Episode 3

1196 Kata
Episode 3 #Struggle_and_Love Perjanjian yang tidak menguntungkan. "Mama mau bicara." Ucap Bu Ningsih mendatangi kamar Luna. "Bicara apa lagi ma? Soal wanita tadi? Atau soal kak Lando?" Tanya Luna malas. "Kau semakin kurang ajar Luna. Padahal saat mama datang ke rumah ini 10 tahun yang lalu, kau itu anak yang manis dan penurut." Ucap Bu Ningsih pelan. "Mama yang membuatku jadi seperti ini. Seandainya mama membiarkanku kuliah dan mengejar mimpi, maka selamanya aku akan menjadi anak mama yang manis dan penurut." Balas Luna jutek. Bu Ningsih terlihat muram. "Kau akan mengerti setelah menjadi seorang ibu, Luna. Ibu mana yang bisa melihat anak-anaknya saling jatuh cinta meskipun tidak ada ikatan darah?" "Aku juga tidak berniat jatuh cinta dan menikah dengan kak Lando ma. Aku belum gila." Ucap Luna melemah. "Saat ini kau mungkin tidak punya perasaan apa-apa pada kakakmu Luna, tapi siapa yang tau bagaimana nantinya. Jika mama tetap membiarkanmu kuliah dan menghabiskan waktu di rumah ini, mama yakin, Lando juga tidak akan menikah dan menunggumu selesai kuliah." Ujar Bu Ningsih sedih. Luna tertegun. Selama ini Luna tidak berpikir sampai sejauh itu. "Jadi aku harus bagaimana ma? Aku juga sudah mengatakannya dengan jelas bagaimana perasaanku pada kak Lando. Aku tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta pada kakak, apalagi menikah dengannya." Bu Ningsih menghela napas berat. "Ayo kita buat kesepakatan." "Kesepakatan?" Tanya Luna bingung. "Iya, kesepakatan. Bantu mama meyakinkan kakakmu kalau Arumi adalah wanita yang cocok untuk Lando nikahi. Jika berhasil, mama janji akan membiarkanmu kuliah dimana pun kau mau, asal jangan di kota ini. Bagaimana?" Tanya Bu Ningsih penuh harap. Luna terdiam. Kuliah? Di kota lain? Sepertinya bukan kesepakatan yang buruk, pikir Luna. "Lando itu lebih mendengarkan apa yang kau katakan ketimbang mama. Jadi mama pikir, ini kesempatan yang baik untukmu dan Lando." Tambah Bu Ningsih. "Baiklah, aku setuju ma." Ucap Luna percaya diri. "Tapi dengan satu syarat Luna." Bu Ningsih menatap Luna serius. "Syarat apalagi ma?" Luna menatap Bu Ningsih tak kalah serius. Bu Ningsih kembali menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Jika kau gagal, maka kaulah yang harus menikah." Ucap Bu Ningsih tegas. "Apa?" Luna terkejut dengan keinginan ibu tirinya. Bukan apa-apa, masalahnya akan sangat sulit bagi Luna untuk meyakinkan Lando agar mau menikahi Arumi. "Kenapa? Kau keberatan? Kalau kau keberatan, kau bisa menolak tawaran mama, Luna. Tapi sebagai gantinya, lupakan keinginanmu untuk kuliah." Ujar Bu Ningsih. Luna tampak bimbang. Kuliah adalah sesuatu yang sudah lama dia idam-idamkan. Bahkan Luna sengaja bersikap manja pada Lando demi mewujudkan keinginannya itu. Luna berharap, dengan bersikap begitu, Lando akan luluh dan membujuk ibunya. "Keputusan ada padamu Luna. Mama akan memberimu waktu untuk berpikir. Ini adalah kesempatan pertama dan terakhir bagimu. Jika kau merasa kau ingin kuliah, maka tidak ada salahnya menerima tawaran mama. Jika tidak, maka kau tetap akan mama nikahkan dengan atau tanpa persetujuan Lando." Putus Bu Ningsih sebelum meninggalkan kamar Luna. Luna kembali terdiam, tidak tau apa yang harus dia lakukan. Bukankah kesepakatan itu sangat tidak menguntungkan baginya? Jika dia gagal, maka dia tetap harus menikah. Sedangkan kemungkinan Luna untuk berhasil, sangat kecil sekali. Tapi jika Luna tidak mencobanya, maka dia sudah kehilangan kesempatan untuk kuliah. Tiba-tiba air mata Luna jatuh. "Ah andai ayah masih hidup." Sesal Luna. *** Sementara itu, di sebuah galeri foto, Lando sedang berbincang-bincang serius dengan Kamelia, teman masa kecilnya. "Jawab aku Mel, apa kau yang mengenalkan Arumi pada mama? Bukankah kalian berteman sejak lama?" Tanya Lando penuh selidik. "Tante kenal Arumi saat dia mengunjungi apartemenku, Lando. Aku tidak pernah mengenalkan Arumi secara langsung pada beliau." Bela Kamelia. "Mama mengunjungimu? Kapan?" Tanya Lando lagi. Kamel tak langsung menjawab. Wanita itu mengajak Lando masuk ke ruang kerjanya. "Sekitar sebulan yang lalu." Ucap Kamel setelah mereka duduk. "Apa mama meminta yang aneh-aneh padamu?" Selidik Lando. Kamel tersenyum mengejek. "Hal aneh apa? Menurutmu jika Tante memintaku membujuk agar kau berhenti terobsesi pada Luna, itu hal yang aneh? Kau yang aneh Lando." Lando mengepalkan tangannya. "Kalian tidak akan mengerti." "Apa yang harus kami mengerti Lando? Kalian itu sudah tinggal serumah sejak 10 tahun yang lalu. Tante dan Om sudah mengikat kalian sebagai saudara. Terlepas itu saudara tiri, kalian tetap tidak boleh bersama." Tegas Kamel. "Kau memihak mama? Aku tidak menyangka kau akan menusukku dari belakang. Padahal selama ini kau tau dengan jelas seperti apa perasaanku pada Luna." Ucap Lando emosi. "Aku tidak memihak siapapun Lando! Tapi kau salah, kau salah jika mencintai Luna." Kamel menghembuskan napas kasar. "Berhenti menceramahi ku! Jika bisa, aku juga tidak ingin jatuh cinta pada Luna. Aku sudah menahannya sejak lama, tapi aku tidak berhasil Mel. Jadi jangan salahkan aku jika pada akhirnya ku biarkan perasaan ini berkembang." Ujar Lando. Tak lama laki-laki itu meninggalkan Kamel yang cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. Berada di antara Lando dan ibunya, membuat Kamel pusing sendiri. *** Luna tengah melamun di balkon lantai atas saat Lando menghampirinya. Dia sedikit terkejut mendapati tubuh Lando yang melingkupi tubuhnya dari belakang. "Kau kecil sekali sih." Ujar Lando sembari meletakkan dagu di pucuk kepala Luna. "Kakak habis minum?" Ucap Luna sambil berbalik. Tak Lupa, Luna mendorong Lando agar menjauh. "Sedikit." Ucap Lando santai. "Kalau cuma sedikit, aromanya tidak akan tercium sekuat ini kak." Luna memasang wajah cemberut. Lando jadi gemas sendiri dan menarik Luna dalam pelukan. Dengan sopan, Luna melepaskan diri. "Aku tidak suka bau alkohol kak. Jangan dekat-dekat jika kakak habis minum, aku bisa muntah." Ucap Luna serius. "Jika kau tidak suka, maka kakak tidak akan pernah menyentuh minuman itu lagi Luna." Balas Lando tak kalah serius. Luna kembali menikmati angin malam tanpa menanggapi apa yang dikatakan Lando. Di sampingnya, Lando juga menikmati angin malam sembari memejamkan mata. "Kak, tadi mama mengenalkan wanita yang sangat cantik padaku. Namanya kak Arumi. Aku yakin kakak sudah mengenal wanita itu. Kata mama, dia teman baik kak Kamel." Ujar Luna hati-hati. Lando tak menanggapi. Matanya masih terpejam menikmati angin malam. Luna tak bisa membaca apapun dari wajah Lando, tapi Luna tau, kakaknya tidak suka. Terbukti dari tangan Lando yang mencengkeram terali pembatas dengan kuat. "Apa tidak sebaiknya kakak turuti perintah mama? Sepertinya kak Arumi wanita yang cocok untuk kakak." Tanya Luna lirih. Lando masih diam. Buku tangannya sudah memutih karena begitu kuat memegang terali. "Kak Arumi wanita yang hebat, kakak pasti..." Belum selesai Luna bicara, Lando sudah menatap wanita itu dengan marah. "Sekarang kau juga bersikap seperti mereka? Aku tidak memintamu membalas perasaanku Luna, tapi ku mohon, berhenti membuatku terlihat seperti orang bodoh. Apa di mata kalian aku benar-benar sudah melakukan dosa karena menyukaimu?" Tanya Lando emosi. Luna diam, tak berani membantah. Lando tidak pernah membentaknya sebelum ini. Seketika nyali Luna ciut. "Aku sudah tua untuk menentukan apa yang aku inginkan, Luna. Aku masih waras, aku menyukaimu dari sini, dari hati ini. Jadi jangan paksa aku untuk menyukai wanita lain hanya karena kau tidak menyukaiku. Jangan dorong aku menjauh, cukup itu saja." Ucap Lando setelah berhasil menguasai emosinya. Luna masih tak bicara. Bulir bening mengalir di pipinya. "Maaf Luna, kakak tidak bermaksud marah padamu." Seketika Lando meraih Luna dalam pelukannya. Tangis Luna makin menjadi. Sekarang dia tau, perjuangannya untuk meyakinkan Lando, tidaklah semudah yang ibunya pikirkan. Jika dia gagal, hanya tersisa dua pilihan. Melarikan diri dari rumah atau harus menikah dengan laki-laki pilihan ibu tirinya. Tanpa mereka sadari, ibu Lando menangis mendengar pengakuan dan keputusasaan anaknya. Seketika beliau berlari ke kamar dan mengurung diri. "Apa yang harus ku lakukan pada anak-anak kita pa? Haruskah ku nikahkan Luna agar Lando berhenti menginginkan adiknya itu? Jika pilihannya harus menikahkan mereka berdua, aku tidak bisa pa. Aku tidak akan sanggup." Tangis Bu Ningsih pecah sambil memeluk foto suaminya. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN