"Senyum dulu, dong. Kalo cemberut mulu gitu gak enak diliatnya. Kita ke Mall bukan buat pamer wajah sedih gitu, Sil," ucap Tasya sambil terus menarik temannya yang terlihat malas itu semakin masuk ke dalam mall.
"Jangan lama-lama main di sini. Kasihan Mama nungguin di rumah. Nanti dia capek kalo ngelakuin semuanya sendiri. Tadi bilang cuma mau beli buku doang, 'kan? Terus langsung pulang aja, ya," ucap Silvia yang terlihat bersikeras untuk pulang, membuat Tasya merasa kesal karena ya, mereka baru saja datang dan Silvia sudah membicarakan tentang pulang? Astaga.
"Kenapa buru-buru sih? Kan di sebelah toko buku ada Time Zone. Nanti kita mampir sebentar untuk bermain, ok? Kujamin, kau akan merasa lebih baik. Sudah, ayolah," ucap Tasya terlihat antusias, membuat Silvia yang tidak tega merusak kebahagiaan temannya itu akhirnya memilih untuk pasrah dan ikut saja.
"Iya udah iya. Tapi tetep jangan lama-lama. Janji?" ucap Silvia membuat Tasya senang dan merasa lega karena, akhirnya dia tidak perlu berusaha membujuk temannya itu lagi.
"Iya-iya. Bentar doang. Puas?" ucap Tasya mengatakan hal yang ingin didengar Silvia di sana membuatnya tersenyum kecil karena terdengar sekali Tasya terpaksa mengatakannya.
"Emang mau beli buku apa, sih? Tumben banget mau beli buku segala? Baca aja jarang," ucap Silvia saat kini mereka sudah menaiki eskalator menuju lantai 2, tempat di mana toko buku itu berada.
"Ada deh. Makanya ikut aja biar nanti tahu sendiri," ucap Tasya kemudian tidak terdengar lagi percakapan diantara keduanya di sana, hingga akhirnya mereka sampai di depan toko buku yang mereka tuju.
"Kita sepakat dulu, nih. Kamu mau ikut aku cari buku yang mau aku beli atau kita mencar aja? Kali aja kamu mau liat-liat buku juga gitu," ucap Tasya sungguh-sungguh bertanya, membuat Silvia memutuskan untuk,
"Mencar aja deh. Aku mau ke bagian filosofi dan agama. Kali aja ada buku baru. Kalo kamu udah duluan, cari aku di sana, ya," ucap Silvia membuat Tasya mengangguk cepat dan mengacungkan jempolnya tanda setuju, kemudian keduanya terlihat berpisah dan berjalan ke arah yang berbeda di sana.
Silvia sebenarnya sudah memiliki cukup sekali buku tentang agama dan filsuf tapi, tidak ada kata cukup untuk ilmu itu sendiri. Karenanya, jika ada buku yang membahas hal yang baru, yang mungkin belum pernah dibacanya, Silvia tidak pernah ragu untuk membelinya.
"Stok bukunya ternyata masih sama. Belum ada yang baru," ucap Silvia santai kemudian iseng mengambil satu sampel buku terbuka yang ada di sana.
"Buku yang mana, ya? Ini atau ini? Nanti kalo salah beli, jadi gak kebaca,"
Mendengar wanita yang ada di sebelahnya kebingungan memilih buku, akhirnya Silvia langsung berinisiatif untuk membantunya.
"Permisi, maaf jika terdengar lancang tapi, jika tidak keberatan, bisakah aku memberikan saran mengenai kedua buku ini? Kebetulan aku sudah memiliki keduanya di rumah?" ucap Silvia berniat membantu tapi, sebenarnya dia juga merasa takut menyinggung di sana.
"Benarkah? Menurut kakak mana diantara dua ini yang bagus? Aku sedang ingin mulai belajar memperdalam ilmu agama. Kurasa aku butuh buku yang pembahasannya ringan dan cara penyampaian katanya mudah dipahami. Kira-kira yang mana, ya?" ucap wanita itu yang ternyata menerima bantuan dari Silvia, membuat Silvia merasa seneng dan lega.
"Kalau begitu, beli yang ini saja. Isi bukunya sama sekali tidak membosankan. Isinya juga tidak melulu pertanyaan dan pembahasan. Ada sesi perbaikan diri di setiap bab di buku ini. Pasti akan menyenangkan saat kau membacanya nanti. Sungguh," ucap Silvia memberikan saran dan siapa yang menyangka jika wanita itu langsung mempercayainya begitu saja.
"Jadi yang ini? Terima kasih ya, Kak. Kakak adalah penyelamatku. Aku dama sekali tidak tahu menahu tentang buku. Sebenarnya aku jarang membaca tapi, kata orang, membaca bisa menenangkan hati sekaligus menambah ilmu, jadi aku ingin mencobanya. Kakak mau beli apa? Sebagai tanda terima kasih, pilihlah satu buku yang kakak suka. Aku yang traktir," ucap wanita itu terdengar ramah dan menyenangkan sekali dari suaranya, yang berarti jika wanita itu adalah seorang yang periang.
"Ah... tidak perlu. Aku hanya menemani temanku ke sini. Apa kau ke sini sendiri? Mau cari buku apalagi? Kurasa aku bisa menemanimu sambil menunggu temanku selesai," ucap Silvia yang entah mengapa hobi sekali menyusahkan dirinya sendiri.
Ya, mungkin karena melihat wanita itu lebih muda darinya. Karenanya Silvia langsung tanpa pikir panjang menawarkan diri untuk membantu dan menemani.
"Tidak. Sebenarnya aku tidak sendiri. Aku ke sini bersama kakak sepupuku. Tapi dia tidak mau menemaniku ke toko buku. Dia menunggu di Time Zone yang ada di sebelah. Aku hanya ingin membeli satu buku ini saja kok, Kak. Tapi aku juga ingin membeli beberapa peralatan menulis juga sih, untuk bekal ku selama tinggal beberapa hari di sini. Kakak bantuin pilih yuk. Siapa tahu nanti ada yang cocok sama kakak? Nanti ambil aja, kubayarin. Oh, tunggu dulu. Kayaknya kita perlu kenalan deh. Aku Alana. Nama kakak siapa?" ucap wanita itu kemudian mengulurkan tangannya kepada Silvia, membuat Silvia langsung menjabatnya tanpa ragu.
"Aku Silvia. Salam kenal ya. Kalau begitu ayo kuta ke tempat peralatan menulis. Tempatnya kayaknya ada di dekat rak n****+," ucap Silvia kemudian mengajak Alana untuk ikut bersamanya di sana.
Alana? Nama yang tidak asing bukan? Ya... dia adalah Alana sepupu Alfian. Yang berarti jika kakak sepupu yang dimaksud Alana tadi adalah juga Alfian. Alfian sedang ada di Time Zone, sekarang. Kira-kira, apakah kemungkinan keduanya akan bertemu kembali setelah ini? Ataukah ternyata takdir tidak mengijinkan mereka bertemu dulu?
"Ini dia tempatnya. Pilih aja yang mana. Wah... ada buku sketsa. Lucu sekali," ucap Silvia saat setelah sampai di sana, membuat Alana tersenyum kecil melihat wajah kakak yang baru dikenalnya itu terlihat antusias seperti anak kecil.
"Ambil saja kalau kakak suka. Yang ini, 'kan? Biar kubayar sekalian, ya. Mumpung aku juga lagi pegang kartu kakak sepupuku. Mumpung dia gak pelit," ucap Alana mengambil satu buku sketsa yang disukai oleh Silvia tadi dan memeluknya erat. Bermaksud agar Silvia tidak menolak niat baiknya itu.
"Ih, gak perlu. Balikin aja. Kalo aku mau, aku bisa beli sendiri, kok. Gak usah, ya," ucap Silvia mencoba mengambil buku sketsa yang dipeluk oleh Alana dana berniat meletakkannya kembali ke rak tapi,
"Buku yang udah diambil, gak boleh dikembaliin lagi. Udah kakak nurut aja. Ini bagus ya. Aku mau ini, ini, ini juga. Sama ini," ucap Alana yang bersikeras sekali ingin membelikan Silvia sesuatu dan karena Silvia sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya dia membiarkan Alana melakukan apa yang diinginkannya.
"Sil? Kok kamu di sini? Ngapain?"
Mendengar suara Tasya dari arah sebelah kirinya, membuat Silvia langsung menoleh ke samping dan ya, Tasya ternyata sudah berdiri di sana dengan memeluk beberapa buku.
"Lagi nonton konser. Gak liat lagi milih alat tulis? Kamu udah selesai? Jadi buku yang mau kamu beli tuh n****+? Coba liat n****+ apa? Pasti gak jauh-jauh dari romance," ucap Silvia kemudian langsung mengambil buku yang tengah dipeluk sahabatnya itu.
"Kan. n****+ mulu yang dibeli," ucap Silvia lagi setelah selesai melihat judul n****+ yang hendak dibeli Tasya di sana.
"Ini tuh n****+ bagus tau. Lagi jadi bahan perbincangan di sosmed. Kamu aja yang kurang gaul. Ceritanya tentang wanita yang habis bercerai dari suaminya tapi terus dapet cowok baru yang lebih kaya gitu-gitulah. Jadi mantan suaminya tuh jadi nyesel. Ah... pokoknya serulah. Kamu boleh pinjem kalo aku udah selesai baca nanti," ucap Tasya terlihat antusias saat menjelaskannya membuat Alana terlihat tertarik dan,
"Wah... kayaknya novelnya bagus tuh, Kak. Aku mau beli juga, ah. Judulnya apa, Kak? Di rak mana?" ucap Alana tiba-tiba ikut bergabung dalam obrolan Silvia dan Tasya, membuat Tasya seketika menatap bingung Silvia di sana.
"Dia Alana. Aku membantunya memilih buku tadi. Dan ya, kemudian kau tahulah bagaimana cara kami berkenalan. Alana, dia Tasya, sahabatku," ucap Silvia mengenalkan keduanya, membuat Alana langsung mengulurkan tangannya dengan sopan dan Tasya langsung menjabat tangannya dengan tanpa ragu sedikitpun.
"Hai. Senang berkenalan denganmu. Ayo kutunjukkan tempat bukunya," ucap Tasya kemudian berjalan duluan diikuti Alana dan Silvia di belakangnya.
"Kamu suka n****+ juga? Kapan-kapan mainlah ke rumah. Aku punya banyak sekali koleksi. Silvia orangnya kaku dan tidak begitu suka cerita cinta. Dia membosankan dan ya, cukup membingungkan memang bagaimana cara kami bisa bersahabat. Tapi itulah yang terjadi," ucap Tasya lagi yang memang selalu heboh dan suka bercerita dimanapun tempatnya.
"Yah... aku hanya tinggal sebentar di sini. Rumahku sebenarnya berada di luar kota. Tapi, kalo sempat nanti pasti aku mampir. Boleh minta nomor kakak-kakak biar kita bisa terus berhubungan gitu. Kalo nggak keberatan, sih," ucap Alana membuat Tasya terlihat menatap Silvia sebentar meminta persetujuan dan melihat Silvia mengangguk, akhirnya dia juga setuju untuk bertukar nomor telepon di sana.
Setelah bertukar nomor dan Alana mendapatkan buku n****+ yang diinginkannya, mereka semua berlanjut membayar barang belanjaan mereka itu dan di sana, Alana memaksa untuk membayar semuanya. Meski awalnya Tasya dan Silvia merasa tidak, mereka akhirnya menerima saja niat baik Alana itu karena wanita baik itu terus memaksa tadi.
"Makasih, loh udah dibelanjain segala. Jadi ngerepotin," ucap Tasya membuat Alana tertawa kecil.
"Apaan sih. Cuma buku ini. Kakak-kakak sibuk, nggak? Akutuh pengen nonton tapi kalo sama kakak sepupuku doang gak seru. Ikut aja yuk. Kan masih siang juga ini. Masih mau jam 1. Masa udah mau pulang?" ucap Alana membuat Tasya langsung menjawab.
"Aku sih mau. Tapi Silvia kayaknya harus pulang cepet, deh. Dia lagi badmood juga soalnya. Mungkin lain kali aja, ya," ucap Tasya mencoba menolak dengan cara halus dan Silvia sendiri merasa senang karena ternyata sahabatnya itu memikirkan kepentingannya terlebih dahulu.
"Yaudah, deh. Habis ini mau langsung pulang aja atau gimana? Kalo gak nonton, mungkin mau main di Time Zone bareng bentar gitu? Yuk. Janji gak lama. Bosen banget tadi udah berjam-jam nemenin kakak sepupu rapat, rapat, rapat mulu. Sekarang mau kuras isi dompetnya. Yuk ikut aja," ucap Alana membuat Tasya langsung merangkul Silvia di sana dan mulai mengajak temannya itu berjalan bersama menuju ke arah Time Zone, diikuti Alana juga yang berjalan beriringan bersama mereka.
"Tentu saja kami ikut. Kalo ke Time Zone doang mah. Eh, tapi ngomong-ngomong kakak sepupu kamu tuh cewek apa cowok, nih? Beneran gak papa kalo kita gabung?" ucap Tasya memastikan karena ya, bisa dibilang, mereka adalah tamu yang tak diundang.
"Sepupuku cowok tapi tenang aja, dia tuh lagi kalem dan nurut kok. Kami lagi akur. Biasanya mah gak gitu. Udah ayok, dia gak akan berani marahin aku juga cuma gara-gara bawa temen. Oh, itu dia orangnya. Kak!!! Kakak!!!" ucap Tasya sambil melambaikan tangannya pada seorang pria yang terlihat berdiri di depan Time Zone sambil sibuk dengan ponselnya di sana.
Setelah dipanggil seperti itu, tentu saja pria itu langsung menoleh ke arah mereka dan saat setelah melihat siapa pria yang ada di depan sana, Silvia dan Tasya tiba-tiba langsung berhenti di tengah jalan di sana, merasa tidak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini.
"Kok berhenti, sih? Kenapa?" tanya Alana pada Tasya dan Silvia yang terlihat memasang wajah kebingungan seperti habis melihat hantu.
"Jadi itu sepupu kamu? Pak Alfian?" ucap Tasya memastikan, membuat Alana yang kali ini terlihat bingung karena, ternyata dua teman barunya itu sudah mengenal sepupunya.
"Loh... kalian udah kenal? Wah... dunia sempit banget, ya," ucap Alana kemudian beralih menatap Alfian yang ternyata sudah berada di dekatnya di sana.
"Silvia? Wah... kebetulan banget kita bisa ketemu lagi di sini, ya?" ucap Alfian yang langsung membuat Silvia menunduk tidak berani melihat ke arahnya. Bukan karena malu, hanya saja dia sudah melakukan kesalahan sekali karena memikirkan pria itu kemarin. Sekarang dia tidak mau melakukan kesalahan lainnya lagi. Dari pada itu terjadi, Silvia memilih untuk pamit pergi dari sana saat itu juga.
"Maaf tapi aku harus buru-buru pulang sekarang juga. Assalamualaikum...," ucap Silvia kemudian pergi begitu saja dari sana, membuat Tasya menjadi bingung harus berbuat apa.
"Maaf ya, Alana. Sepertinya kita harus berpisah di sini. Kami pamit pulang dulu, ya. Sungguh senang bertemu dan berkenalan denganmu hari ini. Kau bisa menghubungi aku kapanpun kau mau. Assalamualaikum...," ucap Tasya yang tentu saja memutuskan untuk menyusul Silvia yang entah tadi lari ke mana.
Ya, mau bagaimanapun Tasya merasa bertanggung jawab mengenai kondisi sahabatnya itu. Jika terjadi sesuatu pada Silvia maka, dia sungguh akan merasa sangat bersalah. Dia juga tahu benar kenapa Silvia memilih untuk menghindari Alfian saat ini. Sahabatnya itu mungkin masih kurang nyaman untuk kembali bertemu dengan Alfian lagi dalam kondisi hati yang penuh kesedihan. Mengingat juga, kejadian ta'aruf yang tiba-tiba ini juga berhubungan dengan Alfian.
Sementara itu...
"Kamu kok bisa bareng mereka, sih?" tanya Alfian pada Alana merasa penasaran.
"Itu tadi emangnya siapanya kakak, sih? Oh... dia calon yang dimaksud kakak di mobil tadi, ya? Dia wanita yang berhasil menarik hati kakak? Salut banget ternyata pilihan kakak gak salah. Udah cantik baik lagi. Dia tadi nolongin aku pilih-pilih buku, terus kita kenalan, deh. Tapi kenapa dia tadi kabur pas liat kakak? Kakak ada salah, ya? Kakak apain dia hayo?" ucap Alana membuat Alfian sendiri yang tidak tahu jawabannya memilih diam tak menjawab.
Ya, dia sendiripun merasa penasaran, kenapa Silvia bertingkah aneh seperti itu begitu mengetahui keberadaannya di sana. Seingatnya, saat terkahir kali mereka bertemu, semuanya terasa baik-baik saja. Lalu kenapa Silvia terkesan menghindarinya, sekarang?
'Ada apa dengannya? Kenapa dia pergi begitu saja bahkan tanpa menatapku di sini. Apakah mungkin aku membuat kesalahan yang tanpa kusadari melukai hatinya? Oh, astaga... aku pasti akan mati kebingungan jika begini. Sebenarnya ada apa ini? dimana letak kesalahanku?'
Bersambung...