6. Tidak Ada Apa-Apa

1291 Kata
Air mata membersihkan hati dari penyakit untuk membenci dan mengajari manusia untuk berbagi penderitaan dengan mereka yang patah hati. . ~Odith . . "Lo itu pengantin baru loh, Div... Dan nggak seharusnya lo malah di sini sama gue." Ujar Nata yang mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Divya. "Nggak usah bahas itu, deh. Gue bahkan nggak ngerasa pernah nikah, Bang." Balas Divya cuek, ia tak teralih dari ponselnya mendengar ujaran temannya itu. "Ya, ya, ya... Mungkin belum merasakan aja sih, lo... sampe nanti kalian bakal ngelakuin wik-wik...." Ucap Nata, menggoda Divya dengan mendekatkan mulutnya ditelinga Divya. "Woy! Dasar c***l!" Pekik Divya, Nata pun hanya terkekeh geli mendengarnya. "Haishh dasar... Udahlah, gue balik aja, bukannya udah selesai juga, kan?" Tanya Divya dan membereskan barang-barangnya yang tercecer di meja riasnya. "Yes, memang udah selesai. Dan gue rasa lo udah nggak sabar ketemu sama suami elo di rumah, kan?" Goda Nata lagi. Alisnya naik turun mencoba semakin memancing emosi Divya. "Ck! Ngomong apa sih?!” Decak Divya Kesal. “Gue nih bakalan langsung tidur dan nggak memedulikan dunia setelah ini!" Ujar Divya masih kesal. "Masa sih? Yang bener…" Goda Nata tak habisnya. Divya langsung mengejar Nata yang sudah berlari lebih dulu saat ia hendak melemparkan botol parfumnya. Merasa kesal karena Nata terus menggodanya sejak tadi tentang pria yang menikah dengannya. Lebih tepatnya, Haydan. "Iya.. Div.. Iya.. Ampun! Ampun!" /// Dengan langkah gontai Divya masuk kedalam apartemennya, berjalan menuju dapur untuk segera mendapatkan pasokan air mineral yang dibutuhkannya kini. Ia buka lemari pendingin, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah beberapa makanan yang masih utuh. Dan berarti tadi pagi Haydan tak menyentuhnya sedikitpun? Tapi Divya kemudian berpikir, itu justru tanda yang cukup bagus, bukan? Karena dengan itu Divya tak perlu lagi menyiapkan sarapan atau makanan untuk pria itu. Karena hingga pukul 9 malam saja pria itu tak ia temui di dalam apartemen ini. Dan mungkin pria itu sudah menyantap makanan di luar sana. Lagi pula Divya tak peduli tentang itu. Terserah Haydan ingin melakukan apa. Suara pintu mengalihkan perhatian Divya dari layar tv yang sedang ia tonton sejak 1 jam yang lalu. Haydan dengan wajah kusut dan lelahnya masuk ke dalam apartemen mereka, dan hanya menoleh pada Divya sebentar lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar. Divya tak terlalu kaget. Toh, itu yang akan selalu ia dapatkan dari pria itu. Dan ia juga akan melakukan hal yang sama pada Haydan. Bersikap tidak peduli pada urusan masing-masing. Kini suara pintu terdengar lagi, namun tak sedikitpun mengalihkan pandangan Divya yang tengah asyik melihat tayangan tv. Cukup tahu bagi wanita ini, bahwa Haydan yang melakukannya. Dan kini ia rasa Haydan tengah berjalan ke dapur. Sebelah sofa yang Divya duduki bergerak. Divya mengerut bingung melihat Haydan kini di sebelahnya. "Aku ingin membuat kesepakatan sama kamu." Ujar Haydan tiba-tiba, ia letakkan bolpoin dan kertas yang ia genggam pada meja di depan nya. "Apa itu?" Tanya Divya singkat. "Aku tahu kamu nggak setuju sama perjodohan dan pernikahan ini. Begitu juga denganku. Maka dari itu aku akan membuat kesepakatan, kita cuma bakal 5 bulan terperangkap dalam kehidupan bodoh ini. Aku nggak akan ngelarang kamu dan mencampuri segala urusan kamu selama kita berada dalam kesepakatan 5 bulan itu. Dan aku juga minta kamu melakukannya. Bisa?" Jelas Haydan, menguraikan kesepakatan yang sejak tadi siang ia rancang untuknya dan juga Divya. Divya menatap pada mata Haydan malas. Baginya, tanpa kesepakatan itu pun ia otomatis akan melakukannya. "Aku setuju." Jawab Divya. Lalu Haydan menyuruh Divya menandatangani kertas yang berisi kesepakatan itu. "Cuma 5 bulan, dan itu nggak akan lama, Div..." Gumam Divya pada diri sendiri. Menyemangati dirinya yang akan bersiap menjalankan sebuah kesepakatan yang sudah ia tanda tangani tadi. . /// . Sejak kertas itu ditanda tangani, ternyata Divya dan Haydan juga telah melakukannya dengan baik. Bahkan tanpa paksaan dan berjalan bak air yang mengalir tenang seminggu ini. Pagi mereka akan diisi oleh sepi dan sinar matahari yang lebih dulu menyilaukan Divya. Tepat pukul 5 pagi, ia sudah terjaga dari tidurnya. Turun dari ranjangnya, menghampiri peralatan-peralatan pembersih rumah yang tersimpan di gudang. Lalu jika jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Ia bergegas menuju kamarnya lagi, mengambil beberapa pakaian lalu masuk ke kamar mandi. Setelah itu ia hanya memoles sedikit wajahnya dengan make-up yang natural. Menyambar cepat tasnya. Dan tak peduli dengan satu manusia yang sedari tadi masih terlelap dalam mimpinya di atas ranjang. Pukul 7, bunyi alarm akan terasa memekakkan telinga di kamar itu. Dengan tubuh yang masih beradaptasi dengan segala yang ada di sekelilingnya. Haydan meraba-raba meja kecil di samping kasurnya. Mencoba meraih ponselnya yang ternyata asal dari bunyi alarm itu. Ia dudukkan dirinya yang masih merasa kehilangan sebagian nyawanya. Melihat pada layar ponselnya, dan sebuah lekukan manis tercetak di bibirnya. Rosa mengiriminya pesan selamat pagi padanya. Dan setiap pagi selalu seperti itu. Ah.... Bagi Haydan ini sudah cukup menjadi sarapan paginya. Cepat ia bergegas menyambar handuk yang sudah terbiasa tercantel di balik pintu kamar mandi. Tak lama setelah itu ia keluar dengan rambut yang masih basah. Mencuci rambut setiap hari adalah hal wajib baginya. Matanya menyipit ketika menemukan setelan jas yang sudah lengkap dengan segala perlengkapannya tergeletak di kursi dekat ranjang. Ia berjalan mendekat pada kursi itu, meraih setelan jas itu dan memutar-mutarnya. Sedikit berpikir, apa bisa baju-bajunya keluar sendiri dari lemari pakaiannya? Atau.... Divya yang menyiapkannya? Tak peduli dengan itu, segera ia lepaskan setelan jas itu dari hanger dan memakainya pada tubuhnya sendiri. Perpaduan setelan jas yang apik. Pikirnya. Dan selama seminggu ini, ia tak lagi kaget dengan pakaian-pakaian itu yang sudah tergeletak di tempat yang sama. Divya memang tak mengatakan apapun padanya tentang ini. Tapi ia cukup tahu wanita itulah yang sudah melakukannya. Karena memang siapa lagi yang berada satu apartemen dengannya? Divya mampir di sebuah cafe teh yang cukup terkenal di kota Jakarta. Mendudukkan dirinya di pojokan. Tempat favoritnya. Tangannya melambai memberi isyarat pada pelayan untuk segera menghampirinya. Seperti biasa, Divya selalu memesan teh hijau dan sepotong roti bakar rasa coklat. Makanan yang selalu ia konsumsi sebagai sarapannya. Haydan masuk ke dalam ruangannya. Bersiap mendaratkan tubuhnya bersama kertas-kertas yang berserakan rapi di mejanya. Selalu seperti ini setiap harinya. Pernah ia merasa bosan. Tapi apa boleh buat, hanya ia yang ditakdirkan mewarisi semua kekayaan orang tuanya. Dan membuatnya harus lebih memusatkan konsentrasinya pada kertas-kertas ini, dari pada memusatkan pikirannya pada kehidupannya sendiri yang sampai saat ini masih membingungkan, dan akan dibawa kemana nanti? Sorenya sekitar pukul 16.00. Divya sudah berada di dalam apartemennya, wanita ini memandang keluar jendela apartemennya. Di sana ia bisa melihat hampir setengah dari kota Jakarta yang semakin menginjak usia dewasanya, merubah dirinya menjadi kota metropolis yang kini mulai diperhatikan dunia sejak budaya dan musik Indonesia mampu mengguncang dunia. Namun bukan itu yang ada dipikiran Divya saat ini. Seminggu yang lalu, saat baru saja ia menandatangani kertas itu, dengan percaya dirinya ia berkata akan bisa melakukan semua itu dalam 5 bulan nanti. Tapi lihatlah, seminggu ini bahkan ia sudah merasa bosan dan cukup jenuh dengan semua perjanjian itu. Bagaimana bisa ia hidup dalam keadaan seperti ini. Hanya diam, tak menyapa, bertemu pun tak pernah. Aneh bagi siapapun yang menyadari bahwa mereka selalu tidur dalam 1 ranjang yang sama setiap malamnya. Pukul 9 malam, semua lampu apartemen sudah dimatikan, begitu juga dengan lampu kamar. Divya sudah terlelap dalam mimpinya, namun Haydan baru saja sampai di apartemen mereka. Tak peduli dengan Divya yang tidur dengan punggung yang wanita itu suguhkan padanya. Guling yang cukup besar berada di belakang punggung Divya, dan benda itulah yang seminggu ini bertugas membatasi gerak-gerik kedua manusia ini di atas kasur. Sekalipun tanpa guling pun mereka akan menyadari batas mereka. Setelah membersihkan dirinya, Haydan segera merebahkan dirinya. Ia beberapa kali mengganti posisi mencari yang pas, agar ia cepat berada dalam alam bawah sadarnya. Membawa pergi kelelahan yang mendera otak dan tubuhnya seharian ini. . /// .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN