"Violet! Cepat masak!"
"Violet! Dimana kemeja gue?!"
"Ya ampun, Violet! Ini lantainya kenapa belum disapu?!"
Violet berdecak kesal. Ia sudah muak hidup dibawah tekanan ibu tiri dan saudara tirinya. Setelah ayahnya meninggal dunia, tepatnya satu tahun terakhir ini, Violet bagai hidup dalam cerita dongeng bawang putih.
"Violet! Kenapa lama sekali? Cepat masak! Ibu sama kakak kamu sudah lapar," ucap Nilam yang berkacak pinggang diambang pintu.
"Iya, Bu, sebentar."
Menyebalkan! Ibu tirinya selalu saja memerintah Violet untuk mengerjakan ini dan itu. Sementara dia sudah seperti nyonya besar di dalam istana yang bisanya memerintah Violet saja.
Setelah selesai menjemur pakaian, segera Violet pergi ke dapur untuk memasak.
"Kemeja gue dimana? Gue mau keluar."
"Kemeja yang mana?" Violet bertanya tanpa menatap kakak tirinya - Aslan.
"Yang kotak-kotak hitam. Semalamkan gue minta lo buat setrika kemejanya. Lo gak lupa kan?"
Violet menghentikan kegiatannya sejenak lalu berpikir. Sementara Aslan terlihat sudah tak sabar menunggunya.
"Ya ampun, Kak. Kemejanya baru aku cuci. Itu lagi dijemur."
Aslan berdecak kesal. Melihat kemeja kotak-kotak hitam miliknya yang sedang dijemur. "Lo tuh gimana sih? Kan gue udah bilang mau pake kemeja itu. Kenapa malah dicuci?"
"Maaf, Kak. Aku gak ingat."
"Ahhh, terus gimana dong? Malu dong gue. Kencan pertama masa cuma pakai kaos begini."
"Lagian Kak Aslan juga kenapa kemejanya disimpan di baskom cucian, gak langsung kasih ke aku?"
"Terus lo nyalahin gue? Lo sendiri kenapa gak langsung ambil kemejanya waktu gue bilang suruh setrika?" balas Aslan tak mau kalah, lantas memutar tubuh dan melangkah pergi.
Violet mengerucutkan bibir. Kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.
"Dasar! Paling gak mau disalahkan. Lagian bukannya cari kerjaan, malah sibuk cari pacar. Memangnya perempuan bakal kenyang makan cinta? Cih!"
Violet pergi keluar setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Dan disinilah Violet sekarang, di sebuah taman yang tak jauh dari rumah bersama sahabatnya, Mia.
"Aku capek dijadikan pembantu terus sama Ibu dan Kak Aslan. Rasanya mau pergi aja dari rumah."
"Sabar ya, Vio. Aku tahu gimana tersiksanya kamu. Tapi kalo kamu pergi dari sana, apa kamu siap melepas rumah yang penuh kenangan bersama Ayah dan Bunda kamu?"
Violet terpejam sejenak sambil menghela napas panjang. Itu resiko yang membuat Violet berpikir berkali-kali lipat untuk pergi dari rumah. Karena tidak mungkin kalau Nilam dan Aslan yang pergi dari rumah itu. Tentu mereka tidak akan mau.
Violet terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah seorang petani yang mempunyai beberapa ladang sawah. Dan setelah ayahnya meninggal dunia, Nilam menjual semua ladang sawah tersebut karena tidak bisa mengelolanya. Namun, uang hasil penjualan tersebut tidak dikelola dengan baik. Nilam dan putranya justru menggunakan uang tersebut untuk foya-foya. Sementara Violet? Dia tidak kebagian apa-apa.
"Gimana kalo kamu cari kerjaan aja? Maksudnya biar gak jenuh di rumah terus. Apalagi Tante Nilam sukanya ngomel-ngomel terus kan? Bikin kuping sakit."
"Aku juga sempat mikir gitu. Ibu juga minta aku buat cepet-cepet cari kerja. Tapi aku rasa itu bukan ide yang bagus selama aku masih tinggal sama Ibu dan Kak Aslan. Aku yakin uang hasil keringatku akan diminta semua buat mereka foya-foya kayak sebelumnya."
Violet pernah mengisi waktu libur sekolahnya dengan menjadi pelayan di rumah makan. Tapi ia tidak bisa menikmati uang hasil keringatnya karena dirampas semua oleh Nilam.
Terkadang Violet merasa iri akan kehidupan Mia. Gadis itu hidup ditengah keluarga cemara. Dia juga sudah mendaftarkan diri untuk kuliah di Surabaya dan akan tinggal di rumah kakaknya yang sudah menikah di sana.
"Mmm, Mia?" Suara Violet terdengar ragu.
"Iya, Vio. Kenapa?"
"Aku boleh minta kontaknya Kak Silvi?"
Mia terdiam sejenak. Mencoba menebak apa maksud Violet meminta kontak sepupu jauhnya tersebut. Teringat akan sesuatu, Mia segera menggelengkan kepala dengan tegas, menolak permintaan Violet.
"Enggak, Vio. Jangan gila kamu."
Violet memegang tangan Mia dengan tatapan memohon. "Aku gak punya pilihan lain. Aku rasa ini jalan satu-satunya agar aku bisa lepas dari tekanan Ibu dan Kak Aslan. Aku mohon, Mia, bantu aku."
***
"Kamu yakin?"
Violet mengigit bibir bawahnya dengan mata menatap ke lantai. Pikirannya berkecamuk. Antara benar-benar akan mengambil langkah ini dan berkemungkinan besar bisa mengubah hidupnya, atau justru memilih untuk bertahan dalam tekanan yang tentunya tidak akan membuatnya maju.
"Vio?"
"Hanya untuk semalam." Violet mengangkat pandangannya menatap perempuan muda yang seumuran dengan Aslan.
Silvi tersenyum hangat. "Kakak gak mau kamu menyesal, Vio. Tolong jangan gegabah."
"Aku gak punya pilihan. Aku mau pergi ke kota dan memulai hidup yang baru."
Silvi terdiam sejenak. Menatap Violet dengan tatapan sendu seolah ia menyayangkan langkah yang akan Violet ambil.
"Baiklah kalau kamu memang sudah yakin. Kakak hubungi bos Kakak dulu."
Violet mengangguk. Membiarkan Silvi pergi untuk menghubungi bosnya.
Silvi adalah seorang wanita panggilan atau biasa disebut kupu-kupu malam. Menjadi korban perceraian orang tua, membuat Silvi terseret arus pergaulan bebas dan membuatnya terjun menjadi seorang wanita panggilan.
Selang beberapa menit, Silvi kembali menghampiri Violet sambil membawa handphone di tangannya.
"Kakak sudah hubungi bos Kakak. Dia sudah setuju dengan bayaran seratus juta. Dengan catatan kamu bisa melayani klien dengan baik dan memberikan kepuasan kepadanya."
Mendengar jumlah nominal yang disebutkan membuat Violet terbelalak kaget. Dengan uang segitu banyaknya, Violet pikir dia benar-benar bisa mengubah hidupnya. Tapi mengingat ini pengalaman barunya membuat Violet takut.
"Tapi, aku kan gak berpengalaman, Kak."
Silvi menyentuh pundak Violet. "Kamu harus ingat pekerjaan kamu itu apa, Vio. Kamu harus responsif akan sentuhan klien. Ingat, apa tujuan kamu hingga memilih langkah seperti ini. Kamu ingin memulai hidup baru di kota yang keras, kamu harus mempunyai bekal yang banyak, bukan?"
Violet mengangguk pelan.
"Jadi.... Kapan aku bisa mulai?"
"Malam ini."
***
Sebuah mobil Alphard hitam berhenti di depan villa besar yang berada di tengah hutan. Pintu mobil terbuka, sepasang kaki jenjang yang terpasang heels merah keluar dari dalam sana.
"Mari ikut saya."
Violet mengangguk. Dengan hati-hati, ia berjalan mengikuti lelaki berbadan besar tersebut masuk ke dalam villa. Dress di atas lutut dengan belahan d**a rendah milik Silvi, membuat Violet sangat tidak nyaman. Di tambah lagi ia harus memakai heels setinggi lima centimeter yang membuatnya kesulitan berjalan.
"Langsung saja masuk. Tuan ada di dalam," ucap lelaki yang merupakan seorang bodyguard, lantas berlalu pergi meninggalkan Violet di sana.
Jantung gadis berusia delapan belas tahun itu sudah bertalu-talu. Keringat dingin juga sudah membahasi kedua telapak tangannya. Ini akan menjadi pengalaman paling menyeramkan dalam hidup Violet.
"Tenang, Vio. Hanya untuk semalam. Setelah itu kamu bebas," lirihnya menyemangati diri.
Tangan Violet terulur menyentuh gagang pintu, lalu mendorongnya pelan sampai ia melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi tegap yang berdiri di dekat jendela sambil memegang gelas berisi bir.
Violet menutup pintu dengan hati-hati. Mencoba mengingat pesan Silvi agar ia bersikap agresif dan nakal terhadap klien. Suara ketukan heels pada lantai keramik, memecahkan keheningan dalam ruangan luas tersebut.
Napas Violet semakin tak beraturan saat berdiri tepat dibelakang laki-laki itu. Dengan ragu, ia mengulurkan kedua tangannya untuk memeluk pinggang laki-laki di hadapannya, lalu memberanikan diri untuk menyandarkan kepalanya di punggung lebar itu.
Jantung Violet seolah berhenti berdetak saat mendapati sentuhan ditangannya. Ya ampun! Apakah ini benar-benar akan menjadi malam terakhir Violet sebagai seorang gadis perawan?