Papa Pamit

1669 Kata
    Januari 2012.     Kilatan cahaya yang berasal dari flash kamera memenuhi seisi ruangan. Kilatan-kilatan itu diikuti dengan suara cekrak-cekrek  yang khas. Seseorang di sana tengah melakukan sesi pemotretan. Baru beberapa bulan berkarir dalam dunia modeling, telah mendatangkan banyak pengalaman baru bagi Yas.     Uang bukan lagi menjadi sesuatu yang lagi sulit untuk didapat. Bagaimana tidak?     Agensi ini tidaklah main-main. Bergerak di bidang pengiklanan brand international  yang bergengsi, baik secara online ataupun offline. Sekali pemotretan saja, bisa menghasilkan uang yang besar.     Junot sebagai manajer Yas tersenyum puas dari kejauhan. Ia tahu keponakannya ini memiliki bakat. Tak salah ia merekomendasikan Yas pada Nadine—temannya yang memiliki agensi model ini.     Selain untuk membantu keuangan Yas, juga untuk membantu anak itu terlepas dari dunia gelap di club.     Nyatanya keputusan itu sama sekali tak salah. Junot tetap bisa melaksanakan tugasnya untuk mengawasi Yas, sekalian menghasilkan tambahan pendapatan. Urusan pabrik, bisa ditengok beberapa kali dalam sehari. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, bukan?     Junot terlalu konsentrasi memperhatikan Yas, makanya ia sangat terkejut kala ponselnya tiba-tiba berbunyi.     "Halo, Mas?"     Yas menatap gerak-gerik Junot dari posisinya. Pasti Papa lah yang menelepon, untuk menanyakan tentang dirinya lagi.     "Yas, fokus!" tegur si juru kamera.     Yas segera menurut pada sang Juru Kamera, karena tak ingin mendapat teguran lagi. Selesai pemotretan sesi pertama, Junot segera mengajak Yas untuk bicara empat mata. Hal yang sebenarnya sudah diduga oleh Yas. Kini mereka duduk berhadapan pada mini bar  yang tersedia di sudut ruangan.     "Papa kamu sudah benar-benar bangkrut sekarang. Tapi dia nggak bisa mengatakan itu pada Theo dan Elang. Papamu tak sampai hati. Mereka sudah hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya dimanja harta, dan sekarang harta itu juga sudah tidak ada. Papamu bingung, Yas."     Yas terdiam dalam duduknya. Beberapa kali ia mengirim uang pada Papa untuk sekadar menutup biaya makan keluarganya.     Karena selama hampir lima tahun ini, pendapatan yang Papa dapat dari perusahaan, hanya cukup untuk membayar cicilan hutang. Perusahaan terus mengalami defisit, dan sekarang sudah benar-benar pailit.     "Papa kamu setiap hari masih berangkat pagi, dan pulang tengah malam. Seolah-olah dia masih kerja. Padahal dia cuman muter-muter, kadang juga minum. Apa kamu nggak pengen pulang, Yas?"     Yas menunduk dalam. "Aku nggak bisa, Oom."     "Tapi ...."     "Semua kebutuhan biar aku yang tanggung. Biarlah Papa bersikap seperti itu! Kapan-kapan aku akan nemuin Papa. Tapi aku nggak akan pulang."     "Yas!" seru sebuah suara.     Yas tahu betul milik siapa suara lembut itu. Yas sudah menunggunya dari tadi, dan akhirnya ia datang juga.     Selain Yas, Junot juga segera mengalihkan padangan pada seseorang yang barusaja memanggil keponakannya. Junot mengenal gadis itu, gadis yang sudah tiga bulan ini menjadi sangat dekat dengan Yas. Kalau boleh jujur, Junot sebenarnya tak terlalu suka padanya.     Entah ke mana perginya wajah murung Yas tadi. Karena kini, wajah murung itu telah digantikan oleh rona ceria—lengkap dengan senyum menawan—untuk menyambut kedatangan gadisnya.   ***       Agustus 2015.     Tercipta sebuah senyum tulus dari balik masker  yang ia kenakan. Tujuh tahun lamanya mereka terpisah. Yas tak pernah tahu bagaimana perubahan fisik mereka selama ini.     Yas menunggu di sini—di sebuah tempat yang agak jauh dari gerbang sekolah mereka—namun cukup jelas untuk mengawasi keduanya. Mereka diantar oleh supir.     Terakhir kali melihat, mereka masih sangat kecil. Sekarang mereka sudah lebih tinggi. Dan benar apa yang dikatakan Junot. Mereka sama sekali bukan Theo dan Elang yang dulu.     