Bagian 6
"Pa, aku mau tinggal di sini ya, bareng Papa," ucapku kepada Papa kala itu.
"Loh, kok' mendadak gini? Terus, Mama setuju?" tanya Papa, terlihat raut kebingungan di wajahnya.
"Aku kabur, Pa. Aku enggak mau lagi tinggal sama Mama."
"Kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi? Cerita sama Papa, Nak!"
"Aku kesal sama Mama. Mama enggak mau restuin hubungan aku sama Mas Hanif, Pa. Mama malah menyangkut pautkannya dengan urusan pribadinya," protesku.
"Namamu pasti punya alasan yang kuat, Nak. Pasti mamamu ingin yang terbaik untukmu. Tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia, Nak." Papa mencoba menasehatiku.
"Kebahagiaan aku tuh Mas Hanif, Pa. Aku yakin pasti akan bahagia hidup bersama dia."
"Kamu telah dibutakan oleh cinta, Nak. Coba pikirkan lagi keputusanmu."
Mama sama Papa sama saja, tidak mengerti perasaanku.
"Papa minta sekarang kamu pulang dulu, temui Mama. Minta maaflah padanya. Kamu boleh tinggal di rumah ini sampai kapanpun kamu mau. Tapi sekarang, Papa minta agar kamu minta maaf dulu sama Mama. Mari Papa antar!" Papa beranjak dari tempat duduknya, lalu menarik tanganku agar segera ikut dengannya.
"Enggak, Pa! Aku enggak mau!"
"Mira, Papa tidak ingin melihatmu menjadi anak durhaka, Nak!"
"Terserah, tapi aku belum mau ketemu Mama." Aku tetap bersikeras.
"Apa Papa juga akan melarangku untuk menikah dengan Mas Hanif?"
"Papa belum tau dan belum kenal siapa itu Hanif, Nak, jadi Papa belum bisa memutuskan."
"Mama kenal, Pa. Mas Hanif anaknya Tante Zamila."
Papa terlihat shock mendengar ucapanku. Aku jadi bingung, sebenarnya apa sih, yang terjadi antara mereka?
"Kamu yakin akan menikah dengan anaknya si Zamila itu, Nak?"
"Iya, Pa. Jika Papa tidak bersedia memberikan restu, maka kami akan nikah secara siri." Aku mengancam Papa. Mungkin apa yang dikatakan Papa benar, aku telah dibutakan oleh cinta.
Papa terdiam sejenak. Ia mengelap kacamatanya yang sedikit berembun dengan tisu yang ada di atas meja.
"Apa Papa akan bersikap sama seperti Mama?"
Papa masih terdiam, hanya helaan nafasnya yang terdengar.
"Pa? Sebenarnya apa sih yang terjadi antara Mama dan Tante Zamila? Kenapa Mama benci banget sama Tante Zamila, apa yang dilakukan oleh Tante Zamila pada Mama, Pa?" Aku kembali bertanya.
"Nak, apa yang dikatakan mamamu tentang Zamila itu benar adanya."
"Cukup, Pa. Aku sudah tahu jawabannya. Baiklah, aku akan pergi dari sini. Permisi, Pa!"
"Tunggu, Nak. Jika itu yang kamu inginkan, Papa akan merestui kalian, meskipun dengan berat hati."
Sekelebat ingatan itu kembali membayang di pikiranku. Aku menyesal, sungguh-sungguh menyesal. Andai saja aku menuruti nasihat Mama dan Papa, mungkin aku tidak akan merasakan sakitnya dikhianati.
Ma, Pa, maafin aku. Aku sungguh-sungguh menyesal.
Baiklah, sekarang bukan saatnya untuk meratapi apa yang telah terjadi. Sekarang yang harus kulakukan adalah meminta maaf pada Mama dan Papa, kemudian mempersatukan mereka kembali. Mama dan Papa berhak bahagia. Aku akan berusaha mencari cara agar Mama dan Papa bisa bersatu kembali. Soal Mas Hanif dan gundiknya itu, biarkan saja dulu mereka mau ngapain karena aku sudah tidak peduli.
Tetapi, apakah Mama masih mau memaafkanku?
Brak!
Aku tersadar dari lamunan setelah menyadari bahwa mobilku telah menabrak mobil yang berada di depanku.
Astaghfirullah, tanpa sengaja aku telah menabrak mobil yang sedang berhenti di pinggir jalan.
Ya Allah? Apa lagi ini? Masalah yang satu belum selesai, sudah ada lagi masalah baru.
Inilah akibatnya jika berkendara sambil melamun. Jadinya tidak fokus.
Aku tidak berani keluar dari mobil, kulihat seorang lelaki mengecek bagian belakang mobilnya, setelah itu lelaki berbadan tegap itu menghampiriku.
Aku menarik nafas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ya, aku harus berani menghadap pemilik mobil itu, aku harus bertanggung jawab.
Belum sempat lelaki itu mengetuk kaca jundela mobil, aku sudah terlebih dahulu membuka pintu.
"Maaf, Pak, aku tidak sengaja. Bapak tidak usah khawatir, aku akan tanggung jawab dan mengganti semua kerugiannya," ucapku sambil terus memandangi mobil yang sudah lecet tersebut akibat ulahku.
"Mbak? Mbak yang tadi siang, 'kan?" tanya lelaki itu.
Aku menoleh padanya, ternyata pemilik mobil itu adalah lelaki yang mengetuk kaca jendela mobilku siang tadi.
"I-iya," jawabku terbata.
"Sepertinya Mbak memang sedang ada masalah, dari raut wajah Mbak sendiri aku sudah bisa melihatnya."
"Enggak, kok', Pak!" Aku berusaha menyangkal. Tidak mungkin dong, aku menceritakan masalah rumah tanggaku pada orang lain.
"Berapa nomor rekening Bapak? Katakan saja jumlah yang harus saya transfer untuk mengganti rugi." Aku kemudian membuka pintu mobil untuk mengambil ponsel.
"Masalah mobil gak usah dipikirkan, Mbak, legian cuma lecet ringan, santai saja."
"Enggak bisa gitu dong, Pak. Saya tetap akan ganti rugi."
"Ya sudah, minta nomor mbaknya saja, nantinya kita komunikasikan lewat telepon. Soalnya aku sedang buru-buru, Mbak."
Aku pun memberikan nomorku pada lelaki yang belum kukenal itu.
"Kabari secepatnya, ya, Pak!"
"Baik, Mbak, yasudah aku permisi dulu. Eh tapi sebelum itu kita kenalan dulu, ya. Aku Ahmad, panggil saja Mas Ahmad, jangan panggil 'Pak' lagi, biar lebih akrab." Lelaki itu mengulurkan tangannya padaku.
Ahmad? Sepertinya nama itu tidak asing di telingaku. Apa Mas Ahmad ini lelaki yang dimaksud oleh Mama? Yang ingin dijodohkan denganku dulu? Ah tidak mungkin. Pasti cuma kebetulan saja.
"Aku Mira, Mas," ucapku sambil menangkupkan kedua tangan di depan d**a.
"Maaf, bukan muhrim!"
Lelaki yang bernama Ahmad itu pun menarik tangannya, kemudian ia pamit padaku.
***
"Mir, kamu kemana aja sih? Sudah larut malam begini baru pulang! Ditelpon juga gak diangkat. Kamu kelayapan kemana?"
Aku disambut dengan ocehan Mas Hanif begitu tiba di rumah.
"Oh, Mas nelpon aku? Gak dengar," jawabku cuek.
"Mira, tunggu! Kamu belum jawab pertanyaan Mas, kamu dari mana?" Mas Hanif mencekal pergelangan tanganku.
"Apa-apaan, sih? Lepasin enggak? Kasar bangat sih!"
Ya, Mas Hanif memang sudah berubah. Sekarang ia sudah mulai menunjukkan sifat aslinya yang selama ini disembunyikannya dariku.
"Kamu tuh yang kenapa, ditanyain bukannya malah jawab, malah nyelonong gitu aja! Kamu sudah tidak menghormati Mas lagi sebagai suamimu, Mira."
Memang itu kenyataannya. Setelah aku tahu bahwa kamu telah mengkhianatiku, rasa hormat dan patuh itu kini telah berganti menjadi rasa benci, Mas. Aku sudah tidak lagi menghormatimu.
Sayangnya kata-kata tercekat di tenggorokan, tidak mampu untuk kuucapkan.
"Mas mau tahu aku dari mana? Aku nyari bantuan, Mas. Aku menghubungi teman, kebetulan suaminya adalah seorang polisi."
"Ngapain, Mir?"
"Buat bantu aku lah, Mas. Aku ingin agar mobil kesayanganku ditemukan secepatnya. Dan aku akan menjebloskan malingnya ke penjara, biar dia mendekam di balik jeruji besi."
Wajah Mas Hanif mendadak berubah, memperlihatkan rasa takut dan khawatir. Rasain, emang enak aku kerjain!
Jika aku mau, aku bisa dengan mudah mengambil kembali mobilku serta menjebloskan wanita itu ke penjara. Tapi aku tidak akan melakukannya sekarang. Bukan hanya wanita itu, namun Mas Hanif beserta ibunya juga akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatan mereka.
"Kan Mas sudah bilang, tunggu Mas saja! Kamu kenapa jadi keras kepala gini, sih, Mir?" Mas Hanif protes.
"Habisnya kamu lama, Mas. Sampai sekarang belum juga bertindak. Jika ngandelin kamu terus, kapan ketemunya mobilku? Lagian kenapa Mas jadi nyalahin aku? Harusnya aku yang marah sama Mas karena Mas sudah ngilangin mobilku."
"Bukan gitu, Mir! Kamu kan tahu sendiri kalau Mas itu sibuk dan banyak urusan, Mir."
Lebih tepatnya sok sibuk, bukan sibuk karena pekerjaan, tapi sibuk mengurus wanita itu.
Tanpa basa-basi, aku langsung meninggalkannya. Berjalan menaiki anak tangga untuk menuju kamar kami yang terletak di lantai atas.
Mas Hanif berteriak memanggil namaku tapi aku tidak menghiraukannya.
Bersambung