Eva bejalan meninggalkan Omar dengan perasaan kesal bercampur malu, apalagi setelah ulah konyol yang dilakukan oleh pria yang kini telah berstatus sebagai suaminya itu. Belum lagi, dia tidak melihat kamar lain yang berada di rumah Omar. Padahal dia sudah berkeliling untuk mencari tahu lebih banyak mengenai rumah.
“Aneh banget, sih. Rumah segede ini. Tapi kamar Cuma satu doang. Emang ya, dasar Om-om genit!” cicit Eva seraya memonyongkan bibirnya. Eva berjalan menuju balkon yang kebetulan hari sudah mulai malam. Eva menatap jauh ke depan. Menghirup udara segar, dari embusan angin malam yang menerpa wajahnya. Tanpa sadar dia memejamkan kedua maniknya, menciba menikmati suasana malam itu. Embusan angin malam seolah menghapus lelah dan masalahnya hari ini.
‘Lagian, kenapa juga gue harus mau nikah sama itu Om-om. Kan seharusnya gue menolak mati-matian tadi. Malah pernikahan drama tanpa ada saling kenal. Kenapa juga dia ngakuin kalo aku hamil. Kan pasti Bang Leon percaya. Emang ya, kalo udah begini ya tinggal nyesalnya aja. Kenapa sih, kalo penyedalah itu selalu datang di akhir. Kenapa nggak di awal aja. Kayak pendaftaran?’
Omar yang melihat Eva berdiri di luar segera membawakan sebuah selimut, dia segera menutupi bagian pundak Eva perlahan. “Di luar dingin. Jangan lama-lama di luar, ayo masuk! Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.” Omar kemudian pergi meninggalkan Eva yang masih terpaku karena kaget dengan apa yang Omar lakukan baru saja kepadanya.
“Nyebelin banget, sih. Dia tuh bisa nggak kalo datang permisi dulu,” gumam Eva.
Suara indah dari perut Eva membuatnya tersadar jika, Dirinya belum memakan apapun semenjak siang tadi. “Sial, kenapa aku sampai lupa kalo dari pagi aku belum makan,” gumam Eva.
Sebuah notifikasi pesan masuk. Eva segera meraih ponsel yang bersemayam di saku celananya. Membuka pesan yang baru saja masuk.
“Raihan. Tumben dia kirim pesan panjang banget, jangan-jangan dia gegar otak lagi setelah kebentur pas pingsan tadi.”
‘Va, kenapa semua jadi begini. Gue harus apa sekarang? Tolongin gue Va, rasanya sakit banget, apalagi liat lo tiba-tiba nikah. Gue nggak sanggup hidup lagi Va. Kenapa lo begini? Tidak bisakah kamu batalkan Pernikahan itu? Jika memang itu pilihanmu, maka aku akan selalu senantiasa mendoakan kebahagiaanmu. Salam sayang, Raihan.’
“Ini anak otaknya udah konslet kesiram air kali ya? Udah tau temennya lagi kena musibah, dia malah curhat. Habis diputusin gebetan nya kali ya,” gumam Eva. Dia bahkan tidak menyadari perasaan Raihan kepadanya selama ini. Dia hanya menganggap pria itu sebagai adik dari sang kakak ipar dan sebagai seorang sahabat lelakinya saja.
“Aku tahu kok, kamu pasti kehilangan temen main dan temen curhat kan. Tapi tenang, aku akan mencari cara agar terbebas dari Om-om genit itu.”
Eva segera kembali ke dalam kamar, dia baru ingat apa yang dikatakan Omar kepadanya tadi.
Eva menyusuri lorong kamar dengan berjalan cukup santai. Mengamati yang berada di sekitarnya, tiba-tiba saja dia terhenti di sebuah pojok ruangan. Pandangannya tersita pada sebuah potret yang mengusiknya. Entah karena sebuah rasa penasaran atau yang lainnya. Eva perlahan mendekati potret yang terbalut bingkai berwarna emas itu.
“Kayak nggak asing dengan foto ini. Kira-kira siapa ya? Apa karena background-nya Gedung Opera Sydney. Ini kan foto Om genit dengan wanita dan anak kecil ini siapa? Anaknya? Jangan-jangan dia duda lagi?” Eva menutup mulutnya menggunakan kedua tangganya, ia takut jika dirinya hanya dijadikan istri siri karena pernikahan yang dilakukan tadi terlalu mendadak. Namun wanita yang ada di dalam bingkai itu menurutnya sama sekali tidak asing baginya. Eva mencoba mengingatnya. Sayangnya karena lapar, otaknya menjadi lambat dalam bekerja.
