“Kyaaa … para demit sekolah!” Lusi langsung membekap mulut Andin. Nyengir menatap empat cowok ganteng yang tentu saja kaget dengan teriakan Andin.
Andin berusaha berontak, menabok-nabok tangan Lusi yang membekapnya. Karena sakit, Lusi melepas tangannya. Andin menatap galak Lusi, gadis cantik itu nyengir.
“Hati-hati Ndin, keknya mereka bukan golongan kita deh …” lirih Lusi. Andin melirik Lusi, menahan tawanya karena kata-kata konyol Lusi.
“Mereka itu emang bukan golongan kita. Tapi golongan Kampreet impor. Hahaha …” Andin tertawa lepas, bener-bener nggak ngerasa takut dengan keempat cowok yang berdiri cukup jauh di depannya.
Leo terlihat menahan tawanya, mendengar julukan Andin untuk mereka. Edo menatap sebal, bener-bener nih anak baru harus di kasih pelajaran. Edo membuang rokoknya yang belum sempat ia nyalakan. Risky, Leo dan juga Febian menatapnya heran. Keknya Edo kwesel banget dengan tingkah Andin.
“Keknya Markonah harus di kasih kursus deh,” Edo melangkah maju, mendekati Andin dan Lusi, diikuti oleh ketiga sahabatnya yang berjalan beriringan.
Lusi mundur, bersembunyi di belakang Andin. Sedikit pun Andin tidak gentar. Lusi menyeret-nyeret lengan Andin, mengajaknya untuk pergi. Andin tidak peduli, menyilangkan kedua tangannya pada dadaa, melirik sinis empat cowok ganteng yang berdiri di depannya dengan kerlingan nakal.
Edo kembali mengambil sebatang rokok, menyandarkan punggungnya pada sebuah tembok. Memberi kode kepada ketiga temennya untuk maju. Andin menggulung lengannya. Ketiga cowok itu maju, menaik turunkan alisnya, menatap genit Andin dan Lusi.
“Ndin, yuk! pergi aja … gue dah bilang, mereka tuh bukan golongan kita.” Lusi terus menarik-narik lengan Andin.
“Ihh … lo diem napa, tinggal lihat hasilnya. ‘kan beres!” ucap Andin sewot. Lusi hanya bisa menghela nafasnya, mengelus sabar dadaanya.
“Mau Abang kasih kursus nggak Ndin.” Leo maju. Menatap genit Andin. Mencoba memegang pipi mulus Andin. Dengan gerakan sangat cepat, Andin memuntir lengan Leo. Memepet tubuh kekar Leo pada tembok, mengunci satu tangan Leo kebelakang. Leo nyengir, menoleh Andin yang menatapnya geram, dari belakang.
Edo dan kedua temennya melongo, nggak nyangka banget dengan aksi Andin, padahal tubuh Andin kecil dan langsing. Lusi tersenyum. “Syukurin lo,” ejek Lusi. Riski dan Febian, menatapnya ngeri.
Edo yang merasa geram, kembali membuang rokoknya. Berjalan mendekati Andin, menarik kebelakang tubuh Andin. Leo bisa bernafas dengan lega, setelah Andin melepaskannya. Andin benar-benar sangat kuat.
Andin berusaha melawan, saat Edo menarik tubuhnya. Edo menyeringai, memepet tubuh Andin ke tembok. Gadis cantik itu berusaha melawan, tapi ushanya gagal, Edo terlalu kuat. Andin memeringkan kepalanya, menatap Lusi.
“Lus, tolongin Gue.” Lusi membuang mukanya. Dengan sangat cueknya ia berkata. “Ogah.”
“Lusiii! sepupu lucknut lo.” Edo dan ketiga temennya tersenyum, nggak nyangka banget sama jawaban Lusi. Bener-bener dua sodara aneh.
Posisi Andin bener-bener terancam, Edo semakin mendekatkan wajahnya, Andin merem, memepetkan wajahnya kesamping. Tiba-tiba saja, Andin melek maksimal. Seperti teringat sesuatu, lebih tepatnya pesen sang papa. “Inget, kalau posisi terjepit. Injek kaki lawan.” Kata-kata papanya bener-bener seperti sebuah pencerahan untuk Andin.
Andin tersenyum manis sekali di depan wajah Edo. Cowok ganteng itu heran. Dengan gerakan tak terduga, Andin menginjak kaki Edo.
“Auww!!” teriak Edo, nyengir kesakitan, mengangkat satu kakinya yang ngilu akibat tingkah Andin.
“Markonah!!” Andin kembali mendekati Edo, melayangkan satu pukulan keras, tepat di wajah tampan Edo.
Bhukk!!
“Bhuahahaha ….” Ketiga sahabat lucnutnya tertawa kencang. Seumur-umur, baru kali ini lihat Edo sang Idola para cewek, digampar oleh seorang cewek.
“Dasar muka import messum!” Edo terlihat sangat kesal. Andin berlari kearah Lusi, tanpa mempedulikan Edo yang kesakitan.
Bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Andin segera berjalan menuju ruang kelasnya, dia bener-bener kesel dengan Lusi, yang membiarkanya hampir saja di sosor Edo untuk yang kedua kalinya.
Sesampainya di kelas, Andin langsung duduk, males banget. Lihat wajah Lusi yang cengar-cengir di sampingnya. Lusi menggeser kursinya, memepetkan tubuhnya dengan tubuh Andin.
“Minggir lo. Jan deket-deket. Gue paling anti sama penghianat.” Lusi nyengir, semakin mepet Andin.
“Ndin, lo tau nggak? kalo di pikir-pikir … keknya lo berjodoh deh, sama si bule,” ucap Lusi tanpa dosa.
Pluk!
Andin langsung menimpuk kepala Lusi dengan buku yang baru saja dia ambil.
“Auww! sakit, Ndin.” Lusi mengusap kepalanya.
“Rasain. Makanya, jaga tuh mulut kalo ngomong.” Lusi mendengus sebal. Andin terkekeh, puas. Bisa bales Lusi.
Edo, Risky, Febian dan juga Leo, masuk ke kelas agak telat. Keempat cowok ganteng itu duduk bersebrangan dengan Andin dan Lusi. Andin membuang mukanya. Enek banget, lihat keempat cowok kurang kerjaan itu, duduk bersebrangan dengannya.
Sebuah gulungan kertas kecil, di lemparkan tepat di punggung Andin, Gadis cantik itu menoleh. Edo mengerlingkan satu matanya, memonyongkan bibirnya. “Muach!” Ketiga sahabat lucnutnya tersenyum, termasuk Lusi.
Andin menatap geram Edo, mengangkat buku yang ia pegang, dengan luapan emosi, Andin menyobek buku itu, menjadi dua bagian. Edo tersenyum manis sekali. Lusi melongo, menatap buku yang Andin sobek. Keempat cowok itu tersenyum.
“Yah. Ndin, lo kenapa sobek buku paket itu.”
“Hah!” Andin melotot maksimal. Edo dan ketiga temennya tertawa kencang.
“Importt ….!!” Lusi menutup telinganya, semua anak menoleh Andin. Gadis itu nyengir. Mengangkat dua jari tengah dan telujuknya. “Peace.” Edo dan ketiga sahabat lucnutnya, cekikikan.
Menit kemudian, guru masuk ke kelas itu. Semua kembali tenang. Andin dengan seksama mendengarkan penjelasan guru yang menjadi wali kelasnya. Edo sesekali mencuri pandang, lucu juga tingkah Andin. Bu Wali kelas mengumumkan, jika hari ini pulang lebih awal. Para murid bersorak senang, mereka pulang lebih awal karena pelajaran belum penuh.
Andin mengemasi semua bukunya, gadis itu kelihatan terburu-buru, begitupun dengan Lusi. Risky menyikut lengan Edo.
“Nape lo,” sungut Edo. Risky menaik turunkan alisnya.
“Tuh!” Mengarahkan tatapannya kepada Andin dan Lusi. Edo menyunggingkan senyumnya.
Berjalan kearah meja Andin dan Lusi, diikuti oleh ketiga temennya. Edo mendudukkan pantatnya di meja, tepat di depan wajah Andin. Risky menyandarkan tangannya pada pundak Edo. Bener-bener nih empat demit, super nyebelin.
“Hei, Markonah! pulang bareng abang yuk.” Edo sengaja menggoda Andin.
“Ogah! asal lo tau ya … nama gue AN-DIN. Paham lo muka import.” Andin berdiri, sedikit menarik Lengan Lusi, meninggalkan Edo dan ketiga temennya.
“Sabar …” Leo mengelus punggung Edo. Edo menoleh.
“Ini cobaan?!” potong Edo. “Anyingg lo!!” Ketiga temen lucknutnya tertawa, seneng banget lihat Edo dianggurin cewek.
,,,,,
Andin dan Lusi sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah, Sebuah mobil mewah warna hitam berhenti di depan keduanya. Seorang pria tampan keluar dari dalam mobil itu. Meskipun pria itu sudah berumur, tapi pria itu masih terlihat gagah dan tampan.
Edo, Leo, Febian dan juga Risky yang berjalan menuju tempat parker berhenti. Memandang heran kearah Lusi dan Andin yang terlihat akrab sekali dengan seorang om-om.
“Bentar, itu bukannya si Markonah sama sepupunya.” Risky, Febian dan Leo manggut-manggut mendengar ucapan Edo.
“Wah … nggak beres nih. Ternyata doyan yang lebih alot,” celetuk Febian.
“Maksud lo?!” timpal Risky. Leo menimpuk kepala Risky. Cowok tampan itu nyengir, mengusap kepalanya yang lumayan sakit akibat ulah Leo.
“Oon lo! mereka berdua jadi pemuas om-om,” terang Leo. Risky melotot. “Hah!”
“Beruntung banget ya, si Om-nya. Padahal gue pikir, mereka berdua masih tersegel. Nggak taunya sama. Dah bolong!” cibir Febian.
“Wah … wah … ckcckk … main peluk-peluk aja di depan umum …” gumam Leo.
Edo menepuk pundak Leo. “Cabut, Coy!” seru Edo.
Keempat cowok tampan itu mempercepat langkahnya, berjalan menuju tempat parkir. Menaiki motor mereka setelah sampai di tempat parkir. Cepat, keempatnya melajukan motor keluar dari area sekolah.
Edo dan ketiga temennya, menghentikan motor mereka tepat di ujung jalan. Sengaja banget, ngintip Andin dan Lusi di jemput sama om-om. Andin dan Lusi, sudah masuk ke dalam mobil, mobil pun langsung melaju. Edo and the coro gengs, niat banget mengikuti mobil yang membawa Andin dari belakang.
Pinter banget mereka ngikuti mobil yang membawa Andin, sampai-sampai yang di dalam mobil nggak ‘ngeh’, jika mobil mereka diikuti dari belakang. Mobil pun berhenti tepat di sebuah rumah besar dan mewah, seorang satpam membukakan pintu gerbang itu. Mobil pun masuk kedalam rumah mewah, berlantai dua.
Edo, Febian, Leo dan Risky geleng-geleng kepala. Nggak nyangka banget, Andin sama Lusi jadi mainan om-om tajir. Edo melajukan motornya pelan, mendekati pak satpam yang sibuk menutup kembali pintu gerbang. Iseng aja dia tanya sama pak satpam.
Pak satpam mengeryit heran, Edo membuka kaca helmnya, tersenyum manis ke pak satpam.
“Ada apa ya Mas?” tanya pak satpam. Edo nyengir.
“Emm … itu tadi dua cewek itu mo ngapain Pak, di mari,” selidik Edo.
“Mas temen sekolahnya Non Andin?” Edo bingung, si pak satpamnya malah balik tanya.
“Non Andin? lah. Om-om yang sama Andin itu siapa?” Pak satpam tersenyum, keknya nih cowok naksir putri majikannya.
“Oh … maksudnya Tuan Hendra? Non Andin itu, putri ke dua Tuan Indra,” terang pak satpam. Edo melongo
maksimal. Cengar-cengir denger penjelasan pak satpam.
“Maksudnya, Andin anaknya gitu?!” Pak satpam mengangguk.
“Permisi ya Pak.” Gantian si pak satpam yang melongo. Datang tak diundang, pergi suka hati. “Dasar adik jaelangkung,” maki pak satpam.
Edo memutar balik motor ninjanya, mendekati ke tiga temennya. “Cabut, Men!” Keempatnya langsung cabut. Melajukan motor mereka ke tempat tongkrongan mereka.
Menit kemudian, keempat cowok tampan yang super tengil itu, menghentikan motor mereka di sebuah taman kota, tepat di bawah pohon beringin yang super lebat. Edo turun dari motornya, mendekati abang penjual minuman dingin, cowok itu membeli empat botol air mineral dingin untuk ke tiga temen lucknutnya dan dirinya.
Edo kembali berjalan mendekati tiga temennya yang duduk di atas motor mereka. Memberikan air mineral kepada ke tiga temennya.
“Woi, Import!” panggil Risky. Edo melotot, nggak terima banget dengan panggilan Risky.
“Kampreet lo. Sekali lagi, lo panggil gue import. Gue iket lo diatas pohon.” Risky nyengir, Febian dan Leo ikut tertawa.
“Eh. Gimana tadi investigasi lo, port.” Yang ini suara Leo. Geram dengan ulah temen lucknutnya, Edo mengapit leher Leo, menyeret Leo yang duduk menyamping di motor gedenya.
“Sakit, Anjirr!” teriak Leo, Edo nggak peduli. “Udah gue bilang, jangan panggil gue import,” kesal Edo. Nggak peduli teriakan Leo, gemes banget dengan sahabat lucknutnya ini.
“Iya deh. Bang Edoardo Emmanuel yang paling ganteng.” Edo nyengir, melepaskan leher Leo. “Puas, lo!” cibir Leo. Edo terkekeh. Leo merapikan bajunya, menyugar rambutnya yang berantakan akibat ulah Edo.
“Gimana tadi, Do. Emang bener, tuh dua cewek bohay aduhay peliaraan si Om.” Febian ikut nimbrung oboran mereka yang nggak kelar-kelar. Ibarat kolor, molorrr … panjang banget.
“Kampreet! Emang lo semua. Untung gue sempet nanya sama satpam. Coba kalau nggak?!” Ketiga cowok tampan itu semakin penasaran.
“Lah, emang apa kata si satpam.” Rsiky bener-bener kepo.
“Si Om, tadi tu … ternyata Bokapnya Andin.” Ketiganya nyengir, menggaruk kepala mereka, saling pandang satu sama lainnya.
“Oh … calon Bapak mertua?!” ucap ketiganya bersamaan.
“Emang Paijo semua lo!” sewot Edo. “Asal lo tau, gara-gara pikiran kotor lo pada. Gue dikatain adik jaelangkung sama pak satpam.”
“Hahaha …” tawa ke tiga temennya.