Bab 43 - Melarikan Diri Dari Baron

1029 Kata
Chapter sebelumnya. "Hey, lagi ngapain lu ngintip disitu?" Suara seseorang yang selama ini memukuli, menyiksa dan merampas haknya sebagai seorang anak-anak. Siapa lagi kalau bukan Baron, sang pemimpin anak jalanan. "Woy, lu nggak denger ya gue ngomong? Lu lagi ngapain disitu?" Jantung Vanya semakin bergetar hebat saat indera pendengarannya mendengar langkah kaki di belakangnya berjalan dan semakin mendekat. Ia dengan cepat menurunkan topi untuk menutupi wajahnya dan berdiri dari tempat persembunyiannya tadi. Sial. Gue harus gimana sekarang? "Lo nggak denger apa pura-pura nggak denger sih, hah?!" Kedua mata Vanya pun membulat seketika saat tiba-tiba Musa juga hadir di sana dan melihat wajahnya. Gimana ini? Sekarang bukan cuma gue yang dapat masalah, tapi Musa juga. Bodoh! Lo benar-benar bodoh, Vanya! *** Ketika mata hitam milik Vanya akhirnya bertemu dengan Musa, di saat itulah akhirnya gadis itu bergerak untuk meninggalkan tempatnya tadi. Sekitar dua detik sebelum tangan Baron juga mencapai pundaknya dari belakang dan melihat wajahnya. "Woy! Mau kemana lu?!" Baron menunjuk-nunjuk tubuh Vanya berlari meninggalkannya, hendak mengikutinya juga. Namun tiba-tiba Musa menghalangi jalan dan berseru panik. "Bang, si Gilang muntah darah, Bang!" "Apaan kata lu?" Musa menyadari bahwa kehadiran Vanya di sana pastilah untuk menemuinya. Kebetulan sekali laki-laki muda itu memiliki alasan untuk mencegah Baron mengejar Vanya dalam situasi tersebut. "Itu bang, si gilang, Bang! Ayo cepet kesini, Bang!" Karena teralihkan oleh Musa yang terus mendesaknya, Baron pun memilih untuk melupakan Vanya yang bahkan sudah menghilang dari pandangannya dan berbalik arah, menuju arah kegaduhan yang terjadi di dalam gudang tempat anak-anak jalanan dikumpulkan. Sementara Vanya berhasil lari setelah menaiki sebuah taksi konvensional kosong yang kebetulan melintas di depannya. Gadis itu menyandarkan punggungnya ke sofa, kemudian melepas topi yang sejak tadi menutupi wajahnya. Vanya bernapas lega di sana. "Kita kemana ya, Mbak?" Suara sang supir taksi sempat mengejutkan Vanya. Namun gadis itu buru-buru menyadari dan membenarkan posisi duduknya di sana. "Ah, ke jalan anggrek timur ya, Pak. Yang di belakang Mall Permata." "Oh, baik, Mbak." Gadis yang mengikat rambutnya ke belakang itupun kembali menyandarkan punggungnya ke sofa. Ia memejamkan mata dan memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa nyeri. Wajah Musa yang terlihat terkejut terbayang-bayang di kepalanya. Pertemuannya dengan Musa selalu berakhir seperti ini. Dengan rasa menyesal dan sedih yang bercampur menjadi satu. "Ini salah gue," gumam Vanya. Lalu gadis itu membuka mata dan menatap jalanan padat di depannya. "Gue harus cepat-cepat cari Valerie dan balik buat nolongin Musa." *** "Makasih ya, Pak." Setelah Vanya membayarkan sejumlah uang kepada sang supir, taksi berwarna biru itupun langsung tancap gas meninggalkannya. Vanya menarik napas dalam-dalam sebelum bersiap memasuki rumahnya. Sama seperti sebelumnya, Vanya berusaha untuk masuk sambil mengendap-endap. Namun sayangnya, aksinya kali ini justru tertangkap basah oleh Bi Inah dan Pak Jaka yang tiba-tiba muncul dari ruang tamu. "Yaampun, Non!" seru Bi Inah panik. Wanita dengan daster berwarna biru selutut itu buru-buru menghampiri Vanya yang terpaksa menghentikkan langkahnya. Sedangkan Pak Jaka mengekor di belakang istrinya itu. Sambil mengelus-ngelus d**a dan bernapas lega, Bi Inah pun mendekati Vanya. "Tadi Bibi kaget banget pas mau nawarin Non Val makan sore eh malah ilang. Nggak ada di kamar. Khawatir ini bibi, Non." Dan tentu saja ucapan asisten rumah tangganya tersebut membuat Vanya semakin merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuk lehernya yang sama sekali tidak gatal dengan canggung dan menundukkan wajahnya. "Ma-maaf ya, Bi. Tadi aku ada keperluan, jadi aku pergi ke toko di ujung jalan." "Atuh lain kalimah suruh bibi atau pak Jaka aja ya, Non," ucap Pak Jaka menambahkan. Pria bertubuh kurus itu lantas menepuk-nepuk pundak kanan istrinya dan melanjutkan, "Si Bibi hampir pingsan ini pas tahu non Valerie pergi nggak pamitan." "Se-sekali lagi aku minta maaf ya, Bi, Pak." Bi Inah dan Pak Jaka mengangguk kompak. Lalu, wanita yang sudah bekerja dengan keluarga Edwin beberapa tahun kebelakang itupun menambahkan, "Sekarang Non Valerie mandi dulu aja. Bibi bikinin nasi goreng mau nggak?" "Apa-apa nggak nunggu Mamah sama Papah aja, Bi?" Rasanya lidah gue ini nggak terbiasa banget nyebut mamah papah. Jadi geli sendiri. Pak jaka menggumam pelan. "Hm, tadi Bapak telpon, Non. Katanya pulangnya agak telat. Jadi Non Valerie sama Ibu nggak perlu nunggu Pak Edwin." Vanya ber-oh-ria untuk beberapa saat, lalu mengangguk setuju. Ia kemudian tersenyum kepada sepasang suami istri di hadapannya secara bergantian. "Kalau gitu, aku ke atas dulu ya, Bi." "Iya, Non. Kalau makanannya sudah jadi, nanti Bibi panggil ya." "O-oke, Bi." *** Selain Edwin, ternyata Wina juga pulang terlambat malam ini. Sehingga Vanya terpaksa kembali ke kamarnya tanpa menikmati makan malam bersama kedua 'orang tua'nya tersebut. Aneh rasanya karena Vanya sedikit kecewa dengan ketidakhadiran Edwin maupun Wina. Padahal hal itu hanya berlaku satu kali. Ia tidak bisa membayangkan betapa kesepian dan kehilangannya Valerie karena ditinggal oleh kedua orang tuanya bekerja. Mendadak Vanya menjadi bersimpati kepada Valerie. Jam di dinding sudah mengarah ke angka sebelas, tapi Vanya sama sekali belum merasa ngantuk. Ia juga masih sibuk mencari-cari cara untuk bisa mengoperasikan internet dan aplikasi-aplikasi yang diunduh oleh Wina sebelumnya. Dan di jam itu, Vanya tidak sengaja mendengar pembicaraan Edwin dan Wina di lantai bawah. Awalnya obrolan mereka hanya seputar pekerjaan dan hal-hal yang ringan. Namun saat akhirnya terdengar suara Edwin dan Wina membicarakan Valerie, Vanya pun tak kuasa menahan rasa penasarannya. Gadis dengan piyama tidurnya yang berwarna ungu pun diam-diam keluar dari kamarnya, mendekati balkon dan menguping pembicaraan kedua orang tua Valerie di sana. "Sebentar lagi Valerie akan menghadapi ujian, Pah. Apa dia bakal baik-baik aja? tanya Wina khawatir. Dari atas sini, Vanya bisa melihat Edwin dan Wina duduk di sofa sambil menatap layar televisi yang menyala. Namun tampaknya kedua orang itu tidak benar-benar memperhatikan acara di benda berbentuk persegi tersebut. "Kita 'kan sudah minta bantuan sama pihak sekolah buat memaklumi kondisi dia. Sekolah pasti paham kok kalau nanti nilai dia jatuh." "Tapi aku khawatir kalau dia bakal dirundung teman-temannya." "Loh, kenapa? Kan ada Rain dan Andreas. Mereka kebetulan sekelas, 'kan? Papah yakin Valerie bakal baik-baik aja kok di sekolah." Edwin menatap Wina dan mengusap puncak kepala istrinya tersebut. "Kamu jangan banyak cemas gitu, nanti malah stress di sini. Ya?" Vanya berbalik dan kembali ke kamarnya. Ia menyandarkan punggungnya ke pintu dan bergumam, "Apa gue bisa percaya sama Rain dan Andreas? Keliatannya sih orang tua Valerie percaya banget sama mereka. Gue harus gimana sekarang? yatuhan..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN