“Grace, cukup main-mainnya. Ini sudah kelewatan.”
"Siapa yang main-main? Pergilah kalau nggak mau membantuku!" Aura ratu keluar bersama suara dingin Grace yang sarat akan perintah.
“Kamu benar-benar ingin aku mengganti bajumu?” tanya Gio dengan suara lebih lembut, setelah memerhatikan Grace sangat serius di sana.
Grace memicingkan matanya. "Apa yang salah dari meminta orang lain mengganti bajuku? Kalau orang lain bisa melakukannya untukku, kenapa aku harus repot-repot melakukannya sendiri?"
Pola pikir Grace benar-benar seperti pola pikir anak yang dimanjakan. Gio pikir, mungkin karena tidak dibesarkan oleh orangtua, ditambah baru mengalami kecelakaan, makanya gadis itu jadi lebih haus perhatian. Baiklah, dia akan mengajari beberapa hal dasar yang penting.
“Aku akan bertanya, berapa usiamu?”
“Lima belas.” Grace Simpson mungkin delapan belas tahun, tapi Grace Carter baru lima belas.
“Bisa membedakan pria dan wanita?”
“Kenapa big brother mengajukan pertanyaan konyol begitu?”
“Jawab saja.”
Sedikit kesal, Grace tetap menjawab, “Aku tahu.”
“Di toilet bisa lihat tanda untuk perempuan dan laki-laki?”
“Aku belum buta, jadi masih bisa melihatnya.”
“Tahu kenapa toilet pria dan wanita dipisah?”
Akhirnya Grace tercerahkan. Kelihatannya saja Gio sangar, tapi sebenarnya sangat lembut dan perhatian di dalam. Ada kehangatan di balik sikap kasarnya.
Grace sendiri tidak salah karena dia belum terbiasa tanpa pelayannya.
“Aku mengerti, big brother.”
“Bagus kamu mengerti. Satu hal lagi. Kamu sudah lima belas tahun, bukan lagi anak kecil yang harus dilayani. Kamu harus mandiri, apalagi untuk hal-hal kecil seperti ganti baju.”
“Baik, big brother. Aku akan belajar mandiri.”
Gio refleks mengacak rambut Grace ketika adik itu menuruti perkataannya. Entah mengapa, ada kepuasan tersendiri baginya saat orang lain mau mendengarnya. Apalagi Grace terlihat imut ketika patuh.
Mungkin aku bisa memanjakan adik tiri ini mulai sekarang.
"Bagus. Aku akan menunggumu di luar."
Gio pun keluar, dan menunggu. Setelah beberapa menit, tiba-tiba Grace melongokkan kepalanya keluar.
“Big brother, aku nggak bisa mengancingkan belakang gaunnya. Bantu aku sekali ini saja."
Gio ditarik masuk oleh Grace.
Grace membelakangi Gio, memamerkan belakang punggungnya yang putih mulus.
Gaun itu memakai resleting mulai dari pinggang. Jadi saat ini, pingang sampai tengkuk Grace terkespose di depan mata Gio.
Mata Gio agak panas melihat keindahan di depannya. Dia mengepalkan tangan karena menahan gejolak aneh dalam diri.
"Bukankah sudah kukatakan soal batasan pria dan wanita?"
"Aku tahu. Tapi sekarang aku bersama big brother."
"Jadi maksudmu, aku bukan pria?" rutuk Gio dalam hati.
"Cepatlah, big brother, aku masih harus memperbaiki rambut merah ini."
Gio pun tidak punya pilihan selain membantu Grace, tapi tangannya berkeringat ketika menarik resleting. Pipinya sedikit panas saat secara tidak sengaja menyentuh kulit yang halus itu. Mau atau tidak, dia juga menghidu wangi lembut khas seorang gadis dari sana.
Waktu seolah lama ketika Gio mengancingkan resleting gaun, padahal itu hanya berlangsung kurang dari lima detik. Setelah selesai, dia mengembuskan napas lega seolah baru lolos dari peristiwa mengerikan.
"Terima kasih, big brother," kata Grace sambil tersenyum kecil.
Gio memerhatikan gaun biru muda yang sangat cocok dengan tubuh mungil Grace. Matanya terasa sedikit panas dan tenggorokan kering hanya melihat bahu dan kaki putih itu.
Ketika mereka berjalan keluar, banyak mata memerhatikan penampilan Grace. Gio merasa tidak nyaman dengan tatapan mereka, dan tiba-tiba bertanya, "Apa kamu nggak akan masuk angin dengan baju itu?"
Grace menatap Gio dengan tatapan 'apa kau bercanda?'
Gio ingin menjelaskan, tapi ponselnya bergetar tanda satu pesan masuk. Pesan itu dari Lily, berisi: Maaf, Gio, aku akan terlambat ke sana. Mungkin sekitar satu jam lagi.
Gio hampir lupa kalau ada janji dengan Lily. Dia bilang satu jam lagi, masih cukup waktu untuk menemani Grace ke salon dan mengantarnya pulang.
***
Gio memerhatikan penampilan baru Grace. Tidak ada lagi make up tebal dengan warna-warna aneh, hanya ada kulit sewarna kuning langsat yang tampak lembut. Tidak ada rambut merah menyala yang rambut itu akan berubah warna setiap dua minggu sekali, hanya ada rambut agak pirang bergelombang melewati bahu yang dibiarkan tergerai indah oleh pemiliknya. Tidak ada pakaian dan perhiasan berkilauan menyakiti mata, hanya ada gaun biru sederhana dengan satu gelang perak di tangan kirinya.
Penampilan itu menonjolkan fitur cantik Grace. Aura seorang nona muda dengan tingkat kepercayaan diri tinggi, membuat gadis itu semakin mempesona. Orang yang memandang tidak bisa berhenti mengagumi keanggunannya.
Grace tidak menyadari mata panas Gio ke arahnya, karena terlalu fokus mengagumi rambut barunya. Itu sudah persis dengan rambutnya di kehidupan sebelumya.
Berdeham pelan, Gio lantas berkata, "Ayo, aku antar kamu─" pulang.
Perut Grace tiba-tiba berbunyi.
Gio tersenyum kecil. Tadinya dia ingin mengantar Grace pulang, lalu menemui Lily, tapi sepertinya tidak masalah mengajak adiknya. Mereka bisa memilih meja berbeda. Dia merasa geli sendiri karena tidak menyangka akan sepeduli ini terhadap gadis annyoing seperti Grace.
***
Grace sedang menikmati makan malamnya sendirian. Di sisi lain mejanya, Gio sedang menunggu Lily.
Bosan menunggu, Gio memerhatikan Grace yang makan dengan anggun. Rambut bergelombang gadis itu disampirkan ke bahu kiri, kaki kanan bertumpu pada kaki kiri. Cara duduknya tegak tanpa bersandar ke belakang kursi. Dia meletakkan serbet di atas paha, terlihat sangat ahli memakai sendok, garpu dan pisau, seolah sudah melakukannya ribuan kali.
Seingat Gio, Grace dulu sangat kaku pada peralatan makan itu. Bahkan pernah membuat steak melayang karena ketidakmampuannya menggunakan pisau. Tapi hari ini semua berbeda.
Gio tersenyum kecil melihat Grace, tapi senyumnya hilang saat memerhatikan sekitar enam atau tujuh bekas piring makan di meja adiknya itu. Dia pun segera pindah ke sebelah, menahan tangan gadis itu yang mau mengambil steak.
"Sudah berapa banyak yang kamu makan?" tanya Gio.
"Sebanyak itu. Apa big brother nggak punya uang untuk membayarnya?"
Gio menghela napas, melepaskan kembali tangan Grace, lalu menjauhkan sisa makanan yang belum tersentuh. "Ini bukan masalah uang, tapi perutmu bisa sakit kalau makan terlalu banyak."
"Tapi aku belum merasa kenyang."
"Oh, Bos di sini?" Suara takjub di depan mereka ini menginterupsi Gio yang ingin menasehati Grace.
Di depan mereka ada sekelompok pemuda berpakaian jersey, tampak baru usai latihan basket. Di antara lima pria di sana, ada sosok tinggi yang menjadi fokus perhatian Grace. Ini pemeran utama pria!
Grace berdecak kagum pada pahatan sempurna Tuhan yang satu ini; Ash Cedric Harrison. Wajah simetris, hidung lurus-tinggi, mata bulat agak dalam yang tampak arogan, bibir tipis penuh cibiran tersembunyi, dan tatapan yang bisa membuat orang merasa rendah diri di hadapannya.
Grace ingat deskripsi panjang yang dijabarkan penulis tentang Ash; Hanya melihat wajahnya yang super tampan, Anda bisa memaafkan apa pun yang dia lakukan salah. Ash memiliki tempramen buruk dan lidah beracun, juga sengit saat berdebat, tapi itulah pesona dari kepribadiannya yang penuh percaya diri. Dia juga memiliki semacam aura kuat dalam dirinya, seolah tersembunyi pedang tajam yang bisa mengendalikan kehidupan dan kematian. Pedang tajam ini tidak akan dia keluarkan dengan mudah, tapi begitu pedang tersebut keluar dari sarungnya, pasti akan ada hujan darah yang menghebohkan semesta. Ketika hanya berdiri diam dengan tatapan apatis, orang-orang yang menatap segera ingin berlutut di hadapannya dan bersyukur bisa berada di bawah kemuliaannya. Dia seperti reinkarnasi seorang kaisar.
"Benar-benar tokoh utama," gumam Grace.
Gio membenci Ash sampai ke tulangnya, karena hanya di hadapan pria ini, dia merasa rendah diri. Dia marah karena tidak bisa mengalahkannya. Dia bahkan lebih marah karena entah mengapa punya pikiran mengerikan kalau dia tidak akan pernah menang dari orang ini.
"Apakah ini pacarmu, Bos?" tanya Peter, orang yang sebelumnya menyapa Gio.
Iris hitam Ash akhirnya bertemu netra cokelat Grace. Ada kernyitan kecil ketika dia memandang gadis cantik itu.
***