Aku mengerjapkan mata perlahan mencoba untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku, aku melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku benar-benar bangun siang untuk pertama kalinya karena merasa sangat lelah kemarin malam, aku mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin malam.
“Rasanya aku tidak percaya bahwa si curut itu adalah sepupu Jeselyn, bagaimana bisa dia menjadi sepupu Jeselyn padahal sifat mereka benar-benar berbeda jauh sekali,” ucapku sambil sesekali menguap masih terasa mengantuk sekali mataku ini.
Aku berjalan ke ruang depan dan mencari ibu, namun lagi-lagi aku temui ibuku sedang berbicara dengan seorang gadis membuat aku menghentikan langkahku di balik dinding pemisah ruangan antara ruang tengah dan ruang depan. Suara gadis itu benar-benar familiar di telingaku, tapi aku lupa siapa dia.
“Ah, begini, Bu. Bukannya saya ingin menuduh anak ibu merebut pacar saya, hanya saja saya ingin anak ibu menjauhi pacar saya. Saya rasa itu sudah cukup jelas karena asal ibu tahu saja Gea adalah kekasih gelap pacar saya, saya hanya ingin jujur pada ibu karena saya merasa kasihan dan tahu pasti Ibu tidak tahu hal ini, kan?” tanyanya membuat mataku mendelik, yang benar saja aku dibilang kekasih gelapnya! Aku tidak tahan dengan pembicaraan itu dan akhirnya aku memutuskan untuk menemui gadis itu.
Namun, saat aku keluar aku melihat Meriska yang sedang duduk tenang di sofa empuk yang dibelikan oleh Exel saat kami pindahan ke kontrakan ini. Benar saja, suara itu milik Meriska si perempuan yang sudah menyiramku dengan air panas dan terobsesi dengan Exel.
Ibu terlihat sangat bingung, terlihat sekali dari wajah ibu bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi dan apa yang Meriska katakan?
Aku tidak mengatakan apa pun, aku langsung melakukan panggilan video dengan Exel untuk memperlihatkan keberadaan Meriska yang sedang duduk tenang di sofaku seolah tidak tahu malu.
“Halo, ada apa Ge?” tanya Exel yang tampak sedang menyetir mobil, aku mengarahkan kamera ponselku ke arah Gea untuk menunjukkan keberadaan nenek sihir itu. Namun, benar dugaanku bahwa ia tidak pernah takut dengan siapa pun dan mungkin saja gadis itu memang sudah sakit jiwa.
Meriska terlihat tenang ketika aku menunjukkan ponselku ke arahnya, tidak ada rasa takut dan lain sebagainya membuatku kesal juga.
“Meriska ke sini lagi mengganggu ibuku, apa kau tidak bisa ke sini? Dia sepertinya benar-benar tidak punya pilihan pria lagi selain kau,” kataku di depan Meriska, hal tersebut membuat Meriska mendelik kesal, bahkan ia tidak peduli di hadapannya ada ibuku, dia tetap saja memelototiku dengan matanya yang bulat.
Meriska terlihat berdiri dan langsung merebut ponselku, dia memang gadis bar-bar yang tidak tahu malu dan tidak punya etika sopan santun.
“Tanpa mengesampingkan rasa hormatku padamu, aku tidak bisa membiarkanmu mengadu dombaku pada kekasihku yang sebentar lagi akan menjadi tunanganku. Jadi, kau cari saja pria lain. Aku memang tidak ada pilihan pria lain selain Exel, karena dia adalah jodohku maka kamu tidak berhak bicara seperti itu, satu lagi Ibu Ira tolong dijaga Geanya agar tidak merusak hubungan orang. Kasihan sekali Ibu berhijab seperti ini, tapi tidak memiliki anak yang sama sholehanya,” kata Meriska kemudian pergi dan mengambil ponsel hasil jerih payahku ini.
Aku mengepalkan tangan merasa emosi dengan kedatangan Meriska sepagi ini, aku tidak tahu bahwa gadis itu tidak peduli ada ibuku atau tidak dia tetap saja masuk ke rumahku tanpa izin.
“Nduk, gadis itu siapa? Apakah dia membahas hubungannya dengan Exel? Apakah benar kau menjadi perusak hubungan orang?” tanya ibu yang mulai membuatku merasa pusing, bagaimana bisa aku menjelaskan pada ibu bahwa Meriska hanyalah gadis terobsesi pada Exel maka dari itu Exel menyewaku sebagai kekasih bayaran?
“Entahlah, Bu. Dia terobsesi pada Exel kalau tidak salah dia adalah teman SMA Exel yang sampai sekarang masih mengejar-ngejar Exel. Tapi, Ibu harus tahu bahwa aku bukanlah orang yang merebut pacar orang begitu pun dengan Exel, dia bukan tipe pemuda yang senang sekali mendekati banyak gadis. Sampai sekarang buktinya dia belum mempunyai kekasih,” kataku mencoba menutupi kebejatan Exel, padahal aku tahu kalau Exel adalah seorang playboy walaupun aku belum lihat betul bahwa Exel memang playboy seperti kata Jeselyn.
“Menyeramkan sekali, kau sudah tidak perlu dekat-dekat Exel lagi sepertinya. Ibu tidak mau kau berurusan dengan gadis jahat itu lagi,” kata ibuku yang tampak sekali khawatir dengan keadaanku.
Aku hanya bisa mengangguk paham bagaimana khawatirnya ibuku yang ingin melindungiku seumur hidupnya, aku mengelus punggung ibu samping mencemaskan keadaan ibu karena sekarang Meriska sudah berani masuk ke dalam rumah dan berbicara pada ibu dengan etikanya yang sudah hilang.
“Assalamualaikum,” ucap seseorang tidak lama kemudian dari kejadian di mana Meriska membawa ponselku dan ditahan.
“Waalaikumsalam,” ucap aku dan ibu secara bersamaan dan melihat siapa yang datang ke kontrakan kami dan ternyata itu adalah Exel yang tampak tergesa-gesa untuk bicara padaku.
“Aku pinjam Gea sebentar, ya, Bu?” kata Exel meminta izin sambil menarik aku keluar untuk membicarakan sesuatu pastinya.
Aku hanya bisa mengikuti pemuda tersebut yang menarik tanganku ke luar rumah, sepertinya ada yang ingin dia bicarakan padaku.
“Ponselmu mana? Kenapa tidak ada jawaban?” tanya Exel yang wajahnya terlihat memerah, sedangkan aku hanya bisa menunduk saja merasa bingung harus menjawap apa, sebenarnya aku bisa saja mengambil hakku yang ada ditangan Meriska. Namun, di sekitarku ada ibu yang melihat segala tingkah lakuku dan bisa saja ia merasa kecewa karena aku kasar seperti itu pada temanku.
“Diambil Meriska, disita depan ibuku,” kataku membuat Exel terkejut dengan apa yang aku katakan terlihat sekali wajah itu terkejut dengan apa yang Meriska lakukan.
Exel terlihat mengepalkan tangannya dan langsung menelepon Meriska di hadapanku, sepertinya ia sudah kalap karena tahu Meriska yang parah seperti itu.
“Meriska! Kembalikan ponsel Gea atau aku laporkan kamu ke polisi, kali ini aku tidak akan tinggal diam karena kau membuatku hilang akal,” kata Exel padahal aku sudah berusaha untuk mencegah Exel agar tidak memarahi Meriska di telepon karena aku tahu ocehan Exel tidak akan berlaku untuk Meriska.
Aku hanya berharap cemas ponselku tidak dirusakkan oleh Meriska, ponselku yang berisi sangat banyak kenangan tidak boleh dihapus oleh gadis itu. Aku merasa kesal juga ketika ingat Meriska memasuki kontrakan tanpa permisi dan membuat ibuku merasa bingung dan meragukanku.
Aku memilih untuk berjongkok di samping Exel, andai saja aku tidak menerima tawaran Exel. Mungkin sekarang aku sedang hidup dalam kedamaian walaupun hidup melarat juga, aku tidak tahu harus bagaimana sementara aku ingin mengembalikan uang Exel, pemuda itu malah terus menolak dan membuatku merasa tidak enak.
“Dasar cewek gatel, sampai kapan sih mau ganggu aku seperti ini? Aku tidak ingin denganmu, Meriska! Aku jijik!” seru Exel dengan wajah memerah, aku tidak tahu apa yang Meriska bicarakan pada Exel yang pasti pembicaraan mereka benar-benar serius sekali sampai aku merasa terabaikan di samping pemuda itu.
Menurutku, Meriska adalah gadis hebat karena ia tahan banting dikatain dan dihina oleh Exel tapi masih saja bertahan dan bersikap seolah-olah Exel menyukainya.
“Hei, apa kau merasa merebutku darinya?” tanya Exel padaku membuat aku mengerjapkan mata beberapa kali karena merasa bingung apakah ini adalah bagian dari kekasih bayaran itu?
Aku mengangguk cepat seolah tahu maksud Exel.
“Tentu saja aku tidak merasa bahwa aku merebut Exel dari siapa pun, tapi orang-orang menyebutku perebut. Padahal Exel saja memang menginginkanku, seharusnya kau intropeksi kenapa Exel tidak menginginkanmu padahal kalian sudah kenal lama,” kataku yang merasa kesal dengan Meriska, ponselku sepertinya tidak akan selamat karena Meriska pasti akan menghancurkan ponsel murahan milikku dengan sekuat tenaga setelah aku mengatakan itu padanya, buktinya sekarang sudah ditutup sambungan teleponnya oleh Meriska.
“Kenapa wajahmu tampak gelisah?” tanya Exel padaku membuat aku menoleh ke arahnya. Aku memutar mataku malas, seharusnya aku tidak pernah berurusan dengan Exel karena pemuda itu hanya membawa kesialan untukku, aku kira setelah aku lulus dari SMA Global maka semua pembullyan tidak akan pernah ada lagi di hidupku alias hanya menjadi sebuah kenangan.
“Sebentar lagi ponselku pasti hancur oleh Meriska, bagaimana kau bisa mengatakan Meriska gatal padahal ponselku masih berada bersamanya?” tanyaku pada Exel, pemuda itu tertawa renyah.
“Jadi, kalau ponselnya tidak ada di Meriska, kau mengizinkan aku menyebutnya gatal?” tanya Exel membuat mataku mendelik kesal karena pertanyaan tidak masuk akal itu.
Aku menggeleng cepat tentu saja aku tidak sekejam itu membiarkan Exel menghina Meriska seenaknya saja, bagaimanapun Meriska adalah perempuan sebagai sesama perempuan aku tidak akan membiarkan pria menghina perempuan lain walaupun memang Meriska pantas mendapatkan itu.
“Tentu saja tidak, sesama perempuan tidak boleh saling menyakiti bahkan aku tidak ingin melihatmu menyakiti perempuan lain baik secara verbal atau pun fisik. Ingatlah, ibumu juga perempuan, bagaimanapun mengesalkannya Meriska, dia hanyalah orang yang terobsesi pada pemuda sepertimu,” kataku yang membuat Exel mendelik, ia sepertinya tidak senang dengan perkataanku.
Aku melihatnya dengan kedua alis terangkat seolah bertanya kenapa dia melihatku seperti itu?
“Dia hanyalah orang yang terobsesi pada pemuda sepertimu? Maksudmu apa?” tanya Exel seolah kesal dan tidak terima perkataanku. Aku tertawa kecil kemudian meninggalkan pemuda itu untuk masuk ke dalam kontrakanku yang diikuti oleh Exel, aku melihat ibu yang sudah menyiapkan makanan di meja makan.
“Eh, kalian sudah selesai bicaranya? Nak, Exel ikut Gea sarapan juga, ya? Ibu sudah siapkan sarapan untuk kalian, maaf jika masakannya tidak seenak makanan yang biasanya Exel makan,” kata ibuku dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.
Sementara Exel hanya mengangguk mengikuti aku ke arah meja makan, aku benar-benar kesal dengan pemuda ini. Mengapa ia tidak menolak atau memberi alasan bahwa ia harus pulang karena ada urusan mendadak seperti yang orang lain pada umumnya lakukan jika tidak ingin ikut makan atau merepotkan orang.
“Hei, kenapa tidak pulang? Kau bisa makan di restoran atau warung makan mana saja untuk sarapan, mengapa kau harus makan di sini?” bisikku merasa kesal dengan Exel yang tiada hari sekarang aku melihat wajahnya terus, memang wajahnya itu membuatku candu, namun rasanya jika setiap hari diberikan yang manis-manis juga pastilah sangat mual.
Exel hanya mengangkat kedua bahunya seolah tidak tahu menahu padahal seharusnya dia tahu alasannya makan di sini tuh apa. Ibuku terlihat menuangkan nasi dan beberapa lauk-pauk yang ada di meja makan ke piring Exel dan juga piringku, sementara ibu tidak makan karena sudah makan tadi pagi.
“Gimana, enak?” tanya ibuku dengan wajah penuh harap, sepertinya memang ibu ingin sekali masakannya dipuji, rasanya pujian dari anak sendiri dan orang lain mungkin berbeda rasanya jadi ibuku memilih untuk mendapatkan pujian dari mulut orang lain.
Exel mengangguk-angguk sambil mengangkat kedua jempolnya, aku yang melihat hanya bisa merasa dengki pada pemuda itu. Rasanya aku tidak jadi menyukai Exel hanya karena wajah tampannya yang terus saja melindungi sifat kekanakan pemuda itu.
“Sepertinya aku akan ikut menyumbang uang untuk Tante Ira masak, aku benar-benar ingin sekali memakan masakan Tante setiap hari,” kata Exel membuatku terkejut dengan ucapannya. Aku melihat ke arah Exel kemudian memukuli lengan kanannya karena merasa kesal, memangnya siapa yang menyuruhnya makan terus di sini? Benar-benar sangat merepotkan.
“Hei! Ibuku sudah sakit-sakitan, apa kau sudah tidak waras menyuruh ibuku masak? Kau mau menanggung jika Ibuku sampai sakit lagi?” tanyaku dengan sedikit kesal, enak saja dia mau menyuruh ibuku semaunya dia. Ibuku seharusnya beristirahat dan tidak boleh terlalu lelah.
Exel tampak tersenyum tidak enak dengan ibuku, aku tidak pernah bercerita bahwa ibuku sakit-sakitan pada Exel. Mungkin, itu juga yang membuat ia berkata seperti itu.
“Ah, maafkan aku, Tante. Aku gak tahu kalau tante tidak bisa terlalu lelah,” kata Exel yang terlihat tidak enak dengan ibuku. Aku hanya tersenyum masam, kesal sekali dengan Exel sejak ia lebih memilih mengatakan bahwa Meriska tidak akan senekat itu dalam menyakiti aku, aku jadi merasa kesal entah kenapa aku juga tidak tahu.
“Tidak apa-apa sebenarnya Tante masakin buat kamu, tapi rasanya tidak pantas kamu sering ke kontrakan Gea karena Meriska sudah tidak suka kamu dekat-dekat dengan Gea. Bisakah kalian tidak perlu dekat-dekat lagi dan menjaga jarak? Kalian harus bisa menjaga jarak aman agar tidak ada kesalahpahaman antara hubungan Exel dan juga Meriska, bukan begitu, Gea?” tanya ibuku membuat aku tersedak makanan yang baru saja aku makan.
Aku hanya bisa mengangguk membenarkan, walaupun rasanya aku tidak setuju Exel harus menjaga jarak padaku karena sebenarnya biang masalahnya tentu saja bukan aku ataupun Exel melainkan Meriska. Namun, bagaimanapun ibu tidak tahu bahwa Meriska hanyalah gadis tidak waras yang terobsesi dengan pemuda playboy seperti Exel.
Ada sedikit rasa bingung yang menyelip dihatiku ketika melihat Exel yang tampak bahagia sekali bisa makan bersama aku dan ibuku, padahal seharusnya ia lebih sering menghabiskan waktu bersama ibu dan ayahnya di rumah. Namun, aku merasa bahwa orang kaya tidak pernah ada waktu di rumah, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Anak hanyalah sebagai pelengkap keluarga mereka secara formalitas agar ada penerus dan tidak dijadikan bahan omongan oleh orang lain karena berumah tangga tanpa memiliki anak adalah hal yang tidak normal di negeriku ini.
“Meriska hanyalah teman masa SMA-ku yang terobsesi padaku entah dia melihatku dari sudut mana, mungkin ia melihatku sangat menarik dan berbeda dari yang lainnya makanya ia sesuka itu padaku, Tante tidak perlu khawatir karena Meriska bukanlah siapa-siapa saya. Maaf jika gadis itu sudah menghampiri Tante dan Gea pagi ini, ini semua di luar dugaan saya karena saya bukanlah kekasihnya, jadi ini mungkin ada sedikit kesalahpahaman.” Exel mengatakan itu dengan serius pada ibuku.
Ibuku terlihat bingung, rasanya kasihan juga melihat ibu yang bingung persoalan kami karena tentu saja di zaman ibu mungkin tidak ada orang gila macam Meriska yang dengan percaya dirinya mendatangkan rumah orang dan mengakui bahwa anak gadis sang tuan rumah adalah seorang perebut kekasihnya padahal dia juga bukan siapa-siapanya, Meriska memang selalu mengesankan dan patut diapresiasi segala bentuk kepercayaan dirinya.
“Begitukah? Permasalahan anak zaman sekarang memang selalu mengesankan, ya. Intinya apa pun itu tolong jangan melibatkan Gea dalam permasalahan ini, Tante hanya punya Gea sebagai keluarga jangan sampai karena kesalahpahaman ini membuat Gea ikut terseret apalagi katamu, Meriska terobsesi padamu. Biasanya orang terobsesi sedikit lebih ganas daripada orang yang hanya sekadar menyukai, kalian tahu pasti tingkat obsesi jauh di atas rasa suka atau pun cinta. Bagaimanapun dan apa pun caranya ia akan terus berusaha untuk mendapatkanmu sampai ia bosan atau mendapatkan target lain atau paling tidak sampai dia mendapatkanmu baru kau dilepaskan, berhati-hatilah,” kata ibuku membuat aku terdiam.
Apa yang dikatakan ibu ada benarnya, tingkah Meriska memang jauh dari rasa cinta biasa. Obsesi membuatnya buta oleh rasa keinginannya yang kuat mendapatkan Exel, semakin Exel mengabaikannya itu membuat Meriska semakin merasa tertantang. Setidaknya itulah yang aku nilai dari sikap Meriska yang semakin berani dan tidak tahu malu datang ke kontrakanku seakan dia adalah tamu yang kami tunggu, bahkan ekspresinya tidak menunjukkan gugup sedikit pun membuat aku merasa bahwa dia benar-benar psikopat yang mempunyai fisik yang sempurna.
Aku merasa sedikit kasihan pada Meriska karena gadis itu adalah anak orang kaya sama seperti Exel, memiliki paras yang sangat sempurna bahkan melebihiku, namun rasanya ia seperti tidak pernah mendapatkan kesempurnaan di dalam hidupnya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia andaikata berada di posisiku saat ini.
Aku merasa Meriska pasti akan menjadi lebih gila daripada saat ini karena dia dalam hidup yang tidak sempurna dan juga gaya hidupnya yang seperti itu membuat ia jauh lebih tertekan pastinya. Terkadang aku merasa beruntung karena benar kata ibu bahwa orang kaya tidak seperti yang orang lihat mereka tidak setiap saat senang-senang karena gaya hidup mereka membuat diri mereka hancur dan tidak pernah merasa cukup.
Contohnya saja Meriska yang sudah sempurna di mata orang lain, tapi ia masih merasa kurang karena belum mendapatkan Exel sebagai pendampingnya. Apa pun yang Meriska inginkan harus tercapai padahal tidak semua yang diinginkan selalu tercapai, ada kalanya kita harus merelakan apa yang tidak bisa kita capai di hidup ini dan memberi fokus pada sesuatu yang sudah pasti bisa kita capai.
Setelah sarapan hari itu, aku mengantarkan Exel ke mobilnya. Aku merasa tidak enak karena ibuku mengatakan itu secara gamblang di depan Exel pada saat sedang sarapan pula.
“Maaf karena ibu langsung mengatakan itu padamu, tapi aku merasa bahwa ibu ada benarnya juga. Meriska bukanlah gadis yang bisa kau remehkan begitu saja, kau harus mengapresiasi dirinya karena ia terlalu tangguh mendapatkanmu. Lagi pula, apa tidak sebaiknya kau membuka hati untuk Meriska? Dia adalah teman masa SMA yang sudah pasti kau kenal bagaimana sifat baik dan buruknya, aku rasa akan lebih menyenangkan mendapatkan pasangan yang sudah lebih paham sifat kita seperti apa,” ucapku berusaha untuk menghindari Exel karena aku tahu aku hanyalah kekasih bayarannya dan selepas kontrak kita juga sudah bukan lagi siapa-siapa.
“Aku membayarmu mahal karena ingin menghindari Meriska karena aku tahu sifatnya tidaklah sebaik parasnya yang sangat ayu, laki-laki mana pun berusaha untuk mendapatkan gadis itu, tapi tidak dengan aku karena aku paham betul siapa Meriska. Jika memang kau ingin memutuskan kontraknya tidak apa-apa, kau juga tidak perlu mengembalikan uang yang sudah kau terima, kau juga sudah bekerja walaupun hanya satu kali. Aku rasa siraman air panas itu sudah membuatmu pantas menerima uang sebanyak itu, maaf karena sudah merepotkanmu,” kata Exel kemudian langsung naik ke mobilnya dan melajukan mobil itu perlahan meninggalkanku sendirian.
Aku menatap mobil Exel yang kian menjauh membuat aku merasa bersalah karena sudah mengatakan itu pada Exel padahal dia juga sudah banyak berjasa dalam membayarkan semua hutang ibuku.
“Tidak apa-apa, keputusanmu sudah benar, Ge. Exel memang harus merenungkan itu, ibu dapat merasakan bagaimana Exel tertekan dengan gadis yang bernama Meriska itu, namun itu tetaplah urusannya bukan urusanmu. Kau cukup bekerja dengan baik daripada mendapatkan sebuah masalah dari anak-anak orang kaya itu, kita harus bisa melindungi diri dari orang-orang kaya karena mereka salah bisa menjadi benar di mata hukum. Kita sebagai orang dari kalangan bawah tidak akan bisa melawannya walaupun kita menangis air mata darah,” kata ibu seolah ia tahu segalanya dan pernah merasakan hal menyakitkan itu.
Aku hanya bisa diam dan memeluk ibu, aku tahu apa pun nasihat ibu itu adalah hal yang paling baik karena ibu sudah lebih dahulu merasakannya daripada aku, jadi tidak ada cara lain selain menurut padanya.
Kami pun akhirnya masuk ke dalam rumah dengan pikiran masing-masing, jujur saja aku masih memikirkan bagaimana perasaan Exel saat ini karena bagaimanapun aku berhutang budi padanya sampai kapan pun juga. Ibu tidak tahu bahwa aku sebenarnya tidak pernah berhutang pada Exel melainkan diberikan uang karena aku sudah bekerja padanya sebagai kekasih bayaran.
Tentu saja hal seperti itu tidak pernah aku ceritakan sedikit pun karena aku merasa bahwa itu terlalu murahan. Ibu tidak pernah mengajariku sebagai perempuan murahan, aku tidak ingin wanita paruh baya itu kecewa dengan keputusan bodohku ini.
“Halo, Jes? Nanti sore bisa jemput aku?” tanyaku menelepon Jeselyn, aku mendengar suara Jeselyn yang terkejut karena seharusnya itu adalah tugas Exel akhir-akhir ini Jeselyn yang sudah tahu aku menjadi kekasih bayaran Exel melepaskan aku pada pemuda itu.
“Memangnya Exel ke mana? Jangan bilang kamu lagi marahan sama Exel karena dia playboy? Kan, sudah kubilang kenapa kamu…” ucapan Jeselyn aku potong karena bertambah mumet jika aku mendengarkan suaranya yang menggebu-gebu seperti itu.
“Kau bisa jemput atau tidak? Kalau tidak bisa biar aku naik angkutan umum saja nanti,” ucapku dengan tegas karena jujur saja pagi ini aku merasa benar-benar tidak dalam mood yang bagus lagi-lagi karena Exel.
“Eh, iya aku akan menjemputmu di depan kontrakanmu, ya. Nanti sore pukul lima kau sudah harus siap,” ucap Jeselyn yang hanya dijawab anggukan olehku walaupun Jeselyn tidak dapat melihatnya.
Setelah percakapan itu aku membantu ibu membersihkan seluruh ruangan dan beberapa barang yang masih berantakan karena kami baru saja pindahan dan belum seluruhnya dibereskan.
Perlahan namun pasti, aku menarik beberapa koper ke dalam ruangan yang menjadi kamar ibu di kontrakan ini. Kontrakannya cukup luas juga dengan harga yang murah meriah seperti ini, kami mendapatkan dua kamar tidur kecil dan satu ruang makan sekaligus dapur kecil cukup sekali untuk kami berdua.
Aku tidak sengaja menjatuhkan beberapa tas yang berisi buku album foto-fotoku dan ibu juga ayah ketika ayah masih hidup dan masih sangat menyayangiku. Aku mengambil satu-satu foto masa bahagiaku, namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama karena saat usiaku tiga tahun ayah pergi bekerja ke kota dan berjanji akan pulang sebulan sekali. Namun, semua itu hanyalah sebuah janji bahkan sampai ajal menjemput, ayah tidak pernah kembali lagi ke rumah ibu.
Sejak berita meninggalnya ayah sampai ke telinga ibuku, dengan sangat terpaksa ibu mencari pekerjaan di kota. Aku saat itu dititipkan oleh Bu Dar tetangga samping rumahku yang sampai sekarang sudah seperti saudara bagi ibu dan aku.
Ibu bekerja di kota selama beberapa tahun dan mengirimkan aku gajinya, aku sempat hidup berkecukupan saat itu karena gaji ibu yang lumayan besar saat itu. Namun, aku masih sangat ingat betul bahwa tahun keempat ibu bekerja di kota, ibu memutuskan untuk pulang ke rumah entah apa alasannya yang pasti saat itu ibu tidak baik-baik saja.
Aku melihat beberapa luka lebam di pipinya, namun saat aku bertanya pada ibu tentang luka tersebut, ibu hanya menjawab bahwa itu adalah karena ia terjatuh saat sedang berjalan pulang. Saat itu aku masih sangat kecil dan mudah sekali untuk dibohongi, tapi sekarang aku baru paham mengapa ibu memilih untuk berhenti dan berhidup hemat sampai aku besar dan bisa mencari pekerjaan sendiri.
Sampai sekarang, ibu tidak pernah bercerita tentang memar yang pernah ia alami padaku. Seolah itu adalah hal yang tidak bagus untuk diceritakan untukku walaupun aku sudah sedewasa ini. Aku yakin, itu juga yang membuat ibu trauma bergaul dengan orang kaya atau lebih tepatnya ia tidak mau lagi berhubungan dengan orang kaya dan melarangku untuk tidak terlibat dengan perkara orang kaya.
“Sini Ibu bantu,” ucap ibuku yang tiba-tiba saja membantuku memunguti foto-foto yang berserakan di lantai. Aku hanya mendeham sambil mengambil foto-foto tersebut.
Kami berdua terdiam ketika menyusun kembali foto-foto tersebut di album kenangan, aku beberapa kali hendak bertanya di mana ayah waktu itu. Namun, demi menjaga perasaan ibu, aku memilih untuk memendam pertanyaan tersebut karena aku tahu pertanyaan itu menyakiti ibu sebagai istri dari ayah. Ayah meninggalkan kami tanpa pamit sedikit pun, dia berjanji untuk kembali demi anak dan istrinya, tapi apa yang dikatakan tidak sama dengan apa yang dia perbuat. Aku menyayangkan keputusan ayah seperti itu, namun bagaimanapun dia tetaplah cinta pertamaku yang pernah membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya dan kecewa untuk pertama kalinya juga.
Ayah adalah orang yang tidak pernah aku tanyakan lagi sampai aku sedewasa ini karena aku tahu ibu pun tidak tahu jawabannya.