Mereka masih SMP, tapi gaya mereka sudah seperti orang dewasa. Mereka juga saling menatap sengit satu sama lain, seperti musuh. Dulu perdebatan keduanya selalu jenaka. Namun kini aura permusahan yang kentara.     Yas menunggu hingga mereka tak lagi terjangkau pandangan. Merasa cukup, Yas akhirnya pergi. Toh, ia juga sudah punya janji dengan seseorang. Yas melihat ponselnya. Seseorang itu rupanya sudah datang pada tempat yang mereka janjikan.     Ini adalah pertemuan keempat mereka setelah Yas pergi dari rumah. Papa terlihat semakin kurus di setiap pertemuan. Setelan jas yang dulu sangat pas dengan tubuhnya, kini terlihat kedodoran.     Semuanya berjalan sesuai dengan kesepakatan awal. Papa masih pergi pagi-pagi dan pulang tengah malam setiap hari, seolah-olah ia masih bekerja. Sementara untuk semua kebutuhan rumah, Yas yang membiayai.     Yas tidak keberatan dengan itu semua. Sudah menjadi tanggungjawabnya sebagai anak pertama. Namun ada satu hal yang benar-benar mengganggunya semenjak Papa bangkrut.     "Mau sampai kapan Papa merahasiakan hal ini dari Theo dan Elang?"     "Tolong kasih Papa waktu, Yas!"     "Tapi sampai kapan, Pa? Mereka berhak, dan harus tahu! Setidaknya jika mereka tahu, mereka bisa berpikir mulai sekarang. Sedikit demi sedikit, pasti mereka akan memperbaiki gaya hidup berfoya-foya. Bukannya Yas keberatan untuk membiayai semuanya. Yas cuman mengantisipasi hal terburuk saja. Nggak selamanya karir Yas berjalan bagus. Semua ada pasang surutnya. Papa ngerti maksud Yas, kan?"     Yas tidak berbohong, ia memang tidak keberatan. Bahkan ia mengorbankan mimpinya untuk menjadi guru. Saat ini ia sudah lulus SPd dengan predikat cumlaude. Tapi Yas belum memiliki kesempatan untuk mendaftar di sekolah manapun. Karena ia harus terus menjadi model untuk keluarganya.     Tentu saja karena gaji model jauh lebih besar daripada guru honorer. Cukup untuk memenuhi kebutuhan luar biasa keluarganya, sekaligus menyicil hutang Papa tiap bulan.     Bahkan selain cicilan hutang, ada satu cicilan lagi yang harus dilakukan oleh Yas tiap bulannya. Yaitu cicilan mobil untuk Elang dan Theo. Mereka masih SMP, namun sudah berani minta mobil. Katanya mobil itu akan mereka pakai untuk berangkat dan pulang sekolah saat sudah SMA nanti.     "Papa ngerti, Yas. Tapi Papa perlu waktu."     "Mau berapa lama lagi? Ini sudah bertahun-tahun, Pa! Apa Papa lupa pernah menyembunyikan sebuah fakta besar pada Yas dulu? Apa Papa mau ... Theo dan Elang mengalami hal yang sama?"     Napas Papa tercekat mendengar kata-kata Yas. Ia segera teringat dengan fakta besar tentang ibu kandung Yas, yang pernah ia sembunyikan.     Nyatanya ia benar-benar kepala keluarga yang gagal. Dan sekarang ia malah menyusahkan anak-anaknya seperti ini.     Jadi, ia bukan hanya seorang kepala keluarga yang gagal. Ia juga merupakan manusia yang gagal. Semua hal yang ia jalani dalam hidup, adalah kegagalan itu sendiri.   ***       Oktober 2015.     Oom Junot, Nadine dan beberapa orang kru sedang sibuk di dalam apartemen Yas. Bukan untuk melakukan prosesi pemotretan, tapi untuk merawat Yas yang sedang sakit.     Yas memang sering sakit akhir-akhir ini. Dan kali ini yang terparah. Ia bahkan tak bisa bangun dari ranjang. Keadaannya sangat lemah, ia terus mendapat serangan batuk, dan kesulitan bernapas.     Saat ambulans datang, Yas segera dibawa ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan yang mengejutkan harus mereka terima. Yas mengidap emfisema. Emfisema adalah penyakit progresif jangka panjang pada paru-paru. Jaringan paru-paru—yang berperan pada bentuk fisik paru-paru dan fungsi pernapasan—telah rusak.     Hal ini dipicu oleh kebiasaan hidup yang kurang baik. Semenjak bekerja di club dulu, Yas menjadi perokok berat. Ditambah lagi setiap malam saat melayani pelanggan, ia selalu minum minuman keras yang diberikan oleh para pelanggan itu.     Kebiasaan buruk yang sulit dihentikan. Untuk rokok, Yas sulit berhenti karena sudah terlanjur kecanduan. Untuk alkohol, sejauh kondisinya baik, Yas bisa menahan untuk tidak minum. Tapi saat ia stres, Yas selalu mengatasinya dengan minum.     Beberapa orang mungkin masih tetap sehat dengan kebiasaan hidup seperti itu, hingga pada usia tertentu—umumnya di atas usia empat puluh tahun—barulah mengalami beberapa penyakit.     Sayangnya pada kasus Yas, ia adalah salah satu orang yang kurang beruntung. Daya tahan tubuhnya, tidak mampu beradaptasi dengan kebiasaan hidup yang ia jalani.     Solusi satu-satunya untuk saat ini adalah dengan pembedahan. Mereka segera menyetujui solusi itu, sebelum semuanya menjadi semakin terlambat, dan akan semakin mengancam keselamatan Yas sendiri.   ***       September 2018.     Untuk pertama kalinya setelah operasi, Yas kembali menginjakkan kakinya di rumah sakit. Bahkan fakta bahwa ia harus minum obat seumur hidup, tidak lebih buruk dari ini.     Yas menatap bayi merah nan kecil itu dalam inkubator. Ia terpaksa lahir premature di bulan kehamilan yang ketujuh. Ibunya sendiri berusaha menggugurkannya. Syukurlah. anak itu—putrinya—berhasil bertahan.     "Sekarang apa keputusan kamu? Wanita jahat itu malah pergi tepat setelah dia sadar. Nyatanya emang dia nggak sebaik yang kamu pikir, Yas."     "Aku belum bisa mikir, Oom."     Junot menghela napas dalam. Ia sudah beberapa kali mencoba memperingatkan Yas sejak dulu. Tapi keponakannya itu tak pernah mau mengerti. Ia sudah dibutakan oleh cinta.     Semenjak Yas sakit, wanita itu mulai menunjukkan perubahan perilaku. Apalagi karir model Yas juga semakin meredup dan penghasilannya menurun drastis.     Bekas operasi di dadanya, telah membuat Yas tidak lolos kualifikasi dalam banyak brand  yang bersangkutan. Yas diharuskan melakukan beberapa pemotretan dengan bertelanjang d**a, namun tidak bisa lagi karena bekas luka itu.     Uangnya sebagian besar sudah habis untuk biaya operasi, belum obatnya, belum lagi biaya hidup keluarganya yang besar sekali, dan terakhir, anaknya perlu berada dalam inkubator seperti ini. Uang siapa lagi yang akan ia pakai?     Yas sudah mencoba melamar di beberapa sekolah. Saat ini, ia bekerja sebagai seorang guru honorer di salah satu SMA Negeri. Namun berapa, sih, gaji seorang guru honorer? Sangat kecil!     Bayi itu ... meskipun kelak ia sudah keluar dari inkubator, biaya hidupnya pasti tidak sedikit. s**u, popok, pakaian, dan lain-lain. Ingin rasanya Yas melompat dari lantai 13 ini sekarang juga. Tapi Yas sadar, ia tak bisa melakukan hal bodoh itu. Karena ia tak bisa lepas dari tanggung jawab.     "Mungkin ini adalah peringatan dari Tuhan, Yas. Bahwa sekarang sudah waktunya kamu pulang."     "Aku nggak bisa, Oom. Aku malu! Theo sama Elang pasti udah benci banget sama aku. Udah jelas mereka nggak bakalan nerima aku kembali."     "Pada awalnya mungkin begitu. Tapi lama-lama mereka pasti ngerti. Kita jelasin ke mereka sedikit demi sedikit. Bahwa Papa kalian memang bangkrut sejak lama, dan selama ini kamulah yang membiayai kehidupan mereka."     "Tapi gimana caranya jelasin ke mereka, Oom? Aku bingung!"     Ponsel Yas bergetar dalam saku. Siapa yang mengirim pesan tengah malam begini? Yas segera membuka pesan itu—dari Papa.       Yas, Papa benar-benar minta maaf. Papa titip adek-adekmu. Sekali lagi, maafkan Papa.       "Kenapa, Yas?" Oom Junot heran melihat reaksi tak biasa dari Yas setelah membaca pesan itu.     "Papa, Oom ...."     "Papa kamu kenapa?"     Yas tak menjawab pertanyaan pamannya. Ia justru bergegas lari. Junot pun ikut lari bersamanya. Papa memang pernah mengatakan beberapa kali pada Yas tentang niatnya. Tapi nasihat dari Yas berhasil menggagalkan niat itu. Papa tidak mungkin berakhir dengan benar-benar melakukan hal laknat itu, bukan?     Jika Papa benar-benar melakukannya ... maka Yas tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Tidak akan pernah.   *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN