Ingin Hilang ingatan

1972 Kata
Jika memang mulai hubungan baru dengan seseorang bisa membuat aku mudah melupakan dia—masa laluku—maka akan aku lakukan apa saja, malam ini menjadi satu pilihan yang aku rasa tepat. Jam tujuh nanti Abbas akan menjemput aku. Kami akan makan malam, lalu diluar menanti malam pergantian tahun. Sebelum itu, Abbas mengajaku ke sebuah kelab malam. Aku tidak akan berubah pikiran dan setuju dengan ajakan Abbas kali ini. Tanpa mendebat. Tahun-tahun sebelumnya aku tidak pernah ke mana pun. Pilih tetap di dalam kamar, meringkuk dalam selimut dan mengenang semua kejadian telah berlalu. Aku merasa bodoh sudah buang-buang energi, waktu untuk menangisi, memelihara rasa sakit sementara mungkin penyebabnya, seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia pasti sedang bahagia. Aku memilih sleeveless dress dengan bentuk tali kecil menyerupai spaghetti mengantung di pundak, memiliki potongan di bagian dadaku yang rendah dan longgar. Panjang dress hanya sampai tengah pahaku. Aku tidak takut udara dingin, di setiap ruangan ada penghangat. Orang-orang pun tidak takut pakai dress mini di musim dingin jika di dalam ruangan, sementara di luar aku akan pakai mantel tebal. Bagian alas kaki aku memakai heels bertali berwarna hitam sama seperti dress yang kupakai. Make up menegaskan karakter wajahku, tidak tebal tetap natural hanya bagian lipstik aku pilih warna lebih gelap dari yang biasa aku pakai. Menambah kesan seksi. Sebelum menikah, pergi ke kelab malam bersama teman-teman membuat aku kerap berdandan seperti saat ini. Meski aku payah dan tidak berteman baik dengan minuman beralkohol, jadi kalau ke kelab malam aku hanya pesan minum paling rendah kadar alkoholnya. Setelah menikah, suamiku hm maksudku yang kini jadi mantan suamiku terlihat posesif tidak membiarkan aku berpakaian terbuka. Aku naif, menjadi istri yang penurut. Tapi, kini aku sudah bebas. Tidak ada yang bisa melarangku ini dan itu. “Astaga, Anaa... kenapa baru sadar sekarang?!” gumamku pada diri sendiri. Selama dua tahun harusnya aku menikmati status sendiriku. Aku malah berakhir menjadi janda yang menyedihkan. Sudahlah, tidak ada gunanya menyesali kebodohanku yang itu. Sekarang aku siap mulai lembaran baru membuktikan pada masa laluku bahwa aku pun bisa bahagia tanpa dirinya. Jam tujuh, aku membuka pintu untuk Abbas yang tercengang melihat penampilanku, bibirnya terbuka bak ikan ke luar dari air. Dia mengerjap beberapa kali sampai menemukan kalimat yang pas ingin diucapkan “Anna kamu tidak akan membeku?” Aku terkekeh, “Tidak, aku pakai mantel tebal saat diluar. Tenang saja.” Abbas tertawa, “Waw, kamu seksi! Ke mana saja dirimu?” Dia bicara begitu karena selama ini aku lebih suka memakai baju longgar dan tertutup, pada waktu makan malam menghadiri undangan atasan, Abbas juga tak melihat diriku yang berdandan berbeda. “Berhenti menatapku me-sum begitu, Abbas!” cegahku. Abbas menutup mata, konyol “tolong katakan kalau seperti ini, bagaimana aku bisa melihat jalanku?” Tanganku mencubit bahunya, buat dia mengaduh sakit padahal tidak kencang. Kembali membuka mata. “Mau bercanda terus, tidak jadi pergi?” “Jangan, aku hanya bercanda. Kamu sudah berdandan maksimal begitu...” Abbas memberikan lengan kanannya, “suatu kehormatan untukku, menggandeng wanita cantik sepertimu, Anna.” “Apaan sih, kamu berlebihan!” omelku tetap mengaitkan tangan di lengannya dan menutup pintu. Mantel tebal menutupi dress tipisku dan sarung tangan menghalau dari dingin yang menyusup. Abbas mengajak makan malam di salah satu resto lebih dulu. Kami berbincang, jam sembilan malam kami meninggalkan resto meluncur ke kelab malam tidak jauh dari sana. Aku tidak terkejut, Abbas punya kartu anggota VIP kelab malam di sana. Tempat dia berburu para bule cantik untuk jadi teman kencan satu malam. Kami duduk di bar, melihat bartender meracik minuman. “Minuman ini paling rendah alkoholnya. Jangan sentuh yang lain” Kata Abbas, meletakan segelas minuman. Aku sudah memberitahu, dia berjanji akan pastikan aku tidak sampai mabuk. “Terima kasih.” Abbas mengangguk, menyesap vodka miliknya. Dia berputar, aku pun hingga kami memandang lautan manusia yang sedang bergoyang di lantai dansa. Musik mengentak-entak gendang telinga, berasal dari Disc Jockey. Beberapa bule cantik sudah memberi kode menggoda Abbas “pergi sana! Temui bule cantik berbaju merah itu.” “Tidak, aku tetap di sini bersamamu.” Tolak Abbas. Aku tidak enak, jika Abbas harus lewati kesempatan bersenang-senang “aku akan baik-baik saja di sini.” “Tidak, Anna! Pertama kali kamu datang ke kelab ini.” “Ayolah, Abbas! Aku setuju untuk pergi denganmu bukan minta kamu jadi pengasuh seolah-olah aku bayi!” Protesku. Abbas menghela napas, “kamu tidak mau turun?” “Nanti saja, aku masih mau di sini.” Abbas loncat dari kursi bar, menegak minuman sekali teguk sampai tandas. “Aku akan segera kembali” kata Abbas yang kini lebih seperti seorang kakak pada adiknya. Aku memberinya ibu jari, tetap di sana memandang punggung Abbas yang mendekati seorang bule dengan warna kulit eksotis bergaun seksi warna merah. Mencermati dalam beberapa detik, komunikasi mereka sudah menyambung. Menari bersama bahkan wanita itu terus menempeli diri pada Abbas. Kursi kembali berputar, aku menghadap bartender dan minum sedikit-dikit. Menit demi menit berlalu, masih sendiri setelah menolak beberapa pria yang datang tertarik padaku. Tapi, sampai detik ini belum ada yang bisa membuat aku berminat kenalan dengan mereka. Apa bedanya di kamar dan di tempat ramai? Aku masih merasa sendiri, betah berteman dengan sepi. “Huft!” Aku tarik napas dalam-dalam, sambil menyesap perlahan minuman dan mataku berkeliling sampai aku mematung melihat seseorang lagi-lagi berdiri dengan tatapan tajam hingga rasanya menusuk dadaku. Seseorang yang sama. Deg! “Uhuk!” aku tersendat minuman, cepat-cepat meletakan gelas tadi dan mencari tisu karena minumannya membasahi daguku. Aku mengelap cepat dan kembali pada posisi tadi. “Sial! Lagi-lagi hanya bayanganku!” geramku pada keadaan menyesakkan ini. Aku memalingkan tatapan, tidak mau menatap titik yang sama itu dan memesan minuman lagi. Bersikap tidak peduli karena seperti biasa nanti bayangan itu akan hilang. Malam ini aku ingin lupa ingatan tentang dirinya, karena itu aku mulai lepas kendali dan irasional dengan minta Wiski yang kadar alkoholnya terbilang tinggi. Lidahku menjulur mencecap rasa manis minuman itu yang tertinggal di bibir. Menggenggam gelas hingga gelas demi gelas kuteguk, sampai kepalaku mulai berputar, merasakan tubuhku ringan. Aku benar-benar merasa terbang, rasanya perutku tergelitik membuat aku tersenyum. “Oh ya ampun, aku melihat banyak orang kembar.” Sudut bibirku berkedut, mulai meracau. Suara musik semula mengganggu, malah membuat aku ingin bergoyang. Aku melompat sedikit terhuyung. Kakiku bergetar, tapi tidak gentar untuk melangkah menuju lautan manusia yang bergoyang. Aku membuka jalanku, hingga berada di tengah-tengah jadi bagian dari mereka. Bergerak perlahan, sampai aku mulai liar. Menggoyangkan pinggul dan menyentuh diriku sendiri, minuman alkohol dan tempat ini seperti ada di tengah musim panas, sama sekali aku tidak merasa dinginnya musim dingin. Aku mengusap tengkuk sensual, menghembuskan napas berat lalu jariku memainkan rambut panjangku dan menatap lampu-lampu yang berkedip-kedip. Gerakanku membuat tali dress di pundakku jatuh ke lengan. Musik berganti menjadi lagu Never Tear Us Apart, orang-orang bergoyang lebih menikmati lagu. Tubuhku terasa ringan dan seperti melayang-layang. Tap! Tiba-tiba aku rasakan sebuah sentuhan di pinggangku yang seakan-akan berhasil membakar darahku, sedikit membuatku tersentak. Tangannya menyelinap memeluk perutku dari belakang, aku tertawa tidak hanya bayangan bahkan entah pria asing siapa yang sedang memelukku dari belakang dengan posesif dan rasanya familier dengan parfum dari tubuhnya, sentuhan dan pelukannya tidak asing. Tubuhku merespons. Aku membiarkan, masih bergoyang, menggerakkan pinggul padahal posisi aku dan pria asing ini begitu lekat. Kami bergerak mengikuti alunan musik. Aku meremang saat merasakan kecupan di tengkukku. Aku menggigit bibir tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Embusan napas panas pria itu membuat aku semakin merinding, jika tadi aku menolak banyak pria yang menghampiri, kali ini tanpa melihat wajah aku begitu menginginkannya. Tanpa melerai dekapannya aku berbalik dan tatapan mata kami bertemu. Aku tersenyum, bisa-bisanya alkohol membuatku melihat seseorang yang sama telah menghantui dan kini sedang memelukku begitu dekat, melekat dan tak berjarak. Aku tidak lari, malah kian merapatkan diri dengan tangan menangkup sisi wajahnya. Lagi-lagi embusan napas panas pria itu menerpa wajahku dan aku kian merinding, dia melakukan itu seakan ingin memenuhi rongga dadanya dengan aromaku. Tubuh kami menempel erat, pelukan tangan pria itu di punggungku seakan membakar lapisan kain tipis dan bisa dirasakan langsung pada permukaan kulitku. Tanpa kata, tatapan masih mengunci, tidak ada satu pun dari kami ingin berhenti namun tubuh seakan-akan sudah menginginkan satu sama lain sampai aku berjinjit dan mulai lebih dulu mencium bibirnya yang langsung di sambut olehnya. Rasa bibirnya sama... semua bisa kebetulan sama dengan dia—masa laluku. Tidak percaya alkohol membuatku punya keberanian ini, bahkan membiarkan pria asing menciumku begitu panas dan liar. Beberapa menit kemudian dia menghentikan ciuman kami saat napas kami sudah terengah-engah. Kuhirup oksigen banyak-banyak lalu ibu jarinya mengusap bibirku. Aku mematung. “Kamu hanya milikku, Aleanna Zetta.” Bisiknya tepat di depan bibirku, aku mengerjap sekaligus pasrah saat dia menjauh namun menautkan tangan kami dan menarikku keluar dari lautan manusia yang menari dengan liar. Tunggu... ini belum tengah malam, dia mau mengajakku ke mana? Melihat kembang api? Tapi, pengaruh alkohol benar-benar membuatku seperti keledai yang di ikat, mengikuti langkah pria itu. Bahkan aku tidak peduli, jika dia terlalu mirip dengan seseorang dimasa lalu dan tahu namaku. *** Aku sudah mabuk bahkan seseorang itu yang harus memakaikan mantel tebalku. Biarpun mataku masih terjaga tidak jelas, kabur. Tapi, cukup untuk tahu posisiku kini berada di dalam mobil bersama seseorang yang tadi menari bersamaku. Bersandar, terkekeh kecil. Benar-benar aku sudah tidak waras. Mobil yang dikendarainya masuk ke kawasan hotel bintang lima. Mobil berhenti. Dengan cepat pria itu mematikan mesin mobil dan keluar untuk berlari berputar ke posisiku. Lagi-lagi dia mengangkat tubuhku dengan ringan, aku memeluk lehernya erat. Bahkan bertingkah nakal dengan mencium pipinya. Begitu masuk lift yang tidak ada siapa pun aku mendapatkan ciuman yang lebih panas. Dia menurunkanku tanpa melepaskan bibirku, lalu mendesak, mengimpit tubuhku di sudut lift. Sekali lagi dia mengangkatku tapi dengan posisi aku seperti bayi koala, melingkarkan kaki di pinggangnya membuat bawah dressku sudah acak-acakan. Aku begitu terbuka. Tangannya meremas bokongku, tubuh kami kiat menempel. Terus mendesah begitu bibirnya kini berada di leherku, lidah dan giginya ikut andil menciptakan banyak tanda di sana. “Ah..” aku mendesah, minuman sialan itu membuatku jujur untuk akui rindu akan sentuhan ini. Ting! Pintu berdenting tanda kami sudah sampai entah dilantai berapa. Terburu melepaskan aku, tetap menggenggam tanganku sampai berhenti di depan pintu kamar dengan nomor 504. Dia punya akses mudah untuk masuk, menarikku ikut dengan cepat menutup pintu dan dalam gerakan gesit tak buang-buang waktu mendesakku kembali di sana, dengan ciuman yang sama-sama kami inginkan. Mataku semakin sayu, mabuk membuat gairahku cepat tersulut. Aku tersenyum begitu mantel tebal kami sudah sama-sama berakhir diatas lantai, begitu menemukan kancing kemeja, aku tertawa ringan dengan menatap mata pria di depanku yang sama-sama sudah bergai-rah. Jari jemari dengan gerakan sensual mulai membuka kancingnya satu per satu sampai terlepas lalu aku meraba dadanya yang bidang dan liat. Ini seperti nostalgia mesraku di masa lalu. Meraba debaran jantungnya, aku kembali mendongak memandangnya begitu sadar jantung kami sama-sama berdetak lebih cepat dari seharusnya. Dia mendekatkan wajah. “Anna, kamu tidak akan bisa lari lagi dariku” bisiknya sensual ditelingaku, bahkan aku merasakan gigit dan lidahnya di telinga yang membuat aku semakin merapatkan kaki merasakan kedutan di pusat diriku. Lalu dia kembali menciumku dan kali ini menarikku menuju King bed yang ada di tengah ruangan. Membaringkan diriku sementara dia berada di dekat kakiku dan melepas Heels dengan lembut, melempar asal seakan sepatuku bukan seharga puluhan juta. Dalam keadaan sadar, aku pasti sudah marah. Kemudian dia menyematkan ciuman di ujung kakiku. Ini gila! Sungguh! teriak batinku. Barulah dia merajai di atasku dengan raut wajah serius dan tatapan membara. Membuat aku meremang sekaligus menahan napas. "Anna..." bisiknya lembut sebut namaku. Tujuanku tercapai, malam pergantian tahun ini, aku benar-benar berhasil hilang ingatan, menyerahkan diriku pada pria yang sedang mencumbu dengan begitu panas dan liar. Seharusnya pria asing, tapi hati dan seluruh tubuhku kenal dengan mudah. Rasa-rasanya seperti kembali ke rumah. Kuharap, semua ini tidak akan disesali esok pagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN