Kecemasan dihari kelulusanku

3090 Kata
Hari ini adalah hari kelulusanku dari SMA Global, rasanya sedikit sedih karena aku harus keluar dan meninggalkan sekolah yang selama ini aku idamkan. Aku melihat Devano yang berdiri di depan pagar sekolah terlihat celingak-celinguk, ada rasa sedih yang menyelinap dihatiku ketika melihat pemuda itu. Ya, dalam waktu dekat aku akan kehilangan Devano satu-satunya orang yang tersenyum padaku di sekolah selain Bu Siti yang merupakan guru sekaligus penjual di kantin SMA Global. Aku sangat ingat betul bahwa Bu Siti adalah guru yang paling baik dan sederhana padahal guru-guru lainnya tampak sangat glamour dan sering kali menghina anak-anak dari kalangan beasiswa. “Hei, Gea!” sapa Devan padaku, dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang sangat rapi membuat wajah tampan itu sangat sempurna, dulu aku ingin sekali mendapatkan gigi seperti Devan yang rapi dan putih bersih. Aku melambaikan tangan padanya kemudian menghampiri Devan. “Kau sedang menunggu siapa?” tanyaku yang penasaran mengapa pemuda itu bukannya masuk ke sekolah malah berdiri di pagar sekolah dengan wajah kebingungan seperti mencari seseorang. “Aku menunggumu, aku tidak ingin kau sendiri di hari kelulusan seperti ini,” ujar Devan padaku membuat aku terdiam. Terdengar sangat hangat ucapan Devan, namun itu berarti aku terlihat menyedihkan karena hanya sendirian di sekolah dan tidak mempunyai teman satu pun, bahkan anak-anak paling bodoh pun enggan dekat denganku. “Apakah aku terlihat menyedihkan sampai kau rela menemaniku dihari kelulusan?” tanyaku ingin tahu bagaimana anggapan Devan tentangku selama ini, aku sangat berharap bahwa Devan bisa mengutarakan langsung padaku apa pun yang ia lihat tanpa takut aku tersinggung. Aku melihat Devan yang tidak menjawab, sepertinya dia sedang berpikir bagaimana merangkai kata untuk mengatakan hal-hal yang selama ini dia lihat dariku. “Katakanlah, aku tidak akan tersinggung,” ucapku membuat Devan tersenyum, senyumnya manis sekali sampai aku tidak tahan melihatnya. Sebagai seorang gadis biasa aku tentu saja paham di mana posisiku bahkan aku dekat Devan saja selama ini sudah membuat siswa siswi huru-hara. “Tidak, aku tidak berpikir kau akan tersinggung dengan ucapanku. Hanya saja selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana aku melihatmu, kau tidak menyedihkan hanya seperti gadis pemalu yang banyak teman, namun memilih untuk sendiri. Kau unik, aku menyukaimu,” ucap Devan menatapku dengan serius. Kalimat Devan yang seperti itu membuatku merasa pipiku sudah memerah menahan malu, rasanya aku seperti ingin menghilang dari hadapannya karena Devan mengatakan itu dengan serius sampai aku terlalu percaya diri bahwa Devan menyukaiku. “Haha, begitu, ya. Syukurlah aku tidak terlihat menyedihkan, aku jadi tahu dari sudut pandang orang lain saat melihatku. Hanya saja aku memang menyedihkan, tapi setidaknya aku lega karena sekarang aku sudah lulus dan keluar dari sekolah yang membuatku terlihat menyedihkan ini,” kataku dengan lega. Aku dan Devan memutuskan untuk masuk ke dalam sekolah bersama-sama, rasanya aku baru saja masuk menjadi siswi SMA Global kemarin. Namun, sekarang aku akan menjadi seorang alumni. SMA Global adalah almameterku yang sangat membanggakan, aku beruntung menjadi salah satu lulusan dari SMA Global. Sebelum beberapa pertunjukkan dari adik kelas, seluruh siswa SMA Global akan mendengarkan pengumuman ranking tertinggi seangkatan. Aku hanya bisa menghela napas saja, rasanya aku tidak akan mungkin menjadi ranking tertinggi di SMA Global. Aku memang peringkat tertinggi di kelas, namun itu tidak berlaku jika peringkat diambil dari seluruh kelas 12. Aku duduk di sebelah Devan harap-harap cemas namaku disebut, aku benar-benar menginginkan hal tersebut walaupun harapan itu begitu kecil karena aku tahu, aku bukanlah satu-satunya yang cerdas di SMA Global. Aku melihat Devan yang berada di sebelah kananku, ia terlihat sangat tenang dan tidak merasa gugup sepertiku. “Mohon untuk seluruh siswa kelas 12, diharapkan duduk di tempat yang sudah disediakan karena pengumuman peringkat ujian nasional akan diumumkan sebentar lagi,” kata Bu Herni yang merupakan guru IPA di kelas sebelah. Aku merasa sangat rendah diri di antara banyaknya siswa siswi dengan pakaian yang terlihat mahal, hanya aku yang memakai pakaian batik sederhana. Ya, seragam kelulusan kali ini adalah batik bebas, setiap angkatan ditentukan pakaian kelulusannya dan angkatanku kebagian seragaman batik untuk kelulusan. Aku melihat Devan dan baru sadar kemeja batik pemuda itu tampak sangat lusuh dan tidak menarik, warnanya juga sudah hampir pudar membuatku bertanya-tanya apa yang ia pakai itu adalah pakaian bekas? Namun, aku memilih untuk tidak bertanya apa pun pada Devan karena aku rasa itu bukanlah pertanyaan yang baik untuk dilontarkan dan bisa saja Devan tersinggung. “Dev, baju lo lusuh banget deh, perasaan baju lo bagus-bagus,” kata Ryan yang baru saja datang dan duduk di sebelah Devan, Ryan adalah pemuda yang bergaul dengan siapa saja, namun ia tidak terlalu menyukaiku entah kenapa pemuda itu selalu saja melihatku dengan sinis. “Oh, ini. Gue lebih senang memakai pakaian lama seperti ini, lagi pula ini hanya hari kelulusan tidak begitu penting,” ucap Devan dengan cuek. Aku merasa benar-benar terpesona dengan pemuda di sampingku ini. Ryan melihatku yang memakai pakaian lusuh juga, dari tatapannya aku bisa melihat bahwa Ryan mengejekku secara tidak langsung. Aku tahu pakaianku tidak sebagus siswa-siswi di sekolah ini, namun pantaskah aku dilihat begitu? “Kayaknya lo udah ketularan si miskin,” ucap Ryan kemudian tertawa melihatku. Tawa Ryan dihentikan ketika namaku disebut oleh Bu Herni selaku ketua panitia yang mengadakan acara perpisahan ini. “Untuk peringkat tertinggi ujian nasional 2019 SMA Global jatuh kepada Gea Alesandria dari kelas XIII IPA 1 dengan perolehan nilai sempurna, dipersilakan untuk Gea maju ke depan,” ucap Bu Herni dengan wajah sumringah, aku menepuk dahiku pelan. Aku lupa bahwa sebelum acara ini digelar aku sudah melihat NEM-ku yang sempurna dan ibu juga sujud syukur karena aku berhasil memperoleh nilai sempurna padahal sainganku benar-benar orang yang sangat pandai. Aku melangkah dengan sedikit gemetar menahan rasa haru yang tak tertahankan, di depan sudah terlihat ada piagam dan juga sertifikat aku sebagai juara pertama satu angkatan dalam ujian nasional di SMA Global. Sayang sekali rasanya ibu tidak bisa melihatku menerima penghargaan tersebut karena SMA Global hanya memperbolehkan siswa-siswi yang datang ke sekolah tanpa orang tua. “Selamat Gea,” ucap Bu Herni yang langsung menjabat tanganku, seketika kilatan-kilatan cahaya dari kamera memenuhi mataku sampai aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah Bu Herni. Aku hanya mengangguk dan bersalaman pada Bu Herni dan Pak Joko selaku kepala sekolah SMA Global. Setelah acara tersebut selesai aku berlari ke rumahku, rasanya benar-benar tidak sabar memperlihatkan piagam dan sertifikat yang aku dapat dari sekolah. Ini adalah piagam terakhirku di SMA Global, sebelumnya aku juga pernah mendapatkan beberapa sertifikat dan piala kejuaraan atas lomba yang diadakan sekolah, namun sayangnya itu disimpan di sekolah. “Ibu, Ibu!” teriakku dengan wajah gembira, aku memasuki halaman rumah. Namun, aku tidak mendapati ibu di seluruh ruangan di rumah tersebut membuat aku merasa khawatir karena tidak biasanya ibu meninggalkan rumah dalam keadaan tidak terkunci seperti ini. Aku memutuskan untuk keluar dan menanyakan keberadaan ibu pada tetangga sebelah rumah yang sering kali duduk-duduk di terasnya, siapa tahu saja ia melihat ibuku keluar dari rumah dan menanyakan ke mana ibu akan pergi. “Assalamualaikum, Bu Dar, apa Bu Dar melihat ibuku keluar dari rumah?” tanyaku dengan nada khawatir, aku masih mengenakan seragam SMA-ku, namun sudah terlihat lusuh karena aku terus berlari-lari dari sekolah yang tidak jauh dari rumahku itu. Bu Dar terlihat menoleh kemudian langsung menghampiriku dengan wajah panik, perasaanku menjadi tidak enak sekali. Kali ini ada berita apa lagi yang dibawa oleh Bu Dar? Dengan tergopoh-gopoh Bu Dar memegang tanganku seperti orang kalap, aku tidak paham apa yang membuat Bu Dar bersikap seperti itu. Namun, aku paham bahwa itu bukanlah berita bagus untuk aku terima. Aku memegangi lengan Bu Dar dan menenangkannya, aku paham bahwa Bu Dar pasti sulit mengatakan ini padaku. “Bu, coba tenangkan diri dulu. Katakan padaku apa yang terjadi selama aku pergi agar aku bisa mengambil tindakan apa yang harus aku lakukan,” kataku menatap wajah Bu Dar yang terlihat sedang menenangkan dirinya. “Bu Ira, Bu Ira dibawa beberapa pria bertubuh besar. Sepertinya orang-orang debkolektor yang waktu itu datang lagi, kau harus menolong ibumu. Saya tidak tahu mereka membawa Ibu Ira ke mana karena saya baru saja pulang dari pasar,” kata Bu Dar yang mempunyai nama panjang Darsiah, orang-orang sering memanggilnya secara singkat yaitu Bu Dar. Rasanya benar-benar membuatku hilang akal setelah mendengar ucapan Bu Dar, aku tidak tahu ibu dibawa ke mana dalam keadaan sakit seperti itu. Aku langsung meninggalkan Bu Dar dan berlari ke tempat yang aku ingat betul di mana bos para pria itu tinggal. Aku yakin bahwa ibu dibawa ke tempat itu untuk disandera karena tidak membayar hutan sejak tahun lalu, itu semua karena aku yang membuat ibu berhutang. Sungguh, jika ada kesempatan aku akan membayarkan semua hutang itu pada mereka agar tidak membawa ibuku lagi ke tempat j*****m itu. Napasku terasa tersengal-sengal, hari yang indah ini harus berakhir seperti ini padahal aku ingin sekali memperlihatkan piagam dan sertifikatku pada ibu. Langkah demi langkah aku hadapi dengan tenaga yang tersisa terkadang aku berhenti untuk mengambil oksigen yang hampir habis karena kaki-kakiku ini terus berlari tanpa henti. Rumah bos depkolektor itu lumayan jauh, sekitar satu kilometer lebih dari rumahku, aku harus memastikan bahwa ibu tidak apa-apa. Hanya butuh beberapa langkah lagi untuk sampai di rumah tersebut, aku tidak sabar ingin memaki para pria-pria tidak waras yang menyandera ibuku. “Buka! Aku tahu ibuku pasti di dalam! Dasar pria tidak waras, lepaskan ibuku!” teriakku sambil menggedor-gedor pintu rumah mewah itu. Terdengar langkah dari dalam membuatku mundur beberapa langkah dari pintu utama. “Hei, jangan menggedor seperti itu. Hutang ibumu saja belum kelar, kalau pintu saya rusak kamu juga tidak akan bisa ganti!” katak pria bertubuh jangkung itu, ia terlihat membawa cerutu ditangannya dan memakai topi bulat yang biasa dipakainya setiap hari. Namanya Pak Burhan, tuan tanah di kampungku. Pria itu terkenal jahat dan tidak segan-segan menyeret mayat peminjam uang yang tidak membayar hutang-hutangnya. Kadang aku menyesal, andai saja dulu aku berhenti sekolah dan mencari pekerjaan mungkin ibu tidak akan terlilit hutang seperti ini. Aku turut andil dalam kesulitan ibu. “Di mana ibuku? Aku akan membayar semua hutang ibuku, tapi kasih waktu sampai aku mendapatkan pekerjaan, semua gajiku akan aku kasih padamu setiap bulan. Lepaskan ibuku, aku hanya mempunyai ibu di dalam hidupku. Ayahku sudah meninggal, apa kau tidak mempunyai hati nurani? Biarkan ibuku hidup tenang dan kasih aku waktu untuk menebusnya. Atau kau bisa ambil ini, barang satu-satunya yang paling berharga dihidupku, aku akan menebus ini,” ucapku sambil memberikan piagam dan sertifikatku pada Pak Burhan. Pria itu terlihat mengambil sertifikatku dan piagam yang baru saja aku dapatkan dari sekolah karena mendapatkan nilai sempurna dari satu angkatan tahun ini. Pak Burhan tersenyum kemudian memanggil nama ibuku. “Ira! Ira sini kamu lama sekali!” teriak Pak Burhan dengan nada memerintah, tidak lama kemudian aku melihat ibu keluar dengan tergopoh-gopoh, wajahnya terlihat pucat sekali. Aku menangis melihat ibuku ternyata tidak apa-apa rasanya sangat lega, sedari tadai aku benar-benar takut jika pria j*****m itu membuat ibuku terluka. Tanpa peduli keberadaan Pak Burhan, aku langsung memeluk ibuku dan menangis di dalam pelukannya. Aku merasa sangat lega benar-benar lega karena bisa melihat ibuku lagi setelah beberapa waktu mengalami kekhawatiran. “Pulanglah, aku akan menagih janji putrimu ini untuk membayar semua hutangmu saat ia mendapatkan pekerjaan,” kata Pak Burhan memberikan keringanan pada kami, ada rasa lega namun juga cemas karena aku belum memikirkan akan bekerja apa setelah lulus dari SMA. “Terima kasih, aku akan membayarnya. Terima kasih karena ternyata hati nuranimu masih ada, jangan pernah ke rumahku lagi. Aku akan datang lagi jika memang sudah mendapatkan pekerjaan,” kataku menegaskan lagi bahwa jangan sampai pria itu ke rumah lagi dan membawa anak buah untuk menyeret ibuku ke rumahnya dan dijadikan asisten rumah tangga pasalnya ibuku sudah sakit-sakitan mana mungkin bisa bekerja lagi di rumah orang. Setelah mengadakan negoisasi tersebut, aku langsung membawa ibuku menjauh dari rumah itu. Ibuku sedari tadi hanya diam dengan wajah sedih, tubuhnya semakin ringkih aku lihat, benar-benar tidak tega melihat ibu seperti itu. Aku hanya anak tunggal dan harus bisa membahagiakan ibuku dengan berbagai cara, aku tidak peduli bagaimana aku akan berjuang nanti yang penting ibuku mendapatkan kehidupan yang layak dihari tuanya. Aku akan sangat merasa bersalah bila membiarkan ibuku menderita sepanjang hidupnya, sekarang giliran aku yang membahagiakan ibu. Lagi pula aku sudah lulus dari SMA Global aku pasti mudah mendapatkan pekerjaan kelak. “Ibu tidak apa-apa kan? Jangan pergi lagi walaupun dia memaksa,” ucapku yang hanya dijawab anggukan oleh ibuku. Bu Dar tampak berlarian ke arah aku dan ibu saat kami sampai di depan rumah, terlihat sekali bahwa wanita paruh baya itu mencemaskan keluarga kami. Ya, sedari dulu memang Bu Dar yang paling perhatian pada keluarga kami, Bu Dar tidak mempunyai anak dan keluarga lain maka dari itu kami menganggapnya sebagai saudara begitu pun dengannya. “Kalian tidak apa-apa, bukan? Pasti ini semua ulah Pak Burhan, kan? Dia memang tidak mempunyai hati nurani,” kata Bu Dar dengan wajah kesal, aku yakin Bu Dar sangat khawatir terhadap keluarga kami apalagi aku dan ibu hanya hidup berdua, kami tidak mempunyai saudara lagi maka dari itu aku sangat berusaha keras untuk membuat ibuku bahagia. “Alhamdulilah, tidak apa-apa, Bu. Kalau begitu kami masuk dulu, ya, kondisi ibuku sedang tidak baik-baik saja,” ucapku yang sudah lelah dan tidak bisa berbasa-basi lagi. Aku bahkan lupa bahwa aku belum makan sedari tadi pagi karena tidak mempunyai uang untuk membeli makanan. Setelah mengatakan itu, kami pun langsung masuk ke dalam rumah. Aku merasa cemas karena wajah ibu yang sangat pucat, aku berharap tidak terjadi apa-apa dengan ibu. “Ibu duduk dulu, ya. Aku akan meminta sepiring makanan pada Bu Dar siapa tahu saja ada,” kataku kemudian cepat-cepat berdiri dan keluar dari rumah meninggalkan ibu yang terbaring lemas. Belum makan dan disiksa oleh Pak Burhan membuat tubuh ibu sudah tidak berdaya lagi, aku merasa terus bersalah karena tidak bisa menjadi anak yang becus mengurus orang tua. Aku melihat ke rumah Bu Dar yang tepat berada di sebelah rumahku, ada sedikit rasa malu yang menyelinap karena harus meminta-minta makanan seperti ini pada Bu Dar. Aku tahu bahwa Bu Dar ringan tangan jika memang ia mampu membantu, namun rasanya sedikit kecewa karena harus membuat susah orang lain. Akan tetapi, aku tidak bisa mengedepankan rasa malu karena ibuku benar-benar membutuhkan makanan untuk memulihkan tenaganya lagi. Aku rasa mengalah pun tidak apa-apa, aku akan meminta sepiring makanan saja untuk ibu. “Assalamualaikum, Bu Dar.” “Waalaikumsalam, Gea. Ah, apa kau ingin makanan?” tanya Bu Dar yang sudah peka dengan maksud kedatanganku ke rumahnya membawa piring kosong. Aku mengangguk dengan senyuman malu-malu, aku merasa tidak enak dengan Bu Dar yang terlihat sangat perhatian pada aku dan ibu. “Masuklah, Ibu akan siapkan makanan untukmu dan ibumu,” kata Bu Dar kemudian aku hanya mengangguk dan menyodorkan piringku. Aku duduk di sofa Bu Dar, rumah itu selalu terasa sangat sepi karena tidak mempunyai keluarga satu pun, terkadang aku merasa sedih juga melihat Bu Dar yang sangat kesepian di rumahnya. Aku terus merasa bersyukur bahwa ternyata aku beruntung masih mempunyai ibu walaupun ibu adalah keluargaku satu-satunya, namun kami merasa nyaman hidup berdua dengan kesulitan kami yang seakan tidak mau lari dari kami. “Ini, bawa cepat ke ibumu. Bu Ira pasti kelaparan, kau juga makanlah aku membawakan beberapa lauk untukmu. Jaga dirimu karena kau adalah keluarga Bu Ira satu-satunya, harapan Bu Ira, tetap sehat meskipun semuanya terasa sulit. Ibu percaya bahwa kau kelak bisa membanggakan ibumu dengan hasil jerih payahmu sendiri,” kata Bu Dar dengan senyumannya yang terasa sangat tulus. Aku mengangguk dengan senyuuman, aku benar-benar berterima kasih karena Bu Dar selalu saja membantu keluargaku. “Terima kasih, Bu. Aku benar-benar tidak tahu harus membalas jasamu bagaimana karena kau selalu ada untuk aku dan ibu. Semoga sedekahmu ini menjadi berkat untuk dirimu sendiri,” kataku dengan mata berkaca-kaca, rasanya sulit untuk aku memendam perasaan sedih ini. Setelah itu aku pun pamit pada Bu Dar dan kembali dengan dua piring makanan untuk aku dan ibu. Ibu terlihat memegangi perutnya sepertinya karena lapar sedari pagi belum mengisi perut dengan apa pun. “Bu, makanlah dulu. Maaf karena lama,” ucapku kemudian memberikan ibu makanan tersebut. Ibu terlihat menghela napasnya pelan menatap makanan-makanan itu, aku tidak tahu apa yang ibu pikirkan saat ini karena ibu belum membicarakan apa pun padaku sejak tadi di rumah Pak Burhan. “Ada apa, Bu? Apa ibu tidak napsu makan?” tanyaku dengan wajah bingung jika ibu tidak memakan masakan Bu Dar maka aku harus bagaimana? Aku belum bekerja dan mempunyai uang yang cukup untuk membelikan ibu makanan lain. “Entahlah, Ibu merasa bosan hidup sulit terus. Maafkan Ibu tidak bisa menjadi ibu yang baik untukmu. Kau tidak seberuntung teman-temanmu, Ge. Namun, Ibu berharap kau kelak sukses dan tidak mempunyai kehidupan seperti ini lagi,” ucap ibuku dengan wajah sedih. Aku memakan makanan di piring dengan perasaan yang benar-benar sedih, air mata sulit untuk aku bendung dan mengalir begitu saja membuat ibu melihatku dengan wajah sedih. Namun, ia tidak mengatakan apa pun dan kami makan dalam keheningan. Aku tahu bahwa kehidupan setelah lulus dari SMA akan semakin berat, namun akan lebih berat jika aku masih bersekolah dan melihat ibuku yang terus tersiksa dengan hutang-hutang yang tak mampu ia bayar. Mungkin, aku tidak seberuntung teman-temanku yang mempunyai orang tua lengkap dan berasal dari keluarga berada secara materi. Namun, aku tahu bahwa aku dipilih Allah sebagai anak yang istimewa karena aku akan merasakan bagaimana nikmatnya berjuang dari nol dan kelak aku akan ringan tangan karena aku pernah merasakan menjadi mereka yang tidak mempunyai apa pun selain otak yang akan dipergunakan kelak. “Bu, doakan Gea, ya. Kelak jika Gea sudah bekerja, Gea akan membuat ibu keluar dari hutang-hutang itu, Gea juga akan membahagiakan Ibu. Ibu sehat-sehat, ya, agar bisa merasakan semua jerih payah Gea,” kataku dengan kepala tertunduk melihat makanan yang masih tersisa di piring. “Ibu selalu berdoa untukmu Gea, apa pun keadaannya, bagaimanapun terdesaknya kamu, jangan pernah melakukan yang Allah tidak sukai. Tetap di jalan yang benar, Ge, InsyaAllah semuanya akan dipermudah jika kamu terus berada di jalan yang lurus,” kata ibuku dengan senyumannya yang tulus. Tidak terasa aku menangis karena tidak sanggup menahan rasa sedihku sejak tadi, aku merasa lemah jika sudah menyangkut ibuku. Aku rasa semua anak juga sama sepertiku yang akan merasa lemah jika sedang dalam keadaan sulit seperti ini. “Menangislah, tapi jangan pernah menyerah dan merasa hidupmu hanya berisi beban. Semua orang yang kamu lihat sukses, pasti melewati masa-masa kelamnya sendiri. Kamu anak ibu satu-satunya, berjanjilah agar tetap kuat walaupun badai terus bertiup, ibu akan selalu mendukungmu selamanya. Kau harus ingat itu,” kata ibuku dengan senyumnya yang selalu berhasil membuatku ingin menangis karena ibu begitu tulus padaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN