Junot beringsut mendekat, menatap bola mata Yas yang bergerak-gerak. Yas membuka matanya perlahan. Yang pertama ia lihat adalah senyuman tulus dari Oom tercintanya.
"N-Nami ...." Suara Yas terdengar serak dan parau.
Junot segera tahu apa maksudnya. "Nami dijagain sama tantemu. Kamu tenang aja! Semuanya beres."
Yas tersenyum sekilas. Kemudian matanya kembali tertutup. Rupanya obat tidur itu masih bekerja dengan begitu hebatnya. Karena dalam sekejap, ia berhasil menenggelamkan Yas dalam alam mimpi.
Atau bisa jadi, Yas tadi bangun hanya karena sedang mengigau. Junot terkikik pelan. Bahkan dalam alam bawah sadarnya, Yas masih memikirkan Namira. Junot bisa mengerti. Karena ia juga seorang ayah.
Lelaki itu bersyukur bahwa Yas tidak menuruni sifat almarhum kakaknya. Untung saja, Yas memiliki kepribadian yang kuat dan selalu optimis.
Seperti almarhumah kakak ipar pertamanya, ditambah dengan didikan luar biasa dari almarhumah kakak ipar keduanya.
***
Tepat jam enam pagi, akhirnya semua pekerjaan rumah selesai. Mereka berbaring terlentang di sofa panjang dengan napas ngos-ngosan. Tidak menyangka, ternyata bersih-bersih rumah sangatlah menguras energi.
Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana cara Yas melakukan begitu banyak pekerjaan setiap hari—sendirian—termasuk bersih-bersih rumah seisinya. Sudah begitu, ia masih harus dikata-katai oleh adik-adiknya yang manis.
Keduanya tidak berkomentar apa-apa. Sibuk mengatur napas masing-masing supaya tidak kebablasan dan mati. Mata mereka terpejam, lagaknya sudah seperti korban kerja rodi yang sudah sebulan tidak makan.
Padahal mereka hanya menyapu dan mengepel saja. Rasanya, baru kali ini mereka menyesal dilahirkan dalam rumah sebesar ini.
Napas masih belum benar—masih Senin Kamis jaraknya—tapi bunyi bel dengan berani-beraninya menginterupsi mereka dalam usaha menyambung kehidupan.
"Siapa coba namu ke rumah orang pagi-pagi buta?" Elang udah ingin menangis rasanya. "Bukain pintu sono!" perintahnya seraya memukul-mukul bahu Theo.
"Ogah! Lo aja sana!" tolak Theo "Lo nggak sadar, ya? Dari kemarin lo nyuruh-nyuruh gue mulu! Gue bukan babu lo!"
"Gue capek, Theo!"
"Lo pikir gue nggak?"
Bel masih berbunyi terus tiada henti.
“Duh, siapa, sih?” Elang sudah hendak menangis.
“Jangan-jangan orang gila yang sering keliling komplek!” jawab Theo asal.
Theo dan Elang menutup telinga masing-masing dengan rapat karena orang yang bertamu itu sedang dalam proses merusak bel rumah mereka. Mereka berusaha cuek, pura-pura tidak mendengar. Biar si pembunyi bel lelah, dan akhirnya pergi dengan sendirinya.
Tapi sayang, rupanya si tersangka adalah tipe orang yang tidak mudah menyerah. Akhirnya, Theo dan Elang yang terpaksa menyerah.
Mereka melakukan suit beberapa kali. Saat Theo memakai jari jempol, Elang juga jempol. Saat Theo memakai jari kelingking, Elang juga kelingking. Saat Theo memakai jari telunjuk, Elang juga telunjuk. Ya Tuhan! Takdir macam apa ini?
Baiklah, mungkin selain lahir ke dunia bersama, berdebat bersama, menderita bersama, bersih-bersih rumah bersama, mereka juga harus membuka pintu sama-sama.
"Ya ampun! Lama amat, sih, buka pintunya, Sayang!" protes seseorang yang berdiri dengan segenap aura mama muda hits-nya. "Tante udah pegel ini. Tante buru-buru. Sini, ayo, cepetan, ayo, sini!"
“Astaga! Ya Allah! Ya Rasulullah!” Elang dan Theo langsung komat-kamit. Ketemu setan saja mereka tak pernah nyebut. Tapi ketemu orang satu ini, mereka selalu otomatis menyebut nama Tuhan, saking takutnya.
Sungguh, perasaan Theo dan Elang sangatlah tidak enak. Mereka bahkan masih terkaget-kaget dengan kedatangan mendadak Keke—istri Junot—sepagi ini, dengan membawa Namira dalam gendongan.
Tante mereka ini adalah seorang sosialita dan fashionista kelas atas. Perlu dicatat, Keke memiliki kepribadian yang unik. Ah, tidak. Cenderung aneh dan menyebalkan malah.
Contohnya, ya seperti sekarang ini. Ia bahkan tak memberi kesempatan Theo dan Elang untuk bicara sedikitpun. Meski hanya sekedar basa-basi menyambut kedatangan sang Tante.
"Gini ya, Sayang. Tante ada urusan mendadak sama temen-temen Tante. Kalo Tante nggak hadir, nanti Tante rugi. Soalnya ini adalah kesempatan emas buat promosi barang-barang Tante."
Barang-barang yang dimaksud di sini adalah tas, baju dan sepatu branded koleksi Tante Keke. "Pokoknya intinya ini penting banget! Jadi ...." Tante Keke terkikik malu.
Sepertinya sesuatu di balik kikikan itu adalah jawaban dari perasaan tak enak yang dirasakan oleh si Kembar.
"Tante nitip Nami sebentar sama kalian, ya? Ya? Ya?" Tante Keke segera memberikan Namira pada Elang, karena ia lebih percaya pada Elang daripada Theo.
Iya, kan? Perasaan tak enak Theo dan Elang nyata adanya.
"T-tapi Tante, ini udah jam 6 lebih," protes Elang.
"Iya, Tan. Kita harus sekolah," tambah Theo.
"Tante cuman sebentar, sumpah! Sebentar aja kok." Tante Keke mengibaskan rambus panjangnya.
"Tante, kenapa Nami-nya nggak diajak aja, sih?"
"Iya, Tan. Ajak aja! Temen-temennya Tante pasti ada yang bawa anaknya juga."
"Nggak bisa dong, Sayang," tolak Tante Keke. "Tahu sendiri, kan, gimana Ibu-Ibu komplek kalo lagi ngumpul? Omongannya pada rusuh semua. Nggak baik kalo sampai kedengeran di telinga Nami yang suci. Nanti Nami bisa terkontaminasi."
Theo dan Elang masih ingin menjawab. Tapi lagi-lagi Tante Keke sama sekali tak memberi mereka kesempatan untuk bicara.
"Ntar kalo dagangan tante laris, kalian bakal Tante kasih persenan deh. Sumpah. Yaudah ya, Sayang. Tante pergi dulu. Bye."
Baru beberapa langkah, Keke berhenti lagi. Theo dan Elang berharap banyak, semoga saja Tante Keke mengurungkan niatnya untuk pergi. Tapi ternyata, wanita itu hanya ingin mengatakan, "Jangan bilang-bilang sama Oom kalian, ya? Please! Ntar Tante dimarahin lagi! Emang kalian tega kalo tante diomelin Aa Junot? Pasti nggak, kan? Nanti Tante jadi sedih. Ya? Ya? Ya? Alhamdulillah, ponakan Tante emang baik semua. Ganteng-ganteng lagi! Tante sayaaaaang banget sama kalian!" Keke mengibaskan rambutnya sekali lagi.
Begitu sampai di dalam mobil, ia melambai-lambaikan tangan bak Miss Universe. Keke menghidupkan mesin mobil, dalam sekejap, mobilnya sudah menghilang dari pelataran rumah ini.
Theo dan Elang masih mematung di sana. Menatap pasrah kepergian Tante Keke.
Samar-samar mulai terdengar isakan kecil. Selang beberapa detik, isakan kecil itu menjadi semakin keras, menjelma menjadi sebuah tangisan kencang nan lantang. Tubuh Namira pun bergerak-gerak bebas, Elang sampai bingung menjaga dekapannya supaya bayi itu tidak jatuh.
Namira menangis dengan begitu hebatnya dalam gendongan Elang. Kembar setan tak pernah menyangka akan mendapat cobaan hidup semacam ini dalam hidup mereka. Membersihkan rumah pagi tadi sudah cukup menguras tenaga dan perasaan mereka. Eh, sekarang Keke malah datang membawa acara baru.
Elang mendadak juga ingin menangis seperti Namira. Melihat Elang frustrasi, rasa ingin menangis Elang pun menular padanya. Jadilah Oom Elang, Oom Theo, dan si keponakan Namira menangis bersama.
***
TBC