Part 1. Silvia Nayara Maheswari

1628 Kata
Sore itu seperti biasa Silvia terlihat menyempatkan dirinya untuk datang ke pondok mengaji yang berada tepat di depan mushola di kampungnya untuk mengajari anak-anak di sana. Sebenarnya itu bukan merupakan rutinitas Silvia. Tapi sesekali dia meluangkan waktunya saat dia tidak sibuk bekerja, untuk ikut mengajar anak-anak di sana secara suka rela. Silvia Nayara Maheswari, namanya. Wanita cantik yang baru saja mendapatkan gelar sarjananya tahun lalu itu kini tengah merintis bisnis bersama temannya yang berupa usaha online kecil-kecilan dengan menjual segala macam kebutuhan wanita mulai dari baju, alat rias, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ya, meski baru memulainya, Silvia merasa bersyukur karena meski tidak banyak, namun setiap harinya ada saja konsumen yang datang dan memesan barang. Karenanya Silvia dan temannya sering kali harus berbagi tugas agar semua pekerjaan itu selesai dengan cepat. "Wah... Idam semakin pandai mengajinya, ya. Bagus sekali," puji Silvia pada bocah bernama Idam itu membuat anak-anak lainnya terlihat tertawa kemudian menggoda Idam. "Itu karena Idam ingin mendapat pujian dari Kakak," "Lihatlah pipinya yang merah. Idam menyukai Kakak," Mendengar anak-anak lain menggoda Idam seperti itu, Silvia tentu saja ikut tersenyum mendengarnya sebelum kemudian menegur anak-anak itu. "Tidak boleh menggoda Idam seperti itu, anak-anak. Sudah, sudah. Karena sudah jam 4 sore, kita akhiri belajar mengajinya ya. Kakak senang sekali dengan perkembangan belajar mengaji kalian. Tapi maafkan kakak, selama seminggu ke depan, sepertinya kakak tidak bisa mengajar dulu karena sedikit sibuk nanti," ucap Silvia memberikan pengertian pada anak-anak itu yang tentu saja terlihat kecewa kepadanya. "Yah... terus kapan kakak mengajar lagi?" tanya salah seorang anak terlihat mewakili lainnya yang juga terlihat penasaran dan menunggu jawabannya. "Entahlah. Tapi kakak janji pasti akan segera kembali. Sementara itu, kalian harus rajin mengaji dan menurut pada ustadz Fachri, ya. Jangan nakal selama kakak tidak ada atau kakak akan marah nanti," ucap Silvia yang terlihat membuat semua anak di sana mengangguk paham dan mengerti. "Siap, kak," ucap anak-anak itu serentak membuat Silvia mengulum senyum senang. "Kalau begitu ayo kita pulang. Sepertinya mau hujan. Kalian akan sakit kalau kehujanan nanti. Ayo-ayo cepat," ucap Silvia membuat anak-anak di sana langsung turun bergantian untuk memakai sandal masing-masing tapi saling menunggu satu-sama lainnya untuk pergi pulang bersama. "Kami pulang duluan ya kak, Assalamualaikum," ucap anak-anak itu serentak membuat Silvia tertawa kecil dan menjawab, "Waalaikumsalam. Hati-hati jangan berlarian," ucap Silvia mengingatkan anak-anak itu sebelum akhirnya mereka semua pergi dari sana untuk pulang ke rumah masing-masing. Silvia sendiri terlihat membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang juga tapi, sepertinya dia kurang beruntung karena hujan lebih dulu turun membuat Silvia urung untuk pulang. "Aku lupa tidak membawa payung. Ya sudah aku akan menunggu di sini saja," ucap Silvia sendiri yang akhirnya hanya bisa pasrah dan memilih duduk kembali, berharap hujan itu akan segera berhenti. "Assalamualaikum..." Mendengar suara seorang pria mengucapkan salam di sampingnya, membuat Silvia langsung menengok dan, "Waalaikumsalam... maaf, ada apa ya Kak?" ucap Silvia sopan tapi terlihat langsung menjaga jaraknya dengan pria yang menurutnya cukup asing itu. "Kulihat sepertinya kau sedang terjebak hujan di sini. Ini, kau bisa memakai payungku untuk pulang. Lagi pula aku juga akan pulang dengan mobil setelah ini. Aku tidak begitu membutuhkannya," ucap pria itu pada Silvia namun tentu saja wanita itu justru merasa tidak enak karenanya. "Tidak perlu, kak. Saya akan menunggu hujan berhenti saja. Kakak lanjutkan saja perjalanan kakak kembali. Saya baik-baik saja," ucap Silvia menolak dengan sopan membuat pria itu terlibat tersenyum karenanya. "Sungguh aku sudah tidak membutuhkan payungnya lagi. Atau begini saja, jika memang kau keberatan menerima payung ini secara percuma, kau bisa mengantarkanku ke mobil kemudian setelahnya kau bisa bawa payung ini dan anggap aku meminjamkannya padamu. Kau bisa mengembalikannya padaku andai kita bertemu lagi nanti. Bagaimana?" ucap pria itu mencoba meyakinkan Silvia sekali lagi untuk menerima payungnya tapi wanita itu masih tampak ragu padanya. "Aku sama sekali tidak ingin berbuat jahat padamu. Sungguh. Aku baru selesai sholat dan tidak sengaja melihatmu dalam kesulitan dan aku berpikir untuk membantu. Itu saja," ucap pria itu berusaha lagi dan lagi untuk meyakinkan Silvia di sana dan akhirnya kali ini berhasil. "Karena akan timbul banyak prasangka yang tidak baik jika ada orang yang melihat kita berduaan saja di sini. Maka baiklah, saya akan menerima payungnya," ucap Silvia kemudian mengambil beberapa bukunya yang tadi diletakkannya di pondok dan langsung dipeluknya erat di depan d**a. "Mari. Mobilku ada di sana," ucap pria itu lagi kemudian mengajak Silvia untuk berjalan bersamanya dengan payung yang sengaja dibuatnya lebih condongkan ke kiri agar Silvia yang sengaja menjaga jarak darinya itu tidak kebasahan. Jadilah pundak dan tangan kanan pria itu kini basah terkena hujan. Tapi meski begitu dia terlihat baik-baik saja dan bahkan tersenyum. Sesampainya di sebelah mobil, pria itu memberikan payungnya pada Silvia dan wanita itu terlihat tetap di sana dana tidak beranjak ke mana pun, menunggu sampai pria itu masuk ke dalam mobil dengan selamat. "Baiklah, selamat tinggal. Hati-hati dalam perjalanan pulang. Assalamualaikum," ucap pria itu setelah masuk ke dalam mobil dan membuka kaca mobilnya, agar bisa berpamitan pada Silvia. Silvia menjawabnya dengan mengangguk kecil dan, "Waalaikumsalam," Setelah menjawab salam itu, Silvia mundur beberapa langkah guna memberikan ruang untuk mobil itu berputar. Silvia masih terlihat berdiri di tempatnya hingga akhirnya mobil itu benar-benar keluar dari area mushola dan tak terlihat lagi. "Dia sepertinya hanya orang yang singgah sebentar untuk sholat tapi sudah baik sekali pada orang asing. Sudahlah, Mama pasti khawatir. Aku harus sampai rumah sebelum magrib," ucap Silvia sendiri kemudian langsung berniat pulang tapi, siapa yang menyangka jika ternyata ada anak murid mengajinya yang kembali dan sepertinya sengaja membawakan payung untuknya. "Loh, Idam? Kok balik lagi?" ucap Silvia mendekati bocah yang terlihat menunduk malu sambil menyodorkan sebuah payung lipat kepadanya. "Ini buat kakak. Idam kembali karena takut kakak tidak bisa pulang karena hujan," ucap bocah tampan itu membuat Silvia langsung mengacak rambut dan mengelus kepalanya penuh sayang di sana. "Idam baik sekali. Tapi kakak sudah mendapatkan payung dari seseorang yang baik tadi. Kalau begitu ayo kita pulang bersama. Harusnya Idam tidak perlu menyusul kakak. Idam nanti bisa sakit karena di luar sini dingin sekali. Tapi terima kasih, ya," ucap Silvia tersenyum ramah dan akhirnya mengajak Idam untuk pulang bersamanya. Entah bagaimana sore itu terasa begitu membahagiakan bagi Silvia. Hatinya terasa menghangat. Dan sepanjang perjalanan pulang, tanpa disadarinya, Silvia tersenyum tanpa henti seolah ingin semua orang tahu akan kebahagiaannya itu. 'Aku pasti akan mengembalikan payung ini, andai kita bertemu lagi nanti atas ijin Tuhan, seperti yang terjadi hari ini,' • • • • • "Assalamualaikum, Ma! Via pulang!" Seperti biasa Silvia selalu heboh saat sudah masuk ke dalam rumah dan langsung pergi mencari Mamanya di seluruh penjuru rumah. "Wah... Mama membuat apa ini? Via mau!" ucap Silvia yang terlihat langsung mencomot satu kue cookies yang masih tertata rapi pada loyang sepertinya baru dikeluarkan dari oven itu. "Ashhh... panas," ucap Silvia mengadu kesakitan membuat sang Mama langsung mencubit pipinya gemas. "Sabar dulu, Via. Sekarang cepat cuci tangan dan kaki dulu. Bukankah Mama selalu bilang jika baru pulang membersihkan diri itu penting. Ayo sana," ucap Mamanya membuat Silvia langsung cemberut. "Udah kok tadi. Soalnya pas Via pulang hujan jadi memang harus cuci kaki dan tangan sebelum masuk rumah, Ma. Sini Via minta," ucap Silvia yang terlihat protes saat Mamanya memindahkan toples berisi cookies ke tempat yang tidak dapat dijangkau dari tempatnya duduk sekarang. "Ini pesanan ibu Rumi, Sayang. Nanti untuk Via, mama akan buatkan lagi ya," ucap Mamanya membuat Silvia langsung memeluk Mamanya yang berdiri tepat di sebelahnya itu dengan manja. "Sayang Mama banyak-banyak," ucap Silvia yang terlihat lengket sekali dengan Mamanya karena memang dia adalah anak tunggal di dalam keluarga itu. Silvia merasa beruntung memiliki orang tua seperti Mama dan Abi nya. Keduanya memang ketat dalam urusan mengajarkan agama padanya tapi, masih ada sedikit kebebasan yang diperbolehkan keduanya untuk dilakukan jika dia hanya berada di dalam rumah saja seperti melepas hijab saat berada di dalam kamar dan juga rumah, berbincang dengan pria yang bukan muhrim tapi dengan jarak yang harus tetap dijaga, bertatap muka dengan lawan jenis tapi harus selalu bisa menjaga pandangan dan perasaannya, juga masih banyak hal lainnya. "Loh, kamu tadi bilang di luar hujan? Terus kamu pulangnya gimana? Kan payung keramatnya dibawa Abi," ucap Mamanya terlihat membuat Silvia tersenyum lebar. Ya. Payung keramat. Kenapa dinamakan seperti itu? Karena di dalam rumah mereka hanya ada satu payung saja dan itu sudah sejak lama sekali dan tidak pernah ada sekalipun niat untuk Abinya membeli payung baru. Jika rusak, Abinya akan lebih memilih memperbaikinya dari pada harus membeli lagi yang baru. Sampai-sampai Mamanya itu pernah sekali menggoda Abinya kalau mungkin saja payung itu adalah hadiah dari mantan Abinya melihat begitu betapa sayangnya Abi kepada payung itu. "Tadi Via dikasih payung sama cowok ganteng," ucap Silvia jujur tapi malah membuat Mamanya di sana terlihat meliriknya mengejek. "Ah, bohong. Di daerah sini mana ada cowok ganteng. Mama sama Abi kenal semua. Ayo coba siapa nama cowok gantengnya," ucap Mamanya terlihat tertawa kecil karena tidak percaya membuat Silvia langsung memasang wajah cemberutnya. "Beneran kok ada cowok ganteng tadi. Ya, Via gak tau namanya soalnya tadi kayaknya dia itu bukan orang sini, Ma. Kayaknya dia habis perjalanan jauh dan mampir ke mushola buat sholat doang," ucap Silvia menjelaskan pada Mamanya sejelas mungkin. "Wah... berarti selain ganteng, imannya kuat dong. Menantu idaman Mama tuh," ucap Mamanya tersenyum senang dan terlihat bahagia membuat Silvia menggelengkan kepalanya pelan. "Mama kalo soal menantu ngomongnya cepet. Nanti kalo ada malaikat lewat terus omongan Mama tadi dicatat sebagai doa gimana?" protes Silvia kemudian diam-diam mengambil cookies yang tadi batal diambilnya itu melihat Mamanya sedang konsentrasi pada hal lain. "Ya alhamdulillah. Mama tinggal nikahin Via sama cowok ganteng itu, terus nanti Mama bisa punya cucu deh," ucap Mamanya terdengar berandai-andai jauh sekali ke masa depan membuat Silvia yang memang selalu tidak suka jika Mamanya sudah mengungkit soal pernikahan, akhirnya mengendap-endap dan berlari kabur masuk ke dalam kamarnya di sana. "Kan selalu begitu. Tadi yang ngomongin cowok duluan siapa, eh yang kabur juga siapa?" ucap sang Mama kemudian berniat melanjutkan kembali menata kue cookiesnya ke dalam toples tapi, "Via!!! Kamu makan berapa cookiesnya? Kok tinggal sedikit???" Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN