18

1469 Kata
Dendam hanya akan membawa kehancuran. Menyeret pelakunya ke dalam kehampaan. Akan banyak orang yang kehilangan dan akan banyak darah ditumpahkan. Pasukan Tommy terbagi menjadi dua, mereka yang menuju ke rumah Rahma dan satunya yang ingin menggempur pasukan Yuswo. Arci juga membagi pasukan menjadi beberapa bagian. Satu melindungi keluarganya, yang lainnya ikut dia. Dan satu lagi untuk mencegah agar pasukan Tommy lari. Malam itu preman-preman tidak tidur. Sorenya mereka sudah galau. Mereka sebenarnya khawatir dirinya akan mati malam itu. Tapi itu tak menjadi masalah, hidup sebagai preman, mati sebagai preman apa bedanya? Dari pada mati di tangan timah panas polisi, mereka lebih baik mati berkelahi dengan orang lain. Para preman stasiun yang biasanya mangkal sebagai tukang parkir, sebagai penjual gorengan, sebagai polisi cepek dan berbagai profesi yang mereka tekuni malam itu bangun. Mereka mengejutkan istri-istri dan anak-anak mereka. Dan pesan mereka kepada keluarganya adalah “Kalau pagi aku tidak pulang, tolong jangan cari aku. Mungkin aku sudah pergi.” yah, Kurang lebih semua suami yang berpesan kepada istrinya seperti itu. Ghea, Andini, Lian dan Rahma tampak bersiap. Sedari siang mereka tak bisa keluar rumah karena ratusan orang berpakaian preman sudah berjaga-jaga di sana. Mereka semua adalah para preman yang ditugaskan oleh Yuswo. Ditambah lagi para polisi yang juga sudah bersiaga dari kemarin-kemarin kini mulai bersiap. Mereka memakai rompi anti peluru dan berbagai persenjataan.Semua toko tiba-tiba tutup lebih awal. Beberapa orang swadaya masyarakat tampak berjaga-jaga sebagai keamanan. Mereka juga takut kalau-kalau terjadi sesuatu. Para polisi sudah menyebar pasukannya di mana-mana. Bahkan pasukan anti huru-hara sudah bersiap dengan tameng dan tongkat pemukulnya di sepanjang jalan Ahmad Yani. Mobil ambulance dan pemadam kebakaran di kerahkan. Malam itu keadaan benar-benar mencekam. Arci menelpon istrinya.“Halo?!” sapa Arci. “Sayang, kamu di mana? Aku tak bisa keluar ada orang-orang yang mencegah kami keluar. Katanya kami harus tinggal di dalam rumah!” ujar Andini. “Iya, mereka orang-orangku. Bertahanlah! Akua kan membuat perhitungan dengan mereka semua,” ujar Arci.Andini membalas, “Tidak! Hentikan semua ini. Kamu suamiku, aku tak mau terjadi apa-apa denganmu! Ayo kita pergi sayang, kita sudahi semua ini. Hentikan balas dendam ini.” “Aku tak bisa.” “Kenapa?” “Aku hidup lebih lama bersama kakakku. Dia berkorban banyak buat kami. Bahkan demi agar diakui keluarganya dia rela menyumbangkan ginjalnya untuk ayahnya tapi itu tidak diakui. Akhirnya hanya aku yang bisa mengakui dirinya. Hanya aku yang bisa memberikan kehidupan untuknya. Ada alasan kenapa dia mencintaiku, ada alasan kenapa aku juga mencintai dia. Dia bukan sekedar kakak buatku. Kau juga tahu itu. Itulah alasannya kenapa aku tak bisa berhenti. Apalagi ketika dia harus tewas di depan mataku sendiri, terlebih dia juga mengandung anakku.” “Apa?” “Ya, dia tewas saat mengandung anakku. Karena itulah aku tak akan memaafkan mereka. Aku sudah bersumpah akan menjadi vampir malam ini. Aku akan hirup darah mereka. Aku akan habisi mereka semua sampai mereka menyesal telah hidup.” “Sayang….aku tak tahu….” “Sabarlah, aku akan pulang. Kalau toh aku tidak pulang, kamu jangan khawatir. Aku akan pergi ke tempat di mana orang yang aku cintai berada.” “Ajaklah aku!” “Aku tidak ingin mengajakmu. Kamu harus hidup.” “Aku juga tidak akan bisa hidup, aku hamil….” DEGG!. Tangan Arci langsung gemetar seolah ia tak percaya. “Apa tadi yang kamu bilang?” “Aku hamil,” kata Andini sambil terisak. “Katakan sekali lagi?!” “Aku hamil.” “Kenapa kamu tak bilang?” “Aku akan bilang kepadamu.” Arci bingung mendengar itu. entahlah dia bahagia atau bersedih. Ia tak tahu yang mana yang benar dan yang salah sekarang. Di hadapannya sudah ada barikade polisi. “Sekarang belum terlambat. Sudahi ini semua sayang, pulanglah! Ayo kita hidup menyendiri, menjauh dari semua. Kita hidup di sebuah gubuk kecil, dengan anak-anak kita. Jauhi ini semua.” Tangan Arci gemetar. Dia tak pernah menyangka akan seperti ini. Air matanya meleleh. “Demi anak kita suamiku, jangan lakukan ini!” Pasukan Arci berhenti menunggu aba-aba Arci. Arci memejamkan mata. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia lakukan? Ia sudah berjalan jauh. Dan ini di depannya. Sudah ada pihak kepolisian menantang dirinya. Dan di seberang sana ada pasukan dari Tommy. “Mundur! Kalau tidak kami akan menembak! Kalian harus membubarkan diri secepatnya!” tampak suara keras dari salah satu polisi terdengar jelas. “Kami hitung sampai sepuluh hitungan!” “Cici, itu apa? Suara apa itu?” tanya Andini. “Polisi. Mereka akan membubarkan kami,” jawab Arci. “Tidak mungkin! Sudahilah, kumohon aku sangat khawatir. Pulanglah!” “Aku tidak bisa. Belum bisa,” Arci segera menutup teleponnya membuat Andini menjerit histeris. Ghea yang menyadari hal itu hanya bisa menghela nafas. Berat bagi Arci, berat bagi Andini. Lian berusaha menenangkan Andini. Rahma pun ikut menenangkannya. “Sudahlah, kita hanya bisa berharap Arci pulang dengan selamat,” kata Lian. “Dini, yang tabah ya?!” kata Rahma. “Kalian tak perlu khawatir. Arci bukan orang yang akan jatuh begitu saja. Dia pernah melewati masa-masa kritis, dia telah melewati banyak cobaan. Dia lelaki tampan yang paling kuat yang pernah aku kenal,” kata Ghea. “Ghea?” gumam Andini. “Perlu kalian ketahui, aku juga berharap ia selamat. Tapi aku tak pernah menyerah akan berharap kepadanya. Kamu adalah orang yang paling ia cintai. Kamu harusnya yakin!” kata Ghea sambil memegang bahu Andini. “Ini!” Ghea memberikan sebuah senjata kepada Andini. “Pakai pistol ini, kamu harus kuat. Sebagai istri seorang bos mafia kamu harus kuat. Tembak siapapun yang ingin mendekat kepadamu. Malam ini kita akan mati. Jadi jangan berharap untuk bisa hidup esok hari. ”Andini berkaca-kaca, air matanya meleleh. “Ghea, terimakasih…” “Kalian adalah keluargaku juga. Aku tak akan membiarkan siapapun mendekati kalian,” ucap Ghea. Sementara itu Arci menyimpan ponselnya. Dia menatap ke arah para polisi yang sudah bersiaga. Dia memberi aba-aba. “Ingat, kita tak bisa kembali lagi. Maju atau mati!” teriak Arci. HIIYYEEEE! teriak semua orang. “Tujuh, Enam, Lima, Empat, Tiga, Dua, Satu! Waktu habis!” seru suara polisi di TOA. Tak berapa lama kemudian pasukan anti huru-hara mulai maju menuju ke arah Arci. Tapi Arci belum memberi aba-aba menyerang. Sementara gas air mata sudah dilontarkan. Beberapa orang langsung mengoleskan pasta gigi di bahwa mata mereka dan memakai masker. Arci mengeluarkan topeng gas dan memakainya. Beberapa orang yang membawa topeng gas pun langsung memakainya. Di tempat lain, di mana pasukan Tommy sekarang juga memakai topeng gas. Mereka kemudian langsung bentrok dengan polisi. Arci memberi aba-aba untuk maju. Tapi bukan maju secara fisik, para preman melemparkan sesuatu. BANG! BANG! DOR! RATATATATATA!Ternyata mereka melemparkan petasan. Hal itu membuat para polisi kalang kabut. Pasukan anti huru-hara kocar-kacir karena lemparan petasan itu. Arci pun langsung berlari menuju ke arah para polisi yang kalang kabut itu. Akhirnya terjadilah bentrok. Tiga pasukan pun bertemu, mereka saling serang, saling pukul, saling bantai. Keadaan kacau sekali. Arci tak segan-segan membalas serangan para polisi. Mereka juga bertahan ketika dua kekuatan saling bertemu, tapi karena kekuatan pasukan anti huru-hara ini sedikit akhirnya mereka pun terdesak. Pasukan Gegana yang diterjunkan pun tak bisa berbuat banyak terlebih salah satu preman membawa RPG dan menembakkan RPG itu ke arah salah satu mobil panser hingga mobil panser itu bersalto di udara. Tembakan pistol dan ledakan granat membahana. Malam itu Malang terjadi perang. Listrik di sepanjang jalan Ahmad Yani di padamkan. Beberapa di antaranya takut dan lari terus dikejar. Para polisi makin terdesak, hingga akhirnya pasukan Tommy dan pasukan Arci bertemu. Mereka pun bertarung satu sama lain. Para polisi tak bisa berbuat banyak dan mereka meminta bantuan. Arci mempraktekan apa yang telah ia pelajari bertarung keroyokan. Dia mengambil senjata polisi yaitu tongkat pemukul dan menghajar siapapun yang ada di depannya. Semua yang terkena pukulannya pasti tumbang. Setiap orang mendapatkan paling sedikit dua pukulan, perut dan kepala, perut dan kepala, kaki dan kepala. Arci terus mengalahkan setiap orang yang dilewatinya sekalipun mereka bersenjatakan parang dan pipa besi. “Pergi ke sana, dapatkan wanita itu! Mereka butuh bantuan” seru seseorang. Arci mendengarkannya. “Wanita itu” mungkinkah Andini? pikirnya. Ia segera melihat banyak sekali pasukan dari Tommy berbelok ke sebuah gang. Arci pun segera mengejarnya. Tak salah lagi mereka ingin menangkap keluarganya. Arci segera menelpon Ghea. “Ghea!?” sapa Arci. “Ya?!” jawab Ghea. “Bagaimana keadaan di sana?” tanya Arci. “Kacau, di sini terjadi perang! Kami bertahan di rumah!” jawabnya. DOR! DOR! DOR! DOR! Terdengar suara tembakan. “Apa itu?” tanya Arci. “Mereka menyerang dengan banyak senjata, pertahanan terakhir kita hanya menggunakan pistol in…auhh!” suara Ghea terputus. “GHEA! GHEA!” teriak Arci. Arci pun segera berlari menuju rumah Rahma yang letaknya memang tak begitu jauh dari tempat pertempuran ini. “Tidak, tidak, tidak, aku tak mau kehilangan kalian. Aku tak mau. Aku tak mau!”

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN