BAB 2

1539 Kata
   Namanya, Savalia Angela Drafiria, gadis kecil berumur lima tahun. Sava anak yang ceria, rambutnya panjang dengan mata berwarna biru. Mewarisi mata sang ayah, tapi kecantikan sang ibu juga ia miliki. Hidupnya selalu dipenuhi dengan hal-hal yang indah, ia tak pernah bertanya di mana ayahnya, yang ia tahu sang ayah sedang bekerja di tempat yang jauh dan tak bisa kembali dengan cepat.    Motor ninja dengan warna merah menyala berhenti di depan warung makan, seorang wanita turun terburu dari sana. Tujuannya hanya satu, mencaci-maki mantan suaminya, jika perlu membunuhnya . Wanita itu bergegas masuk, langkah kakinya terburu dan membuat beberapa orang menatapnya. Ia berhenti, menatap tajam anaknya yang sedang duduk bersama seorang pria asing.    "Sava!" tegas Stefanny.    Gadis kecil itu menatap ibunya yang baru saja datang, helm masih ada di kepala sang ibu, "Bunda …," ujar Sava pelan, "... Bunda lama, Sava takut nggak di jemput." Lanjut Sava.    Stefanny diam, ia menatap pria yang kini duduk dengan tenang. Semangkuk bakso ada di atas meja, pria itu sedang menikmati kuah bakso dan mengabaikannya. Segera saja, kaki Stefanny melangkah dan menghampiri pria itu, ia menatap dengan amarah yang sudah berkobar. Jika saja api itu terlihat nyata, mungkin warung makan yang ia pijaki sudah hangus dan kebakaran besar terjadi.    "Stef, nggak baik bentak anak kecil."    Stefanny membuka helm-nya, wanita itu melangkah pelan, menghampiri pria kurang ajar yang berhasil membuatnya panik. Tangan wanita itu terulur, meraih rambut sang pria dan menariknya kuat, "Sialan! Jadi ini tingkah kamu Rif!" bentak Stefanny, "aku udah ngebut dari kantor, panik setengah mati, kamu bener-bener ya!" lanjut wanita itu.    "Stef, nggak baik jambak calon suami!" tegas Rifky.    "Apa?" Stefanny semakin kuat menarik rambut Rifky, ia begitu kesal.    "Bunda … kok Ayah di jambak sih. Kasian," ujar Sava. Ia memegang tangan Stefanny dan menggeleng saat sang ibu menatap ke arahnya.    "Sava, tolongin Ayah. Bunda galak banget, Dek." Rifky menahan tangan Stefanny, ia menatap Sava dengan wajah memelas dan membuat Sava merasa iba padanya.    "Bunda, kasian Ayah." Sava menarik tangan Stefanny, gadis kecil itu tersenyum saat Stefanny berhenti dan bersedekap.   "Udah!" tegas Stefanny. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Suasana hening membuat Stefanny sadar dan menatap sekitar. Barisan manusia, sedang memegang ponsel masing-masing dan mengabadikan kejadian seru yang bisa dijadikan bahan gosip.    Stefanny menatap datar, ia memilih duduk dan tidak peduli pada orang-orang sekitar. Sava mengikuti ibunya, duduk di samping sang ibu lalu menyendokkan nasi goreng yang ada di piringnya.    "Bunda, makan dulu. Tadi kan, bunda udah main perang-perangan sama Ayah."    Bukannya peduli, Stefanny malah membulatkan matanya, bagaimana Sava bisa memanggil Rifky dengan sebutan ayah? Siapa yang mengajarinya? Sejenak, wanita itu menatap Rifky yang malah tertawa pelan.    "Jangan heran, aku udah sering ketemu Sava pas kamu gak ada di rumah." Rifky menatap pelayan yang menghampiri mejanya, "Mbak, bakso-nya satu lagi ya. Jangan pakek mie kuning, istri saya nggak suka," ujar Rifky, "minumnya teh es, tapi ada perasan jeruk." Lanjut pria itu.    Stefanny tak ingin bicara, ia kesal dan tak ingin meladeni sikap Rifky yang selalu seenaknya saja. Wanita itu bersandar, ia meraih sendok yang Sava pegang lalu menyuapi anaknya.    "Bunda, tadi kenapa marah-marah sama Ayah?" tanya Sava.    "Sava, dia bukan Ayah-nya Sava. Jadi panggil Om aja ya, Nak." Stefanny tersenyum, lebih tepatnya menyesal telah berlaku tidak sopan di depan putrinya.    "Kenapa? Kan nggak ada masalah kalo Sava panggil dia Ayah."    "Emang kenapa mau panggil dia Ayah?" tanya Stefanny, dia tak peduli saat Rifky terus mengumbar senyum dan menatap ke arahnya.    "Ayah ganteng sih, nggak rugi kalo Sava pamerin ke temen sekolah," jawab gadis itu sambil tersenyum senang.    Mendengar jawaban putrinya, Stefanny tak bisa menjawab. Ia menatap Rifky yang terkekeh dan terlihat begitu senang. Tak bisa di pungkiri, wajah pria itu memang teramat tampan. Perpaduan antara Dayak dan China yang kental, membuat Rifky terlihat berbeda dari orang kebanyakan. Rambutnya hitam, dengan mata yang sipit dan juga penampilan yang menarik. Di usia muda, Rifky sudah bisa mengelola usaha miliknya sendiri, hanya berbekal modal kecil yang orang tua-nya berikan, dikelola dengan baik dan jadilah seperti sekarang ini.    "Jangan natap terus, Stef. Nanti jatuh cinta loh …," ujar Rifky dengan penuh percaya diri, "... Tapi ya, aku nggak keberatan kalo kamu yang naksir." Lanjut pria itu tanpa rasa bersalah.    "Ngimpi!" tegas Stefanny. Ia menatap pelayan yang mengantar pesanannya, tersenyum, lalu menikmati bakso kesukaannya. Walau dia terlihat kesal beberapa saat lalu, dia masih bisa berlaku sopan. Siapa yang menolak rezeki? Maaf, dia bukan orang yang akan menolak apapun selama itu tidak merugikan dirinya. …    Sejak kejadian di warung depan sekolah, Stefanny terlihat biasa saja. Ia tak peduli pada gosip yang tertera di halaman i********:, Pontianak Informasi. Apa yang perlu ia pedulikan di sana? Orang-orang memang suka menggosip, sudah menjadi rahasia umum jika kejadian yang terlihat tidak biasa akan menjadi trending yang luar binasa. Malam yang tentu saja terlalu sepi, Sava sudah terlelap dalam tidur, sedangkan pengasuhnya memohon izin untuk pergi keluar dan menikmati hidup bersama teman-temannya.    Memikirkan banyak hal, tentu saja itu bukan sesuatu yang aneh. Sebagai seorang janda, Stefanny juga punya masalah. Entah itu masalah ranjang yang tidak terpenuhi, atau keluhan ringan tentang rasa lelah dan tak sanggup untuk bekerja. Seringkali ia merasa tersiksa kala nafsu birahi menguasainya. Tetapi, ia kembali menjunjung harga diri, mengabaikan masalah seks dan kembali pada pikirannya yang waras.    Untuk beberapa faktor, menjadi janda bukan hal yang enteng. Bagi orang kebanyakan, memang terlihat bebas dan hidup menyenangkan. Stefanny memijat keningnya, ia menatap pekerjaan yang menumpuk di atas meja. Sengaja ia membawanya ke rumah, dan mengerjakannya dengan tenang di kala malam datang.    Suara ponsel membuat Stefanny terlonjak kaget, ia menatap sebait pesan yang masuk.    Rifky : Stef, udah tidur?    Stefanny kembali meletakan ponselnya, ia bersandar dan membaca salah satu berkas yang berisi angka-angka di dalamnya. Lagi, suara ponsel mengganggunya. Tangan Stefanny dengan cepat meraih benda elektronik itu dan berdiri. Ia menatap sebait pesan yang kembali membacanya.    Rifky : Aku di depan rumah, keluar dong. Ini, bawa martabak.    Stefanny hanya mengabaikan pesan itu, ia langsung membuka pintu dan menatap pria muda yang ada di depan pagar rumahnya.    "Ngapain sih, malam-malam dateng." Stefanny keluar dari rumah, ia tetap membuka pagar dan menatap Rifky yang memamerkan senyum hangat, "nggak enak diliat tetangga." Lanjut Stefanny.    "Kamu peduli banget ama omongan orang, nggak capek?" tanya Rifky, ia melangkah masuk tidak peduli apakah Stefanny akan mengizinkan atau tidak.    "Rif, aku cuma males ama omongan gila mereka."    "Kalo kamu peduli, kamu nhgak akan jadi janda selama ini." Rifky bergegas ke arah pintu, ia mengabaikan Stefanny yang berdiri di depan pagar.    "Rif, mobil kamu!" panggil Stefanny.    "Kamu aja yang masukin, aku udah masuk rumah ini."    "Koncinya, j*****m!" teriak Stefanny.    "Di mobil, Sayang," jawab Rifky sambil membuka sepatunya.    Stefanny menatap kesal, ia segera menghampiri mobil Rifky dan masuk. Ditutupnya pintu dengan kasar, lalu menyalakan mobil dan memasukkannya ke pekarangan rumah. Wanita itu memarkirkan mobil Rifky, ia tak langsung keluar dan bersandar. Ditatapnya beberapa baju yang ada di jok belakang, akhirnya ia tahu Rifky orang yang lumayan berantakan.    "Ini manusia bener-bener deh, sanggup banget pakek mobil bau apek gini," keluh Stefanny. Ia menggeleng, mematikan mobil, mencabut kuncinya lalu keluar. …    Rifky menatap Sava yang terlelap, ia tersenyum dan melangkah masuk ke dalam kamar. Sejak Sava berumur tiga tahun, Rifky sudah sering mengunjungi anak itu, bermain bersamanya dan mendongengkan cerita-cerita seru. Ia dan Stefanny lama saling mengenal, bukan setahun atau dua tahun, tetapi hampir sepuluh tahun. Dulu, Stefanny juga menikah dengan temannya, seorang pria dari Australia.    "Aduh calon anak Ayah, tidurnya manis banget." Rifky duduk di atas kasur, ia membelai rambut Sava sambil tersenyum, "mirip banget sama si kampret, coba miripnya ama aku." Lanjut Rifky.    "Anaknya dia, ya mirip ama dia," ujar Stefanny.    "Ya udah, nikah ama aku aja. Ntar, kita buat anak miripnya kek aku juga." Rifky tertawa keras.    "Ngaco kamu, Rif." Stefanny memilih pergi, ia lebih tertarik dengan martabak daripada berdebat dengan Rifky. Jika membahas masa lalu, tentu tak akan ada habisnya. Awal pertemuannya dengan Rifky, saat ia dan mantan suaminya berkunjung ke kota Pontianak. Hanya perjalan bisnis, tetapi menjadi perjalanan yang sangat menyakitkan bagi wanita itu.    Saat itu, Stefanny baru saja menikah dengan mantan suaminya. Hidup mereka indah, bahagia, tentu saja semua orang mengatakan mereka pasangan serasi. Stefanny yang seorang wanita dengan pendidikan tinggi, menikahi seorang pengusaha muda yang kaya raya.    Semua berjalan lancar pada tahun pertama, sampai kabar jika sang suami mendua dan masalah besar menghampirinya. Ia harus memilih, antara bertahan atau mundur perlahan. Keadaannya tidak menguntungkan, suami yang lebih tertarik pada seorang gadis belia, sedangkan mertuanya mulai terpengaruh dan menomor duakan dirinya. Di dalam rumahnya ada wanita lain, bercinta dengan suaminya. Sesabar-sabarnya manusia, pasti ada batas dan akan habis sampai tandas.    Stefanny mengembuskan napas, ia ingat pada tahun kedua pernikahannya. Pertengkaran besar, kabar yang sangat tidak diinginkan tersiar. Gosip yang memenuhi halaman koran, memberitakan kehancuran rumah tangganya.    "Stef!" Rifky yang sedari tadi menatap Stefanny sudah tak tahan. Ia menyentuh pundak wanita itu, membuatnya kaget, "kamu ngelamunin apa sih?" tanya Rifky.    "Ngak ada, kamu belom balik?" tanya Stefanny.    "Keadaan kamu masih eror, aku nggak akan balik kalo kamu belom baik-baik aja."    "Aku udah baik-baik aja," jawab Stefanny.    "Jangan banyak bohong, kamu tuh suka banget sembunyiin masalah."    Stefanny tak menjawab, ia meraih martabak dan memakannya.    "Stef, ingat mantan?" tanya Rifky.    "Bukan, cuma ngerasa bosen aja." Stefanny meraih satu martabak lagi dan memakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN