Tiwi yang merasa tidak enak hati karena harus menganggu Yana bekerja, lalu mematikan telponnya itu. Ia memberikan Yana waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya dan ia akan lanjut mengerjakan pekerjaan rumah. Sudah hampir sore dan biasanya Wendi akan pulang ke rumah satu jam lagi.
Padahal, Tiwi sudah selalu berusaha untuk bisa tampil cantik di saat suaminya pulang kerja. Namun, tetap saja pekerjaan yang tidak ada habisnya membuat Tiwi tidak bisa terlalu memperhatikan dirinya sendiri. Belum lagi dua anak kembarnya yang juga dia urus sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Bahkan, suaminya sendiri selalu mengeluh saat dimintai tolong menjaga si kembar.
“Sayang … Mama mau beresin ruang mainan kalian dulu, ya. Kalian baik-baik di sini dan jangan berantem. Oke?” tanya Tiwi yang sama sekali tidak dijawab oleh si kembar.
Tiwi meninggalkan Koko dan Caca di dalam box bayi mereka dan ia sendiri pindah ke kamar sebelah yang memang menjadi tempat kamar bermain si kembar. Rumah itu memang tidak terlalu besar dan mewah. Namun, itu juga tidak terlalu kecil untuk mereka berempat.
Rumah itu pun dibantu oleh Irwan untuk membelinya. Jika tidak ada campur tangan Irwan, mungkin sampai saat ini Wendi dan Tiwi masih tinggal mengontrak dengan kedua anak mereka itu. Wendi memang kurang dalam masalah financial dibandingkan dengan keluarga Tiwi yang memang adalah keturunan keluarga berada.
“Nggak apa-apa aku repot sekarang ngurus mereka berdua. Nanti kalau mereka udah agak gede dikit juga aku punya waktu buat perawatan dan me time seperti teman-teman yang lain,” ucap Tiwi bermonolog sambil tersenyum dan kedua tangannya tak berhenti mengemasi barang-barang mainana si kembar.
Kamar bermain itu harus selalu steril setelah digunakan seharian karena Tiwi memang takut jika ada benda aneh atau binatang yang menyukai tempat kotor lalu membahayakan keselamtan Koko dan Caca.
Tiwi sudah mandi tadi sebelum ia mengemasi kamar itu, dan sekarang keringat kembali bercucuran di kening dan wajahnya. Bahkan, punggungnya pun basah karena keringat ketika ia selesai mengepel kamar itu. Kamar itu memang ada pendingin udaranya. Akan tetapi sudah tidak lagi terasa bagi Tiwi karena terlalu lelah.
“Liat si kembar dulu lah. Udah setengah jam an aku tinggal,” gumam Tiwi dan bersiap pergi ke kamar sebelahnya yang menjadi kamar utama.
Namun, saat Tiwi keluar dari dalam kamar bermain anak-anaknya, suara bel pintu depan terdengar memenuhi ruangan di rumah itu. “Itu pasti bang Wendi pulang,” ujar Tiwi dengan perasaan yang bercampur aduk.
Di satu sisi … ia teringat tentang percakapan di telpon tadi tentang hubungan terlarang Wendi dengan wanita bernama Karin yang ternyata adalah seorang janda beranak satu. Di sisi lainnya lagi, dia sudah pasti kenal omel oleh Wendi ketika membukakan pintu dalam keadaan dan penampilan yang berantakan seperti sekarang ini.
Tiwi tidak ada pilihan lain selain pergi membukakan pintu terlebih dahulu untuk Wendi. “Aku nggak akan lemah dan diam aja sekarang, Bang. Kamu harus tau kalau seorang istri dan ibu itu istimewa dan nggak bisa dengan mudah disakiti!” gumam Tiwi dan beranjak ke pintu depan untuk membukakan pintu.
“Lama banget sih! Buka pintu doang hampir lima menit!” gerutu Wendi yang pulang tidak sendirian.
