“Saya pamit, Bu,” ujar Narendra. Bu Rumanah atasannya menyayangkan keputusan Narendra mengundurkan diri dari perusahaan. Walau pernah berbuat kesalahan, tetapi Narendra mampu memperbaiki dan berada di puncak pencapaian yang membanggakan.
“Pak Rendra sudah pikirkan kembali?” tanya Bu Rumanah.
Narendra tersenyum, tangannya dingin dan berkeringat. Keputusan ini sudah dia pikirkan matang-matang.
“Ibu bagaimana sih, kan surat resign sudah saya ajukan satu bulan lalu, saya juga sudah melakukan kewajiban saya transfer ilmu pada pengganti saya di sini.” Ya, Narendra melakukan pengunduran dirinya sesuai prosedur. Mengajukan surat pengunduran diri satu bulan sebelumnya dan mulai mentraining karyawan yang akan menggantikan posisinya di perusahaan ini.
“Padahal kalau Pak Rendra mengubah pikiran Bapak, saya akan promosikan Bapak untuk naik jabatan lagi,” bujuk Bu Rumanah.
Sempat terpikir untuk berubah pikiran mendengar apa yang Bu Rumanah ucapkan. Namun, alasan terbesar Narendra memilih alih Profesi menjadi pengusaha amatlah kuat. Hingga dia mampu bertahan, meski gaji yang ditawarkan nyaris dua kali lipat gajinya sekarang.
Azzura dan Azzam adalah anak-anak menggemaskan yang selalu merengek minta sang ayah menjenguknya. Mereka akan bermain di sawah atau di peternakan domba milik sang kakek. Sayangnya waktu yang sangat sedikit mambuat Narendra merasa tidak puas bermain sebentar dengan anak mereka di tambah dia selalu sedih saat pamit pulang dan si cantik Azzura mencegahnya sambil menangis.
Rasanya uang yang banyak tidak dapat menebus kedekatan lelaki itu dengan sang anak. Dia sudah memutuskan bagaimana selanjutnya, agar uang yang dia punya saat ini tidak habis begitu saja bahkan mampu bertambah. Membuka usaha adalah jalan yang dia pilih.
Baginya membuka usaha kuliner di kota Bandung merupakan sebuah peluang usaha yang menjanjikan.
“Saya sudah pikirkan matang-matang, Bu. Sedikit pun takkan mengubah keputusan ini. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan, terima kasih atas kebaikan yang Ibu berikan selama ini kepada saya.”
Narendra menjabat tangan Bu Rumanah, kemudian meninggalkan ruangan atasannya. Seluruh karyawan sudah menunggu, beberapa memberikan cinderamata sebagai kenang-kenangan untuk Narendra karena sudah lama berjuang bersama di perusahaan itu.
“Jangan lupakan kami, Pak.”
“Jangan hapus nomor saya, Pak.”
“Semoga usahanya sukses, Bro.”
“Lancar, ya, Bro.”
Kalimat demi kalimat perpisahan mengiringi detik-detik terakhir lelaki itu di sana. Rasanya baru kemarin dia berdiri di sana memperkenalkan diri sebagai karyawan baru. Tepat di sudut ruangan dekat tangga sebuah kursi dan meja mengingatkan dirinya pada Almarhum Anjani.
“Pak Rendra, terima kasih atas semua ilmu yang diberikan.” Wieta, karyawan yang baru saja di promosikan dan kini menduduki jabatan Narendra.
“Sama-sama, Wiet. Maaf ya, saya sering galakin kamu. Tetap semangat dan selalu ingat pesan saya, ya.”
Setelah menjabat tangan Narendra, Wieta menyerahkan sebuah paper bag berisi kenang-kenangan. Tidak hanya perempuan itu, Narendra di banjiri hadiah dari teman-temannya. Sungguh satu perpisahan yang berkesan.
*
“Lama amat sih,” gerutu Ariyani. Adik perempuan Narendra itu cemberut di teras rumah dan menegur sang kakak kala sepeda motor yang dikendarai lelaki itu muncul lalu parkir depan rumah.
“Ya kan harus sesuai prosedur, tolong bantuin bawa. Ini banyak banget hadiah dari temen-temen.” Paper bag, bunga, kotak dan banyak lagi bingkisan berpindah tangan. Bidan yang kini bertugas di salah satu puskesmas itu berdecak kagum. Tidak menyangka Kakaknya begitu disayangi oleh kawan-kawannya.
“Aku simpan di kamar, ya,” izin Ariyani.
“Di situ saja,” tunjuk Narendra. “Biar Ibu yang pilih nanti, Abang mandi bentar, Abis itu kita berangkat.”
“Ya, bedak aku keburu luntur,” keluh Ariyani. Narendra hanya tersenyum dan mencubit pipi adiknya dengan gemas.
Usai mandi, Narendra mengenakan kaus hitam berkerah. Sang ibu sibuk memilih barang-barang pemberian teman-teman Narendra. Sebagian disimpan dekat rak buku kepunyaan Ariyani. Barang yang sekiranya berharga seperti hadiah dari bu Rumanah, narendra simpan di kamar.
“Jangan lupa jaketnya. Udaranya dingin.” Rahma mengingatkan kedua anaknya yang hendak pergi ke Pangalengan menemui pemasok s**u murni.
Setelah melalui berbagai diskusi dengan ibu dan adiknya Narendra memutuskan untuk membuka sebuah angkringan di daerah Dago. Suusu murni adalah salah satu minuman yang akan di hidangkan di warungnya. Roti bakar, martabak mini serta cake yang mudah dibuat menjadi makanan yang akan dijual.
Rencana yang sudah di pikirkan matang-matang ini menghabiskan setengah tabungan yang sudah dia kumpulkan sejak lama. Perceraian dengan Rahayu mengajarkan dia untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi salah satunya tidak hidup dengan penuh keglamoran seperti dulu.
Sebelumnya Narendra mampu menghabiskan uang banyak hanya untuk sekali makan. Bahkan dia seperti alergi jika tidak mengenakan pakaian bermerk. Kecermatan Rahayu dalam mengelola uang kini dia tiru, terbukti dalam beberapa tahun dia mampu mengumpulkan banyak uang dan kini sebagian dijadikan modal usaha.
Perjalanan dari kediamannya menuju Pangalengan lumayan jauh dan memakan waktu. Ariyani merapatkan badannya karena kedinginan, jaket dan sarung tangan tidak mampu menghalau dingin. Sesampainya di sana, Narendra bertemu dengan adik sang Ayah yang merupakan Peternak dan anggota Koperasi Peternakan Bandung Selatan. Melalui lelaki yang bernama Kurniawan tersebut Narendra mempelajari perihal pengolahan s**u murni dan seluk beluknya.
“Aduh, Dra ... Dra ... kamu memang selalu ambisius dan serba ingin tahu,” ucap Kurniawan. “Sebenarnya untuk itu kamu gak perlu jauh-jauh datang hingga ke sini. Banyak pemasok susuu murni di kota Bandung. Paling enggak kamu ke Lembang, lebih dekat dari rumahmu.”
“Mamang gak pengen aku ke sini?” Rajuk Narendra.
“Bukan begitu, kalau pun kamu ke sini harusnya bukan dalam suasana kerja begini, ajak ibumu kita makan nasi liwet di saung atas kolam.”
“InsyaAllah kalau itu, Mang, Ibu juga sudah lama ingin mengunjungi Mamang sama Bibi,” timpal Ariyani.
“Sudah ingat apa yang Mamang katakan soal suusu tadi, semoga usahamu lancar ya, Jang.”
“Aamiin.” Serempak, Narendra dan Ariyani mengaminkan.
“Sudah berapa lama melajang, Dra, gak ada niat nikah lagi?” tanya Kurniawan.
Narendra hanya menanggapi itu dengan senyuman. Ariyani melirik wajah Narendra, sang adik tahu betul Narendra seperti enggan membuka hati setelah perceraian dengan Rahayu.
“Intinya jangan lama-lama. Kita cari uang banyak-banyak buat apa, kalau ada istri kan kita bisa berbagi penat dengannya. Asal jangan pernah mengulangi kesalahan kamu yang dulu,” nasihat Kurniawan.
“Iya, Mang. Terima Kasih.”
“Kalau begitu kami pamit, Mang.” Ariyani menyalami sang paman.
“Sebentar ini ada oleh-oleh untuk ibu kalian,” cegah Kurniawan saat Narendra dan Ariyani beranjak meninggalkan Kurniawan.
*
Mobil pick up mengangkut barang-barang dari kediaman Narendra menuju sebuah ruko yang dia sewa. Tidak ada yang membantu selain pemilik mobil dan kernetnya. Pegawai yang akan membantu lelaki itu berjualan akan datang saat malam. Ariyani harus piket di Puskesmas, sementara sang Ibu yang sudah tua dia cegah untuk tidak membantu karena pekerjaan yang akan dia lakukan lumayan berat.
Pukul empat sore semua sudah siap, rasanya lebih melelahkan dibandingkan saat lelaki itu bekerja di perusahaan pembiayaan. Namun, ada kepuasan yang lelaki itu rasakan, rasa lega ketika melihat semua jerih payahnya tersusun rapi.
Stand Banner yang berdiri tegak tepat di pintu masuk Ruko menjadi kebanggaan tersendiri. Tinggal menyusun beberapa meja lesehan di depan ruko lalu semuanya selesai. Karena hari ini adalah hari pertama warungnya buka, lelaki itu memberikan potongan harga.
Malam tiba, mahasiswa dan pemuda yang kos di sekitar sana mengerubungi soft opening Warung Kembar milik Narendra. Roti bakar ekstra keju adalah makanan paling laris malam ini. Tidak ada yang lebih membahagiakan untuk Narendra selain lancarnya permulaan usaha yang dia rintis.
“Roti bakar ekstra keju meja nomor lima, dua, sama suusu murni rasa melon hangat,” ucap Zen. Teman sekaligus orang yang bekerja untuk Narendra.
“Suusu Murninya dua juga?” tanya Narendra.
“Iya.”
Sambil memanggang roti, Narendra melihat ke arah para pengunjung yang antusias. Tawa dan obrolan mereka ditingkahi petikan gitar yang terdengar dari sound system. Belum ada dana lebih untuk mengadakan live musik. Jadi pengunjung harus puas ketika pemilik Warung Kembar hanya memutar musik yang dia ambil dari youtube.
Lonceng berbunyi tanda pesanan sudah siap. Zen dengan sigap mengantarkan dua porsi roti bakar ekstra keju dan s**u murni rasa melon ke meja nomor lima. Seorang perempuan yang terlihat paling dewasa di antara seluruh pengunjung yang ada di sana. Di depannya pria berkemeja dengan raut wajah tidak bersahabat.
Entah mengapa Narendra tertarik mengawasi interaksi pasangan itu. Perbedaan seperti menyatukan mereka, yang laki-laki selalu tampak masam sedangkan yang perempuan penuh senyum dan dengan sukarela memberikan suapan demi suapan roti bakar yang penuh dengan parutan keju dan lelehan s**u kental manis.
“Pancake dan coklat panas meja nomor tiga.” Zen mengagetkan Narendra. Lantas segera lelaki itu membuat pancake.
Menjelang tengah malam, Warung Kembar mulai sepi. Hanya beberapa anak muda menghabiskan sisa malam dengan s**u hangat yang diracik Narendra.
“Dra, lo gak mau cari pegawai lagi? Gue lihat lo kewalahan, jujur gue juga keder.” Zen mengemukakan pendapatnya.
“Kita berjuang dulu di awal-awal Zen. Namanya tempat baru pasti rame duluan trus entaran mulai sepi. Nah kalau gitu gue jadinya nanti segan buat berhentiin yang baru entar.”
“Lo ngomongnya gitu, setidaknya berdoa supaya Warung Kembar rame terus.”
Narendra menyerahkan setu buah roti bakar, Zen lalu menyantapnya. Kentara jika lelaki itu lapar usai bekerja keras melayani pelanggan.
“Hanya antisipasi, sukur-sukur ke depannya Warung Kembar tetep rame, baru deh kita bergerak nyari tambahan tenaga. Sekarang, nikmati aja prosesnya, nikmati pula roti bakarnya.”
Zen mengangguk tanda mengerti. Tidak dapat dipungkiri, roti bakar ekstra keju ini sangat lezat. Dulu sejak masih menjadi suami Rahayu, roti bakar ini adalah andalannya. Jika Rahayu tidak sempat menyajikan sarapan karena sibuk Narendra dengan senang hati membuatkan untuk Rahayu. Itu dulu, jauh sebelum dirinya bermain hati dengan sahabatnya.
“Rahasianya apa, sih, Bro. Roti bakar ini rasanya beda banget?” tanya Zein.
“Gak ada yang istimewa, biasa aja. Buruan makannya itu ada yang datang lagi,” ujar Narendra.
Tiga pemuda masuk dan mulai memesan. Hingga lewat tengah malam, beberapa hidangan habis tak bersisa. Narendra merasa cukup untuk hari ini. Lalu dia berbenah dan pulang dengan badan remuk redam.
*
Pukul tujuh pagi, Narendra merapikan belanjaan yang baru dia dapatkan di pasar tradisional. Lelaki itu memang memutuskan untuk menempati ruko yang dia sewa. Di lantai dua terdapat dua kamar yang bisa dia tempati untuk tidur. Jika harus bolak-balik ke rumah maka akan memakan waktu dan tenaga.
Karena warungnya menjelang malam, lelaki itu menghabiskan paginya dengan berselancar di dunia maya. Melihat postingan mantan istrinya yang sedang menghabiskan akhir pekan di Bali minggu lalu. Dua bocah kembarnya terlihat bahagia.
Dia merasa bersyukur karena Rahayu menikah dengan laki-laki baik yang dapat menerima Azzam dan Azzura dengan baik. Kedua anaknya merasa nyaman karena kasih sayang lelaki itu dan Narendra bisa hidup tenang karena pasti orang-orang yang dia cintai di sana bahagia.
Lelaki itu sedang tesenyum melihat foto Azzam bermain pasir di pantas saat teleponnya berdering. Sebuah panggilan video.
“Hai manis, Assalamualaikum,” sapa Narendra begitu senang kala tahu siapa yang melakukan panggilan itu.
Zen yang tengah bermain Mobile legend melirik sekilas. Zen adalah lelaki yang sudah lama menginginkan kehadiran buah hati dalam hidupnya, hingga dia selalu senang kala Narendra memperlihatkan potret si kembar.
“Ayah, kapan ke Garut?”
“Hari senin. Azzura kangen ayah?”
“Yeay, bener ya. Berarti Ayah bisa jemput Azzura di sekolah?”
“Maunya tuan Putri begitu maka Ayah laksanakan.”
Azzura bersorak girang, Narendra heran, lelaki itu tidak melihat anak lelakinya.
“Azzam mana?” tanya Narendra
“Itu,” tunjuk Azzura, dia mengarahkan kameranya ke arah Azzam yang tengah tertidur pulas.
“Belum bangun?” tanya Narendra gemas.
“Kan libur, Ayah. Kata Bunda kalau hari libur boleh bobo lagi kalo abis subuhan. Aku gak ngantuk, tadi mainan barbie terus ingat ayah.”
Meleleh, itu yang Narendra rasakan. Entah bagaimana Jadinya jika Rahayu tidak pernah mengizinkan dirinya untuk bertemu dengan anak-anak.
Obrolan terus berlanjut hingga ponselnya kehabisan daya. Diliriknya waktu masih menunjukkan di bawah pukul sembilan pagi. Nasi kuning yang dibungkus kertas nasi kini terhidang di depannya. Zen baru saja dari bawah dan melihat satu kantong berisi sarapan yang dibeli Narendra di pasar. Lelaki itu melupakannya.
“O iya gue lupa.” Narendra membuka bungkusan nasi kuning miliknya, Nasi lengkap dengan lauk tempe oreg, telur rebus dan bihun lantas dia nikmati hingga tandas.
“Bro bikin akun buat Warung Kembar udah?” tanya Zen.
“Gak sempet, coba tolong kamu yang bikin.”
Zen mengangguk patuh. Dengan lincah jemarinya menari di atas tochscreen membuat akun IG untuk Warung Kembar.
“Sudah, Bro, tinggal kita isi.”
Narendra mengiyakan. Narendra kadang tidak terlalu peduli dengan media sosial, satu-satunya yanng dia punya adalah IG utuk melihat aktivitas si kembar yang sering di posting oleh Rahayu. Mungkin jika memang dengan media sosial usahanya bisa lebih berkembang pesat lelaki itu akan mulai lebih banyak interaksi di dunia maya.
Narendra menikmati proses demi proses yang terjadi dalam hidupnya sekarang. Satu hal yang pasti dan terpatri dalam hati, lelaki itu tidak akan pernah jatuh ke lubang yang sama dan membuat kesalahan seperti kesalahannya di masa lalu.