6. Kotak Merah, Biru, dan Metalik

2081 Kata
     Semakin aku mengubah cara berpikir dan melupakan, maka segala tingkah yang aku tunjukkan akan semakin berbahaya. Bukti saat aku menjemput Mesya di rumah sakit seperti teguran dan jujur saja ini bukan mengenai lalai atau aku kurang hati-hati, tapi aku masih lega jika Hendrick sedikit lupa atau bahkan dia tidak melihat wajah Mesya saat itu. Entah.      Pagi ini, aku bersiap-siap lebih dulu sebelum Libra bangun tapi nyatanya pria itu seperti magnet menarikku agar tetap bergantung padanya. Aku menuruti apa yang Libra katakan kalau dia akan mengantarku sebentar, sarapan sengaja di kafe bersebelahan dengan butik. Terus terang, aku takut jika Haikal datang saat Libra masih di sini.      “Sayang, mau pesen apa?” Tanyaku membolak-balik daftar menu.      “Seperti biasa!” Libra sibuk dengan ponsel, sementara tangannya sangat lengket di pinggangku.      “Ok,” aku memberikan daftar menu ke pelayan. “Mbak, aku pesen roti bakar jangan terlalu gosong terus pinggiran roti tawarnya dihilangkan, sama kasih telur mata sapi setengah matang, sayurnya jangan pakai timun, sedikit saus pedas dan tomat tapi jangan diaduk ya!”      Kebiasaan yang tidak pernah hilang, memang aneh juga makanan itu mudah diolah tapi aku lelah jika harus menjelaskan pesanan setiap pergi ke restoran siap saji. Karena menu itu diluar dari ketersediaan mereka, terkadang aku harus membawa roti sendiri karena Libra sangat anti terhadap makanan luar, hanya tempat makan tertentu yang sudah dipercaya saja.      “Oh seperti biasa ya? Iya deh, saya pikir laki-laki yang kemarin makanya tanya pesan menu apa?”      Senyumku pudar. Mataku membola saat mendengar jawaban pelayan mengenai pria yang dimaksud. Ya, Haikal. Aku mengatur napas ketika sesak bahkan udara pagi justru terasa panas, aku tidak berani menatap Libra dan hanya sibuk pada beberapa pesan masuk mulai dari pembaca juga teman.      Sengaja aku pura-pura tidak dengar perkataan pelayan dan menganggap Libra melupakan karena dia masih saja sibuk dengan ponselnya, sampai menu datang pun kami hanya diam enggan saling menatap atau bertukar pertanyaan. Tapi aku memberanikan diri meringkus ponsel dari tangan suamiku.      “Makan dulu! Ponselnya nanti!” Jujur aku gelisah karena Libra terlihat sangat santai, dia memang tidak pernah marah sekalipun aku mencoba mengganggunya.      Ponsel kusimpan di samping tempat aku duduk, sekaligus aku menyiapkan garpu dan pisau, juga saus yang dipisah pada wadah kecil untuk Libra. “Mas, sausnya mau dicampur di atas roti?”      “Siapa laki-laki yang kemarin?”      Rasanya suara Libra seperti guntur di siang bolong yang bisa membuatku hancur. “Oh itu, partner aja kok.”      “Partner dari perusahaan mana?” Lagi, Libra mengusik rasa lapar ini menjadi muak. Kenapa permasalahan seperti ini baru dia akan bertanya sesuatu?      “Dia nggak bilang nama perusahaannya Mas, makanya aku tolak!” Semoga yang Nala katakan aku pantas menjadi artis yang jago berakting itu benar.      Libra sempat diam saat memotong roti dan menikmati satu demi satu suapan, aku yang memesan steak terlihat daging di piring seperti masakan tidak enak, tapi bertingkah biasa harus dilakukan agar Libra tidak curiga.      “Mungkin itu hanya sales,” Libra terus menikmati menu sarapannya. “Bisa jadi barang mereka hasil selundupan, hati-hati. Jangan sampai kenal partner seperti orang tua Haikal!”      Mendengar itu aku seketika marah. Tapi harus tetap tenang karena aku harus tahu jika Libra juga kecewa karena itu. “Iya Mas, aku coba buat hati-hati kok.”      Dalam bidang bisnis seperti ini sebenarnya aku hanya seperti penjaga butik. Segala sesuatu Libra yang menangani termasuk orang yang menjadi tangan kananku, meski begitu aku tetap belajar bagaimana menjalankan bisnis butik yang sepenuhnya sudah menjadi milikku.      “Honey.”      Aku segera menemukan wajah itu menghadap ke arahku. “Iya Mas, kenapa?”      “Besok Mas suruh orang buat pasang CCTV lagi di butik, semuanya termasuk kantor!” Ungkap Libra mulai berkuasa lagi.      Aku menelan ludah. Karena memang hanya halaman depan juga tertentu, bahkan Haikal lebih sering memarkirkan mobil jauh dari kamera pengawas. Penjaga pun hanya tahu jika Haikal memiliki urusan pekerjaan sebagai orang AD Management.      “Iya Mas.” Hanya itu yang bisa aku jawab, aku tidak yakin jika menolak Libra akan menuruti.      Terlintas di benak jika Libra mulai curiga jika aku menyembunyikan sesuatu. Tapi aku juga yakin Libra bukan pria yang akan memberi kesempatan mudah jika tahu, ataukah hanya merasa tidak yakin dengan para karyawan apa justru mulai perhatian denganku dan takut jika orang asing masuk? Aku tidak tahu sikap pria ini, memang beberapa hari terakhir Libra seperti memiliki perubahan meski tidak terlihat.      Daging di piring entah tidak memiliki rasa, terutama ketika aku melihat ke luar dan mobil Haikal terparkir di pinggir jalan tepat di depan restoran. Aku menahan apa itu sesak karena semenjak Haikal menjadi CEO di AD Corp kami jarang bertemu, bahkan menelpon saja hanya beberapa kali dalam seminggu ini. Sekilas aku menatapnya, tapi kemudian aku tertunduk menahan sakit karena rindu. [...]      Pertemuan hari ini gagal karena Haikal melihat aku dan Libra sarapan bersama di restoran dekat butik, berkali-kali aku mencoba menelpon tapi sama sekali tidak ada jawaban. Mungkin sibuk. Ya, aku hanya berpikir logis karena sekarang Haikal sudah menjadi orang paling penting di perusahaan.      Agar tidak memikirkan yang memang sering membuatku mual juga stres, sedikit menghabiskan waktu seharian ini pergi ke salon juga ke mall untuk membeli tas juga sepatu yang aku inginkan. Dengan uang tabunganku tepatnya. Sudah beberapa kali ini aku jarang meminta batang mahal dari Libra, agar tidak dianggap istri lemah yang hanya pandai menodong uang.      Sampai di rumah, aku cepat-cepat ke kamar saat melihat Tatia dan Hendrick sedang santai. Tapi hampir saja aku terpeleset karena terkejut Libra turun dari tangga. Gayanya yang sopan dan maskulin itu terikat dari sorot mata menatapku, dengan banyak belanjaan di tangan aku pun tidak bisa memeluknya.      “Mas, kok tumben jam segini udah pulang?” Tanyaku mendongak sambil menahan berat.      Tidak ada jawaban. Pria itu terlihat jual mahal saat aku bertanya. Tapi ini takkan menjadi kekalahan karena bersusah payah aku menarik tangan Libra untuk masuk ke kamar, hanya ingin menunjukkan beberapa barang yang aku beli dari hasil keringatku.      Kantong berukuran sedang aku buka, berisi gaun tidur juga pakaian dalam yang menurutku tidak jauh lebih bagus dari koleksi pemberian Libra. Lalu aku lekatkan di tubuh dan berlenggok dengan gaya nakal di depan suamiku. “Bagus ‘kan? Aku… Cantik nggak kalau pakai ini?”      “Cantik.”      Seketika Libra melengos begitu saja, tapi aku pun segera meraih lengan besar itu dan menarik kembali Libra ke dalam kamar. “Tunggu dulu, aku ada lagi. Bagus ‘kan? Mas suka?”      Libra menatap tanpa ekspresi, aku kesal jika wajah itu mulai menunjukkan sisi yang angkuh. Aku pun tidak menyerah dan memperlihatkan beberapa koleksi baju tidur transparan di depan Libra, juga tas berwarna merah tua seperti kesukaannya.      “Bagus kan Mas?” Tanyaku merasa tidak diberi tanggapan apapun.      “Bagus, tapi besok pagi Mas nggak mau liat barang itu di rumah kita!”      Apa? Sungguh perkataan itu sangatlah kejam, aku pun menahan tangan Libra saat akan meninggalkan kamar. “Kenapa gitu Mas? Barang nya masih baru kok?”      “Kenapa nggak datang dulu ke kantor?”      Perkataan pria itu sulit dimengerti, aku mengerjap cepat agar tidak menangis. “Tadi… Aku belanja sambil jalan-jalan, cuma biar nggak bosan di butik!”      “Kamu udah nggak butuh uangku lagi Honey?”      Lidahku kaku, mata itu kembali tersirat arti kejam. “Bukan gitu Mas, aku cuma ngerasa puas kalau beli apapun yang aku mau pakai… Tabunganku itu aja kok.”      Aku terkejut ketika Libra menarik tangan dan pinggang ini hingga kami saling melekat. Jemarinya lembut membelai pipi saat mendekati wajahku. “Kalau besok Mas masih liat barang itu di kamar kita, berarti kamu ingin main-main sayang!”      Bibirku gemetaran. “Iya, besok… Aku singkirin barangnya.”      “Good girl!”      Pria itu melenggang tanpa memberi alasan kenapa aku harus memusnahkan semua baju dan tas yang baru kubeli, dari ambang pintu kamar tepatnya di rangka kayu aku hanya bisa bersandar sambil melihat gelagat itu pergi. Aku melihat lagi semua koleksi yang sangat aku inginkan juga tas mahal, tangis ini keluar karena merasa sesak atas perlakuan Libra.      “Memangnya kenapa kalau aku beli barang kw super? Dia malu? Nggak keliatan elit?” Ku lempar pakaian dalam ke sembarang arah. Marah, merasa jijik karena aku sudah bertingkah seperti wanita penyakitan di depannya.      “Aku benci sama kamu Mas Libra!” [...]      Cuaca hari ini kurang bersahabat. Aku pun berdiam diri di dalam kantor seperti biasa, dan mulai berimajinasi liar tapi sekali dalam kata tercipta aku kehilangan konsentrasi karena mengingat perlakuan Libra tempo hari. Kesal. Tapi aku hanya mengiyakan apa yang dikatakan, barang-barang itu aku berikan kepada Nala. Dia sempat terkejut karena tidak biasanya aku memberi secara langsung, biasa Nala hanya mendapat hadiah dari Libra karena aku yang meminta.      Terlihat langit sangat mendung. Tapi sopir sudah berada di halaman dan akupun segera keluar, semenjak aku mengalami keguguran Libra tidak mengijinkan ku menyetir dan semua kegiatan hanya didampingi supir pribadi. Mau atau tidak, memang pastinya aku akan mengikuti semua perkataan pria odd eye itu.      Beberapa menit aku sampai di rumah, dengan malas aku berjalan masuk dan di sana terlihat kurir pengantar barang di depan pintu. Tidak peduli. Aku pun masuk tanpa bertanya karena pasti itu pesanan Tatia, dan terlihat di ruang utama terdapat 3 kotak dengan masing-masing ukuran. Sekali lagi aku tidak peduli dan memilih masuk ke kamar tapi terdengar Wina asisten rumah tangga itu berlarian.      “Ada apa Mbak? Itu… Mau dibawa ke mana?” Tanyaku penasaran karena Wina terlihat buru-buru ke anak tangga.      “Ini mau saya bawa ke kamar Ibu.”      “Ibu… Maksud nya aku?” Aku hanya memastikan saja.      “Iya Bu, ini… barangnya udah sampai.” Ucap Wina berlalu begitu saja ke kamar.      Barang? Milikku? Aku pun segera menyusul, terlihat Wina meletakkan kotak itu ke sofa dekat kamar. “Ini… Beneran atas namaku Mbak? Nanti kalau salah dan ini punya Mami gimana?”      “Enggak kok Bu, ini… Punya Ibu Safhira.” Ucap Wina yakin.      Aku mengangguk meski masih tidak mengerti barang apa yang sudah aku pesan. “Ya udah, makasih ya Mbak.”      “Iya, sama-sama Bu.”      Tiga kotak itu aku pastikan tidak ada pemiliknya termasuk Tatia, tapi rasa penasaran ini tenggelam saat ponselku berdering. Libra. Aku malas menjawab dan langsung menolak panggilannya. Selama 2 hari terakhir aku memang selalu menjauhinya termasuk saat kami hanya berdua saja di kamar, aku lebih memilih sibuk dengan laptop dan tidur di sofa.      Aku tidak peduli dengan kotak itu, tapi lagi-lagi Libra menelpon sehingga akhirnya aku menerima panggilan. Tidak ada suara karena aku hanya mendengar kendaraan, entah aku tidak ingin tahu ke mana pria itu berada saat ini. “Honey?”      “Ya Mas,” jawabku lirih, menyimpan rasa kesal menggunung di hati.      “Kamu suka?”      “Suka? Apanya?” Pria itu terkadang selalu bicara pada inti tanpa menjelaskan perkara atas tanyanya.      “Belum dibuka kotak yang barusan sampai di rumah? Semoga kamu suka ya, Mas pulang telat malam ini.”      “Ko...tak?” Baru aku akan bertanya lebih jelas tapi Libra sudah menutup sambungan telepon.      Aku menoleh lagi kotak di dekat sofa, rupanya barang itu pemberian dari Libra. Rasa penasaran ini semakin besar dan aku berani membuka sebuah kotak berwarna metalik dan betapa aku terkejut karena isinya sebuah tas yang kemarin sempat aku beli, bahkan barang ini memiliki kode asli dari brand Amerika. Lalu kubuka kotak biru tua, mata ini pun sempat tidak percaya karena beberapa pakaian dalam yang aku lihat benar-benar sama dengan yang kubeli dan lagi ini merupakan merk asli dari Amerika.      Di atas kain sutra pakaian dalam itu terdapat kertas kecil bertuliskan ‘I’m so sorry, my Honey’. Apa ini? Libra mengganti semua barang yang aku singkirkan? Sempat tidak mengerti tapi aku mencoba memahami semua seleranya yang terbilang terlalu mewah untukku, bukan aku tidak menyukai tapi entah pria itu sulit dipahami dan aku membuka kotak terakhir berwarna merah. Seketika aku merasa lemah saat melihat pakaian dalam berwarna merah tua dan ini merupakan hadiah dari Haikal, aku juga melihat kertas kecil tertera tulisan tangan priaku ‘I love so much, Baby’.      “Haikal…,” aku merasa pedih mengingatnya, cinta yang aku rasakan terasa sangat sulit menemukan kebersamaan.      “Mas Libra.” Kain pemberian darinya memang sangat mewah, tidak sebanding dengan milik Haikal tapi aku suka dengan modelnya yang terkesan anggun.      Tiga kotak yang aku terima hari ini membimbing diriku pada arti lain terutama mengenai Libra. Kenapa dia harus menyingkirkan barang yang kubeli dan menggantinya dengan harga sangat mahal? Bukan kemewahan seperti ini, tapi betapa rumah tangga harmonis yang sebenarnya itu impian semua wanita termasuk aku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN