Serupa Masa Lalu

1714 Kata
“Astagfirullah, Teh, kenapa nangis di sini?” tanya Narendra. Perempuan itu hanya terus terisak, luapan kekesalan dan kemarahan akhirnya pecah hari ini. Biduk rumah tangga yang sudah dia pertahanan kini berakhir jua. Terusir dari rumah yang menaungi dirinya selama menjalankan pernikahan, serta harus rela perempuan lain dan asing menempati rumah penuh cinta dan kenangan itu. Lantas dia dipulangkan tanpa bekal dan harus terlunta-lunta di jalanan karena bekal yang dibawa untuk pulang ke rumah orang tua raib dibawa orang. Hari ini semester seakan tidak mau berpihak kepadanya, sudah kecopetan harus tersesat pula. Berjam-jam berkeliling mencari jalan keluar, mencari orang yang mau mengantarkannya hingga ke rumah tapi dia malah terdampar di jalanan ini. Merasa tidak sanggup melanjutkan perjalanan, Ramadhita, bersimpuh di bawah pohon. Tangisnya pecah seketika, kenapa keberuntungan seolah enggan berpihak kepadanya. Derap langkah tiga sosok laki-laki yang berlari menghampirinya, membuat Dhita–begitu perempuan itu disebut–ketakutan. Tengah malam ditemani pekatnya gulita, ditingkahi sepinya malam membuat orang-orang dengan leluasa berbuat jahat. Siapa yang tidak curiga kepada laki-laki yang berkeliaran di tengah malam. Tangis perempuan itu semakin menjadi, Dhita pasrah apa pun yang akan terjadi padanya. "Teh, teteh baik-baik saja kan?" Lelaki yang menghampiri Ramadhita menunduk, mensejajarkan diri dengan perempuan Yang tengah meleburkan juga itu. Dua orang lainnya terlihat cemas juga. Dari apa yang bisa Ditha tanggap, 3 orang lelaki yang menghampirinya bukan orang jahat. Perlahan perempuan itu berani mengangkat wajahnya dan melihat satu persatu orang yang menghampirinya. "Saya kecopetan, saya nggak bisa pulang," ucapnya. Saya diceraikan, saya terusir dari rumah yang saya bangun sendiri, perempuan itu telah merebut segala yang saya punya hanya karena saya ... Kalimat selanjutnya hanya bisa terucap di hatinya. Seraya tersedu perempuan itu berusaha untuk berdiri. "Bawa ke warung aja, kasih minum, kasihan Tetehnya," usul Andri, Narendra setuju dengannya. "Teh, sebelah sana, yang terang itu warung kami, Teteh boleh menunggu di sana, nanti kami carikan bantuan agar Teteh bisa pulang." Narendra hendak membantu membawa koper Ditha, sayangnya namanya juga baru bertemu. Dita buru-buru merebut kembali, dia masih sangat trauma ketika ada orang baik di kereta, rupa-rupanya kebaikan tersebut hanyalah sebuah kepalsuan. "Kami hanya ingin membantu, Teh. ini sudah tengah malam tidak baik Teteh di jalan sendirian." Sebisa mungkin, Narendra meyakinkan Ditha. Ditha berusaha memejamkan mata, mengenyahkan rasa takut dan keraguan. Bagaimana tidak ragu, seorang perempuan yang terlihat lembut dan baik pun bisa mencuri barang berharga milik Ditha, apalagi tiga orang lelaki. Di mata Ditha, laki-laki saat ini adalah makhluk paling jahat. "Jangan takut, Teh. Kami hanya pedagang angkringan yang sedang mencari sesuap nasi malam-malam begini." Zen berusaha meyakinkan Ditha. Dita akhirnya mengangguk. Kakinya sudah terlalu pegal berkeliling mencari tumpangan. "Terima kasih." Hanya itu yang mampu dia ucapkan, dalam hatinya perempuan itu sangat pasrah, Apa yang akan terjadi pada dirinya sudah menjadi ketetapan. Takut sudah tiada guna, berlari dari sini pun tidak mungkin. Hidupnya sudah kepalang hancur. Warung yang mereka maksud ternyata sudah tutup, Dita kemudian duduk disalah satu bangku yang masih kosong. Sedangkan bangku lain di tempat itu sudah ditumpuk. Tidak lama berselang Andri datang, dia membawa teh hangat. "Minum dulu Teh," ucapnya. Dita menerima dengan senang hati dia kemudian berterima kasih, rasa hangat menjalar dari mulut tenggorokan hingga perut. Aroma teh dan melati berpadu sempurna dalam cangkir tersebut. "Teteh alamatnya di mana Biar saya pesankan Grab." Narendra mendekat, membawa roti bakar spesial buatan nya. "Ini tapi sudah dingin, Teh. Kalau mau yang hangat biar, saya bikinkan yang baru." "Tidak apa-apa ini saja, terima kasih. Alamat kedua orang tua saya di Rancaekek." "Lah, Teteh memangnya dari mana kenapa bisa nyasar ke Dago?" Dita menunduk, perempuan itu terlalu bodoh untuk mempercayai orang yang baru saja dia kenal. Bergulir lah cerita bagaimana dia naik kereta api dari Jakarta menuju Bandung. Bagaimana kejadiannya sampai dia harus kehilangan tas berisi barang berharga. dari awal sampai akhir dia ceritakan kecuali penyebab kepergiannya dari Jakarta menuju Bandung. "Yang sabar ya teh saya nggak bisa bantu banyak," ujar Narendra. "Saya minta alamat lengkapnya saja biar di pesankan taksi online dari sini." Dita bergeming setelah kejadian yang menimpanya hari ini, rasa percaya dia terhadap orang asing berkurang. Apalagi membayangkan dari Dago harus naik taksi ke Rancaekek. Perjalanan sejauh itu hanya berdua dengan sopir taksi, sontak perempuan itu bergidik. Tindak kejahatan, tidak pernah pandang bulu. Tapi jika di sini terus, dia mau ke mana? Jelas-jelas tidak ada uang sedikitpun untuk digunakan membayar hotel atau penginapan. "Saya takut, A." Narendra mengerti, tidak mudah untuk siapapun mempercayai orang di sekitarnya. Terlebih orang tersebut baru saja mendapatkan musibah, yang menyebabkan dia tidak bisa pulang juga kehilangan seluruh barang berharga yang dimiliki. "Atau Teteh mau saya pesankan penginapan?" tanya Narendra. Ada sesuatu yang menohok hati lelaki itu, semakin lama dilihat semakin jelas wajahnya Ditha mirip sekali dengan Anjani. Tidak, bukan keseluruhan rupanya. Melainkan cara dia gugup dan tersenyum, persis seperti almarhumah yang selalu hadir dalam bayang di setiap malam Narendra. "Saya tidak punya uang, A. Saya pinjam ponselnya saja, mungkin akan menelpon kerabat di Rancaekek biar dijemput." "A, gue pulang duluan, ya," pamit Andri, menginterupsi obrolan antara Narendra dengan Ditha. Hari memang sudah sangat malam, sudah waktunya Andri untuk pulang apalagi besok pagi lelaki itu harus kuliah. "Hati-hati, Ndri, kalau sudah sampai kabari." "Siap, Bro!" Perhatian Narendra kini tertuju kepada Ramadhita kembali. Raut wajah perempuan itu sangat putus asa, Rendra yakin penyebab keputusasaan itu bukan hanya karena tersesat dan kecopetan. Ada hal lain yang disembunyikan, tetapi tetap saja karena perempuan ini adalah orang asing Narendra tidak berhak untuk tahu bahkan mengorek apa yang terjadi sebenarnya. "Bolehkan, A?" Tanya Dita, Narendra yang ketahuan sedang menatap perempuan itu agak tergagap, dia bahkan sampai lupa apa permintaan Ramaditha. "Hah, iya, bagaimana?" "Pinjam ponsel, Lo, Dra." Zen datang dari dalam ruko, dia membawa sesuatu yang hangat untuk Ditha. "Ah ... Ini, Teh." Dengan senang hati perempuan itu menerima ponsel dari Narendra. Akhirnya bisa pulang, dia selalu mengingat nomor ponsel abahnya. Ponsel dinyalakan tetapi seketika menjadi hening. Dita melihat gambar yang ada di lockscreen ponsel tersebut, Narendra dengan dua anak kecil yang lucu-lucu. Ditatapnya pemandangan yang indah itu dengan perasaan. "Teh, hafal nomornya kan?" Banyak Narendra yang bingung melihat sikap rahmadita karena tiba-tiba diam mematung seperti kebingungan. Benar, 12 angka yang selalu dia ingat dalam kepalanya tiba-tiba hilang, Yang dia ingat adalah teriakan-teriakan dari mantan suaminya, cemoohan dan ejekan dari perempuan yang kini tinggal bersama sang suami. Perempuan itu menangis lagi meratapi nasib yang teramat sangat pilu. "Dra, gimana Ini gue bingung." Jane menyenggol lengan Narendra, hati Narendra sebenarnya terenyuh, bukan karena melihat perempuan di hadapannya sedang berduka, akan tetapi dia membayangkan bahwa perempuan yang ada di hadapannya ini adalah Anjani. Narendra telah melakukan banyak dosa kepada perempuan itu, sehingga dia tidak pernah bisa melupakan Anjani. Kenapa wajah kalian begitu mirip, batin Narendra berbisik. Dia tidak mampu berpikir jernih dan menyerahkan urusan ini kepada Zen. Karena lebih memilih untuk masuk ke dalam ruko menetralkan emosinya. Otaknya tidak bisa berkonsentrasi menghadapi perempuan asing yang tiba-tiba datang malam ini, pikirannya malah membawanya berlari ke masa lalu. Di luar, Zen paham betul apa yang dialami oleh Narendra, untuk itu dia mengerti dan berusaha ambil alih urusan dengan Ditha. "Teh kalau boleh saya tahu nama teteh siapa?" Zen bertanya, perempuan dihadapannya menyerahkan ponsel Narendra tanpa sempat menggunakannya. Apa yang harus dia katakan kepada kedua orang tuanya. "Ditha," jawab perempuan itu singkat. "Maaf, saya lupa berapa nomor telepon Abah saya. Kalian kalau mau pulang pulang, saya ingin tidur aja di emperan sana." Tidak menunjuk teras ruko tepat berada diantara gerobak roti bakar dan minuman. Mana tega Zen membiarkan seorang perempuan tidur di emperan toko. Dan meninggalkan Ditha sendirian. Walau bagaimanapun lelaki itu harus minta izin kepada Narendra. "Dra, malam ini gue tidur sama Lo." Narendra menoleh, matanya sedikit memerah. Entah mengapa malam ini dia begitu emosional, melihat keadaan Ditha. "Lo nangis?" Zen bertanya agak kencang. Narendra memberikan kode agar tetap tenang tidak berbicara dengan keras, lelaki itu lantas mengangguk. "Mirip banget sama Almarhumah." "Iya, gue tau, gue juga lihat." "Kalau pakai motor gue aja nganterin dia sampai ke rumahnya, jujur gue nggak kuat kalau harus deket deket sama dia ingat terus." "Dra, kalau kayak gini nggak kasihan sama almarhumah, Anjani nggak bakalan seneng lu kayak gini. Lu harusnya udah bisa move on, doakan dia. Jangan ditangisi. Dita sama sekali tidak ada hubungannya dengan Anjani." "Ditha?" Narendra bertanya. "Iya cewek itu namanya Dita. Udah jangan galau mendingan kita tolong dia," ujar Zen. "Lo anterin aja, gue nggak apa-apa beneran." Zen menggeleng, "dia belum siap pulang malam ini, malah ngadi-ngadi minta tidur di emperan toko." "Jangan!" sergah Narendra. "Iya makanya gue malam ini tidur bareng Lo, biar Ditha tidur di kamar gue. Boleh gak?" Tidak ada pilihan yang bisa diambil, ditawarkan pulang dengan menggunakan taksi online Dita tidak mau karena takut. Diinapkan di hotel atau penginapan pun tidak mungkin. Sedangkan untuk pulang diantar Zen menggunakan motor juga tidak memungkinkan, matanya yang minus membuat Zen tidak bisa berkendara saat malam. Satu-satunya cara adalah membiarkan Dita untuk menginap di ruko warung kembar, setelah hari sudah terang barulah akan diantarkan dengan menggunakan taksi online. Karena pastinya ketika siang hari rasa takut yang dirasakan saat ini mungkin akan hilang. "Perlu izin ke RT RW nggak sih?" "Ini darurat udah tengah malam juga, mereka pasti sudah tidur." Narendra mengangguk akhirnya setuju membiarkan Dita untuk menginap di ruko warung kembar. Setelah cukup puas berdiskusi Narendra dan juga Zen kembali keluar. Dilihatnya Ramadhita sedang menelungkupkan kepala di atas meja. Pelan-pelan perempuan itu dibangunkan. "Teh kalau tidak keberatan teteh boleh menginap di sini," ujar Narendra. Tidak ada jawaban, karena sebenarnya Ditha pun merasa ragu. Dua orang yang ada dihadapannya kini adalah orang asing, perempuan itu jadi marah pada diri sendiri, yang masih bingung dengan apa yang dia inginkan. "Di atas ada dua kamar, ada kuncinya juga kalau misalnya Teteh takut ada apa-apa. Besok pagi, setelah terang baru saya pesankan grab Biar Teteh nggak takut lagi." Bukan jawaban ya dan tidak yang Narendra dan Zen terima, melainkan tangisan, lagi-lagi Dita menangis seperti pertama kali Narendra menemukan perempuan itu tersedu pilu di bawah pohon besar. Jika boleh ingin sekali Narendra menghambur memeluk perempuan itu, menenangkannya, kemudian mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Sayangnya ada jarak dan batas yang harus Narendra jaga. cukup satu kali dia terbelenggu dalam sebuah dosa, sekarang jangan lagi. Narendra selalu ingin menjadi ayah yang baik untuk Azzam dan Azzura, seorang ayah yang selalu menghormati dan menjunjung tinggi kehormatan seorang perempuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN