggak mau main dulu? Temenin Kian ngobrol.” “Nggak bisa, Shan. Maaf ya, Ki. Di rumah ada Tisha. Gue duluan, ya!” Hanan segera berjalan meninggalkan keduanya. “Tuh, Bie. Kamu nggak perlu cemburu lagi, ya,” celetuk Ashana. “Masuk, yuk!” Suasana di rumah Ashana memang selalu saja sepi. Salam saat masuk ke rumah pun tak ada yang menjawab. Di rumah ini, Ashana memang hanya tinggal dengan kedua orang tuanya. Akbar, kakak Ashana terpaksa harus tinggal terpisah dengan mereka karena tuntutan pekerjaan di luar kota. Akbar hanya akan pulang dua minggu sekali setiap bulannya. Harum makanan penuh rempah menyambut kedatangan keduanya. Itu pasti masakan yang sedang dimasak Minati, ibu Ashana. Minati memang terbilang handal jika itu soal dapur. Kemampuannya meracik bumbu-bubu memang sudah tak terbantahkan. Ashana menggandeng tangan Rakyan dan mengajaknya berjalan menuju dapur. Sesampainya di dapur, dilihatnya sang Ibu yang sedang asyik mengaduk-aduk masakan di atas api kompor. Tanpa suara, Ashana segera mendekati sang Ibu dan mendekap pinggangnya dari belakang. Minati yang merasa sangat kaget hampir saja memukul Ashana dengan centong sayur yang ada di genggamannya. “Adek!” pekik Minati yang membuat Ashana tertawa. “Kamu ngapain, sih? Bikin Mama kaget aja.” “Mama kebiasaan kalo udah di dapur. Aku ngucap salam nggak kedengeran, ya?” ucap Ashana yang ditanggapi anggukkan oleh. Ashana mengangkat plastik yang dititikan Hanan padanya di depan rumah tadi pada sang Ibu. “Titipan dari Hanan. Dari Bulik Yanti, katanya.” Minati mematikan api kompor dan menerima tentengan kantong plastik yang diberikan putrinya. Ketiganya duduk di kursi meja makan. “Dek, ajak Kian makan dulu. Sayurnya udah matang. Kian, makan dulu, ya!” perintah Minati. Peraturan di rumah ini memang sedikit unik. Si tuan rumah tak akan memperbolehkan tamunya untuk pulang sebelum makan. Minati melongok isi dari kantong plastik yang ada di hadapannya. “Oh, terasi sama kerupuk udang. Om Wahyu pasti udah pulang dari Cirebon. Mama emang nitip terasi karena kebetulan udah habis.” Ashana dan Rakyan makan dalam diam. Kelezatan masakan Minati berhasil menyihir keduanya. Rakyan termenung di tengah suapannya. Pikirannya terbang ke mana-mana. Andai saja dia bisa merasakan hal yang sama terjadi di rumahnya, mungkin dia akan menjadi anak yang paling bahagia di dunia. Menyadari Rakyan tengah termenung, Ashana segera menggenggam tangan Rakyan. Ashana paham betul apa yang dirasakan kekasihnya, terlebih setelah Rakyan menceritakan semuanya padanya. Apa yang terjadi dengan Rakyan seolah-olah membuat Ashana merasa sangat bersyukur karena dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang penuh dengan cinta. “Makannya dilanjut ya, Bie. Kamu nggak usah mikir yang nggak-nggak. Kalo mau nambah, aku ambilin.” “Masakan mama kamu emang nggak pernah gagal. Aku selalu suka masakan mama kamu. Bahkan, aku lebih suka masakan mama kamu daripada masakan di rumahku yang dimasak ibuku,” ucap Rakyan. Gerakan sendok dan garpunya saling beradu berusaha menyuir daging sandung lamur yang nampaknya masih sedikit alot. “Nggak boleh begitu, Bie. Biar gimanapun itu ibu kamu.” “Tapi, dia nggak pernah anggap aku anaknya, Sayang. Keberadaanku di rumah pun kayak nggak dianggap. Untuk ibuku, anaknya cuma dua; Mas Arkan dan Rasen.” “Bie, suatu hari nanti ibu kamu pasti bangga punya kamu. Aku yakin itu,” ucap Ashana berusaha menenangkan Rakyan. “Kita lanjut makan lagi, ya.” *** Setelah makan, Ashana dan Rakyan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama di ruang tengah rumah Ashana. Rupanya, di sana sudah ada Minati dan Hendrawan, ayah Ashana yang sepertinya baru saja kembali dari mesjid kompleks perumahan. “Pak.” Rakyan segera menyambar tangan Hendrawan untuk dikecup bagian punggungnya. Hendrawan meresponsnya dengan senyuman teduh yang setiap kali Rakyan dapat ketika berkunjung ke rumah mereka. “Baru pulang, Pak?” “Iya. Tadi lepas sholat Ashar lanjut ngobrol dulu sama bapak-bapak di mesjid. Minggu depan mau ada kerja bakti bersih-bersih saluran air. Jadi, tadi ngobrol dulu untuk siap-siap alat apa aja yang dibutuhin.” “Saya boleh ikut bantu-bantu juga, Pak?” tanya Rakyan. Ashana yang merasa sedikit terkejut segera mengangkat kepala dan menatap ke arah kekasihnya itu. Rakyan yang sadar tengah ditatap Ashana intens pun sontak tertawa. “Kamu kenapa liatin aku kayak begitu, sih?” “Kamunya aneh. Kok tiba-tiba mau ikutan kerja bakti,” sahut Ashana. “Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau ikutan aja. Kebetulan minggu depan aku nggak ada kegiatan paginya, kecuali sorenya. Kita janjian untuk ngerayain hari jadi kita, kan?” ujar Rakyan. Ashana mengangguk. “Jadi, saya boleh ikut bantu-bantu di kerja bakti, Pak?” “Boleh dong, Kian. Boleh banget. Minggu depan, kalo kamu memang mau ikutan kerja bakti di sini, datengnya pagi-pagi, ya. Kita mulai jam tujuh pagi tepat.” Rakyan merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompetnya. Lima lembar uang pecahan seratus ribuan ditariknya dari dalam dompet. Diserahkannya uang itu pada Hendrawan. Hendrawan merasa bingung dengan tingkah Rakyan yang tiba-tiba memberinya uang. “Ini untuk apa, Kian?” “Pak, uang itu bisa digunakan untuk penyediaan makanan dan minuman selama kegiatan kerja bakti berlangsung. Bapak bisa bilang ke saya kalo kurang ya, Pak,” psan Rakyan. “Kok repot-repot, Kian?” ucap Minati. “Sudah ada anggarannya dari kas RT.” “Nggak apa-apa, Bu. Kas RT bisa dipake untuk hal yang lain.” Perbincangan mereka meningkat. Selama mereka menjalin hubungan, orang tua kedua belah pihak memang belum pernah dipertemukan. Kondisi ini tak jarang membuat kedua orang tua Ashana kerap kali menanyakan keadaan orang tua Rakyan. “Orang tua kamu sehat, Kian?” tanya Hendrawan. Dengan kikuk Rakyan mengangguk. “Sampaikan salam kami untuk keduanya, ya.”

editor-pick
Dreame-PD 추천픽

bc

BELENGGU

read
65.7K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
10.8K
bc

Revenge

read
21.5K
bc

The CEO's Little Wife

read
636.4K
bc

After That Night

read
11.3K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
59.9K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.8K

스캔하여 APP 다운로드하기

download_ios앱스토어
google icon
구글 플레이
Facebook