Menjadi Istri Yang Sempurna

1360 Kata
Sakit di sekujur tubuhnya menjadi yang pertama Violet rasakan begitu membuka mata. Momen panas yang terjadi semalam ternyata tidak mampu mengoyak sesuatu yang sudah Violet jaga selama ini. Sekuat apapun usaha Violet agar terlihat baik-baik saja, akhirnya menyerah juga. Violet jadi berpikir, kalau malam pertama pertemuannya dengan Keenan tidak berjalan seperti ini, mungkin ia tidak akan bisa mendapat uang seratus juta rupiah dari Keenan dan akan tetap terkurung dalam tekanan ibu dan saudara tirinya. Violet mencoba duduk sambil menahan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Kepalanya menoleh menatap Keenan yang masih terlelap dalam posisi tengkurap. "Kalo melayani satu orang aja bisa sesakit ini, bagaimana dengan mereka yang melayani bahkan lebih dari ini?" Violet bergidik ngeri membayangkannya. Violet meringis malu saat mengingat setiap sentuhan Keenan tadi malam. Violet bisa melihat jejak gairah Keenan di sekujur tubuhnya. Tanda kemerahan itu lebih banyak Keenan berikan di sekitaran leher dan dadanya. Violet mengigit bibirnya saat mengingat bagaimana Keenan berulang kali menciumnya, lalu berbisik mengatakan kalau Violet mempunyai bibir yang manis. Keenan menggeliat, membuat Violet tersadar akan pikiran mesumnya. Sialan! Kalau Keenan tahu apa yang ada dipikirannya tadi, mungkin Violet tidak akan berani membalas tatapan laki-laki itu. Ini terlalu memalukan! Lihat, siapa yang m***m sekarang? Keenan tersenyum setelah melihat keberadaan Violet. "Morning," sapanya terdengar seksi. Ah sial! Tolong sadarkan Violet agar berhenti berpikiran m***m! Violet membalasnya dengan senyuman. Keenan membalik tubuhnya dari tengkurap menjadi terlentang. Senyum smirk terbit dari bibirnya saat melihat hasil karyanya yang bertebaran di tubuh Violet. "Masih sakit?" Violet meringis malu sambil mengangguk pelan. "Maaf ya, Mas. Aku gak tahu kalo ternyata rasanya bisa sesakit itu." Kemudian Keenan bangun dari posisi duduknya. Meraih dagu Violet agar menatap kearahnya. "Gak apa-apa, itu wajar buat perawan kayak kamu gini." "Mmm, makasih ya, Mas. Ternyata Mas Keenan pengertian juga ya." Keenan sontak tertawa. "Emang pandangan kamu sama aku tuh gimana sih? Coba kamu pikir deh, emang ada klien yang dengan mudahnya menawarkan pernikahan sama cewek yang dia booking? Mana ada, Vio. Itu cuma aku." Violet tersenyum malu. "Iya. Dan aku beruntung karena menjadi cewek itu." Keenan tersenyum menatapnya. Mungkin bagi siapapun yang melihat senyuman Keenan saat ini, akan dengan mudahnya mengatakan kalau itu senyuman yang tulus. "Mas...." "Hmm?" "Kamu laki-laki baik dan aku beruntung bisa dimiliki kamu. Aku gak tahu apa yang akan terjadi kalo seandainya malam itu bukan kamu yang booking. Mungkin kebahagiaan yang aku pikir bisa aku dapatkan dengan cara seperti itu, justru itu yang akan membawaku pada kesengsaraan yang lebih mengerikan." Tidak sedetikpun Keenan memalingkan pandangannya dari kedua mata Violet. Ia mendengarkan setiap kata yang keluar dari gadis itu. "Aku gak berharap mendapat cinta dari kamu, Mas. Aku hanya ingin terus mendapat belas kasihan dari kamu. Dan sebagai balasannya, aku akan menjadi istri dan Ibu yang baik untuk Zefa." Keenan mengulurkan tangannya, mengusap pipi lembut Violet dengan ibu jari tangannya. "Kalo gitu yakinkan aku untuk terus bisa mengasihani kamu." Violet menyentuh punggung tangan Keenan di pipinya. "Aku pastikan kamu gak akan menyesal udah pilih aku, Mas." Pernah mendengar kalau bentuk cinta yang paling tulus adalah dengan cara mengasihani? Mungkin itu terdengar menyedihkan. Tapi itu adalah cara terbaik dalam mencintai. Dan Keenan tidak munafik, setelah mengetahui usia Violet membuatnya merasa kasihan. Tentu orang tidak akan mengambil jalan seperti itu kalau bukan keadaan yang memaksa untuk melakukannya. *** "PAPI!!" Anak perempuan berusia tujuh tahun berlari ke dalam pelukan cinta pertamanya. "Zefa kangen sama Papi!" Keenan menghujani kecupan disekitar wajah putri kecilnya. "Papi juga kangen sama Zefa. Padahal baru semalam ya kita ketemu," ucapnya terkekeh geli, membuat Zefa mengerucutkan bibirnya kesal. Semalam Zefa menolak pulang bersama Keenan dan Violet. Tentu tidak mudah mengambil hati Zefa untuk menerima Violet menjadi ibu sambungnya. Zefa sangat manja kepada Keenan dan dia merasa cemburu kalau ada perempuan lain yang dekat dengan papinya. Dan reaksi ini pun terjadi pada Stefanie - mantan tunangan Keenan. "Hai, Zefa! Kamu lucu banget deh pakai jepitan warna pink gitu." Violet tersenyum menyapa anak sambungnya. Zefa semakin memanyunkan bibirnya melihat keberadaan Violet. Anak itu memilih menarik tangan Keenan dan mengabaikan Violet. "Papi ayo renang! Zefa mau belajar renang lagi biar bisa ngalahin Darrel! Ayo Papi! Ayo!" "Iya, Sayang. Zefa duluan ke kolam, nanti Papi nyusul." Akhirnya anak kecil itu berlari menuju kolam renang di samping rumah. Sambil melepas jam tangannya, Keenan tersenyum menatap Violet. "Sabar ya? Zefa hanya perlu sedikit waktu lagi buat bisa terima kamu jadi Mami-nya." Violet membalas senyuman Keenan. "Iya, Mas. Aku paham kok gimana perasaan Zefa." Gena meninggal dunia setelah melahirkan Zefa ke dunia. Pendarahan hebat yang dialaminya tak bisa membuat Gena bertahan lebih lama lagi. Setelah kematian Gena, tak pernah terbesit dalam pikiran Keenan untuk menikah lagi. Hingga pada akhirnya, ia sadar kalau Zefa membutuhkan figur seorang ibu dalam hidupnya. "Kalian sudah di sini," ucap Elfa yang baru menampakkan batang hidungnya. "Iya, Ma. Kita baru sampai," jawab Keenan setelah mencium tangan ibunya bersama Violet. "Yang lain dimana, Ma?" Keenan menanyakan keberadaan papa dan adik laki-lakinya. "Papa sama Kelvin lagi jogging." Keenan mengangguk. Lalu menoleh menatap Violet. "Aku temenin Zefa dulu ya." "Iya, Mas." Ditinggalkan berdua dengan ibu mertua tentu menghadirkan rasa takut dalam diri Violet. Apalagi sejak awal Elfa menentang pernikahannya dengan Keenan. Violet tersenyum kaku pada Elfa. Tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. "Kamu mau bantu Mama buat kue?" Violet mengangguk. "Mau, Ma." Untunglah Violet tidak buta dengan urusan dapur. Ia juga suka membantu Nilam membuat kue untuk dijual. Violet membantu Elfa menyiapkan bahan-bahannya. Wanita glamor itu memperhatikan setiap pergerakan Violet. Memang sebelum menikah, Elfa pernah bertanya kepada Violet apakah dia bisa memasak atau tidak. "Jadi istri itu harus serba bisa, supaya suami gak cari jajanan ke luar." Violet tersenyum mendengarnya. Ia sudah tahu kemana arah pembicaraan Elfa. "Jangan mentang-mentang hidup enak, jadi menyerahkan semua urusan rumah ke pembantu." Violet mulai memasukkan beberapa butir telur ke wadah untuk di-mixer. "Kamu tahu kan siapa mantan tunangan Keenan?" "Tahu, Ma." "Untung Keenan gak jadi nikah sama perempuan manja itu. Dari awal, Mama gak setuju Keenan sama dia." Violet berpikir kalau ibu mertuanya ini mencari menantu spek sempurna. Tapi bukankah puzzle yang tersusun rapi memerlukan sebuah proses untuk menyempurnakannya? "Kamu harus banyak belajar agar bisa menjadi istri yang sempurna. Buktikan sama Mama kalau pilihan Keenan gak salah." Violet tersenyum menatap ibu mertuanya. "Iya, Ma. Aku akan berusaha menjadi istri yang sempurna untuk Mas Keenan," jawabnya lalu mengangkat mesin mixer dan menyalakannya. *** Violet berdiri di ambang pintu kaca menatap Keenan yang sedang berenang. Di tepi kolam ada Zefa yang juga sedang memperhatikan laki-laki tiga puluh tahun itu. Melihat handuk yang tersampir di penyangga kursi, Violet mengambilnya lantas berjalan menghampiri Zefa. Ia harus terus berusaha untuk mengambil hati anak kecil itu. "Zefa," panggil Violet seraya mengambil posisi jongkok di samping Zefa. Mendapati kedatangan Violet membuat Zefa mencebik kesal. "Belajar renangnya udah selesai? Mami temani ganti baju yuk!" Zefa tidak mempedulikan Violet. Anak kecil itu seolah menganggap Violet hanya angin lalu. Sementara dari ujung kolam renang, Keenan diam memperhatikan interaksi kedua perempuan itu. "Kok diem aja sih? Dingin ya?" "PAPI!!" Keenan melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar. Sementara Zefa semakin kesal karena Keenan seolah tidak peka akan ketidaknyamanannya bersama Violet. "Papi masih mau renang." "Zefa tahu! Zefa juga mau renang lagi sama Papi." Akhrinya anak itu merespon ucapan Violet, meski jawabannya tidak sesuai dengan yang Violet inginkan. "PAPI! ZEFA MAU RENANG LAGI!" "Zefa." Suara dari arah belakang membuat kedua perempuan itu menoleh secara bersamaan. "Om!" Zefa segera beranjak untuk memeluk Kelvin. Violet pun bangun dari posisi jongkoknya. Violet dan Kelvin sama-sama melempar senyum saat pandangan mereka bertemu. Kelvin tidak ikut campur saat Keenan menyampaikan kalau dia akan menikah dengan gadis kampung. Karena ia tahu Keenan selalu mendukungnya dalam hal apapun, selama itu baik. "Om! Ayo masuk! Temenin Zefa ganti baju." Ya ampun! Bukankah tadi anak itu mengatakan ingin kembali berenang? Keenan naik dari atas kolam setelah Kelvin dan Zefa berlalu pergi. Violet terkejut saat merasakan sentuhan dingin ditangannya. "Mas! Ngagetin aja deh." Keenan tersenyum seraya mengambil handuk di tangan Violet. "Ayo masuk," ajaknya. "Tadi ngapain aja sama Mama?" "Bantuin bikin kue." Keenan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mama ada ngomong sesuatu yang gak enak sama kamu?" "Enggak kok. Ngobrol biasa aja." "Ngobrol apaan?" Keenan khawatir kalau Elfa mengatakan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan Violet. "Tentang menjadi istri yang sempurna."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN