Ini sudah 2 bulan usia pernikahan Haydan dan Divya. Tak ada perubahan apapun di dalam kehidupan mereka ketika mereka bertemu di dalam apartemen mereka. Diam dan tak ada kata-kata apapun yang terucap, seolah dengan gerak-gerik saja mereka akan tahu apa yang harus mereka lakukan. Namun sebenarnya Haydan masih menyimpan rasa bersalah pada Divya, ya, tentang kejadian malam itu. Tapi ia bisa berbuat apa, Divya pun tak ingin lagi mengungkit masalah itu. Pernah ia kembali meminta maaf pada Divya, tapi Divya hanya diam tak berkata apapun padanya. Dan itu membuat Haydan benar-benar frustasi dibuatnya.
Tapi waktu yang terus berjalan di samping mereka ini. Akhirnya semuanya pun kembali berjalan normal seperti tak ada apapun yang terjadi sesuai permintaan Divya pada Haydan. Dan seperti saat-saat pertama, Divya selalu terlebih dahulu bangun dibanding Haydan. Dan ketika malam, Haydan sudah menemukan Divya terlelap memunggunginya.
“Lo baik-baik aja kan, Div?” Tanya Nata.
“nggak papa kok, bang. Kita lanjutkan lagi.” Jawab Divya.
Dengan ragu Nata lanjutkan lagi project pemotretannya dengan Divya. Ia ragu melihat Divya yang sepertinya tidak terlalu baik hari ini, wajahnya pucat dan keringatnya juga keluar cukup banyak padahal ini berada di dalam ruangan dengan pendingin di sana-sini. Dan itu juga membuat make-up artist berkali-kali menghampiri Divya karena riasan wajahnya rusak seiring keringat yang terus keluar dari pelipis wanita ini.
“sebaiknya lo istirahat dulu, Div.”
“Nggak usah, bang.” Tolak Divya.
“Gue bilang istirahat.” Ucap Nata tegas. Divya hanya mengangguk kecil tak berani menolak perintah Nata lagi. Sepertinya Nata sedang marah karena pemotretannya tak berjalan lancar.
Divya berjalan menuju kursi istirahatnya, namun tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut kuat. Ia berhenti sebentar, tapi ia benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit di kepalanya itu. Alhasil ia terjatuh, dan tak ada lagi yang bisa ia lihat, semuanya gelap.
Nata berkali-kali mengerang tertahan. Ia begitu tak mengerti dengan kehidupan Divya akhir-akhir ini. Kini ia harus melihat sendiri Divya tengah terbaring lemah di kasur putih sebuah rumah sakit di kota Jakarta. Sebuah kenyataan yang tak pernah ia duga, baru saja ia dengar dari dokter yang tadi memeriksa keadaan Divya. Ia tak benar-benar mengerti, sebenarnya apa yang terjadi antara Divya dan Haydan? Bukankah mereka tak pernah bertemu sedikit pun seperti cerita Divya katakan?
Tapi kenapa dokter mengatakan bahwa...
“eunghhh..” Lenguh Divya. Secara otomatis matanya akan mengerjap beradaptasi dengan sinar-sinar yang menyambut matanya.
Nata yang mendengar itu langsung menghampiri Divya.
“Lo udah sadar?” Tanya Nata ketika melihat Divya sudah membuka matanya dari pingsannya 2 jam yang lalu.
“Eh... Bang Nata? Kenapa gue bisa ada di rumah sakit, bang?” Tanya Divya ketika menyadari dirinya tengah terbaring dengan selang infus yang menancap di tangan kanannya.
“Lo tiba-tiba pingsan tadi.” Jawab Nata.
Divya hanya mengangguk, walau ia masih tak paham, kenapa ia bisa pingsan. Itu sama sekali bukan dirinya, ia tak akan kelelahan hanya karena pemotretan.
“Divya.” Panggil Nata, menyadarkan Divya dari lamunannya. “Ya, bang?” Sahut Divya, ia mencoba sedikit merubah posisi tidurnya dan dibantu Nata.
“sebenarnya apa yang telah terjadi sama elo dan juga Haydan?” Tanya Nata, Divya hanya mengerutkan dahinya. Tak mengerti dengan pertanyaan kakaknya ini.
“apa maksudnya, bang? Gue nggak ngerti.” Balas Divya.
“Maksud gue, apa yang telah Haydan lakukan sama elo?” Tanya Nata lagi.
“ishh, bang...kenapa berbelit-belit... memangnya kenapa?”
“Hahh...” Nata mendesah berat mendengar jawaban Divya yang kunjung tak mengerti arah pembicaraannya. “Lo pernah making love sama Haydan?” Tanya Nata pasrah.
“A-apa? Ke-kenapa abang nanya hal kayak gitu?” Jawab Divya. “tentu saja nggak! Mana mungkin gue melakukan hal it-“
“tapi kenapa elo bisa hamil.” Sela Nata memotong jawaban Divya, karena mulai menyadari Divya akan membohongi dirinya yang jelas-jelas tahu apa yang membuat Divya tiba-tiba pingsan hari ini.
“APA?!” Pekik Divya. “i-it-itu nggak mungkin, bang!” Ujar Divya terkejut.
“tapi kenyataannya lo sedang mengandung usia 6 minggu.”Ujar Nata, langsung menatap tajam pada Divya. Membuat adiknya pasti tak akan berani mengelak lagi.
Divya terdiam. Air matanya sudah mulai mendesak untuk keluar. Bibirnya bergetar kuat mendengar semua kenyataan ini.
Benarkah ia hamil? Benarkah kini ada seorang jabang bayi di dalam perutnya? Kenapa semuanya malah menjadi seperti ini? Ia beru ingat, 2 bulan ini ia tak mengalami menstruasi. Tapi kenapa harus seperti ini jadinya? Bolehkah ia memutar waktu dan seharusnya waktu itu ia tak meminum alkohol terkutuk itu? Bisakah?
Divya mulai terisak. Tangannya menutupi mulut kecilnya meredam isakannya yang semakin kuat. Nata hanya memandang miris Divya, ini untuk ketiga kalinya ia melihat Divya menangis seperti ini. Dan mungkin hal yang waktu itu membuat Divya menangis seperti ini adalah hal yang sama? Tapi sebenarnya apa yang telah Haydan lakukan pada Divya? Apa mungkin Haydan memperkosa adiknya ini? Tapi itu sama sekali tak bisa disebut p*********n, itu berhak Haydan lakukan karena mereka adalah sepasang suami-istri.
Tapi kenapa Divya malah menangis seperti ini? Bukankah jika mereka sudah sampai melakukan itu, berarti mereka sudah mulai menerima satu sama lain? Dalam artian lain mereka sudah saling mencintai?
Nata mengusap pelan rambut pirang Divya, tapi baru sekali ia melakukannya, dengan cepat Divya menepis tangan Nata. Divya beringsut memunggungi Nata dengan masih terisak kuat. Membuat Nata mengacak rambutnya frustasi merasakan perih yang mungkin kini Divya rasakan.
“sebenarnya apa yang terjadi? Ceritakan sama gue, Div...” Tanya Nata, tapi tak ada tanggapan dari Divya yang masih terus terisak.
Nata hanya bisa pasrah. Mungkin Divya hanya ingin sendiri saat ini. Ia pun berjalan keluar dari ruang dimana Divya dirawat. Berjalan melalui lorong rumah sakit yang sepi. Ia duduk sendirian di ruang tunggu rumah sakit itu. “hahh...” Desahnya pasrah.
Divya termenung menghadap ke jendela di samping kanannya. Ia sudah berhenti dengan isakannya karena sudah tak tersisa lagi air mata dan tenaganya kini. Ia masih tak habis pikir dengan semua yang akhirnya malah menjadi seperti ini.
Tuhan.. kenapa kau buat semua ini malah menjadi rumit? Kenapa kau membuat hidupku semakin melelahkan untuk dijalani? Bisakah aku meminta sedikit keringanan? Karena aku sungguh tak bisa menjalani ini. Cabut saja nyawaku sekarang tuhan, karena aku tak siap menghadapi hidupku setelah ini.
Tangannya meraih ponselnya yang tergeletak di sebuah nakas dekat kasurnya. Jarinya ia perintahkan untuk mengirimkan pesan kepada seseorang untuk meminta bantuan. Siapa lagi kalau bukan Nata, hanya laki-kali itu yang bisa ia percaya. Termasuk disaat keadaan yang tak mungkin Divya hindari lagi.
KREKK
“Lo sudah baikan, hem?” Tanya Nata disertai senyuman indah di bibir M-nya itu.
Divya hanya tersenyum untuk membalasnya. Baru 20 menit lalu ia mengirim pesan, kini abangnya itu sudah berada di sampingnya.
“Kenapa?” Tanya Nata. Mengerti ada yang akan Divya butuhkan, dan ia siap melakukan apapun untuknya.
“Janji sama gue, bang...” Ucap Divya.
“Buat?”
“berjanji untuk nggak ngasi tahu soal ini sama Haydan atau siapapun. Biarkan cuma kita yang mengetahui kehamilan ini.” Ujar Divya.
“tapi kenapa? Sebagai ayah dari jabang bayi elo seharusnya Haydan berhak tahu tentang ini, kan?” Tanya Nata.
“kami.... kami nggak pernah sedikitpun berpikir akan terjadi seperti ini, bang. Dan gue rasa dia nggak akan senang mendengar ini.” Jelas Divya.
“Sebenarnya apa yang terjadi sampe elo bisa hamil tapi kalian nggak saling mengharapkan adanya jabang bayi ini? Apa yang kalian lakukan, hem?” Cecar Nata. Kini ia harus tahu alasan ia harus bungkam dari kenyataan yang harusnya diketahui Haydan.
Divya memandang ragu Nata. Apa kah ia harus bercerita pada kakanya ini? Tapi akhirnya bibirnya pun ikut bergerak membentuk kata-kata untuk menceritakan kejadian malam itu. Kejadian dimana awal semua kehidupan rumitnya akan dimulai.
.
///
.
Instagram: @gorjesso