Enggan untuk berpikir lagi, Eva segera kembali ke dalam kamar Omar. Ketika memasuki kamar, dia sudah mendapati sang suami terlelap di atas tempat tidurnya.
“Dia bilang mau ngomong sesuatu, tapi malah dirinya tidur duluan. Emang dasar ya, apa karena udah Om-om makanya dia mudah lelah. Yah bisa dimaklumi deh,” gumam Eva.
Eva berjalan mendekati Omar. Dia melihat memar yang ada di wajah suaminya belum diobati. Dia berinisiatif untuk mencari kotak obat. Setelah menemukannya dia segera membawanya lalu menaruhnya di lantai. Eva duduk bersimpuh di hadapan Omar yang sudah terlelap mengarungi alam mimpinya.
“Maafin Bang Leon, ya.” Eva menatap bagian-bagian memar yang ada di wajah Omar, itu membuatnya merasa sedikit nyeri. Perlahan Eva segera mengoleskan salep pada luka suaminya. Eva mengamati setiap inchi wajah Omar. Itu sedikit membuat hatinya tercabut.
Entah mengapa dia tiba-tiba mengingat mantan kekasihnya ketika menatap Omar, yang sebenarnya masih memenangkan takhta tertinggi di dalam relung hatinya saat ini. Dia bahkan sudah mengikhlaskan Max untuk wanita itu. Akan tetapi, rasa sakit yang digoreskan oleh Max begitu dalam.
Jika mengingat kejadian yang telah berlalu itu, membuat Eva tidak ingin menjalin hubungan dengan pria manapun dalam waktu dekat. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Saat ini, pria yang terlelap di hadapannya telah berstatus menjadi suaminya. Pernikahan kilat ini masih seperti mimpi untuk Eva.
Eva berpikir, apakah dia mampu bertahan di dalam pernikahan tanpa cinta ini. Sejujurnya rasa percayanya kepada pria semakin menghilang, apalagi ketika dia melihat foto Omar dengan wanita lain tadi. Namun, dia tidak mungkin langsung menuduhnya tanpa tahu yang sebenarnya.
Setelah mengobati Omar, Dia mulai merasakan lapar lagi. Dengan terpaksa Eva pergi menuju dapur untuk mencari makanan atau bahan makanan. Dia berharap ada sesuatu untuk mengisi perutnya.
“Dasar nggak tanggung jawab, udah nikahin anak orang dadakan, sekarang malah nggak dikasih makan,” dumel Eva di sepanjang jalan menuju dapur.
“Anda siapa?” tanya Eva waspada kepada seorang wanita yang berdiri di depan kulkas.
Wanita itu membalik badannya menghadapi ke arah Eva seraya tersenyum. “Kamu, Eva?” tanyanya dengan lembut.
Eva mengangguk pelan, dia juga terlihat sedikit waspada. Semenjak kejadian teror beberapa tahun yang lalu di keluarganya membuat Eva tidak percaya kepada siapa ‘pun. Apalagi orang yang baru ditemuinya.
“Perkenalkan, saya Tanti Daniella. Ibu dari Omar, maaf ya, Mama buat kamu takut.” Tanti mendekati Eva kemudian meraih tangan Eva. Wanita paruh baya itu dengan sabar menuntun Eva untuk duduk di meja makan. Eva yang bingung menghadapi ibu mertua untuk pertama kali hanya menurut saja.
‘Sial, gue lupa mencari tahu soal Ibu mertua. Bagaimana jika dia jahat seperti yang ada di dalam sinetron yang sering ditonton sama Mama?’ Eva segera menggelengkan kepalanya cepat agar segera sadar dan bersikap waspada.
Pikiran Eva yang masih labil membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Sementara Tanti dengan cekatan menyiapkan makanan di atas meja makan.
“Kamu pasti belum makan, bukan? Omar memang jarang sekali makan malam. Dia pasti lupa jika sekarang sudah memiliki istri. Dasar anak itu seharusnya dia memperhatikan lebih baik lagi, istrinya.” Tanti melihat Eva seraya tersenyum. “Oh iya, maaf ya, hari ini Mama tidak bisa hadir di pernikahan kalian. Besok Mama akan menemui keluargamu untuk membicarakan acara pernikahan selanjutnya,” lanjut Tanti tanpa henti.
Eva hanya mengangguk, jujur saja dia sangat bingung saat ini. Suasana sangatlah canggung, terlebih lagi dia sama sekali tidak pernah mengenal siapa wanita yang berada di hadapannya saat ini.
“Oh iya, Tante, eh maksudnya Ma. Kalo boleh tahu, Mama dari mana?”
Tanti tersenyum mendengar pertanyaan menantunya itu. “Mama dan Papa tinggal di Kalimantan, anak Mama satu-satunya itu memang suka berkelana ke mana-mana. Mama sempat kaget ketika Jackson menelfon mengabarkan jika kalian menikah. Maafkan anak Mama ya,” ucapnya dengan tulus. Eva hanya mengangguk pelan.
Dengan berjalannya waktu suasana mulai mencair dengan sendirinya. Kecanggungan mulai menghilang dan Eva mulai akrab dengan ibunya Omar.
Di rumah sakit, Raihan masih menunggu balasan pesan dari Eva. Dari seluruh tubuhnya hanya satu titik bagian yang paling sakit yang terletak jauh di relung hatinya.
“Raihan, ayo dong makan. Ini udah tengah malam dan kamu belum makan apapun,” bujuk Raina kepada adik satu-satunya itu.”
“Hasilnya sudah keluar, dia baik-baik saja. Entah apa yang salah dengannya. Aku akan mengurangi pekerjaannya, siapa tahu dia kelelahan bekerja. Sayang, aku akan ke Dubai malam ini untuk perjalanan bisnis dua hari. Kamu mau ikut pulang atau tetap di sini?” tanya Leon dengan menggendong Celana.
“Aku masih boleh di sini, By?” tanya Raina sedikit memohon.
“Tentu saja. Aku akan membawa Celena dan Orion pulang.” Raina mencium kedua anaknya sebelum berpisah.
“Aku tidak?” rengek Leon seperti anak kecil.
Tanpa berpikir panjang Rainapun mencium pipi Leon.
“Dasar nggak peka, kalian! Lebih baik, Kak Raina ikut pulang juga,” kata Raihan dengan kesal.
Bagaimana tidak, jomlo akut seperti dirinya selalu menjadi obat nyamuk di manapun dirinya berada.
“Sudah pergi sana, dia sedang di fase PMS makanya sensitif,” sindir Raina kepada adiknya. Mendengar ucapan Raina, Raihan segera memunggungi dua pasangan itu.
Leon hanya terkekeh melihat kelakuan adik iparnya dan segera pergi membawa dua buah hatinya.
Raina merasa ada yang tidak beres dengan adiknya. Dia mendekati Raihan perlahan.
“Rai, mungkin selama ini ada yang kakak tidak tahu? Atau bahkan ada yang membuatmu sakit?” tanya Raina dengan sabar.”
“Tidak ada. Lebih baik Kak Rain balik aja,” jawab Raihan. Dia terlihat mencoba untuk tegar.
“Tidak apa-apa pria menangis sesekali, Rai. Sini cerita sama Kakak!” kata Raina. Dia segera berpindah untuk melihat wajah sang adik.
Di luar dugaan, ternyata banyak Raihan sudah basah karena air mata yang mengalir dari tadi. Raina yang tak mengerti permasalahannya mendadak merasakan nyeri di relung hatinya.
“Rai, kamu baik-baik saja?” tanya Raina panik. Dia segera meraih tangan diknya lalu memeluknya erat.
Raihan yang sudah tidak tahan, menumpahkan segalanya di pundak sang Kakak. Bahkan adiknya yang bersikap tegar selama ini juga bisa menangis seperti ini. Raina menyadari betapa sakitnya hati sang adik saat ini. Bagai di sayat-sayat, Raina ikut merasakan nyeri.
“Kenapa, Kak? Kenapa dia menikah?” kata Raihan terisak.
Raina semakin mengeratkan pelukannya kepada sang adik. Seketika Raina menyadari jika perasaan Raihan kepada Eva selama ini bukanlah main-main. Dulu Raihan pernah bertanya apakah jika seorang ipar dengan ipar tidak bisa menjalin sebuah hubungan?
‘Ya Tuhan, ini kah semua jawabannya?’ Raina begitu terkejut dengan kenyataan ini. Sedalam inikah rasa cinta Raihan kepada Eva. Sementara Eva sama sekali tak menganggapnya.
“Kenapa kalian sejahat ini?” kata Raihan sebelum dia terlelap ke dalam mimpinya.