“Kamu nih kebiasaan banget deh! Suami baru pulang kerja, langsung minta tolong ini itu. Bukannya dandan yang cantik, eh malah kayak pembantu gini modelannya!” hardik Wendi kepada Tiwi saat istrinya itu minta tolong angkatin jemuran.
“Gimana bisa seperti itu, Bang? Dua anak kita masih balita dan aku ngerjain semuanya sendiri. Anak kita, Abang tau sendiri manjanya gimana. Nggak bisa ditinggal barang sebentar aja. Syukur-syukur aku masih bisa nyuri waktu buat masak, nyuci, dan beberes saat mereka benar-benar lengah.” Tiwi memberikan alasannya dengan nada penuh kelembutan kepada sang suami.
“Selalu aja ada jawabannya kamu tuh kalau dibilangin sama suami!” protes Wendi dan membuang semua pakaian yang baru saja diangkatnya dari jemuran ke dalam sebuah keranjang kosong.
Tiwi bahkan tidak lagi pernah mendapatkan perlakuan romantis dari Wendi, kecuali saat suaminya itu ingin meminta haknya sebagai seorang suami. Itu pun, tidak peduli apakah Tiwi sedang benar-benar lelah atau mungkin sedang sakit. Saat dia memintanya, maka harus segera pula lah Tiwi melayaninya.
“Tunggu apa lagi sih kamu? Sana, bikinin aku minum! Capek nih pulang cari nafkah buat kalian bertiga. Jangan mau uangnya aja, dong!” hardik Wendi lagi dengan nada tinggi dan sempat membuat kedua anaknya terlonjak kaget.
“Iya, Bang. Aku ke belakang sebentar, dan tolong liatin si kembar. Nanti jatuh atau kejedot,” pinta Tiwi yang langsung saja berdiri dan meninggalkan sepasang anak kembar yang sedang berjalan ke arah Wendi.
“Baru aja mau santai sampai di rumah, udah dimintai tolong ini dan itu! Dasar nggak becus! Rumah kecil dan anak dua begini aja udah merasa repot dan capek sedunia. Aku dong, harus kerja seharian di luar sana dan berjuang agar penjualan memenuhi target setiap bulannya. Giliran gajian, uangnya paling banyak buat kalian!” omel Wendi kepada kedua anaknya yang sedang menatap ke arahnya dengan mata berbinar.
Wendi bekerja sebagai seorang asisten manager di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang penjualan pakaian dalam jumlah yang besar. Itu berada di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota tempat mereka tinggal.
Mendengar suara tangisan anaknya, Tiwi mempercepat gerakannya membuatku minum untuk Wendi. “Ya ampun! Itu si Caca kenapa, ya? Kok nangisnya kenceng banget gitu! Apa papanya nggak nengokin dia main?” tanya Tiwi dengan terus berusaha cepat menyelesaikan pekerjaannya di dapur.
“Sayang … sayang … kenapa anak gadis Mama? Ada yang sakit? Jatuh, ya?” tanya Tiwi dengan penuh perhatian kepada Caca lalu menggendong anak bayinya itu.
“Halah! Anak tuh nggak usah dimanja begitu. Nanti sama kayak kamu! Dikit-dikit minta tolong sama suami. Kayak nggak bisa ngerjain sendiri aja, padahal kalau suami kerja semuanya tetap bisa dikerjakan sendiri,” omel Wendi lagi dan meminum perlahan teh buatan Tiwi yang sudah diletakkan istrinya itu terlebih dahulu sebelum tadi ia menggendong dan membujuk Caca.
Tiwi kembali fokus mengejar dan menjaga anak kembarnya yang sedang aktif belajar berjalan. Umur anak mereka baru satu tahun dan sikap Wendi sudah langsung berubah seperti itu kepada Tiwi. Untung saja, Tiwi selalu mensugesti dirinya dengan pikiran dan hal-hal baik sehingga ia tidak terjebak dalam kondisi baby blues.
Tiwi sungguh tidak bisa lagi mengerti bagaimana jalan pikiran Wendi saat ini. Terkadang, Tiwi sampai berpikir bahwa Wendi bosan dan muak kepadanya yang sudah tidak selangsing dan secantik dulu lagi.
Padahal, jelas-jelas ini adalah efek dari kehamilan dan menyusui sepasang anak kembar mereka. Wendi juga tidak memberikan Tiwi seorang asisten rumah tangga atau mungkin seorang baby sitter untuk membantunya menjaga si kembar.
“Bang, tadi Caca jatuh nggak?” tanya Tiwi yang masih menggendong Caca dengan khawatir.
“Nggak! Mana ada dia jatuh. Dia tiba-tiba nangis doang, mungkin sadar kalau kamu nggak ada lagi di dekat dia!” jawab Wendi dengan ketus pula.
“Masa sih gitu doang nangisnya jadi kejer? Biasanya Caca nggak pernah nangis kejer gitu, Bang.”
“Kamu nggak percaya sama aku? Nuduh aku udah jatuhin anak aku sendiri?”
“Bukannya aku nuduh kamu, Bang! Tapi, kalau memang jatuh biar cepat kita bawa ke tukang pijit bayi. Takutnya kalau dibiarkan nanti malah jadi fatal, Bang!” jelas Tiwi kepada Wendi dengan penuh kesabaran.
Tiwi memang tidak ada maksud menuduh atau menyudutkan Wendi sama sekali. Ia memang hanya khawatir kalau saja anaknya jatuh dan tidak segera ditangani.
Wendi meletakkan cangkir tehnya itu dengan sedikit kasar hingga menimbulkan suara aduan dari gelas dan juga tadah kaca yang berada di atas meja kaca itu. Ia menatap Tiwi dengan tatapan yang sangat menakutkan bagi Tiwi. Setidaknya selama dia menjalin hubungan dengan Wendi selama ini.
“Jangan sampai aku menyirammu dengan teh panas ini kalau kamu masih terus bicara! Dasar merepotkan!” geramnya dan beranjak dari tempat duduk begitu saja tanpa menghiraukan hati dan perasaan Tiwi yang hancur mendengarkan ucapan kasar dan tajam dari suaminya itu.
Tiwi hanya bisa diam menahan tangis mendapatkan perlakuan seperti itu dari Wendi. Hancur sudah sepertinya harapan Tiwi yang ingin hidup bersama dengan Wendi hingga rambut memutih.
Kalau seperti ini caranya, Tiwi benar-benar tidak yakin jika dia bisa bertahan selama itu menghadapi Wendi. Sebenarnya, Tiwi juga heran kenapa suaminya itu berubah sangat drastis kepadanya. Sempat Tiwi berpikir bahwa mungkin saja Wendi memiliki wanita idaman lain.
Namun, pikirannya itu dengan cepat ia tepis karena ia tahu bagaimana cintanya Wendi kepada dirinya. Perjuangan Wendi juga tidak mudah untuk bisa meminang dirinya saat itu.
“Semoga semua itu hanya perasaanku aja,” gumam Tiwi dan kemudian kembali sibuk dengan Caca.
Tiwi masuk ke dalam kamar bermain Caca dan Koko. Ia memberikan sedikit pijitan kepada tubuh Caca karena masih khawatir dengan tubuh Caca andai tadi bayinya itu terjatuh dengan kuat.
Sementara di dalam kamarnya, Wendi sedang berbalas pesan dengan seseorang. Ia tampak pucat dan gerakan jarinya sangat lincah membalas pesan itu.
“Gawat banget kalau dia sampai datang ke sini sekarang. Aku nggak mau kalau dia muncul di saat Tiwi lagi curiga-curiganya sama aku. Lagi pula, aku sebenarnya masih sayang banget sama Tiwi.” Wendi berkata dalam hatinya dengan gusar.
Ting nong ....
Terdengar suara bell di depan rumah dan jantung Wendi langsung terasa ingin copot. Ia bergegas melangkah ke pintu depan. “Jangan sampai Tiwi yang membukakan pintu. Kalau itu benaran dia, bisa gawat!” batin Wendi berkata lagi.
Sesampainya di depan pintu, Wendi membuka pintu hanya sedikit saja. Lalu, yang ia takutkan akhirnya benar terjadi. Seorang wanita cantik dan seksi berdiri di depan pintu rumahnya dengan senyum menggoda tapi sedikit sinis.
“Hai, Mas. Aku nggak disuruh masuk nih?” tanya wanita itu seperti tanpa rasa bersalah.
Dari arah belakang, terdengar suara langkah diiringi dengan candaan Tiwi dengan anaknya Caca. Tiwi sedang mengarah ke pintu masuk dengan menggendong Caca karena dia juga mendengar suara bel rumah berbunyi tadi.
“Siapa yang datang, Bang?” tanya Tiwi saat melihat Wendi sudah berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit. Sementara, seorang wanita cantik itu tampak mengintip ke arah Tiwi dan menatap Tiwi dengan sinis dan senyum mengejek.