Kerja sama, pertengkaran, tawa bahagia, canda yang kadang menjadi candu, juga kebersamaan yang membuat benih-benih cinta akhirnya ada, Amel kubur dalam-dalam di palung hatinya.
“Kalian harus mempersiapkan pernikahan kalian secepatnya. Enggak usah mikirin omongan orang, toh, Amel juga yang minta cerai.”
“Laki-laki kan enggak ada masa iddah, sudah cerai secara agama bisa langsung nikah. Dari awal pun sebenarnya Jemmy sudah mau nikahin kamu apalagi kita sama-sama tahu, masa lalu Amel bagaimana. Biasa lah, wanita enggak bener, hamil di luar nikah, keguguran dan habis itu mandul. Ibaratnya, Tuhan sudah langsung kasih azab nyata ke dia, kan. Namun karena Jemmy kasihan, apalagi Amel masih saudaranya Arden, sahabat Jemmy, ... ya mau bagaimana lagi?”
“Alhamdullilah banget sih, ya, akhirnya Amel sadar, jadi sudah enggak ada lagi yang menghalang-halangi hubungan kalian. Awalnya kan Jemmy berat banget enggak tega, tapi setelah Mamah bilang ke Amel bahwa Jemmy sayang banget ke kamu, kamu cinta pertamanya Jemmy sedangkan Amel enggak bisa kasih keluarga kami keturunan, Mamah langsung kasih Amel pilihan. Dimadu apa cerai? Eh pagi-paginya, Jemmy datang ke Mamah, bilang kalau Amel minta cerai, dan Jemmy sepakat cerai dengan Amel.”
Di luar sana, ibu Marta masih sibuk, begitu bersemangat menceritakan kebobrokan Amel kepada Tianka, sang menantu idaman. Wanita tanpa mahkota, wanita tanpa surga, ibu Marta selalu menggunakan sebutan itu sebagai senjata menyingkirkan Amel dari keluarganya khususnya dari kehidupan Jemmy. Tak jarang, layaknya barusan, ibu Marta juga akan menyebut Amel wanita mandul, wanita tidak benar, serta sebutan lain yang selalu membuat hati Amel seperti disayat dengan keji.
Setelah apa yang terjadi, bagi Amel memang tidak ada keputusan lain selain mengakhiri sandiwaranya dengan Jemmy. Niat awal pernikahan mereka pun bukan untuk membuat keadaan makin buruk. Niat awal mereka menjalani sandiwara hingga mereka nekat menikah karena mereka ingin lari dari perjodohan yang orang tua mereka siapkan. Namun, semenjak hadirnya Tianka selama tiga bulan terakhir, semuanya menjadi makin rumit. Tak hanya mulut ibu Marta yang makin pedas dan selalu menghakimi Amel dengan kata-katanya, tetapi kenyataan Jemmy yang mengakui mencintai Tianka hingga Jemmy juga kerap menghabiskan waktu bersama wanita cantik itu. Belum lagi, fakta Tianka yang selalu datang berkunjung dan tak segan masuk ke kamar Amel dan Jemmy, juga membuat Amel tidak tahan.
Amel bukan Keyra Miranti yang begitu hebat dan sampai membuat seorang Arden Wicaksono berpaling sekaligus melupakan Inara. Amel juga bukan wanita sabar apalagi kuat yang bisa tetap bertahan menulikan telinga sekaligus hatinya tanpa memedulikan kata-kata ibu Marta yang tak jarang dilebih-lebihkan.
Prakkk ada yang jatuh ketika Amel menarik tumpukan pakaiannya dari lemari. Amel yang memang sedang membereskan barang-barangnya di kamar, sempat lupa bernapas, menatap tak percaya benda berwarna putih yang panjangnya sekitar sepuluh senti berhias dua garis merah.
Jebred! Dari samping kanan Amel, pintu kamar mandi terbuka dengan cukup terbanting, itu Jemmy. Panik, Amel buru-buru membuang asal tumpukan pakaian di tangan kanannya ke koper besar yang masih terbentang di bawahnya. Amel langsung memungut, kemudian membuang asal test pack tersebut ke bawah lemari karena Jemmy sudah makin dekat dengannya. Iya, itu test pack milik Amel. Amel benar-benar hamil tapi Amel sengaja menyembunyikannya dari Jemmy sekeluarga. Karena meski awalnya hanya sandiwara, kebersamaan mereka yang menghadirkan rasa nyaman sekaligus benih-benih cinta, membuat mereka beberapa kali melakukannya.
“Kamu langsung boyong semua barang-barang kamu?” tanya Jemmy yang baru saja beres mandi. Kedua tangannya masih sibuk mengeringkan kepalanya yang basah menggunakan handuk.
Dengan d**a yang terasa sangat sakit apalagi rasa cinta untuk Jemmy sedang mekar-mekarnya ditambah kehamilan yang terpaksa ia sembunyikan karena tak mau nasib anaknya juga terus dihakimi ibu Marta, Amel yang tetap fokus membereskan koper kemudian menguncinya, berangsur mengangguk.
“Iya, soalnya ke depannya aku akan sangat sibuk, takutnya jadi enggak sempat beresin ini semua.” Amel berucap lirih tanpa menatap Jemmy. Beruntung, ponselnya yang ada di nakas sebelah bersanding dengan tas kerja miliknya, berdering. Dering tanda telepon masuk hingga membuatnya bisa makin menghindari Jemmy meski hatinya makin berdenyut nyeri.
“Wah, sudah dikemas semua?” seru ibu Marta.
Amel yang refleks menoleh yakin, mantan mamah mertuanya itu tidak hanya datang sendiri. Iya, seperti biasa, Tianka melangkah tak berdosa memasuki kamar Jemmy. Kamar yang tentu saja sempat Amel tempati sekaligus menjadikan Amel sebagai pemiliknya. Enggak usah sedih, Mel. Percuma. Kesedihanmu hanya akan membuatmu makin memprihatinkan karena pada dasarnya, Jemmy memang tidak mencintaimu. Sedangkan mengenai Tianka yang terbiasa masuk bahkan menghabiskan waktu di kamar ini, cukup ambil positifnya saja, jangan sampai kamu menirukan ulah yang bagi kamu tak terpuji itu, batin Amel. Wanita mana yang tidak kesal, wanita mana yang tidak marah apalagi sakit hati jika wanita lain dan itu wanita yang dicintai oleh suaminya, asal masuk bahkan menghabiskan waktu di kamar kita? Bahkan tak jarang karena memang sering, Tianka dengan leluasa naik ke ranjang dan bergelendotan atau malah memeluk Jemmy. Iya ... Amel bertekad akan melupakan semua itu meski tentu saja tidak mudah. Terlalu menyakitkan bagi Amel yang sadar diri bahwa dirinya hanyalah wanita lemah.
Memberikan senyum terbaik merupakan hal yang Amel lakukan pada ibu Marta dan juga Tianka. Amel tetap ingin tampil elegan sekalipun jauh di lubuk hatinya, luka-luka yang ia sembunyikan menuntutnya untuk segera balas dendam. Bahkan, beberapa jiwa lain yang seolah menghuni kehidupannya begitu sibuk berbisik, menuntun Amel untuk mengamuk.
Setelah meraih ponsel sekaligus tas kerjanya dari nakas, Amel menatap ketiga wajah di sana. Ketiga wajah yang sudah menjadikannya sebagai fokus perhatian. Ibu Marta dengan wajah bahagianya dan tampak sangat puas, memamerkan kebahagiaannya pada Amel. Tianka dengan wajah cantiknya, menatap Amel dengan mata bulatnya yang begitu indah, tatapan yang begitu tenang sarat kebahagiaan. Juga Jemmy yang menatap Amel dengan tatapan sulit Amel artikan.
“Aku rasa sudah tidak ada lagi yang tersisa. Aku pergi, maaf jika selama ini aku banyak salah.” Amel mengalihkan tatapannya pada Jemmy. “Mengenai surat cerai, aku tunggu secepatnya. Kirim saja ke butikku.”
“Kalau begitu kirim surat cerainya sekalian pesan pakaian pernikahan kalian saja, Jem. Enggak apa-apa, yah, Ti, pesan gaun pernikahannya di butik Amel saja!” usul Ibu Marta tiba-tiba.
Tianka langsung tersipu dan menyambutnya dengan senyum haru sebelum anggukan setuju mengiringi senyum indahnya.
Amel yang diam-diam melirik sengit kedua sejoli tadi di tengah hati yang seolah diremas dengan keji, mengangguk pasrah. Akan ada masanya, kalian juga merasakan apa yang aku rasakan. Iya, akan ada masanya. Setelah semua yang kalian lakukan, jangan salahkan aku jika aku sampai balas dendam!
“Hubungi aku jika kamu akan ke rumahku dan menemui orang tuaku untuk menyelesaikan hubungan kita.” Amel mengangkat kopernya yang berukuran besar dalam sekali sentakan hingga rasa sakit luar biasa ia rasakan di pangkal perutnya. Bahaya, semoga janinnya baik-baik saja.
“Jangan diangkat, itu berat. Tarik saja, sini ... sini.” Jemmy mengambil alih koper Amel.
Amel yang refleks melepaskan kopernya, susah payah menyikapi keadaan dengan baik-baik saja. Giginya saling bertautan demi menghalau rasa sakit yang begitu luar biasa di pangkal perutnya. Amel sampai berkeringat, tapi Amel tetap buru-buru melangkah pergi dari neraka nyata dalam hidupnya. Pun meski ibu Marta berucap lantang, menegaskan akan datang ke rumah orang tua Amel, hari ini juga untuk membahas perceraian Amel dan Jemmy.
“Kenapa begitu buru-buru?” tanya Jemmy terdengar mengeluh.
“Ini yang kamu mau.” Amel melampaui Jemmy yang justru menjadi berhenti melangkah.
“Cepat, sebentar lagi aku ada rapat!” bentak Amel tak sabar dan mulai kewalahan menahan sakit. Ia terpaksa berhenti tepat di depan gerbang. Seorang satpam sudah langsung membukakan gerbang tersebut untuknya, sebelum buru-buru mengambil alih kopernya dari Jemmy.
“Non, ini masuk ke bagasi mobil, Non?” tanya si satpam memastikan.
Amel mengangguk, membenarkan. Di tengah kenyataannya yang menahan sakit luar biasa, ia sungguh akan menyetir sendiri tapi setelah pergi dari kediaman orang tua Jemmy, ia akan langsung mampir ke rumah sakit untuk memastikan kehamilannya.
Dengan jarak sekitar lima meter, Jemmy menatap Amel dengan tatapan sulit diartikan tapi cenderung berat sekaligus menahan luka. Jemmy seolah tak rela melepaskan Amel, tapi Amel tak yakin selain Amel yang memang tidak peduli.
“Jangan memintaku untuk tidak sakit hati apalagi marah kepada orang tuamu. Aku kecewa kepadamu! Aku membencimu! Sebelumnya, tidak ada seorang pun yang berani merendahkan apalagi kasar kepadaku, bahkan meski aku salah. Namun menjadi bagian dari hidupmu, aku selalu diam dan menerima semua perlakuan yang selalu buruk.” Amel yang tak lagi menyembunyikan kesedihan sekaligus air matanya, menunduk untuk beberapa saat.
“Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa. Anggap saja kita memang tidak saling kenal. Bukankah seperti itu yang kalian mau? Tenang saja, sebelum kalian memintanya, aku sudah berniat untuk melakukannya. Selamat tinggal!” Tanpa menunggu balasan Jemmy, Amel berlalu dari sana dan langsung masuk sekaligus mengemudikan mobilnya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Amel terpaksa menepikan sekaligus menghentikan laju mobilnya. Amel sudah tidak tahan dengan sakit di pangkal perutnya selain Amel yang sadar, rahimnya yang mendadak terasa sangat perih juga menjadi basah.
Amel sendiri sudah kuyup keringat dan gemetaran hebat. Mengandalkan dua helai tisu kering yang ia ambil dari tempat duduk sebelah, ia memastikan rahimnya. Benar, darah! Tisu tersebut menjadi dihiasi darah cukup banyak sesaat setelah ia mengelapnya pada rahimnya!
Bersambung ....