Cahaya mulai mencari sosok suaminya. Dia melihat Agung duduk di meja berbincang dengan seseorang kolega bisnis sedangkan tidak ada Surya di sampingnya.
“Lang, kamu lihat papa enggak?” tanya Cahaya menghampiri meja putra-putrinya. Mereka berkumpul dengan remaja seusia mereka. Anak dari kolega bisnis Surya dan Cahaya. Tentu saja Cahaya senang mengetahui anak-anaknya bergaul bukan dengan anak sembarangan.
“Gak tau Ma. Aku lihat tadi dia dengan Om Agung,” jawab Langit, putra pertamanya sedangkan Zanitha putrinya hanya mengangguk menyetujui ucapan kakaknya.
“Oh. Ya udah biar mama yang nyari,” Cahaya menepuk bahu putranya. “Kalian nikmati pestanya ya,” pesan Cahaya dan meninggalkan Langit, Zanitha dan teman-temannya.
Mereka kembali asyik bermain game di ponsel mereka. Hal yang menjadi kekhawatiran Cahaya. Putranya Langit sangat senang bermain game online di handphone sehinagga melupakan pelajarannya di sekolah. Oleh karena itu dia meminta Wulandari menjadi guru privat anak-anaknya. Keputusannya tepat. Sejak diajari oleh Wulandari, nilai Langit kembali naik. Berbeda dengan Zanitha, putrinya, anak yang penurut dan juga berprestasi di sekolah, dengan bantuan Wulandari membuat nilainya tetap stabil.
Cahaya melihat Wulandari berjalan menuju taman belakang. Entahlah, seketika ada rasa penasaran terbit di benaknya melihat Wulandari berjalan sembari menoleh ke belakang seolah takut seseorang mengikutinya. Apa ada seseorang spesial yang ingin ditemui Wulandari, benak Cahaya. Dia bahkan mengulum senyum karena Wulandari masih saja menyembunyikan hubungannya.
Cahaya tahu Wulandari mempunyai seseorang spesial. Bukan sekali dua kali dia mendapati Wulandari menerima telepon dari seseorang. Bahkan Wulandari harus menjauh darinya agar tidak menguping pembicaraannya. Namun, saat dia bertanya Wulandari hanya menjawab penelepon iseng atau salah sambung. Cahaya maklum, mungkin saja Wulandari belum siap dan takut Cahaya beranggapan dia akan mengabaikan panti asuhan. Suatu saat jika Wulandari bercerita, tentu saja Cahaya akan merestui hubungan Wulandari dan pria itu.
Cahaya tiba di taman belakang dan singgah sejenak di toilet. Setelah menuntaskan hajatnya. Dia keluar kamar mandi. Alih-alih mencari suaminya, dia malah penasaran dengan seseorang yang akan ditemui Wulandari.
“Hai sayang,” terdengar suara berat seorang pria. Cahaya menajamkan pendengarannya. Dia sangat mengenal suara itu tetapi dia tidak ingin cepat berasumsi.
“Hai mas,” kali ini Cahaya yakin suara Wulandari yang menjawab. Seketika hening, tetapi terdengar deru napas. Cahaya bisa menebak mereka tengah berciuman.
“Mas…Mas Surya kok berani sih nyium aku di sini,” suara Wulandari menegaskan semuanya. Surya, suaminya yang bersama Wulandari saat ini.
“Aku lihat kamu dari kejauhan sayang. Aku benar-benar terpesona dengan penampilan kamu saat ini, sangat seksi,” Cahaya mengepalkan tangannya marah mendengar pujian suaminya. Kata-kata ini terdengar menjijikan di telinganya. Kata gombalan yang sering Surya ucapkan kepadanya.
“Ehmmm…saat ini aja muji-muji aku. Padahal tadi mungkin saja kamu muji-muji Bu Aya,” Cahaya menggeleng tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Wulandari menusuknya dari belakang. Wanita yang sopan dan baik hati ternyata berhati iblis.
“Iya dong kalian berdua wanita kesayangan aku,” Cahaya tersenyum sinis mendengar kata ‘kesayangan’ yang disematkan Surya.
“Apakah aku tidak akan pernah menjadi satu-satunya mas?”
“Boleh saja sayang. Tapi kamu harus sabar.”
Cahaya seakan jatuh di dasar jurang terdalam. Dia berusaha keras menutup mulutnya menahan tangis, matanya berkaca-kaca penuh rasa sakit dan terluka, tidak percaya mendengar apa yang terjadi dibalik tembok. Cahaya merasa bahwa saat dia berada di alam mimpi. Apakah Surya dan Wulandari berselingkuh di belakangnya. Sejak kapan itu terjadi. Cahaya tidak habis pikir. Keduanya orang yang sangat penting bagi hidupnya. Dimana suami yang memujanya, suami yang menyayangi dan sosok ayah panutan bagi putra putri mereka. Sungguh Cahaya bahkan tidak sanggup berdiri saat ini menahan bobot tubuhnya.
Cahaya tidak tahan dan meninggalkan Surya dan Wulandari. Dua manusia yang dahulu disayanginya menjadi orang yang paling dibencinya saat ini. Dia terlalu rendah jika harus mengamuk dan membuat harga dirinya jatuh. Dia akan memainkan sandiwara menghadapi keduanya seperti yang keduanya lakukan.
Menyalakan api dalam sekam, menunggu hingga api membesar dengan sendirinya. Menghancurkan keduanya hingga habis tak tersisa. Cahaya akan membalas mereka dengan cara yang paling menyakitkan, itu janjinya.
Cahaya kembali ke tengah pesta, seperti tidak pernah terjadi apapun. Menghapus bulir air mata yang menetes di pipinya.
“Hai istriku sayang, maaf aku lupa waktu, terlalu asyik melayani investor itu,” Surya menghampiri Cahaya dan mencium pipi istrinya. Cahaya tersenyum dan membalas mencium pipi suaminya. Dia melirik ke belakang melihat Wulandari berjalan menuju mejanya.
“Iya sayang, gak masalah.”
Tepat pukul sepuluh malam, pesta itu usai. Semua tamu telah pulang menyisakan para pekerja merapikan meja dan sisa pesta.
“Mas, gimana pembicaraanmu dengan investor tadi,” ucap Cahaya seraya membersihkan sisa make-upnya, melihat pantulan suaminya dari cermin. Surya sendiri sibuk memperhatikan tabletnya dengan kacamata baca bertengger di hidungnya. Mereka tengah bersiap untuk tidur.
“Iya lumayan menjanjikan. Tetapi aku dan Agung ingin mempelajari lebih jelas mengenai penawaran mereka,” jawab Surya tanpa menatap Cahaya.
“Oh begitu.”
“Kamu tahu gak Mas, aku tuh lagi mikir buat nyari pasangan untuk Wulan. Apa kamu punya calon yang tepat untuk Wulan,” berbeda dengan tadi. Kali ini Surya mengangkat wajahnya menatap Cahaya. Cahaya tersenyum, dia sengaja memancing nama Wulandari dan benar tebakannya Surya seperti tidak terima akan ucapannya barusan.
“Untuk apa?” tanya Surya mengernyitkan alisnya.
“Gak. Aku tuh kasian saja sama si Wulan. Setiap aku tanya apakah dia memiliki kekasih. Tetapi katanya dia hanya ingin fokus kepada panti asuhan. Jangan sampai aku secara tidak langsung menghalanginya untuk menikah. Aku kan kasihan mas,” jelaskan Cahaya.
“Wulan itu cantik dan masih muda. Dia akan gampang mencari pria di luar sana. Kamu gak perlu bersusah payah mencarikan pria untuknya,” bantah Surya. Ada rasa kesal terdengar di nada bicara Surya.
Atau kamu yang tidak rela Mas, benak Cahaya.
“Hmm…baiklah,” tidak ada bantahan dari Cahaya. Dia sudah melancarkan serangan awalnya.
Cahaya telah menyelesaikan ritual perawatan wajahnya. Surya juga menyingkirkankan tablet dan meletakkan di nakas samping ranjang.
“Sini sayang, aku ingin menagih kado spesial darimu,” ucap Surya dan menepuk sisi sebelah tempat tidur. Cahaya mendekat, menghampiri suaminya. Dia tahu kado apa yang diinginkan suaminya itu. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Cahaya hanya menjalankan kewajibannya. Tidak ada sedikit pun hasrat ataupun keinginan untuk menerima sentuhan demi sentuhan dari Surya. Dia menatap risih suaminya. Dia tidak mungkin menolak Surya dan membuat suaminya itu curiga. Namun sekuat apapun dia bertahan, batinnya berontak. Dia bahkan terbayang, sejauh apakah hubungan Surya dan Wulan. Apakah sampai pada hubungan intim. Benar-benar menjijikkan, jika benar mereka melakukannya. Kesetiaan adalah harga mati bagi Cahaya. Sungguh dia berharap Surya segera menuntaskan hasratnya, sehingga dia bisa segera tidur dan berharap hari ini hanyalah mimpi buruk baginya.