“Bang! Ngapain kamu bawa lagi dia ke sini?” tanya Tiwi emosi ketika melihat wanita yang ada di belakang Wendi saat ini.
“Kamu tuh ya! Kebiasaan banget jam segini masih kucel kayak babu gitu! Gimana aku bisa betah di rumah kalau gini terus? Mandi aja belum, malah keringatan begitu semuanya basah!” gerutu Wendi sambil masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh wanita tadi yang memegang pergelangan tangan Wendi.
Betapa sakit hati Tiwi diperlakukan seperti itu di depan wanita lain yang dibawa suaminya pulang. Apalagi saat melihat wanita itu memegang tangan Wendi dengan sangat manja dan tidak ada penolakan sedikit pun dari Wendi.
“Aku lagi beresin rumah, Bang. Belum selesai, makanya belum mandi! Ini rencananya mau mandi setelah liat si kembar, tapi keburu kamu pulang,” sahut Tiwi apa adanya.
“Halah! Banyak alasan aja kamu!” ucap Wendi dan masuk ke dalam rumah seraya bersama Karin yang masih terus menggandengnya mesra.
“Tiwii … buruan sini!” panggil Wendi dari arah ruang tengah.
Tiwi yang masih tinggal di area ruang tamu dengan mata berkaca-kaca langsung menutup pintu dan bergegas menuju ke ruang keluarga rumahnya itu.
“Iya, Bang. Ada apa?” tanya Tiwi saat menghampiri Wendi dan wanita tadi duduk bersender sangat dekat dengan Wendi di kursi yang sama.
“Buatin minum, dong. Karin haus nih!” titah Wendi dengan kasar.
”Dengan seenaknya kamu membawa selingkuhanmu masuk ke dalam rumah kita, Bang! Aku nggak akan membiarkan kalian tinggal dengan tenang di sini. Aku akan berpura-pura bodoh agar kalian puas dan aku akan membalas pada waktu yang tepat. Tunggu aja nanti!” batin Tiwi berkata dengan sangat geram dan kedua tangannya mencengkram erat.
“Hei … kok malah melamun sih? Makanya, kamu tuh tiru Karin nih. Walau pun udah punya anak, penampilannya modis dan nggak kampungan. Mana dia juga kerja lagi. Kamu yang tinggal di rumah aja malah gayanya udik banget!” sindir Wendi dengan sengaja dan keduanya menertawai Tiwi secara bersamaan.
“Mas … jangan gitu juga lah. Gimana pun, dia kan istri kamu dan ibu dari anak-anak kamu. Seharusnya kamu tuh kasih dia modal buat perawatan, biar kinclong gitu.” Karin ikut menimpali dengan nada mengejek. Meski ia memberikan saran kepada Wendi.
“Buat apa lagi dia dikasih biaya perawatan? Ngurus anak sama rumah aja nggak pernah beres kok. Masih mau perawatan, kapan waktunya dia beresin rumah? Yang ada nanti dia malah ngelunjak dan nggak mau lagi jadi ibu rumah tangga yang baik!” balas Wendi kepada Karin dengan lembut.
“Jangan gitu juga, Mas! Mba Tiwi kan juga perlu me time. Gimana kalau kita nanti jalan-jalan aja sama anak kamu yang kembar. Pasti seru kan, Mas?” tanya Karin dengan manja dan wajah berbinar pada Wendi.
“Kamu mau ke mana memangnya, Sayang?” tanya Wendi tanpa filter di depan Tiwi.
“Bang, kamu udah benar-benar keterlaluan sekarang. Tega kamu di depan aku berkata mesra dengan wanita lain. Apalagi, kamu membawanya masuk ke rumah kita,” teriak Tiwi dengan nada kesal dan tentu saja ada rasa sedih yang membuncah di dalam dadanya saat ini.
“Memangnya kenapa? Kamu nggak terima?” tanya Wendi dengan nada menantang.
“Jelas nggak lah, Bang. Mana ada istri yang terima rumah tangganya didatangi oleh pelakor secara terbuka seperti ini. Kamu, juga, Karin! Harusnya kamu lebih punya muka dan tau malu. Bukannya kamu perempuan juga? Seorang ibu juga kan? Harusnya sedikit memakai hati saat ingin merebut pria yang sudah menjadi suami wanita lain dan ayah dari dua orang anak kecil tak berdosa,” terang Tiwi kepada Karin setelah dia menjawab ucapan Wendi dengan sangat berani.
Awalnya Tiwi memang ingin bersikap bodoh dan tidak tahu sama sekali tentang Karin. Namun, ia tidak lagi bisa terima dengan sikap Karin adalah tanpa rasa malu bermesraan di depan Tiwi. Padahal, dia tahu bahwa Wendi adalah suami Tiwi dan bapak dari dua orang anak yang masih berumur satu tahunan.
Karin tidak menyangka bahwa Tiwi yang tadinya terlihat lemah dan gampang ditindas, ternyata berani juga bicara seperti itu padanya. Karin merasa sangat malu dan merasa sangat direndahkan ketika Tiwi berkata kasar padanya. Sementara Wendi hanya diam saja karena jujur saja sebenarnya saat ini dia sedang merasa lelah.
“Aku akan buatkan Abang minum. Tapi, sorry aja aku nggak mau jadi babu untuk wanita jalang ini,” ucap Tiwi dan mengarahkan tatapannya pada Karin dengan tajam.
Tiwi berlalu ke dapur dengan gemuruh di dadanya dan air mata yang sudah lari ke dalam. Sudah tidak bisa lagi rasanya air mata itu menetes karena terlalu sakit hati Tiwi akibat perlakuan dan ucapan Wendi kepadanya.
“Membawa selingkuhanmu ke sini dan bersikap seolah semuanya adalah hal yang biasa. Kau pikir hatiku sekuat itu, Bang?” tanya Tiwi dengan senyum hambar sambil mengaduk kopi s**u dalam gelas kecil.
Tiwi tidak akan pernah rela jika rumah tangganya sudah dicampuri oleh orang ketiga yang berniat merusak. Bagi Tiwi, akan banyak kata maaf untuk segala kesalahan yang dilakukan oleh Wendi. Kecuali bermain hati dan bermain wanita, mengkhianati pernikahan mereka adalah hal yang tidak akan pernah bisa Tiwi maafkan.
Sementara di ruang tengah, Karin tampak masih tida bisa terima dengan perlakuan dari Tiwi kepadanya tadi. Apalagi Wendi hanya diam aja tidak membelanya sedikit pun.
“Mas! Aku pulang aja kalau gitu! Kamu sama sekali nggak senang kalau aku di sini,” rajuk Karin dengan sengaja kepada Wendi.
“Oh, mau pulang? Silakan aja. Harusnya memang nggak perlu datang ke rumah ini sejak awal,” ucap Tiwi yang tidak sengaja mendengar rengekan dan rajukan dari Karin itu.
“Jangan kasar kamu, Tiwi!” bentak Wendi dengan kasar dan langsung berdiri dari duduknya.
“Kenapa memangnya, Bang? Ini rumahku dan aku berhak juga mengusir atau mengizinkan orang yang datang dan pergi dari rumah ini.” Tiwi menjawab dengan sangat berani. Ini pertama kalinya dia membangkang pada Wendi dan jujur saja tubuhnya gemetar karena merasa sudah durhaka kepada suaminya.
Namun, di lain hal ia merasa itu tidak salah karena Tiwi hanya berusaha menyadarkan Wendi bahwa sikapnya sudah sangat keterlaluan dalam hal ini. Dia sudah tidak lagi menjadi imam yang harus dipatuhi dan dituruti. Wendi sudah berjalan di jalan yang salah dan tidak seharusnya.
“Apa dia Tiwi yang selama ini aku kenal? Kenapa dia berubah drastis hari ini?” tanya Wendi di dalam hatinya dengan tubuh yang merasa heran dan mulut ternganga karena perubahan sikap Tiwi barusan.