Rima berjalan menghampiri Rudi di ruangannya, setelah ia melihat Rudi sudah selesai menerima telepon dari istrinya dan dapat dilihatnya wajah murung Rudi. “Hmm, ini kesempatanku untuk mulai merebut simpati Rudi.” Gumam Rima dalam hatinya.
“Siang, pak! maaf, kalau saya mengganggu Bapak, apakah Bapak tidak makan siang ke luar? kalau tidak, mungkin Bapak mau saya pesankan makanan, saya mau pergi ke luar untuk mencari makan.”
Rudi melihat ke arah Rima, pegawai barunya. Dalam hatinya, ia bertanya, mengapa sebagai pegawai baru, Rima berani sekali masuk ke dalam ruangannya, sementara pegawai yang lain berpikir dua kali untuk masuk ke dalam ruangannya.
Memang tadi kesalahannya yang tidak menutup pintu ruang kerjanya dan bisa saja Rima mendengarkan percakapannya dengan istrinya.
“Tolong! lain kali ketuk pintu saya terlebih dahulu, sebelum kamu masuk ke ruang kerja saya. Apa yang kamu lakukan tadi tidak sopan sama sekali.”
“Maafkan atas ketidak sopanan saya, Pak. Bapak belum menjawab pertanyaan saya, apakah Bapak mau saya belikan makan siang?”
Rudi terlihat berpikir sejenak, “Tolong belikan nasi lalapan, ikannya nila bakar.” Rudi kemudian merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah dompet kulit berwarna hitam.
“Ini uangnya dan kembaliannya ambil saja nanti, buat kamu. Anggap saja sebagai ongkos jalan.”
“Maaf, Pak. Tidak usah, saya hanya tidak mau melihat Bapak jatuh sakit, karena melupakan jam makan siang, Bapak.”
Rudi merasa senang mendapatkan perhatian dari pegawainya, Rima. Sementara, istrinya tadi menelepon, justru untuk marah-marah saja. Ia tidak peduli suaminya sudah makan ataukah belum.
Rima, sambil tersenyum ke luar dari ruangan Rudi. Langkahnya untuk mendapatkan hati Rudi, sudah semakin dekat. Rima dengan cepat berjalan menuju ke rumah makan yanng letaknya tidak jauh dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Tak memakan waktu lama, pesanan Rima pun sudah selesai dibungkus. Rima gegas kembali ke perusahaan, tidak mau jam istirahat keburu habis.
Di depan pintu ruang kerja Rudi, Rima mengetuk pintunya dan setelah dipersilahkan masuk. iapun langsung duduk di hadapan Rudi.
Dengan cekatan Rima meletakkan makanan ke dalam piring. Ia tadi singgah sebentar ke bagian pantry untuk meminjam piring dan gelas. Rima berdiri sebentar dan mengisi gelas yang dibawanya dengan air dari galon yang ada di pojok ruangan Rudi.
Rudi merasa senang, ada yang melayaninya makan siang, ia berharap seandainya saja istrinya yang datang untuk menyiapkan makan siang untuknya, pasti lebih nyaman.
Rudi menatap heran, Rima yang dengan santainya duduk di hadapannya dan menyantap makan siangnya.
Merasa ditatap oleh bosnya, Rima pun mendongak dari piringnya, “Maaf, Pak! saya merasa akan membuang waktu istirahat saya, kalau kembali lagi ke ruangan saya.”
“Lagian, Bapak, ‘kan” Makannya sendirian saja, tidak ada yang menemani. Saya juga sendiri saja, daripada kita makan sendiri-sendiri, lebih baik kita makan bersama.”
Rudi menatap tajam Rima, ia dengan sengaja memperlihatkan cincin kawin yang melingkar di jari manisnya, “Kamu salah. Saya sudah tidak sendiri.”
Rima tertawa pelan menanggapi kemarahan Rudi, “Santai dong, Pak! yang saya maksud kita sama-sama sendiri, bukan dalam artian soal pasangan. Saya tahu, kok Bapak sudah mempunyai istri, saya tidak akan merebut Bapak darinya.”
Rima kembali melanjutkan makannya, ia tidak terpengaruh sama sekali dengan tatapan galak dan kemarahan dari Rudi.
Rudi pun melanjutkan makannya, dalam hatinya ia mengakui apa yang dikatakan oleh Rima. Dirinya saja yang berlebihan menanggapi perkataan Rima.
Rima melihat ada butiran nasi yang tercecer di bibir Rudi, dengan gesit tangannya mengambil nasi yang tercecer di bibir Rudi. Ia juga dengan sengaja menyentuhkan jarinya ke bibir Rudi.
Tatapan mata Rima dan Rudi beradu, Rima menundukkan wajahnya berpura-pura malu. “Maaf, Pak!. Saya tidak sengaja, tadi itu saya hanya bermaksud mengambil nasi yang tercecer di bibir Bapak.”
Rudi menatap dingin Rima, “Jangan diulang lagi. Kamu cukup memberitahukan kepada saya, kalau ada nasi yang tercecer dan biar saya yang mengambilnya.”
“Siap, Pak!” sahut Rima.
Rima bersorak kesenangan dalam hatinya, ia berhasil menggoda Rudi. Ia dapat melihat perubahan pada wajah Rudi yang terlihat gugup mendapat sentuhan darinya.
Rima ke luar dari ruangan Rudi dengan senang, besok ia akan kembali melancarkan aksinya dalam merebut simpati dari Rudi. Secara perlahan dan pasti Rudi akan jatuh bertekuk lutut dan pembalasan dendamnya pun akan berhasil.
Sisi baik, dari hati Rima berbisik kasihan kepada istri Rudi yang tidak bersalah, tetapi terkena imbas dari perbuatan suaminya. Namun, sisi jahat Rima tidak peduli, toh, ia hanya bermain-main saja. Tidak sungguh-sungguh merebut Rudi dari istrinya.
Esok harinya, ketika jam makan siang tiba. Rima berjalan menuju ke toilet wanita untuk mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian yang sedikit terbuka. Selesai berganti baju, ia menuju ke meja kerjanya mengambil rantang berisikan makanan yang dengan sengaja dibuatnya untuk Rudi.
Ia dengan sengaja mencari tahu makanan kesukaan Rudi dan dengan bantuan pelayan yang ada di rumah kontrakannya, Rima minta tolong dibuatkan makanan.
Tak ingin kejadian kemarin terulang, Rima mengetuk pintu terlebih dahulu dan setelah dipersilahkan masuk. Iapun masuk ke dalam ruang kerja Rudi.
“Siang, Pak! ini saya bawakan makan siang buatan saya sendiri untuk Bapak. Saya harap Bapak menyukainya, karena saya harus bangun pagi-pagi sekali untuk membuat makanan ini.”
Rudi menatap tidak percaya ke arah Rima, yang mengenakan rok super pendek, sehingga memperlihatkan kaki jenjangnya yang mulus. Rima juga sungguh keterlaluan, sepertinya ia dengan sengaja menggoda dirinya, dengan membuka dua kancing teratas dari kemeja yang dikenakannya.
Rudi meneguk ludahnya dengan susah payah, sebagai lelaki normal dan disuguhi dengan pemandangan yang menggoda iman, membuat Rudi harus bisa menahan gairahnya.
“Saya tidak suka, kalau kamu berpenampilan seperti ini lagi. Ini bukanlah tempat yang dengan bebasnya kamu mengenakan pakaian seperti apa saja. Penampilanmu itu bisa menimbulkan pandangan negatif dari orang lain kepada dirimu.”
“Baik, Pak!. Besok saya tidak akan mengulanginya kembali. Saya akan berpenampilan seperti biasanya. Sekarang, Bapak harus mencicipi makanan buatan saya, yang khusus saya buat untuk Bapak, loh!”
Rima dengan sengaja membungkukkan badannya tepat di depan wajah Rudi, hingga ia bisa melihat belahan dadanya dengan bebas. Sekuat hati Rima harus menahan tangannya untuk tidak menampar Rudi, yang menatap dengan lapar, meskipun hal ini adalah kesalahannya sendiri. Ia yang sudah memancing Rudi.
Rudi tidak dapat mengalihkan tatapannya dari apa yang dapat dilihatnya, “Sialan, si Rima ini, sepertinya ia dengan sengaja menggodaku. Dia pikir aku akan mudah tergoda, tentu saja tidak, kaena aku hanya mencintai istriku seorang.