03 - Tamu Istimewa

1732 Kata
Pagi-pagi sekali, Trisya sudah dibangunkan oleh Layla. Trisya yakin, ini masih belum tiba saatnya untuk bangun pagi seperti biasa. Seharusnya ia masih bisa tidur beberapa menit lagi. Terlebih, semalam ia jadi begadang karena kepikiran jika hari ini ia akan bertemu dengan sang karakter utama dalam n****+. “Layla, tolong diamlah! Dan bangunkan aku seperti biasa kalau sudah waktunya! Aku masih mengantuk sekarang,” rengek Trisya. “Tapi, Nona, hari ini Anda harus bersiap untuk menemui Pangeran Terry,” ujar Layla. “Ya ya ya. Aku akan bersiap nanti, seperti biasa. Lagi pula apa hal spesial yang harus aku persiapkan sampai-sampai kau membangunkanku sepagi ini?” heran Trisya. “Tentu Nona harus berdandan. Nona harus tampil menawan di hadapan Pangeran, Nona,” terang Layla, yang sontak membuat Trisya membuka matanya. “Bukankah selama ini wajah Trisya sudah cantik? Setiap kali aku melihat ke cermin, wajah ini sudah terlihat cantik, bahkan walau kau tidak mendandaninya, kok,” bingung Trisya. “Tentu berbeda, Nona. Maksud saya, cantik yang istimewa. Karena akan ada tamu penting yang harus Anda sambut,” Layla masih saja mendebat Trisya. Tapi memang itulah tugasnya. Ia harus menyiapkan Trisya sebaik mungkin untuk tampil di depan Sang Putra Mahkota Kerajaan. “Apa wajah cantik ini masih bisa menjadi lebih cantik lagi? Kau yakin, Layla?” “Tentu, Nona. Saya dan dayang-dayang lain akan mendandani Anda dengan sebaik mungkin, agar Yang Mulia Pangeran terkesima dengan-“ “Ah sudahlah, sudah! Sudah cukup kau menyebut namanya sejak tadi. Terkesima apanya? Aku bahkan dulu tampak sangat memalukan di matanya,” kesal Trisya, mengingat salah satu hal yang membuatnya tidak bisa tidur semalam. “Eh?” “Kau mau mendandaniku, kan? Ya sudah ayo! Aku sudah lelah berdebat,” kesal Trisya. Ia jadi emosi lagi kalau mengingat masa lalu Trisya yang memalukan. ‘Lagi pula, setampan apa sih Pangeran Terry itu sampai-sampai kau menjatuhkan harga dirimu sebagai putri bangsawan, Trisya? Dasar sialan! Kau yang berulah, tapi aku yang harus menanggungnya sekarang,’ batin Trisya. “Air untuk Anda mandi sudah saya siapkan, Nona,” ujar Layla dengan senyum manis di bibirnya. Tentu saja gadis itu merasa senang, karena ia telah menang dan berhasil membangunkan Nona-nya. “Ya, terima kasih,” ungkap Trisya. Selama di kamar mandi, Trisya tak henti-hentinya menggerutu. “Menikah apanya? Apa memang semua tokoh antagonis di n****+ akan seagresif itu? Aku tahu, di n****+, Pangeran Terry memang dijabarkan dengan penggambaran fisik yang begitu sempurna. Dan aku pun langsung suka saat membacanya. Hanya saja, meminta dia menikahimu? Kau adalah tokoh antagonis yang paling gila yang pernah aku tahu, Trisya.” “Hey, kau! Sebaiknya kau segera kembali! Kau saja yang menanggung rasa malu ini! Jangan libatkan aku!” runtuk Trisya. Setelah mandi, para dayang membantu Trisya mengenakan salah satu gaun terbaik milik gadis itu. “Kenapa harus warna merah muda?” tanya Trisya. “Bu- bukankah ini warna kesukaan Nona?” Dayang yang sedang membantu Trisya refleks balik bertanya. “Gaun ini terlalu mencolok. Aku tidak suka. Mulai sekarang, aku akan mengurangi rasa sukaku pada warna merah muda. Jadi carikan aku gaun yang lain!” pinta Trisya. “Tapi memang lebih dari setengah gaun Anda berwarna merah muda, Nona,” jawab dayang itu. Trisya menghela napas panjang. Ia pun segera beralih ke lemari besar yang dipenuhi gaun-gaun mewah milik Trisya yang asli itu. ‘Astaga, selera anak ini,’ batin Trisya. Akhirnya, Trisya memilih sebuah gaun berwarna biru dengan model yang paling sederhana dan bersiap memakainya. “Tapi, Nona, bukankah gaun itu terlalu biasa untuk bertemu dengan Pangeran?” tanya dayangnya. “Ini bagus, kok. Aku suka ini,” jawab Trisya. “Nona-“ “Apa? Pokoknya aku mau memakai gaun ini. Bukankah kamu bilang tadi kau akan mendandaniku dengan sangat cantik, Layla? Tidak masalah apa pun gaun yang akan aku pakai, aku pasti akan tetap kelihatan bagus kalau kau memang berhasil mendandaniku,” Trisya memotong ucapan Layla yang baru saja menghampirinya. Layla hanya bisa menghela napas pasrah. Awalnya ia pikir, Trisya akan sangat antusias bertemu dengan Pangeran Terry. Namun yang terjadi ternyata justru sebaliknya. Sejak tadi, Nona-nya itu justru kelihatan seperti uring-uringan sendiri. Padahal, menurut kabar yang ia dengar selama ini, Trisya sangat menyukai Sang Putra Mahkota. Dan hal itu disambut baik oleh kedua orang tuanya – karena memang keluarga Lovatta memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga kerajaan. Seperti yang Trisya duga, ternyata Layla akan meriasnya dengan waktu yang jauh lebih lama dibanding biasanya. Belum lagi karena Trisya memprotes ini dan itu. Ia tidak mau tampil berlebihan yang akhirnya hanya akan membuat sang karakter pria utama itu semakin menandainya. “Begini sudah cukup. Wah … lama sekali kau mendandaniku, Layla. Padahal Pangeran saja baru akan datang nanti siang, kan?” “Siapa yang bilang, Nona? Pangeran dan Tuan Muda akan segera sampai. Mereka akan ikut sarapan pagi di kediaman ini,” balas Layla dengan senyum cerah di wajahnya. “APA?!” *** Trisya berdiri di antara kedua orang tuanya, menunggu kereta kuda pangeran di halaman kastil mereka. Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang tampak tidak sabar. Terlebih sang ibu – Duchess Amara bahkan terang-terangan sesekali melempar godaan pada putri bungsunya itu. “Ayah, Ibu, kenapa kita tidak menunggu mereka di ruang makan saja?” tanya Trisya. “Tentu kita harus menyambut kedatangan mereka di sini, Putriku. Yang datang kali ini adalah Sang Putra Mahkota,” jawab Duke Gerald. “Ya, lalu?” “Beliau adalah anggota inti kerajaan, salah satu dari empat orang yang paling kita hormati. Sudah selayaknya kita memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya,” jawab Duke kembali. “Ah, itu dia mereka sudah tiba!” ujar Duchess sambil menunjuk sebuah kereta kuda yang tampak megah, dengan dua kuda besar yang menariknya. Di samping kereta itu, Trisya dapat melihat sang kakak – Darian tengah tersenyum ke arahnya. Wajah Trisya seketika memerah. Ia kembali teringat ucapan Layla semalam. Rasanya, ia seperti sudah tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan pangeran, meski ia akui, ia sangat penasaran dengan wujud asli karakter yang digambarkan dengan ciri fisik paling sempurna di dunia n****+ ini. “Ibu, apa aku boleh ke kamar mandi sebentar?” tanya Trisya. Sungguh, ia harus mencari cara aga bisa segera kabur dari sini. “Kamu pasti sangat gugup ya, putriku? Tapi, bisakah kau menahannya sebentar lagi? Setidaknya kau harus ikut menyambut Yang Mulia terlebih dahulu. Karena Beliau pasti kecewa jika tidak melihatmu ikut menyambutnya,” terang Duchess dengan begitu lembut. “Eh? Memangnya aku sepenting itu? Kan sudah ada Ayah dan Ibu,” bingung Trisya. “Bukankah kau calon istri Yang Mulia? Tentu keberadaanmu di sini akan sangat penting,” jawab Duchess. Trisya menegang. Kenapa ibunya malah semakin menggodanya? Bisa-bisa, Trisya benar-benar terkencing di celana kalau begini keadaannya. Awalnya ia memang hanya ingin ke kamar mandi untuk kabur. Tapi setelah mendengar ucapan Duchess, Trisya mendadak jadi memang ingin membuang sesuatu yang ada dalam tubuhnya. “Sial, bagaimana kalau aku sampai mengompol?” gumam Trisya lirih. Dalam hitungan detik, kereta kuda itu berhenti tepat di hadapan pemilik kasti ini – anggota keluarga Lovatta. Seorang pengawal lantas turun dari kuda, dan membuka kereta kuda tersebut. Samar, sosok yang menjadi karakter utama dalam n****+ ini pun mulai tampak di mata Trisya. Dan begitu pria itu turun dari keretanya, Trisya benar-benar serasa dibuat bungkam oleh pesonanya. “Adikku, apa yang kau lakukan!” Darian segera menutupi mulut Trisya yang sedikit terbuka – akibat takjub dengan keindahan yang tersaji di hadapannya. “Hah? Memangnya aku kenapa?” bingung Trisya. Ia belum sepenuhnya sadar jika air liurnya hampir saja menetes andai Darian tidak segera menyadarkannya tadi. Tapi, sunguh. Ia tidak menyangka jika di dunia ini ada sosok manusia seperti yang kini berada di hadapannya. Pangeran Terry Isccora memang digambarkan sebagai sosok dengan fisik serba sempurna. Namun, Trisya benar-benar tidak menyangka jika kata sempurna itu saja bahkan tidak sepadan untuk menggambarkan penampilan pria itu. “Selamat datang, Yang Mulia,” sapa Duke dan Duchess secara kompak, dan langsung menundukkan kepala mereka. Sementara Trisya, ia masih terpesona dengan wajah rupawan di depannya, sampai-sampai ia tidak sadar jika semua orang di sana sekarang sedang menunduk hormat pada pria itu, kecuali dirinya. Dan tentu saja, hal itu menarik perhatian Pangeran Terry. Sosok yang Trisya kagumi itu menolehkan kepalanya ke arah Trisya. Membuat Trisya semakin gelagapan dan tidak tahu harus berbuat apa. “Kau kelihatan jauh lebih sehat dibanding yang aku kira,” ucap Pangeran Terry dengan nada dingin. Trisya mengerti jika perkataan itu Pangeran layangkan untuknya. Ia merasa, pasokan udara di sekitarnya semakin menipis. Belum lagi, perasaan ‘ingin ke kamar mandi’ itu kian terasa menyiksa. Trisya bahkan sampai harus menginjak kakinya sendiri karena rasanya ia sudah benar-benar ‘di ujung’. “Ma- maaf, tapi bolehkan saya izin ke kamar mandi? Sepertinya saya sudah terlalu lama menahannya, dan ini sangat tidak nyaman,” ucap Trisya pada akhirnya. Persetan dengan rasa malu! Ia justru akan jauh lebih malu kalau ia sampai mengompol di depan semua orang, khususnya Pangeran. Sudah cukup Trisya yang asli membebaninya dengan rasa malu akibat permintaannya agar Pangeran mau menikahinya. Jangan sampai Trisya memiliki trauma lain yang akan membuatnya semakin tidak memiliki muka di depan pria setampan Pangeran Terry. Ucapan Trisya tadi tak hanya berhasil menyita perhatian Pangeran Terry. Melainkan juga kedua orang tua, kakak, serta beberapa dayang dan pengawal yang berdiri dekat dengan mereka. “Trisya,” tegur Sang Duke, sebagai penanggung jawab utama di tempat ini. “Tidak apa. Pergilah!” ujar Pangeran Terry. Dan tanpa diduga, setelah itu Trisya berlari kencang begitu saja, menuju kamar mandi yang jaraknya paling dekat dengan halaman depan. Beberapa dayang – tak terkecuali Layla pun segera pamit undur diri untuk mengikuti Nona mereka. Sementara semua yang tersisa di halaman, tampak kehabisan kata-kata. Termasuk Duke dan Duchess yang seketika wajahnya berubah menjadi pucat pasi, khawatir putri kesayangan mereka akan mendapat masalah karena telah berlaku tidak sopan di depan Sang Putra Mahkota. “Mohon maafkan perilaku adik saya, Yang Mulia,” bisik Darian, yang berdiri dengan jarak paling dekat dengan Pangeran Terry. Pangeran Terry menolehkan kepalanya ke arah sahabatnya itu, kemudian tersenyum penuh arti. Namun sungguh, hal itu justru membuat seisi penghuni Kastil Keluarga Lovatta menjadi semakin was-was. Karena mereka semua tahu, bahwa selama ini, Pangeran memang tidak terlalu suka dengan Lady dari keluarga Lovatta itu. Pangeran sering kali menunjukkan sikap risihnya atas gangguan-gangguan Trisya kecil yang sering kali terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Jadi, bukankah hal ini bisa menjadi sebuah alasan untuk Pangeran Terry agar bisa memberi sedikit ‘hukuman’ untuk ‘gadis nakal’ itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN