Suka minta di tabok...

2010
MY BOY               Renata membuka kertas itu dan membaca bait demi baitnya. Mika ikut ikutan melongok kertas itu.             Kamu seperti bola basket.           Engga ada niat buat mainin bola aku? Eh?!             Baru bait pertama yang di baca, Mika sudah ngakak jungkang jungking entah kenapa.             “Ya  ampun! Ren! Rahim gue anget baca beginian!”   seru Mika di tengah tengah tawanya. Renata malah berdecak. Ia merasa sedang di kerjai Juna. Iya, di olok olok.             Mana selera puisinya juga gini lagi. Sok sokan bilang pujangga.             Tapi entah sihir apa yang ada di secarik kertas itu, Renata membaca lagi kelanjutannya. Di bait ke dua, Renata tambah melongo.             Kamu cantik, kaya Mia Khalifa?             Renata mengernyit, baru baca sampai situ. Ia tau, kalau perempuan itu adalah bintang Poorno.             Kamu engga mau celap celup? Eh?             Mika tambah ngakak di bait ke dua ini.             “Wah wah wah!”  ucap Mika seperti sedang memberikan apresiasi untuk puisi Juna.             “Lo di ajak berkembang biak sama Abang Juna yang howet Ren!!”  teriakan Mika, seruan itu membuat Renata jadi malas dan enggan membaca kelanjutan puisi Juna itu.             “Ish! Baru sekolah otaknya m***m mulu!”  decak Renata sambil mencoba menyingkirkan kertas itu.             “Eh! Tunggu Ren!”  Mika menghalangi Renata.             “Gue mau baca, sampe abis.”             “Tuh! Ambil aja, sekalian di makan bareng mie ayam. Buat gantiin pangsit!”              Renata mendorongkan kertas itu ke Mika. Ia kembali melanjutkan acara makan siangnya yang terhalang gara gara Juna.             “Bhuaaa!! Huaa huaaa haha!!”  tawa Mika membuat Renata terganggu.             Oke! Sabar Renata! Otak Mika udah mulai keropos. Jadi gitu. Maklumin aja.             Renata mencoba sabar, ia mengambil suapan yang pertama. Mie ayam itu hendak masuk ke mulutnya. Tapi tiba tiba.             Brak! Brak brak! Mika menggedor gedor meja sambil tertawa terbahak bahak.             “Mika! Bisa tenang engga sih! Gue mau makan. Bukan nabuh beduk takbiran!”  Renata melotot ke arah Mika. Tapi Mika tak peduli. Ia masih lanjut membaca puisi ala Juna Anantatoer toer.             Suapan itu hendak di lanjutkan Renata, s**l banget! Untung gue lagi kelaperan.             Byur! Muahahaha Mwehehe hahaha!!             Tawa Mika sekarang udah engga bisa di kondisikan. Sampai sampai, minum yang sedang Mika tenggak, menyembur ke Renata.             “Mika plastik ….!!!”  Renata memarahi Mika.             “Gila gila! Abang Juna emang cocok jadi badut eh komedian!”              Mika menunjukan lembaran kertas itu. Ada tulisan nama Renata di bawah sendiri. Dengan coretan nama Renata.             Renata melotot mendapati namanya sudah di ganti paksa oleh Juna.             Dari RENATA ABBIGAIL. Jadilah, dengan tangan aneh Juna. Namanya berganti RENATA BABIGILA.             “Aish!”  Renata meraih kertas itu dan mengepalkan tangannya, ia mencari cari sosok Juna yang masih ada di sebrang sana. Sedang menyeruput kuah bakso dengan tatapan yang masih tertancap pada Renata.             “Baby.” bibir Juna bergerak tanpa suara di ujung sana. Di tunjukan untuk Renata, alis Juna sambil di kedut kedutkan.             “Sinting!”  Renata juga menggerakan bibir ke arah Juna.             Juna pura pura salah tangkap, ia menunjukan telinganya dan menadahkan tangan. Seolah ia salah dengar.             “Darling …?” ucap Juna puas. Renata tambah kesal.             Dulu gue pasti dosa besar. Pasti!             Renata mencoba mengabaikan Juna yang terus menerus mengganggunya. Dari Baby jadi Darling. Dasar sinting. ^^^             Pulang sekolah. Siswa berhamburan. Hari pertama masuk sekolah memang begini. Aura aura setan penunggu kasur masih terasa. Soalnya setiap liburan. Hawanya hanya rebahan.             “Senin tiduran di sofa,” Dika sedang mengingat ingat kegiatannya selama liburan.             “Selasa tiduran,” Seto ikut mengingat kegiatan selam liburan.             “Rabu sampe Kamis, baring baring sampe ketiduran.”             “Jum’atnya malah tidur beneran.” Dika sekarang merasa liburnya hanya di isi tidur dan molor. Dari pagi ketemu pagi.             “Sabtunya juga keitung hibernasi.”  Seto menghitung sisa hari yang belum di sebutkan.             “Minggunya udah lulus lisensi buat jadi jenazah onlen.” tukas Juna sambil mendapatkan pelototan dari kedua temannya.             “Kerjaanya tidur mulu!”  tuduh Juna kepada dua temannya itu.             Juna duduk di depan kelas, menunggu gerombolan sesak itu pergi  dan jalanan mulai sepi. Juna mengambil gitar yang selalu di bawa oleh Dika, ia mulai memetik senar itu dan mencoba menyanyi.             “Cek! Cek! Cek saldo yang engga bisa di tarik …”Juna mengeluarkan suaranya dan sesekali berdehem.             “Nyanyi geng …”ajak Juna pada Dika dan Seto yang masih memikirkan, kenapa dua minggi libur terasa singkat kalau hanya di isi dengan rebahan dan ketiduran yang berujung hibernasi.             Kelas IPS tiga. Itu kelas Juna, dan mata elang itu menatap gadisnya yang sedang berjalan. Nampak asing memang, maklum hari pertama masuk sekolah. Renata masih belum paham jalan pulang. Ataupun denah sekolah. Dan sialnya.             Asih! Kenapa gue musti lewat situ! Kenapa kelasnya si cowo aneh itu musti ada di deket gerbang keluar!             Renata yang hendak putar balik itu di hadang Mika.             “Lo mau kemana? Kita mau balik, bukan mau ke UKS!”  Mika menarik tangan Renata. Ekspresi Renata kini tak bisa di jelaskan. Ya! Itu jalan satu satunya. Gerbang masuk dan gerbang pulang itu di pisah. Jadi Renata memang wajib melewati jalan itu.             “Ke UKS sampe maghrib engga dapet poin kan?”             “Dapet dorpize, teh manis sama anak PMR. Dikira lo sekarat.” jawab Mika sewot. Ia sudah kangen rumah, eh Renata malah susah di ajak pulang.             “Buruan Ren! Mumpung udah mulai sepi.” ajak Mika agar Renata mempercepat langkah kakinya.             Renata berjalan dengan ogah ogahan. Ogah mendekati Juna maksudnya. Laki laki itu sedang genjrang genjreng dengan gitar di tangannya. Entah apa yang sedang di nyanyikan laki laki itu. Renata jadi sedikit penasaran.             Tapi setelah lumayan dekat, Renata ingin tutup kuping dengan apapun itu. Bukan suara Juna yang jadi masalah. Engga! Bukan itu. Bukan juga teknik bermain gitar yang Juna mainkan. Bukan juga! Tapi Juna yang merubah lirik lagunya seenak jidat.             “Tak ada manusia, yang terlahir bercula ….” lagi D’masiv yang menyentuh hati itu jadi ambrol derajatnya karena di nyanyikan Juna.             Renata jadi engga untuk mendekat. Tapi tiba tiba genjrengan Juna beralih dengan cepat dan Juna menyanyikan lagu lain. Mata elang Juna sudah menangkap kehadiran Renata. Juna jadi merubah lagunya.             “Kisah kasih di sekolah …”             Suara merdu Juna itu membuat Renata terpukau.             Dengerin bentar engga apa apa kan? Ada secuil asa dan harapan kalau Juna akan menyanyikan lagu itu dengan benar.             “Kisah kasih di sekolah …..  dengan siapa …. Aku ngga tau …..”             Gubrak! Mika yang mendengar itu jadi ingin salto. Ia sudah melting kalau lagu itu di tujukan untuknya.             Akhirnya, lewat lagu Juna itu. Renata jadi belajar untuk tidak menaruh harapan tinggi tinggi.   ^^^             Renata akhirnya melewati Juna.             Misi misi, jangan ganggu. Numpang lewat. Renata sudah komat kamit memohon. Hari pertama-nya sudah hancur karena bertemu dengan Juna. Jadi tolong, jangan di tambah jelek. Kesannya weton Renata ada di Jum’at Kliwon. Bawaanya horor.             “Darling …”Juna memanggil Renata dengan sebutan baru. Belum dua puluh empat jam. Dari Baby berubah jadi Darling.             “Iya Honey …”sahut Mika dengan girang. Seketika Juna melet melet kelolodan.             “Bukan ke elo! Ke Renata!”  tegas Juna sambil merubah haluan pandangan. Ia menebarkan senyum manis ke arah Renata.             “Amit amit.” bentak Renata sambil marah marah.             “Marah marah cepet tua loh, tuh liat Mika. Badan doang kecil, tau tau udah mau lulus aja.”             Tiba tiba, Dika dan Seto yang sudah selesai mengingat dua minggu berlalu untuk rebahan, itu masuk dalam obrolan Juna, Mika dan Renata.             “Jangan ngikut ngikut deh,” Mika ngedumel.             “Ik!”  panggil Juna.             “Mika! Bang Juna yang howet. Panggilnya bisa? Sekalian aja, jangan tanggung tanggung. M-I-K-A! Mika!”  Mika sebal dengan kebiasaan Juna yang memanggil nama dengan tanggung. Mayang di panggil Ma, Mika di panggil Ik.             “Iya, Ika. Gue minta maaf.” Juna dengan malas menyahuti Mika.             “Untung ganteng,” celetuk Mika. Engga kuad, gantengnya engga manusiawi! Tapi yang di ajak reproduksi si Renata. Batinnya dalam hati.             “Buruan Mika! Kita pulang.” Renata tak mau berlama lama di dekat Juna.             “Jagain Baby Renata, jangan sampe lecet. Udah ekstra bubble wrap soalnya.”             Teriakan Juna itu terdengar walaupun Renata dan Mika sudah berbelok dan sudah dekat dengan gerbang pulang.             “Dikira gue paket magic jer kali!”  gerutu Renata sambil menarik tangan Mika erat.             “Lo emang bukan magic jer, lo kan talenan.”             “Lo kecil kaya piso buah!”              Jleb! Cibiran Renata itu menusuk hati Mika,” Iya gue mang kecil kaya upil. Yang penting gue besar.”             Renata menatap Mika dengan melotot, ia sadar. Talenan adalah analogi Mika untuk dadanya yang rata.             “Maksud lo?”             “Maksud gue, hati gue besar, lebar selebar samudera.” Mika segera berdalih. Takut di bogem renata. Saking seringnya Renata bermain di taman, time zone, dan apapun itu. Otot Renat sudah terlatih untuk menjitak kepala orang.             Renata sampai di rumah. Kamarnya adalah tujuan pertamanya. Setelah masuk ia langsung merebahkan diri di kasur. Lelah di hari pertama sekolah. Di semester terakhir sekolah biasanya kita tidak bisa pindah, karena pendaftaran ujian nasional sudah di lakukan. Tapi Renata bisa pindah karena alasan. Alasan yang spesial pastinya.             “Pusing gue.” Renata mengacak ngacak rambutnya. Hari pertama sekolah ternyata sesulit ini kalau bertemu dengan laki laki bernama Juna.             “Mana ada cowo sinting lagi.” desis Renata. Tak sengaja ia meremas kertas puisi Juna yang belum sempat ia buang tadi.             Tangannya bergerak melebarkan kertas itu, tulisan tulisan itu membuat Renata marah. Dari Abbigail jadi babi gilak.             “Dia yang gila!”  Renata menyemprot kertas yang tak bersalah itu. Tanpa sadar, ia membalik kertas itu. Dan ada tulisan lain, tulisan yang lebih rapi dari sebelumnya. Dan isi puisi itu, tak seperti puisi di baliknya yang acak acakan. Renata tanpa sadar membaca bait demi bait puisi itu. Dan bulu kuduknya meremang karena puisi itu, benar benar indah dan puitis.             Elokmu penuh pesona.             Jiwamu pancaran nirwana.             Bercahaya dan penuh warna.             Dewi surga itu bernama, Renata.             Renata tersenyum dengan puisi singkat itu. Tulisanya saja sudah beda jauh.             “Kok yang ini rapi, tapi yang ini kaya tulisan dokter. Dokter kelamin lagi! m***m!”              Renata senyam senyum sendiri dengan bait puisi itu, ia luruh dalam setiap baitnya yang penuh majas yang menggambarkannya. ^^^             Di sisi lain, Juna sedang asik nongkrong dengan Dika dan Seto. Matanya menatapi dua sahabatnya itu.             “Cih! Kok gue mau ya temenana sama lo berdua.” ucap Juna dengan nada sedikit mencibir.             “Karena cuman kita bertiga yang engga punya temen.” celetuk Dika.             “Kita bertiga bersahabat karena udah engga ada pilihan.” jawab Seto menimpali Dika.             Juna tertawa terkekeh kekeh. Ia sadar, karena dua temannya yang gila ini, makanya ia betah berteman dengan mereka lama lama. Karena sama sama gila.             “Tugas Pak Rosul udah di kumpulin belum Jun? Entar lo lupa ngumpulin, lo di cap jadi anak dajjal lagi.” Seto mengingatkan Juna dengan tugas bahasa tadi.             “Udah, sip lah di kumpulinnya.” jawab Juna dengan tenang sambil menyesap minuman hangat kebanggaanya. s**u cokelat cap tapir gurun.             Seto malah menatap sinis pada Dika. Iya, Dika yang membuat puisi sampai menahan boker karena otaknya di pakai untuk berpikir.             “Ngomong ngomong, lo buat puisi apaan Dik?” tanya Seto dengan penasaran. Ia ingin tau, kalau otak Dika yang setengah itu di maksimalkan, jadilah puisi seperti apa nantinya.             “Puisi malem pertama, ngajak istri w*****k wik.” jawab Dika singkat dan padat mengenai garis besar cerita yang ia buat.             “Maksud lo?” tanya Juna kaget.             “Tadinya gue mau buat puisi malem pertama ngajak w*****k, tapi engga jadi. Takut di blacklist sama Pak Rosul. Jadi kertasnya gue sobek.”             Juna yang mendengar itu langsung menahan b***k, panas dingin dan tak karuan.             “Kertas yang di meja itu? Yang masih bersih itu kan?” tanya Juna dengan terbata bata.             “Iya!”  jawab Dika dengan jelas.             Mampus! Itu kertas yang gue pake buat nulis salinan puisi. Buat Renata!! Juna ingin sujud minta pengampunan dari Alloh. Rasanya ia banyak dosa selama di dunia ini.             Ya Rosul!! Batin Juna menjerit.    Karena mengalami cedera tulang belakang, cerita ini belum bisa di update rutin. Kemungkinan bulan oktober. Silahkan tap love, agar ketika cerita update mendapatkan notifikasi ketika update.
신규 회원 꿀혜택 드림
스캔하여 APP 다운로드하기
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    작가
  • chap_list목록
  • like선호작