"Kenapa lo pakek nangis segala, sih? Mereka pasti jadi curiga dan kepo. Lo mau semua orang tahu tentang bokap?" Theo mengomel dari jok belakang.
"Diem lo!" ketus Elang
"Cengeng!" Theo lanjut mengejek Elang.
"Lo nggak ngerasain ada di posisi gue tadi!" Elang membela diri.
"Udah dong, Dek! Mas pusing, nih." Yas akhirnya mengeluarkan uneg-uneg tertahannya.
"Gue juga pusing kali!"
"Gue juga!"
"Kerjaan gue masih mending. Gue trading bitcoin, asal bisa milih koin yang bener nggak dosa. Nah lo, malah kerja di rumah bordil!”
Theo terbelalak. "Bukan rumah bordil … itu namanya club!”
“Halah alesan! Kalau bukan rumah bordil, ya mana mungkin lo mau dijual sama pemiliknya?”
"T-tapi, kan, gue nggak tahu kalau akhirnya bakal begitu!” Theo berusaha membela diri meskipun sampai tergagap.
"Makan malemnya udah siap. Mas berangkat dulu!" pamit Yas. Ia menunggu salah satu adiknya menjawab. Tapi mereka tetap asyik beradu mulut.
Mata Yas fokus menatap kamar tamu yang berada di samping tangga. Yas menimbang-nimbang apakah ia harus menjalankan niatnya atau tidak.
"Kalau sampai besok anak-anak masih kepo tentang masalah keluarga yang bikin lo nangis, gue nggak bakal tinggal diem!" Theo menunjuk muka Elang, tanda mengancam.
"Kalau sampai besok nama keluarga kita jadi tercoreng karena ada yang tahu lo bolos karena kerja di rumah bordil, gue bakal lakuin hal yang lebih kejem ke lo!” Elang balik menunjuk muka adiknya.
"Woy, Yas, apa-apaan lo? Buka pintunya!" Elang menggedor pintu dengan brutal.
"Yas, buka atau gue dobrak pintunya dari dalem!" Theo benar- benar berusaha mendorong pintu itu sekuat tenaga.
"Adik-adikku sayang, silakan menikmati waktu yang indah bersama!" ucap Yas dengan nada yang dimanis-maniskan.
"Najis lo, Yas, jijik!" olok Elang.
Theo malah terdengar sedang pura-pura muntah. Pasti ia geli setengah mati.
"Mas mau kalian merenung, menyadari kesalahan masing-masing. Sekali-sekali introspeksi diri, jangan melulu saling menyalahkan!" ceramah Yas sudah mirip Pak Ustadz. "Mas berangkat dulu, ya!" Yas segera berlalu sebelum ia semakin terlambat.
***
Terlambatnya juga tak terlalu lama dibandingkan dengan karyawan-karyawan lain yang pernah terlambat.
Sikap mereka seperti itu, pasti pengaruh spekulasi tentang Yas yang mendapat habatan karena hubungan dara h dengan Junot.
Sejauh ini, Yas sudah belajar cuek. Ia berusaha menjalani perannya s ebaik mungkin, menerapkan ilmu yang ia dapat selama kuliah dulu, juga selama menjalani macam-macam pekerjaannya di masa lalu.
Meskipun masih muda, tapi pengalaman Yas dalam makan asam garam kehidupan sudah cukup banyak. Cukupla h untuk orang-orang memanggilnya ... senior? Ya, Senior. Senior dalam menyelami pahitnya hidup.
"Lintang, tolong antarkan faktur ini ke gudang, ya!" Yas memberikan kertas dua rangkap pada Lintang. Lintang hanya mengambilnya, lalu pergi.
"Tang, tepungnya udah mau habis. Tinggal satu sak," lapor salah s eorang pegawai.
"Kok lapornya ke gue? Ntar gue ditegur lagi kayak waktu itu!" tolak Lintang.
"Terus mau lapor siabpa? Pak Manajer nggak ada!"
"Tunggu bentar, ya!" pamit Lintang pada si pegawai.
"Ya udah, ambil aja tepungnya ke gudang langsung!"
"Beneran, Tang?"
Lintang mengangguk. "Nggak apa-apa langsung ambil aja! Keburu kehabisan."
"Tapi ...." Si pegawai terlihat ragu dan takut, padahal tadi sebelum Lintang tinggal, pegawai itu semangat sekali untuk mengambil tepung ke gudang tanpa persetujuan Yas.
"Kenapa kamu minta dia ambil tepung ke gudang? Apa sudah dapat perintah dari Yas?"
"B-belum, Pak." Lintang gelagapan menjawabnya. "Tapi Yas lagi tidur. Saya nggak berani bangunin. Dan tepung sudah mau habis."
"Di mana Yas sekarang?" tanya Junot kemudian.
"Di ruangannya, Pak."
"Tuh, risikonya kalau rekrut ponakan sendiri yang belum jelas kinerjanya!"
"Pasti Pak Junot nyesel, tuh!"
"Seharusnya Pak Junot tetap pada keputusan awal buat milih Lintang sebagai Manajer Produksi yang baru. Eh, dia malah rekrut orang baru."
"Enak, ya, jadi ponakan orang kaya!"
"Kalau aja gue punya paman kayak Junot. Uh ... mulia hidup gue."
"Ngimpi lu, Tong! Lagian apa lo mau jadi bulan-bulanan pegawai kayak gini?"
"Ya enggak, lah! Sorry aja, ya!"
Mereka kemudian tergelak bersama.
***
"O-Oom!" Yas tergagap. Ia segera berdiri. Mengabaikan kepalanya yang pusing tujuh keliling.
Junot terkikik. Karena Yas telanjur sudah bangun, ia memutuskan untuk masuk kembali ke ruangannya. "Kecapekan kamu, ya?"
Yas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf, Oom. Anak-anak berulah terus beberapa hari ini."
"Oom ngerti kok, Yas. Kamu jangan lupa minum obat. Kamu baik-baik aja, kan? Pucet, tuh, muka kamu."
"Nggak lupa kok, Oom."
"Kalau capek, kamu pulang aja, istirahat di rumah!"
"Ng-nggak, Oom. Makasih." Yas buru-buru menolak anjuran Junot.
"Kenapa? Takut para karyawan semakin nggak suka sama kamu?" Junot tertawa.
"Ya gitu, deh." Yas tersenyum kecut.
"Soal Theo sama Elang, apa Oom perlu bantu ngomong ke mereka? Makin lama, mereka makin kurang ajar sama kamu. Oom jadi gregetan sendiri."
"N-nggak usah, Oom. Makasih. Lagian ini bukan sepenuhnya salah mereka. Dari awal, caraku berinteraksi sama mereka udah salah. Aku kebanyakan merintah dan terlalu sok ngatur. Wajar kalau mereka jadi tambah memberontak."
"Kamu yang sabar, ya, Yas! Kamu udah berusaha sekuat tenaga. Tenang aja, nggak ada yang sia-sia dari sebuah usaha." Junot menyemangati. "Nanti kalau mereka masih belum mau ngerti juga, Tuhan yang ngasih mereka pengertian. Tuhan nggak pernah tidur, Yas."
"Lho, Yas, kenapa lo berhenti?" protes Theo saat Yas menepikan mobil.
"Udah telat ini!" Gantian Elang yang protes.
"Kalau Nami nggak dititipin, siapa yang mau ngurus? Kalian mau bawa dia ke kelas?" sarkas Yas.
"Kesiangan, Pak?" goda si nanny.
"Iya," jawab Yas seraya menyerahkan Namira padanya. "Titip Nami ya, Nan!" Yas membungkuk sekilas dan berlari lagi keluar.
"Eh, beneran lo adeknya Pak Yas?"
"Ya ampun, nggak nyangka banget!"
"Tapi muka kalian emang nyambung, sih."
"Tapi tetep aja, kalian bedaaaaaaa banget!"
“Pak Yas, tuh ... aduh ... gemes gue. Kok ada orang yang ganteng, sekaligus berkarisma, sekaligus pinter, sekaligus bertanggung jawab, uh ... untuk kali ini aja, rela gue nikah sama oom-oom!"
"Mbok, ya, belajar dikit dari kakak kalian! Masa kakaknya kayak malaikat, adeknya kayak titisan jin penunggu pohon kencur!"
"Pasti Pak Yas mumet banget ngurusin kalian."
"Duh, kasian Pak Yas!"
"Eh, gue denger kalian adeknya Pak Yas, ya? Gila! Gue nggak nyangka banget!" Chico yang juga sedang dihukum mengepel lantai toilet bersama Theo dan Elang, malah menambah daftar komentar mengesalkan dalam konteks yang sama. Sungguh, Theo dan Elang sudah bosan.