Cuaca mulai tak bersahabat saat memasuki musim hujan dan itu jujur saja membuatku khawatir, pasalnya aku termasuk orang yang penakut mendengar suara petir. Huft, sial bukan? Tapi itu masih bisa diatasi karena entah aku sangat suka jika setiap malam saat hujan Libra akan lembur di dalam kamar, melupakan ruangan kerjanya. Tapi tetap saja terkadang aku merasa jengah karena Libra mengabaikanku, juga malas jika aku harus lebih dulu merayunya untuk memulai kemesraan.
Astraphobia ini terus terang saja sangat mengganggu, aku yang pasti hanya akan mengurung diri di dalam kamar atau bahkan jika petir menyambar-nyambar lemari pakaian mulai jadi tempat persembunyianku. Memalukan.
Meski aku sudah pernah melakukan hipnoterapi untuk menangani kasus langka yang aku miliki, tapi tetap saja itu tidak ada pengaruh apa-apa. Namun bagian kisah yang pastinya akan aku alami karena Libra pasti mulai menjagaku, di saat itulah aku pasti hanya akan menikmati pemandangan melalui warna mata indah yang berbeda milik suamiku, warna biru cerah disertai abu-abu pada iris sebelah kanan. Ya, Libra adalah pria dengan dua warna mata yang berbeda atau odd eye.
Lama sekali pikiran ini menjanjikan imajinasi saat di depan laptop, aku kehilangan ide lain dan memilih untuk menutup lagi pekerjaan di mana itu memang tidak bisa aku paksakan. Ruang dapur menjadi pilihan ketika perut ini terasa lapar juga karena hujan sudah berhenti, dan memutuskan untuk membuat makanan. Biasa aku hanya memanaskan sup kaleng.
Langit-langit ruangan terlihat tidak asyik ketika aku mencoba mengingat lagi apa itu pernikahan yang sama sekali tidak menemukan arti. Kami selalu diam dan bertengkar dapat dihitung dengan jari selama ini, tidak ada pertikaian apapun di antara aku dan Libra. Setiap malam, setiap aku kembali dalam keadaan mabuk saja Libra hanya diam sambil menatap dan berlalu tanpa perilaku ingin tahu.
“Lagi ngapain di sini?”
Aku tersentak saat tangan terasa keras itu menyentuh pundak, terlihat Libra mengeluarkan sup yang barusan aku panaskan di dalam microwave. “Ah, aku… Cuma laper aja kok. Maaf lupa kalau lagi manasin makanan.”
Kaos tipis berwarna putih itu memperlihatkan bagian otot pada punggung Libra saat membelakangiku, sambil pria berdarah Inggris itu menuang sup ke dalam mangkuk. Aku pun menerima makanan siap saji dari Libra.
“Sudah jadi, lain kali jangan sampai gosong nanti bisa kebakaran!” Libra memperingatkan.
Aku hanya mengangguk. Sikap itu kembali semula saat kami hanya berdua saja. Dan akan lain ketika Libra berada di antara orang-orang di mana dia akan bersikap sangat romantis, seperti pria pada umumnya memanjakan istri dengan kecupan.
Langkah itu semakin jauh, tapi entah aku kepikiran untuk mendahului dan merentangkan kedua tangan. Tapi saat Libra berhenti dan menunggu alasan kenapa aku menghalangi, di sinilah aku bingung harus berbicara apa.
“Mas, kamu udah makan?” Ugh, betapa kaku dan tidak penting pertanyaan ini.
Mata itu, benar-benar cantik saat melihat ke arahku. Tapi Libra hanya diam sambil melingkarkan tangan di perut, aku tidak tahu apa yang dipikirkan nya saat ini. Tapi seulas senyum hangat itu mulai mengalihkan prasangka ini jika Libra memang pria yang baik, tapi tidak saat aku mengingat tato di pundak sebelah kiri tertera nama 'Charlotte'. Siapa nama itu? Aku berpikir jika Libra mencintai wanita lain.
“Bukannya tadi kita udah makan malam ‘kan? Kamu masak udang pedas manis, lupa ya?”
Ya, hanya itu saja jawaban Libra dan dia berlalu. Aku pun mengamati tubuh tegap berambut kecoklatan itu semakin hilang dari pandangan, berulang dan terus diulang sikap dingin yang membuatku ingin tahu mengapa Libra sampai saat ini seperti pria misterius dengan sebuah hubungan.
Pria bule itu selalu saja menghancurkan mood ku setiap malam, memang Libra tidak pernah kasar apa lagi sampai membentak. Sama sekali tidak pernah aku mendengar pria itu menghukum kesalahan ini dengan cara melukai, tapi jujur saja diam nya seorang Libra membuatku jenuh. Sup yang semula membuat lapar tiba-tiba saja hilang selera atas aroma itu, aku pun memilih untuk ke kamar khusus menyimpan pakaian dan aksesoris milikku untuk mengambil jaket tebal karena hawa di luar masih terasa dingin setelah diguyur air hujan.
Aku berjalan cepat ke arah pintu depan tapi rupanya aku kepergok oleh Tatia yang sedang membaca majalah. Untuk apa malam seperti ini dia duduk di sofa kecil dekat dengan pintu? Apa ibu mertuaku ini sedang berjaga-jaga jika aku berbuat hal tidak baik dengan anaknya? Entah, tanganku terasa dingin ketika Tatia melihatku dari ujung kaki hingga kepala.
“Pakai baju tidur, jaket? Kamu mau menghadang petir di luar ya?” Tatia memasang wajah teliti saat berjalan dibelakangku, ini hal paling menyeramkan selama ada mertua ku di rumah.
“Aku… Cuma mau liat udara di luar Mi, siapa tau… Ide ku bisa muncul.” Jawabku gugup setengah mati.
“Udara nggak bisa diliat Shafira! Bilang aja kamu mau pergi, iya ‘kan? Alasan dengan cari suasana baru biar otakmu segar, padahal pekerjaan menjadi penulis… Tandanya kamu itu pemalas!” Lagi, ucapan Tatia melukai tapi aku hanya tersenyum simpul.
“Tapi seenggaknya aku masih bisa kerja cari uang Mi. Buat aku beli make up, sepatu dan baju-baju yang aku mau tanpa harus merepotkan Mas Libra!” Aku tidak bermaksud durhaka dengan menjawab ucapan Tatia, aku hanya membela diri.
Kami diam sampai suara petir terdengar dari arah lain, aku menggigil mendengarnya. Tapi rasanya aku akan menambah emosi Tatia semakin memuncak jika meninggalkan tempat kami berdiri, tapi berada dan terus mendengarkan perkataan itu bukan kepala ku terasa lega namun panas nya terkadang membuat aku menangis. Aku berharap Libra keluar dan membawaku masuk, tapi aku lihat ke anak tangga sama sekali tidak ada tanda-tanda pria itu keluar kamar.
“Kapan kalian bulan madu?”
Apa? Aku malas saat Tatia bertanya demikian. Untuk kesekian bulan madu aku dan Libra tidak membawa hasil apapun, aku tetap belum hamil. “Oh itu… Aku nggak tau Mi, Mas Libra masih sibuk sama AD Entertainment yang baru diresmikan.”
“Anak itu, paling nggak bisa lepas dari kerjaan sampai lupa bikin anak apa? Ah, Mama ini kesel ya sama kalian berdua. Sok sibuk banget, sampai nggak punya keinginan kasih Mami cucu!” Tatia mulai menunjukkan sisi kesalnya selama beberapa bulan ini.
“Mungkin… Karena kita sama-sama capek Mi.”
“Ah, kamu itu capek apa? Harusnya sebagai istri tuh, kamu perhatiin Libra dong! Kasih makanan sehat, kacang-kacangan biar kualitas bibitnya itu bagus! Dan kamu, harusnya pinter rayu suamimu di ranjang dong! Apa perlu Mami kasih cara? Ah emosi kalau ngomong sama kamu Shafira!” Tatia membanting majalah di tangannya ke meja sampai aku terkejut.
Selama ini aku terus memperhatikan kualitas menu yang aku masak untuk Libra, bahkan vitamin juga suplemen makanan aku tidak pernah lupa juga rutin konsultasi ke dokter. Tapi sejak beberapa bulan setelah AD Corp disibukkan oleh banyak cabang mereka, Libra jarang pulang tepat waktu bahkan saat malam di rumah kami jarang berdua. Hanya malam saat hujan seperti ini, itu saja aku hanya melihat Libra mondar-mandir mengambil berkas-berkas yang tertinggal. Kadang aku bertingkah seperti wanita haus akan sentuhan, berpakaian terbuka memamerkan lekukan tubuh untuk mencoba membangkitkan kemauan Libra. Tapi aku hanya seperti kupu-kupu saat malam.
“Kok diem?”
Tatia suka sekali menegur sampai aku melupakan lamunan malam ini. “Iya, kenapa Ma?”
“Kenapa? Kok kamu malah tanya sih? Kamu nggak denger Mami ngomong ya?” Aku menampung semua perkataan mertuaku.
“Denger, cuma… Aku sudah berusaha Mi. Mungkin kita belum dikasih kepercayaan lagi untuk…,”
“Iya lah! Ini semua gara-gara kamu yang ngeyel, capek pulang pergi ke kampus sama butik akhirnya kamu keguguran!”
Sungguh perkataan direnggut oleh kemarahan Tatia aku pun hanya bisa menahan tangis, batin ini masih merasakan salah atas kepergian bayiku yang selama ini ditunggu. Tanpa apapun yang ada di pikiran ini, aku berlari di tengah gerimis tanpa peduli jika petir bisa membuatku pingsan. Aku enyah, menatap balkon kamar sudah menunjukkan ruangan itu gelap. Libra sudah tertidur.
Meski Tatia berteriak namaku, yang ada di pikiran saat adalah lari ketika malam mulai kejam menghakimi kesalahan. Kejadian itu bukan yang aku inginkan. Wanita mana yang menginginkan bayinya pergi begitu saja? Aku tahu ini berat untuk keluarga Adelard, juga untukku yang terus bertahan demi kebahagiaan keluarga besar orang asing itu.
[...]
Air yang melekat di tubuhku terasa dingin hingga ke tulang, aku berulang kali menekan bel pintu rumah Haikal. Sepi. Ke mana mereka pergi? Sambil menatap diri dari pantulan kaca hitam rumah kekasihku, betapa aku sangat menyedihkan. Sampai kapan harus terus lari? Aku lelah, tapi untuk mengakhiri rasanya sangat berat. Ya, aku terpaut perasaan sulit akan pria itu. Seistimewa pria itu sehingga aku menyukai bagian warna berbeda pada mata Libra, kenapa?
Aku duduk di antara anak tangga sebagai pembatas teras depan rumah dari halaman tidak terlalu luas tapi cukup untuk 2 mobil berada di sana. Sambil memeluk diri sendiri karena kedinginan, aku melihat cahaya lampu sen menyinari pandangan. Haikal pulang, aku merasa senang dan tidak bisa menunggu saja langsung tubuh yang selalu membuatku hangat itu aku peluk. Erat. Aku ingin melepas semua lelah ini.
“Hei, kenapa kok hujan-hujanan sih? Kamu… Nggak takut? Di luar kan lebih bahaya buat Astraphobia sepertimu sayang!”
Aku menggelengkan kepala ketika Haikal menegur. “Aku… Cuma mau ketemu. Itu aja!”
“Ya udah, kita masuk! Kenapa kok nggak ada yang bukain pintu sih? Padahal tadi mbak belum tidur kok.” Haikal mengusap wajahku yang basah, ia juga meninggalkan kecupan di kening.
“Nggak apa-apa, mungkin karena hujan jadi bel nya nggak kedengeran.” Jawabku singkat, aku malas berpikir lain saat ini.
Haikal membimbingku masuk, tangannya terus membantuku menghangatkan tubuh sampai kami berada di ruang tengah berhadapan dengan dapur mini di mana aku yang sudah memilih desain lucu di rumah ini.
“Mau minum apa? Yang anget aja ya? Bentar, aku…,”
“Aku… Kedinginan!” Rasa tidak sabar ingin menumpahkan segalanya, aku memeluk pinggang priaku. Semakin sesak, tapi aku tidak berani mengungkap masalah di dalam rumah tangga ini secara bebas.
“Ada apa hm? Apa yang ingin kamu ceritakan, cerita sayang! Jangan ragu!” Lembut, suara juga belaian Haikal mampu menenangkan.
“Aku… Cuma capek aja tadi karena ide ku berantakan, imajinasi aku tentang Sarah hilang!” Sarah, tokoh utama dalam n****+ ku yang berjudul ‘Aroma Cinta Leonardo’.
Terdengar Haikal tertawa kecil sambil melepas pelukan, tidak lama bibir itu mendarat dengan lembut di leherku. Ini sangat menggiurkan karena setiap rahang itu menyentuh, entah aroma tubuhnya juga bisa membuatku tersenyum melupakan tentang Libra.
“Tadi aku pikir kamu berantem sama Libra, makanya sampai berani datang hujan-hujan begini.” Ucap Haikal melepas jaket yang aku pakai karena basah.
“Emangnya aku nggak boleh ke sini? Dan harus ada alasan ya?” Rutuk ku sambil mengacak-ngacak rambut tertata rapi, wajah itu terlihat akan lebih tampan saat berantakan.
“Bukan begitu Baby, kan kamu paling anti suara hujan makanya aneh aja buatku.” Masih saja Haikal mengelap rambut panjangku dengan handuk.
Aku rutin menggodanya, tapi Haikal hanya diam saat memainkan rambutnya yang setengah basah. Aku merebut handuk dari tangan Haikal, menatap kedua mata itu tajam sambil tanganku melingkar di tengkuknya. Lama, bahkan sampai lidah itu menyusup masuk aku tidak menyadari betapa tangan kerasnya mulai merajai.
“Emh… Sayang…,” Dasar mulut ini terlalu nakal saat Haikal menggendong tanpa melepas kecupan di bibir ku.
Senyumku mengembang ketika Haikal menjatuhkan tubuh ini ke ranjang, aku melihat jelas wajah itu sibuk dengan tatapannya di kaki terus merayap hingga paha. Nikmat, tentu tangan ini enggan berdiam diri karena aku melepas kasar pakaianku. Menyisakan bentuk pakaian dalam senada warna merah muda, kemudian aku menarik kerah kemeja Haikal untuk mengulang ciumannya yang sempat tertunda.
“Udah nakal ya sekarang?” Ucap Haikal dengan bisikan memanas di telingaku.
Aku menggeliat ketika jemari itu sudah terkurung lebih dalam di sana, pelan meninggalkan kisah malam yang nikmat luar biasa. Aku pun melepas satu persatu butiran kancing kemeja Haikal, memburu d**a berbulu tipis itu dengan melumat juga membelai lambat ketika priaku itu mulai tertarik.
“Rasuki aku dengan cintamu Haikal!” Ucap ku mulai merasa pening ketika bibir penuh itu berada di dadaku. Menarik juga memainkan ujungnya.
“Aah, sayang… Hisap yang kenceng! Aahh...,” betapa saat aku melihat langit-langit air mata ini mengalir di sela-sela kelopak mata.
Betapa perasaan ini sama sekali tidak mengerti kenapa harus ada, antara aku mencintai laki-laki dalam hidupku tetapi hanya bisa sebatas memeluknya saja. Permainan yang aku damba di dalam pernikahan kekal, menjunjung apa itu makna mencintai di atas noda pernikahan.
Wajah itu sibuk mengusung rasa nikmat kami saat mulai menyatukan bagian paling penting, merasakan setiap goresan dari sentuhan menjalar ke tubuh. Aku, terus menjerit kecil mengalunkan nada seperti aroma milik Leonardo mencintai kekasihnya Sarah. Aku hanyut dalam pelukan Haikal yang bisa memisahkan segala lelah ini dari kejamnya hari selama 3 Tahun aku menjalani mahligai rumah tangga bersama Libra.