Mencoba Bersabar

1576 Kata
Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, Tiwi sudah berada di depan klinik itu dan kebetulan ada orang yang baru saja keluar dari sana dengan menggendong anaknya yang berusia tiga atau empat tahunan. Dan sepertinya anak itu juga mengalami sakit di tengah malam ini hingga ibunya membawanya ke sini. Bedanya hanya, anak itu diantar digendong oleh ayahnya dan ibunya menghibur dari samping. “Dokternya ada kan, Mba?” tanya Tiwi dengan suara yang cemas pada wanita yang baru saja keluar itu. “Ada kok, Mba.” Ia menjawab dengan singkat dan menatap Tiwi dengan heran juga iba karena menggendong dua anak sekaligus dan hanya datang seorang diri. “Makasih, Mba.” Setelah mengucapkan kata terima kasih, Tiwi bergegas masuk ke dalam dan saat itu juga ia langsung berpapasan dengan seorang pria muda yang memakai jubah putih dan Tiwi langsung menebak bahwa dia adalah dokter di klinik ini. “Dok ... tolong anak saya ini, Dok. Dari tadi nangis terus dan tadi saya pegang perutnya keras banget. Mungkin keram atau masuk angin, Dok. Apa ada yang bisa dibantu untuk membuatnya enakan, Dok?” tanya Tiwi dengan panik dan panjang lebar sembari menyodorkan Caca kepada dokter itu. “Tenang, Bu. Sini saya periksa dulu. Baringkan di atas kasur aja, ya.” Dokter itu berkata dan Tiwi patuh meletakkan Caca di kasur pemeriksaan. Sementara Koko sudah mulai tenang dan tampak mulai mengantuk. Dokter muda bername tag Dr. Firman Syaputra, SP.A merasa iba karena bayi itu mengantuk dalam gendongan Tiwi dan Tiwi juga harus menenangkan Caca yang tidak mau berbaring di ranjang pemeriksaan. “Sini bayinya, Bu. Biar saya gendong aja sebentar, tenangkan dulu baru kita periksa. Ibu tidurkan dengan tenang dulu bayi satunya, ya. Sepertinya dia udah ngantuk berat dan apa dia juga tadinya rewel seperti yang si kakak ini?” tanya sang dokter dengan lembut dan membuat Tiwi sedikit tenang. “Nggak, Dok. Tadi saya rasa Koko hanya nangis karena Caca nangis terus. Dia nggak sakit perut kayaknya, tapi nanti Dokter periksa juga biar lebih pasti,” jawab Tiwi dengan jelas. Caca digendong oleh Firman dan tidak lama kemudian ia langsung tenang dan isak tangisnya reda. Hal itu tentu saja membuat Tiwi merasa sedikit takjub karena Caca adalah anak yang lebih sensitif dibandingkan dengan Koko. Caca tidak bisa dan tidak pernah bisa langsung akrab dengan orang asing yang baru ia temui. “Sabar banget dokter ini ngemomong Caca dan Caca pun langsung seperti akrab dengannya. Andai bang Wendi bisa seperti ini pada Caca dan Koko. Pasti aku akan senang banget, dan semua masalah dalam rumah tangga kami ini nggak akan pernah terjadi. Terlalu banyak andai yang sangat ingin aku katakan,” batin Tiwi berkata ketika melihat kelembutan dan kesabaran Firman pada Caca. Wajah Firman masih tampak sangat muda dan Tiwi bisa menebak bahwa Firman lebih muda dari dirinya. Hanya saja, nasibnya sangat beruntung hingga bisa menjadi seorang dokter spesialis di usia yang sangat muda. Sementara Tiwi yang meski hanya lulusan bidan, tidak bisa mendedikasikan ilmunya itu karena harus menikah. “Anaknya udah tenang, Bu. Saya akan periksa sambil dipangku aja, ya. Sepertinya benar hanya masuk angin. Biasanya biasanya ibu berikan beberapa tips sederhana. Misalnya tempelkan saja perut bayi ke perut ibu tanpa penghalang atau baju, ya. Itu bisa membuat perut bayi merasa sedikit lebih lega dan anginnya keluar. Percaya atau tidak, metode sederhana itu sudah banyak dibuktikan dan ini nggak perlu diresepkan obat, ya Bu.” Dokter Firman menjelaskan hal itu dengan sangat sabar sambil menempelkan tetoskop ke perut Caca dan mengajaknya bercanda secara bersamaan. “Eh ... i-iya, Dok. Terima kasih atas masukkannya. Nanti akan saya lakukan di rumah,” sahut Tiwi dengan sedikit gugup karena ucapan Firman membuyarkan lamunannya. “Baik. Kalau besok pagi masih rewel, boleh dibawa lagi ke sini dan kita lakukan pemeriksaan ulang.” “Baik, Dok. Jadi, berapa semua biayanya, Dok?” “Biaya apa maksudnya, Bu?” tanya Firman yang jelas merasa heran, karena dia sama sekali tidak meresepkan obat kepada Tiwi. “Biaya konsultasi dan waktu Dokter dalam memeriksa dan menangani anak saya, dong!” jawab Tiwi dengan senyum yang tulus. “Nggak perlu bayar, Bu. Ini si adek juga nggak diberi obat kan? Hanya itu aja yang saya lakukan dan itu semua gratis. Yang penting si adek tenang dan semoga lekas membaik.” Firman berkata pula dengan suara yang jauh lebih lembut. “Ya Tuhan. Mulia banget hati dokter ini? Andai semua dokter berpikir dan bersikap seperti dia. Pasti orang-orang kalangan bawah dan sulit ekonominya nggak akan takut berobat ke dokter kalau lagi sakit.” Tiwi berkata lagi di dalam hatinya dengan rasa kagum kepada Firman. Caca sudah tenang dan Koko tidur dalam gendongan Tiwi. Setelah semua selesai, Tiwi ditemani oleh Firman ke mobilnya untuk mengantarkan Caca yang masih digendong oleh Firman tentu saja. Tiwi meletakkan Koko di kursi duduknya dan memasang sabuk pengamannya dengan erat. Bayi itu tidur dengan nyaman setelah kembarannya juga merasa tenang. Sementara itu, Caca dibantu oleh Firman yang meletakkan ke kursinya dan tersenyum sambil ia melambaikan tangan pada Caca yang terus menatapnya dengan senyuman. “Makasih banyak, Dok. Kalau gitu, saya pamit pulang dulu.” Tiwi berkata dengan mengulas senyum dan tanpa sengaja menghadirkan debaran aneh dalam d**a Firman. “Iya, Bu. Silakan dan hati-hati di jalan.” Firman berkata dengan senyum canggung. Tiwi mengangguk dan masuk lagi ke dalam mobilnya, kemudian melajukan kendaraan itu menuju rumah. Saat ia masuk ke dalam rumah, ia melihat jarum pendek jam dinding yang sangat besar itu sudah menunjuk ke angka tiga subuh. Pantasan saja Koko dan Caca sudah sama-sama tertidur pulas, dan Tiwi tidak tidur sampai pagi demi menjaga agar keduanya tetap tidur dengan nyenyak. Bahkan, Tiwi melakukan apa yang dikatakan oleh Firman tadi dan menidurkan Caca di atas tubuhnya tanpa sehelai benang pun menjadi penghalang. Hingga pagi menjelang dan aktifitas Tiwi seperti biasa mulai ia lakukan. Karena si kembar rewel dan kurang tidur semalaman, pagi ini mereka tidur dengan lelap dan tidak mengganggu aktifitas pagi Tiwi yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk keberangkatan Wendi berangkat kerja. “Udah, nggak usah siapin sarapan. Aku makan di luar aja nanti sama temanku,” tolak Wendi saat Tiwi akan mengambilkan nasi goreng buatannya kepada Wendi. “Ya udah, Bang. Hati-hati di jalan, ya. Dan jangan lupa cepat pulang, Bang. Caca masih nggak enak badan, aku kewalahan jagain si kembar kalau lagi sakit gini,” pinta Tiwi pada Wendi dengan penuh harap. “Hmm ... kalau bisa aku bakalan pulang cepat kok.” Wendi menjawab datar dan lalu beranjak dari meja makan setelah meminum sedikit teh manis hangat buatan Tiwi. Sebenarnya Tiwi bukan lah wanita sembarangan. Dia berasal dari keluarga yang cukup berada dan berpendidikan tinggi. Tiwi sendiri lulusan kebidanan yang akhirnya terpaksa mengubur impiannya untuk membuka praktik kebidanan di rumah. Hal itu karena memang ketika ia lulus, Wendi sudah menunggunya untuk segera menikah. “Di mana Tiwi meletakkan kaus kakiku, ya?” tanya Wendi pada dirinya sendiri sambil terus mencari barang yang dia maksud. Sebenarnya, Wendi pun memang selalu mencintai Tiwi dan menyayangi Tiwi seperti saat dulu. Namun, sejak kelahiran anak kembar mereka yang diberi nama panggilan Caca dan Koko itu, pekerjaan Wendi mengalami penurunan drastis. Pikiran dan beban yang berat, lalu ditambah dengan semua kemanjaan yang diperlihatkan oleh Tiwi saat ia lelah sehabis bekerja, membuat Wendi menjadi pribadi yang suka sekali mengamuk dan marah-marah. “Kamu cari apa, Bang?” tanya Tiwi yang ternyata menyusul Wendi sampai ke teras samping tempat biasa mereka meletakkan sepatu dan sendal yang mereka gunakan bepergian atau pun di dalam rumah. “Kaus kaki. Di mana kamu narok kaus kaki aku, Sayang?” tanya Wendi dengan kata lembut dan ternyata sudah sangat lama tidak ia ucapkan untuk Tiwi. “Ada di dalam laci yang di sana, Bang. Biasanya kan juga di sana terus, Bang!” jawab Tiwi dan menunjuk sebuah laci meja kecil tidak jauh dari rak sepatu tempat Wendi dari tadi mencari kaus kakinya itu. “Sejak kapan di sana? Perasaan biasanya di sini deh, sama sepatunya juga.” “Udah lama, Bang. Abang nggak ingat mungkin, soalnya biasanya kan aku yang siapin semuanya buat Abang.” “Lah, terus kenapa sekarang nggak siapin lagi? Apa lagi alasannya? Anak rewel nggak bisa ditinggal?” tanya Wendi dengan cecaran yang membuat Tiwi diam tak berkutik. Tiwi bukannya tidak mau seperti dulu melayani semua kebutuhan Wendi. Namun, kedua anaknya memang sangat aktif dan rewel jika ditinggalkan sendiri. Tiwi hanya bisa mencuri waktu saat mereka benar-benar lengah atau saat mereka berdua tidur. Itu pun tidak jarang Tiwi melakukan pekerjaannya sembari tetap menggendong buah hati tercinta secara bergantian. “Abang beneran nggak mau sarapan dulu, Bang?” tanya Tiwi sekali lagi sebelum Wendi benar-benar pergi dari rumah. Tiwi berusaha untuk bersikap seperti biasa dan menganggap semua kejadian sore kemarin tidak ada sama sekali. Ia berharap semua itu hanya mimpi buruk dan tidak akan pernah menjadi nyata. “Nggak! Kamu makan aja sarapannya semua, biar makin semok!” jawab Wendi ketus dan membuat hati Tiwi sedikit tersinggung, karena memang dirinya sekarang sedikit kurus. “Mana habis sama aku semuanya, Bang!” bantah Tiwi. “Ya habisin, dong! Masa mau kamu buang? Emangnya kamu pikir nyari uang itu gampang? Mau buang-buang makanan segala. Liat tuh badan kamu udah makin kurus kayak orang nggak dikasih makan sama suaminya. Makanya aku tuh jadi malu mau bawa-bawa kamu ke acara kantor. Aku nggak mau sampai dikataian orang nggak ngasih istri nafkah, sementara kenyataannya gaji aku lebih banyak buat kamu dan anak-anak kita,” ungkap Wendi yang semakin membuat hati Tiwi terasa perih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN